Minggu, 12 Juli 2009

Inilah MOSES, Software Kelas Dunia Buatan Mahasiswa ITB


Sekali lagi keberhasilan putra-putri Indonesia di arena internasional. Tim "Big Bang" dari ITB berhasil memenangkan Imagine Cup 2009 untuk kategori Mobile Device Award. Selain Indonesia, Brasil dan Kroasia juga memenangi kategori yang sama dalam kompetisi yang diselenggarakan di Kairo ini.

Tim yang terdiri dari David Samuel, Dody Dharma, Dominikus Damas Putranto, dan Samuel Simon ini menang atas proyeknya yang diberi nama MOSES (Malaria Observation System and Endemic Surveillance). Aplikasi ini menggabungkan teknologi client runtime dengan aplikasi di PDA untuk melakukan diagnosis dan analisis terhadap pasien yang diduga terkena malaria secara cepat. Solusi ini diharapkan dapat membantu masyarakat yang berada di daerah terpencil agar dapat memperoleh pelayanan kesehatan secara cepat dan tepat.

"Big Bang" menciptakan sebuah virtual character (avatar) bernama Marceline, yang dapat membantu petugas kesehatan. Pada saat pendiagnosaan tersebut, Marceline akan bertanya kepada pasien beberapa hal sehubungan dengan penyakit malaria dengan teknologi yang disebut voice recognition.

Setelah seluruh data yang berhubungan dengan analisis tersebut didapat, petugas kesehatan juga dilengkapi dengan alat yang bernama PDAscope yang terdiri dari sebuah modifikasi mikroskop plus PDA. PDAscope ini menyerupai sebuah mikroskop asli yang dibuat dengan bahan-bahan yang murah. Hal tersebut merupakan pertimbangan dari "Big Bang" atas faktor ekonomis pada implementasi solusi ini.

PDAscope ini nantinya akan dapat menjadi alat pelengkap agar kamera yang berada pada PDA yang dapat meneropong sampel darah yang diambil dari tubuh pasien. Setelah PDA tersebut merekam hasil gambar dari sampel darah tersebut, petugas kesehatan dapat mengirimkan gambar sampel darah tersebut ke pusat kesehatan yang berada pada lokasi yang jauh dari tempat tersebut.

Moda komunikasi yang ditentukan untuk melakukan transmisi data tersebut adalah dengan menggunakan teknologi 3G. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa telecommunication provider di Indonesia akan segera memperluas daerah jangkauan layanan data pada lokasi-lokasi yang terpencil.

Setelah sampel darah yang dikirimkan diterima di pusat, aplikasi yang berada pada server penerima akan segera melakukan analisis terhadap sampel darah tersebut. Sistem akan melakukan analisis terhadap butiran-butiran darah yang dimaksud dengan melakukan pattern recognition atas parameter-parameter yang telah ditentukan sebelumnya, apakah butiran darah dari sampel darah tersebut terjangkit malaria. Sistem akan menentukan berdasarkan penghitungan jumlah butiran darah yang terjangkit malaria, apakah sampel darah yang dikirimkan benar-benar terbukti positif terjangkiti penyakit tersebut.

Proses penghitungan butiran darah tersebut merupakan sebuah kemajuan teknologi yang dibantu oleh neural network algorithm, metode yang membantu mempercepat penentuan hasil, apakah sebuah sampel darah tersebut terjangkit penyakit malaria atau tidak. Saat ini, untuk menentukan diagnosis masih menggunakan penghitungan manual yang cenderung memiliki tingkat kesalahan tinggi.

Segera setelah sistem memperoleh hasil dari pemeriksaan butiran darah tersebut, sistem akan otomatis mengirimkan hasil kepada petugas kesehatan yang masih berada di lapangan untuk melakukan penanganan.

Nah, kemenangan ini telah menunjukkan pengakuan dunia bahwa putra-putri Indonesia bisa membuat perangkat lunak kelas dunia. Namun, masih ditunggu, apakah ada niat baik atau dukungan pemerintah dan berbagai pihak agar perangkat lunak tersebut bisa digunakan dan bermanfaat, baik bagi masyarakat Indonesia, maupun dunia.

WAH

Jumat, 10 Juli 2009 | 19:24 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar