Sabtu, 11 Juli 2009

Bukan Surga, Bukan Neraka


Di sekitar kita, tidak jarang kita melihat orang berkomat-kamit setelah mengikuti ceramah di surau atau masjid, mengomentari isi ceramah atau khutbah yang isinya hanya menakut-nakuti jamaah dengan neraka dan menghibur dengan surga.

Ceramah atau khutbah selama ini hanya berputar-putar di sekitar masalah itu saja. Karena seringnya ceramah yang monoton itu, tidak heran bila ada yang bertanya: Apakah dalam Islam tidak terdapat ajaran lain yang perlu dikemukakan selain surga dan neraka? Tujuan hidup pada akhirnya memang ke sana, namun Islam mengandung ajaran yang lengkap, meliputi segala aspek kehidupan, dunia dan akhirat.

Di antara sekian ragam ajaran Islam yang terpenting adalah ajaran tentang bagaimana mencintai Allah. Mencintai Allah tidak cukup dilakukan hanya dengan menjalankan syariat Islam (fikih), namun lebih daripada itu, harus pula dengan menyucikan hati (tasawuf). Fikih memusatkan perhatian pada sah tidaknya suatu amal perbuatan, serta pahala atau hukuman yang ditimbulkan. Sedangkan tasawuf memusatkan pada gerak-gerik hati dan kedekatan hubungan dengan Allah.

Berbeda dengan fikih, menjalankan tasawuf biasanya lebih diliputi dengan berbagai macam ujian, dari yang paling ringan sampai yang terberat. Yang ringan, misalnya, kesediaan untuk menolong binatang yang kehausan dengan memberikan air minum atau yang terberat misalnya kerelaan untuk mengorbankan jiwa dan segala milik kita. Ujian tersebut berfungsi untuk menempa atau mengukuhkan keimanan, dan selanjutnya menentukan peringkat derajat (maqom) sang sufi itu. Allah berfirman: Apakah mereka mengira bahwa mereka akan dibiarkan saja mengatakan 'kami telah beriman' sedang mereka tak diuji? (QS 29:2).

Selain memiliki fungsi peneguhan keimanan, ujian juga berfungsi sebagai sarana bagi manusia agar tidak terbuai oleh 'kemilau' dunia yang sesungguhnya hanyalah fatamorgana. Orang yang beriman diingatkan bahwa hakikat kebahagiaan bukanlah kelimpahan nikmat duniawi belaka melainkan kenikmatan menempuh jalan 'mendaki' menuju Allah untuk suatu perjumpaan dengan-Nya. Ini secara terminologis disebut tasawuf. Tasawuf adalah jalan menuju pertemuan dengan Allah, yang substansinya mencintai Allah (mahabbah ilallah).

Mencintai Allah bukan sesuatu yang 'eksklusif', yang hanya bisa dilakukan oleh alim ulama. Jika ada kemauan, siapa pun bisa mencintai Allah. Mengapa kita enggan mencintai Allah sedangkan Allah saja mencintai kita?

Allah berfirman: Kasih sayang-Ku meliputi segala sesuatu (QS 7:15). Allah menempuh berbagai cara dalam menunjukkan kasih sayang-Nya, di antaranya dengan memberikan teguran-teguran halus ataupun dengan mengaruniai kenikmatan yang melimpah, sebagaimana dinyatakan oleh sebuah ayat: Jika engkau hitung nikmat Allah, pastilah engkau tak sanggup menghitungnya (QS 8:29). Begitu sayang dan pemurah Allah kepada hamba-Nya. Maka, pantaslah kiranya Rasulullah pernah bersabda: Kamu belum beriman sebelum Allah dan Rasul-Nya lebih kamu cintai daripada selain keduanya.

Apabila kita sudah sampai pada pemahaman dan prilaku mencintai Allah sedemikian rupa, maka bukan neraka lagi yang menakutkan kita dan bukan pula surga yang menjadi impian indah kita. ahi

By Haikal Abram
Rabu, 01 Juli 2009 pukul 13:46:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar