Kamis, 09 Juli 2009

A.Mustofa Bisri: Rakyat Sudah Dewasa


Sebelum pilpres, mengikuti perkembangan pilpres di Iran, banyak di antara kita yang ketir-ketir. Apalagi, dinamika kampanye para kandidat dan tim-tim sukses mereka begitu luar biasa. "Kampanye putih", "kampanye abu-abu", hingga "kampanye hitam" keluar semua dari sana-sini.

Namun, alhamdulillah, pilpres kita kemarin berlangsung aman dan lancar. Rakyat yang berdatangan ke TPS-TPS terlihat begitu santai dan guyub. Setelah mencontreng, mereka melanjutkan kegiatan masing-masing seperti biasa.

Setelah itu, mereka secara sendiri-sendiri atau beramai-ramai nonton hasil pencontrengan mereka di quick count. Bahkan, banyak yang nonton bareng sesama pencontreng yang berbeda pilihan. Mereka tertawa-tawa, kadang-kadang saling ledek laiknya sesaudara. Lihatlah, betapa dewasanya mereka.

Kalau harus ada yang diacungi jempol dalam pesta demokrasi ini, tidak diragukan lagi yang pertama-tama berhak kita acungi jempol adalah mereka: rakyat Indonesia.

Rakyat Indonesia, rupanya, benar-benar belajar dan menyerap pelajaran dengan baik. Dengan berkali-kali pemilu dan pilkada, mereka semakin terbiasa dengan pengamalan demokrasi. Sudah dua kali pilpres, mereka menunjukkan kedewasaannya. Bahkan, jika dibandingkan dengan para pemimpin dan tokoh politik di atas yang sok demokratis, tampaknya, mereka lebih dewasa.

Mungkin mereka -rakyat Indonesia itu- belajar juga dari kompetisi sepak bola dunia yang begitu enak ditonton. Para pemain begitu serius dan sungguh-sungguh dalam bertanding; masing-masing berusaha dengan segenap daya untuk mengalahkan lawan. Para penonton juga tidak kalah dahsyat di dalam menyemangati jago masing-masing. Namun, begitu peluit panjang ditiup, para pemain bersalaman dan berangkulan dengan lawan; bahkan saling bertukar kaus. Mungkin yang tidak kunjung menyerap pelajaran seperti ini-ironisnya- justru insan-insan persepakbolaan kita sendiri.

***

Seperti juga saat selesai pertandingan antara dua kesebelasan dunia, orang-orang -sering kali bersama-sama antara para pendukung kesebelasan yang berbeda- dengan santai melakukan evaluasi. Mengapa ini menang, mengapa itu sampai kebobolan.

Dalam pilpres kali ini, yang menarik mereka bicarakan adalah dua calon incumbent:SBY dan JK. Dari sejak mencalonkan diri hingga menjelang pencontrengan, JK tak henti-hentinya diberitakan berkibar di mana-mana. Tokoh-tokoh pengusaha, intelektual, dan kiai -bahkan ada yang secara kelembagaan- beramai-ramai mendukung dan ikut mengampanyekannya. Tapi, mengapa perolehannya -menurut quick count- cuma sekian? Tentu tidak lucu jika kita menyalahkan quick count.

Beberapa pengamat pun melemparkan pendapat. Ada yang berpendapat, waktu JK terlalu mepet untuk memperkenalkan diri sebagai capres. Ada yang mengatakan bahwa gaya JK yang ditampilkan terlalu cepat; mestinya untuk tahun 2019. Ada pula yang menyalahkan partainya: Golkar.

Tak tertinggal, tentu banyak juga yang mempertanyakan, kenapa begitu banyak kiai -bahkan ada yang membawa lembaganya, pesantren atau NU- yang terang-terangan dan dengan tegas mendukung JK, namun hasilnya seperti tidak ada?

Dalam hal ini, umat rupanya juga benar-benar belajar dan menyerap pelajaran terutama dari para pemimpin mereka itu sendiri. Selama ini mereka diajari untuk mencintai ilmu agama dan amal; konsentrasi ke urusan akhirat; tidak menggandrungi dunia, pangkat, dan kekuasaan; tidak membawa-bawa NU atau pesantren ke ranah politik praktis.

Di lain pihak, mereka juga mengamati sepak terjang para kiai panutan mereka itu. Nah, mereka pun kemudian mendapatkan "ilmu" dan berpikir positif: sepanjang berkaitan dengan ilmu agama, amal, dan urusan akhirat; mereka akan ikut dan sam'an watha'atan kepada para kiai panutan mereka itu. Tapi, kalau soal dunia, pangkat, kekuasaan, dan politik praktis, mereka akan "ijtihad" sendiri.

Bahkan, tidak sedikit yang sengaja seperti "melawan" ketidaksesuaian ajaran panutan mereka dengan perilakunya, lalu memilih asal bukan pilihan panutannya itu. Maka terbukti; baik dalam pilkada, pileg, maupun pilpres; kebanyakan calon yang didukung para kiai -apalagi yang membawa institusi- selalu kalah.

Di ranah ini, dalam hal pengumpulan suara, para kiai seperti tidak mempunyai pengaruh apa-apa. JK orang pertama yang terkejut dengan hasil yang begitu jomplang antara perkiraan sebelum pemilu dan hasil sesudahnya. Sebelumnya, sudah ada yang terkejut seperti itu, termasuk para cagub dan cabup.

***

Demikianlah; rakyat dan umat sudah benar-benar belajar dan mengamalkan "ilmu titen", tapi rupanya tidak demikian halnya dengan kebanyakan para tokoh pemimpin mereka. Para kiai yang ikut sibuk ngurusi politik praktis ternyata tidak kunjung pandai dalam hal satu ini. (Tampaknya, sulit benar mereka memahami "khidaa" dalam "alharb"). Meski sudah sering berhubungan dengan umara dan politikus, tetap saja mereka tidak kunjung mengenal tipologi umara. Demikian pula sebaliknya, banyak umara dan politikus yang tidak kunjung mengenal tipologi kiai dan peta pengaruhnya.

Ya, rakyat Indonesialah yang cepat belajar. Karena itu, mereka tampak kian dewasa dan arif di hadapan demokrasi. Semoga para pemimpinnya segera belajar dari kedewasaan dan kearifan rakyat mereka. Mudah-mudahan yang menang tetap rendah hati dan berpikir: kemenangan adalah amanah dan bukan anugerah; selalu mengingat janji-janjinya saat kampanye. Sedangkan yang kalah tetap berjiwa besar laiknya pemimpin bangsa sejati dan berpikir: kekalahan adalah anugerah dan bukan musibah; mengabdi kepada Indonesia tidak harus menjadi presiden atau wakil presiden.

Akhirnya, Indonesia dan rakyat Indonesia akan memetik manfaatnya. Semoga. (*)
[ Jum'at, 10 Juli 2009 ]

*) KH A. Mustofa Bisri, rais Syuriah PB NU, pengasuh Ponpes Raudlatut Thalibin, Rembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar