Jumat, 31 Juli 2009

The Key Major to Better Future is You


The major key to get our better future is ourself. Lock our mind onto that. This is a super important point to remember. The major key is we. Mr. Shoaff always answered when asked; “How do we develop an above average income?” by saying “Simple; become an above average person. Work on we.” Mr. Shoaff would say; “Develop an above average handshake.”

He would say; “A lot of people want to be successful; and they don’t even work on their handshake. As easy as that would be to start; they let this slide. They don’t understand.” Mr. Shoaff would say; “Develop an above average smile.

Develop an above average dedication. Develop an above average excitement. Develop an above average interest in other people.” He would say; “To have more; become more.” Remember; work harder on ourself than we do on our job. For a long time in my life; I did not have this figured out.

Strangely enough; with two different people in the same company one may earn an extra $100 a month; and the other may earn a $1;000. What could possibly be the difference? If the products were the same; if the training was the same; if they both had the same literature; the same tools.

If they both had the same teacher; the same compensation plan; if they both attended the same meetings; why would one person earn the $100 per month and the other person earn the $1000? Remember here is the difference…the difference is personal; inside; not outside; inside.

You see the real difference is inside we. In fact; the difference IS we. Someone once said; “The magic is not in the products. The magic is not in the literature. The magic is not in the film. There isn’t a magic meeting; but the magic that makes things better is inside we; and personal growth makes this magic work for we.

The magic is in believing. The magic is in daring. The magic is in trying. The real magic is in persevering. The magic is in accepting. It’s in working. The magic is in thinking. There is magic in a handshake. There is magic in a smile. There is magic in excitement and determination.

There is real magic in compassion and caring and sharing. There is unusual magic in strong feeling and we see; all that comes from inside; not outside. So; the difference is inside we. The real difference is we. You are the major key to our better future.

All Of things that can have an effect on our future; I believe personal growth is the greatest. We can talk about sales growth; profit growth; asset growth; but all of this probably will not happen without personal growth.

It is really the open door to this all. In fact I’d like to have we memorize a most important phrase. Here this is; “The major key to our better future is WE.”
Let me repeat that. “The Key Major to Better Future is You” Put that someplace we can see this everyday; in the bathroom; in the kitchen; at the office; anywhere where we can see this everyday. The major key to our better future is WE. Try to remember that every day we live and think about this. The major key is WE.

Now; there are many things that will help our better future. If we belong to a strong; dynamic and progressive company; that would help. If the company has good products; good services that we are proud of; that would certainly help. If there were good sales aids; that would help; good training would certainly help.

If there is strong leadership that will certainly help. All of these things will help; and of course; if this doesn’t storm; that will help. If our car doesn’t break down; that will help. If the kids don’t get sick; that will help. If the neighbors stay half way civil; that will help. If our relatives don’t bug we; that will help.

If this isn’t too cold; if this isn’t too hot; all those things will help our better future. And if prices don’t go much higher and if taxes don’t get much heavier; that will help. And if the economy stays stable; those things will all help. We could go on and on with the list; but remember this; the list of things that I’ve just covered and many more -all put together- play a minor role in our better future.

To Your Success;
Jim Rohn

http://www.resensi.net/the-key-major-to-better-future-is-you/2009/03/09/

Setan atau Malaikat?


Mahluk yang paling menakjubkan adalah manusia, karena dia bisa memilih untuk menjadi “setan atau malaikat”.
–John Scheffer-


Dari pinggir kaca nako, di antara celah kain gorden, saya melihat lelaki itu mondar-mandir di depan rumah. Matanya berkali-kali melihat ke rumah saya. Tangannya yang dimasukkan ke saku celana, sesekali mengelap keringat di keningnya.

Dada saya berdebar menyaksikannya. Apa maksud remaja yang bisa jadi umurnya tak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU itu? Melihat tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk dengan keluarga saya? Mau merampok? Bukankah sekarang ini orang merampok tidak lagi mengenal waktu? Siang hari saat orang-orang lalu-lalang pun penodong bisa beraksi, seperti yang banyak diberitakan koran. Atau dia punya masalah dengan Yudi, anak saya?

Kenakalan remaja saat ini tidak lagi enteng. Tawuran telah menjadikan puluhan remaja meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu salah semua. Tapi mengingat peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, saya mengunci seluruh pintu dan jendela rumah. Di rumah ini, pukul sepuluh pagi seperti ini, saya hanya seorang diri. Kang Yayan, suami saya, ke kantor. Yudi sekolah, Yuni yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi Nia sudah seminggu tidak masuk.

Jadi kalau lelaki yang selalu memperhatikan rumah saya itu menodong, saya bisa apa? Pintu pagar rumah memang terbuka. Siapa saja bisa masuk.

Tapi mengapa anak muda itu tidak juga masuk? Tidakkah dia menunggu sampai tidak ada orang yang memergoki? Saya sedikit lega saat anak muda itu berdiri di samping tiang telepon. Saya punya pikiran lain. Mungkin dia sedang menunggu seseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja yang janjian untuk bertemu di tiang telepon itu. Saya memang tidak mesti berburuk sangka seperti tadi. Tapi dizaman ini, dengan peristiwa-peristiwa buruk, tenggang rasa yang semakin menghilang, tidakkah rasa curiga lebih baik daripada lengah?

Saya masih tidak beranjak dari persembunyian, di antara kain gorden, di samping kaca nako. Saya masih was-was karena anak muda itu sesekali masih melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan di dunia ini yang tidak ada jawabannya.

Terlintas di pikiran saya untuk menelepon tetangga. Tapi saya takut jadi ramai. Bisa-bisa penduduk se-kompleks mendatangi anak muda itu. Iya kalau anak itu ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada yang memukul.

Tiba-tiba anak muda itu membalikkan badan dan masuk ke halaman rumah. Debaran jantung saya mengencang kembali. Saya memang mengidap penyakit jantung. Tekad saya untuk menelepon tetangga sudah bulat, tapi kaki saya tidak bisa melangkah. Apalagi begitu anak muda itu mendekat, saya ingat, saya pernah melihatnya dan punya pengalaman buruk dengannya. Tapi anak muda itu tidak lama di teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas pintu dan bergegas pergi. Saya masih belum bisa mengambil benda itu karena kaki saya masih lemas.

Saya pernah melihat anak muda yang gelisah itu di jembatan penyeberangan, entah seminggu atau dua minggu yang lalu. Saya pulang membeli bumbu kue waktu itu. Tiba-tiba di atas jembatan penyeberangan, saya ada yang menabrak, saya hampir jatuh. Si penabrak yang tidak lain adalah anak muda yang gelisah dan mondar-mandir di depan rumah itu, meminta maaf dan bergegas mendahului saya. Saya jengkel, apalagi begitu sampai di rumah saya tahu dompet yang disimpan di kantong plastik, disatukan dengan bumbu kue, telah raib.

Dan hari ini, lelaki yang gelisah dan si penabrak yang mencopet itu, mengembalikan dompet saya lewat celah di atas pintu. Setelah saya periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang selalu saya simpan di dompet bila bepergian, dan surat-surat penting, tidak ada yang berkurang.

Lama saya melihat dompet itu dan melamun. Seperti dalam dongeng. Seorang anak muda yang gelisah, yang siapa pun saya pikir akan mencurigainya, dalam situasi perekonomian yang morat-marit seperti ini, mengembalikan uang yang telah digenggamnya. Bukankah itu ajaib, seperti dalam dongeng. Atau hidup ini memang tak lebih dari sebuah dongengan?

Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong plastik hitam itu saya menemukan surat yang dilipat tidak rapi. Saya baca surat yang berhari-hari kemudian tidak lepas dari pikiran dan hati saya itu. Isinya seperti ini:

—–

“Ibu yang baik…, maafkan saya telah mengambil dompet Ibu. Tadinya saya mau mengembalikan dompet Ibu saja, tapi saya tidak punya tempat untuk mengadu, maka saya tulis surat ini, semoga Ibu mau membacanya.

Sudah tiga bulan saya berhenti sekolah. Bapak saya di-PHK dan tidak mampu membayar uang SPP yang berbulan-bulan sudah nunggak, membeli alat-alat sekolah dan memberi ongkos. Karena kemampuan keluarga yang minim itu saya berpikir tidak apa-apa saya sekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi yang membuat saya sakit hati, Bapak kemudian sering mabuk dan judi buntut yang beredar sembunyi-sembunyi itu.

Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar sekolah. Emak berjualan goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adik saya membantu mengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantu untuk beli beras.

Saya sadar, kalau keadaan seperti ini, saya harus berjuang lebih keras. Saya mau melakukannya. Dari pagi sampai malam saya bekerja. Tidak saja jualan koran, saya juga membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang (sambil hiburan) saya ngamen. Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak sering gagal belajar menabung dan saya maklum), masih juga diminta Bapak untuk memasang judi kupon gelap. Bilangnya nanti juga diganti kalau angka tebakannya tepat. Selama ini belum pernah tebakan Bapak tepat. Lagi pula Emak yang taat beribadah itu tidak akan mau menerima uang dari hasil judi, saya yakin itu.

Ketika Bapak semakin sering meminta uang kepada Emak, kadang sambil marah-marah dan memukul, saya tidak kuat untuk diam. Saya mengusir Bapak. Dan begitu Bapak memukul, saya membalasnya sampai Bapak terjatuh-jatuh. Emak memarahi saya sebagai anak laknat. Saya sakit hati. Saya bingung. Mesti bagaimana saya?

Saat Emak sakit dan Bapak semakin menjadi dengan judi buntutnya, sakit hati saya semakin menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati oleh siapa. Hanya untuk membawa Emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak yang semakin sering tidur entah di mana, tidak perduli. Hampir saya memukulnya lagi.

Di jalan, saat saya jualan koran, saya sering merasa punya dendam yang besar tapi tidak tahu dendam oleh siapa dan karena apa. Emak tidak bisa ke dokter. Tapi orang lain bisa dengan mobil mewah melenggang begitu saja di depan saya, sesekali bertelepon dengan handphone. Dan di seberang stopan itu, di warung jajan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan.

Maka tekad saya, Emak harus ke dokter. Karena dari jualan koran tidak cukup, saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bus kota, tapi saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat dingin malah membasahi baju. Saya gagal jadi pencopet.

Dan begitu saya melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibu memasukkan dompet ke kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu. Di atas jembatan penyeberangan, saya pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil dompet. Saya gembira ketika mendapatkan uang 300 ribu lebih.

Saya segera mendatangi Emak dan mengajaknya ke dokter. Tapi Ibu…, Emak malah menatap saya tajam. Dia menanyakan, dari mana saya dapat uang. Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu tabungan saya, atau meminjam dari teman. Tapi saya tidak bisa berbohong. Saya mengatakan sejujurnya, Emak mengalihkan pandangannya begitu saya selesai bercerita.

Di pipi keriputnya mengalir butir-butir air. Emak menangis. Ibu…, tidak pernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya ingin berteriak. Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 300 ribu lebih sebenarnya saya bisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa saya jadi pencuri. Tidak perduli dengan Ibu, dengan orang-orang yang kehilangan. Karena orang-orang pun tidak perduli kepada saya. Tapi saya tidak bisa melakukannya. Saya harus mengembalikan dompet Ibu. Maaf.”

—–

Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali saya baca. Berhari-hari saya mencari-cari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap stopan tempat puluhan anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di taman-taman. Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi. Siapapun yang berada di stopan, tidak mengenal anak muda itu ketika saya menanyakannya.

Lelah mencari, di bawah pohon rindang, saya membaca dan membaca lagi surat dari pencopet itu. Surat sederhana itu membuat saya tidak tenang. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikiran dan perasaan saya. Saya tidak lagi silau dengan segala kemewahan. Ketika Kang Yayan membawa hadiah-hadiah istimewa sepulang kunjungannya ke luar kota, saya tidak segembira biasanya.Saya malah mengusulkan oleh-oleh yang biasa saja.

Kang Yayan dan kedua anak saya mungkin aneh dengan sikap saya akhir-akhir ini. Tapi mau bagaimana, hati saya tidak bisa lagi menikmati kemewahan. Tidak ada lagi keinginan saya untuk makan di tempat-tempat yang harganya ratusan ribu sekali makan, baju-baju merk terkenal seharga jutaan, dan sebagainya.

Saya menolaknya meski Kang Yayan bilang tidak apa sekali-sekali. Saat saya ulang tahun, Kang Yayan menawarkan untuk merayakan di mana saja. Tapi saya ingin memasak di rumah, membuat makanan, dengan tangan saya sendiri. Dan siangnya, dengan dibantu Bi Nia, lebih seratus bungkus nasi saya bikin. Diantar Kang Yayan dan kedua anak saya, nasi-nasi bungkus dibagikan kepada para pengemis, para pedagang asongan dan pengamen yang banyak di setiap stopan.

Di stopan terakhir yang kami kunjungi, saya mengajak Kang Yayan dan kedua anak saya untuk makan bersama. Diam-diam air mata mengalir dimata saya.

Yuni menghampiri saya dan bilang, “Mama, saya bangga jadi anak Mama.” Dan saya ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak lainnya.

Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)
http://www.resensi.net/setan-atau-malaikat/2009/02/04/

Guru dan Semangatnya


Menjadi guru, bukanlah pekerjaan mudah. Didalamnya, dituntut pengabdian, dan juga ketekunan. Harus ada pula kesabaran, dan welas asih dalam menyampaikan pelajaran. Sebab, sejatinya, guru bukan hanya mendidik, tapi juga mengajarkan.
Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu menjalankannya.

Menjadi guru juga bukan sesuatu yang gampang. Apalagi, menjadi guru bagi anak-anak yang mempunyai “keistimewaan”. Dan saya, merasa beruntung sekali dapat menjadi guru mereka, walau cuma dalam beberapa jam saja. Ada kenikmatan tersendiri, berada di tengah anak-anak dengan latar belakang Cerebral Palsy (sindroma gangguan otak belakang).

Suatu ketika, saya diminta untuk mendampingi seorang guru, di sebuah kelas khusus bagi penyandang cacat. Kelas itu, disebut dengan kelas persiapan, sebuah kelas yang berada dalam tingkatan awal di YPAC Jakarta. Lazimnya, anak-anak disana berumur antara 9-12 tahun, tapi kemampuan mereka setara dengan anak berusia 4-5 tahun, atau kelas 0 kecil.

Saat hadir disana, kelas tampak ramai. Mereka rupanya sedang bermain susun bentuk dan warna. Ada teriak-teriakan ganjil yang parau, dan hentakan-hentakan kepala yang konstan dari mereka. Ada pula tangan-tangan yang kaku, yang sedang menyusun keping-keping diagram. Disana-sini terserak mainan kayu dan plastik. Riuh. Bangku-bangku khusus berderak-derak, bergesek dengan kursi roda sebagian anak yang beradu dengan lantai.

Saya merasa canggung dengan semua itu. Namun, perasaan itu hilang, saat melihat seorang guru yang tampak begitu telaten menemani anak-anak disana. “Mari masuk, duduk sini dekat Si Abang, dia makin pinter lho bikin huruf,” begitu panggilnya
kepada saya. Saya berjalan, melewati anak-anak yang masih sibuk dengan tugas mereka. Ah benar saja, si Abang, anak berusia 11 tahun yang mengalami Cerebral Palsy dengan pembesaran kepala itu, tampak tersenyum kepada saya. Badannya melonjak-lonjak, tangannya memanggil-manggil seakan ingin pamer dengan kepandaiannya menyusun huruf.

Subhanallah, si Abang kembali melonjak-lonjak. Saya kaget. Saya tersenyum. Dia tergelak tertawa. Tak lama, kami pun mulai akrab. Dia tak malu lagi dibantu menyusun angka dan huruf. Susun-tempel-susun-tempel, begitu yang kami lakukan.Aaahhh, saya mulai menikmati pekerjaan ini. Dia pun kini tampak bergayut di tangan saya. Tanpa terasa, saya mengelus kepalanya dan mendekatkannya ke dada. Terasa damai dan hangat.

Sementara di sudut lain, sang Ibu guru tetap sabar sekali menemani semua anak disana. Dituntunnya tangan anak-anak itu untuk meniti susunan-susunan gambar.
Dibimbingnya setiap jemari dengan tekun, sambil sesekali mengajak mereka tersenyum. Tangannya tak henti mengusap lembut ujung-ujung jemari lemah itu. Namun, tak pernah ada keluh, dan marah yang saya dengar.

Waktu berjalan begitu cepat. Dan kini, waktunya untuk pulang. Setelah membereskan beberapa permainan, anak-anak pun bersiap di bangku masing-masing. Dduh, damai sekali melihat anak-anak itu bersiap dengan posisi serapih-rapihnya.
Tangan yang bersedekap diatas meja, dan tatapan polos kearah depan, saya yakin, membuat setiap orang tersenyum. Ibu guru pun mulai memimpin doa, memimpin setiap anak untuk mengatupkan mata dan memanjatkan harap kepada Tuhan.

Damai. Damai sekali mata-mata yang mengatup itu. Teduh. Teduh sekali melihat mata mereka semua terpejam. Empat jam sudah saya bersama “malaikat-malaikat” kecil itu. Lelah dan penat yang saya rasakan, tampak tak berarti dibanding dengan pengalaman batin yang saya alami. Kini, mereka bergerak, berbaris menuju pintu keluar. Tampak satu persatu kursi roda bergerak menuju ke arah saya. Ddduh, ada apa ini?

Lagi-lagi saya terharu. Setibanya di depan saya, mereka semua terdiam, mengisyarat = kan untuk mencium tangan. Ya, mereka mencium tangan saya, sambil berkata, “ Selamat siang Pak Guru..” Ah, perkataan yang tulus yang membuat saya melambung. Pak guru…Pak Guru, begitu ucap mereka satu persatu. Kursi roda mereka berderak-derak setiap kali mereka mengayuhnya menuju ke arah saya. Derak-derak itu kembali membuat saya terharu, membayangkan usaha mereka untuk sekedar mencium tangan saya.

Anak yang terakhir telah mencium tangan saya. Kini, tatapan saya bergerak ke samping, ke arah punggung anak-anak yang berjalan ke pintu keluar. Dalam dia saya berucap, “..selamat jalan anak-anak, selamat jalan malaikat-malaikat kecilku…” Saya membiarkan airmata yang menetes di sela-sela kelopak. Saya biarkan bulir itu jatuh, untuk melukiskan perasaan haru dan bangga saya. Bangga kepada perjuangan mereka, dan juga haru pada semangat yang mereka punya.

***

Teman,menjadi guru bukan pekerjaan mentereng. Menjadi guru juga bukan pekerjaan yang gemerlap. Tak ada kerlap-kerlip lampu sorot yang memancar, juga pendar-pendar cahaya setiap kali guru-guru itu sedang membaktikan diri. Sebab mereka memang bukan para pesohor, bukan pula bintang panggung.

Namun, ada sesuatu yang mulia disana. Pada guru lah ada kerlap-kerlip cahaya kebajikan dalam setiap nilai yang mereka ajarkan. Lewat guru lah memancar pendar - pendar sinar keikhlasan dan ketulusan pada kerja yang mereka lakukan. Merekalah sumber cahaya-cahaya itu, yang menyinari setiap hati anak-anak didik mereka.

Dari gurulah kita belajar mengeja kata dan kalimat. Pada gurulah kita belajar lamat - lamat bahasa dunia. Lewat guru, kita belajar budi pekerti, belajar mengasah hati, dan menyelami nurani. Lewat guru pula kita mengerti tentang banyak hal-hal yang tak kita pahami sebelumnya. Tak berlebihankah jika kita menyebutnya sebagai pekerjaan yang mulia ?

Teman, jika ingin merasakan pengalaman batin yang berbeda, cobalah menjadi guru.
Rasakan kenikmatan saat setiap anak-anak itu memanggil Anda dengan sebutan itu, dan biarkan mata penuh perhatian itu memenuhi hati Anda. Ada sesuatu yang berbeda disana. Cobalah. Rasakan.

http://www.resensi.net/guru-dan-semangatnya/2009/06/29/

Menggali Dan Mewujudkan Impian Terdalam


Mungkin sebagian besar dari kita sudah lupa apa yang kita impian pada saat masih anak-anak. Kenyataan membuat kita semua menyerah untuk menggapai mimpi, yang dulu benar-benar kita harapkan jadi nyata. Sebenarnya, tidaklah mustahil untuk terus bermimpi dan menjadikannya nyata. Berikut kami berikan 10 panduan untuk menemukan kembali hasrat terdalam Anda dan mengusahakannya jadi kenyataan.

1. Melatih Peduli Diri Yang Ekstrim

Yang pertama dan langkah penting untuk menemukan impian terdalam dalam hidup Anda, adalah perhatian yang luar biasa bagus pada diri sendiri! Saat Anda mati rasa dan satu-satunya cara yang membuat Anda senang adalah meratapi diri, hasrat Anda akan turut tenggelam, bahkan tanpa Anda menyadarainya. Jadi mulailah meperhatikan diri sendiri sebaik-baiknya. Apa aktivitas pemeliharaan diri sehari-hari yang dapat Anda lakukan? Nikmatilah itu.

2. Dengarkan Isyarat Tubuh

Apa Anda mengetahui saat tubuh Anda berkata 'Tidak'? Sebagian besar dari kita melakukan pekerjaan dan tak bisa mendapat kesenangan lantaran tubuh kita berkata 'Tidak'. Kerap kali kita merasa mual, sakit kepala, sakit perut, otot leher yang tegang. Segala ketegangan dan rasa sakit! Sulit bagi tubuh kita untuk berpura-pura. Itulah sebabnya deteksi kebohongan itu sangat nyata. Jadi jika Anda ingin mempercayai hasrat Anda dengarkan apa kata tubuh Anda. Dengarkan saat itu berkata 'Ya'. Lihat energi berlebih (rasa takut juga termasuk), kesenangan dan kegembiraan.

3. Jelajahi Hasrat Anda

Hasrat adalah sebuah perasaan, jadi perhatikanlah. Subyek , aktivitas, majalah atau topik apa yang paling Anda minati? Bersenang-senanglah dengan itu. Buat daftar tentang apa yang benar-benar mearik perhatian Anda dan lihat temanya. Sekarang mulai jelajahi hasarat terkuat Anda.

4. Biarkan Diri Anda Bermimpi

Saat kita beranjak dewasa, seringkali kita berhenti bermimpi dan memilih untuk lebih realistis. Masalahnya kita jadi kehilangan jalur dari apa yang benar-benar kita minati. Jadi, kini mulailah membangkitkan kembali mimpi-mimpi liar Anda dan lakukan dengan sebebas mungkin. Lihat kembali setiap wilayah dalam kehidupan Anda dan tulisakan gagasan yang datang dari visi-visi dari wilayah yang benar-benar Anda minati.

5. Lihat Impian Yang Menghantui Anda

Apakah Anda pernah memiliki sebuah impian yang terus menghantui Anda? Apakah Anda pernah mengatakan sesuatu seperti, 'Aku akan senang sekali jika bisa memulai bisnisku sendiri.' Atau 'Suatu hari aku akan mengubah hobi ini menjadi karir.' Beri perhatian lebih dalam pada impian-impian 'yang melekat' ini. Kerap kali kita menemukan pemenuhan impian hanya dengan cara sederhana, hanya perlu melihat kembali melihat ke belakang, dan menemukan impian apa yang terus menerus mengusik hati kecil Anda.

6. Perluas Visi Anda

Sebagian besar dari kita memiliki visi kecil yang tersimpan untuk kehidupan kita. Kita merasa takut untuk meraih sesuatu yang lebih besar. Apakah itu cukup memiliki nilai? Dapatkah kita melakukannya? Pasti! Ini saatnya berkembang dan memperluas visi itu! Temukan hadiah apa yang dapat Anda berikan untuk orang lain. Putuskan apa yang benar-benar penting untuk disempurnakan. Desain kehidupan hasrat Anda dan buat langkah untuk mewujudkannya. Sebuah visi akan menjadi nyata hanya jika kita mengambil tindakan untuk mewujudkannya!

7. Temukan Sisi Jenius Anda

Kita semua diberkati dengan kekuatan dan bakat. Ini merupakan hadiah luar biasa untuk sepanjang hidup kita. Kita seringkali melewatkannya hanya karena itu begitu mudah untuk kita lakukan. Saat kita sudah biasa dan maka itu berarti sedang menjalankan 'level jenius' yang kita miliki. Atasi kelemahan dan Anda akan jadi kompeten. Tapi lebih penting lagi, kembangkan berkat sisi unik Anda dan Anda membuat Anda jadi jenius.

8.Bersihkan Kepercayaan Yang Tersumbat

Seringkali kita berhenti menciptakan hasrat hidup kita dengan 'menyumbat keyakinan'. Dan sejatinya, itu juga telah menyumbat kehidupan impian kita. Keyakinan yang kita miliki datang dari pengalaman di masa lalu, orang tua kita, guru, teman-teman yang mangatakan kalau kita seharusnya berbuat sesuatu. Ini saatnya untuk melihat kembali semua itu dan harga yang telah kita bayar untuk meyakini hal itu. Hapus semua yang mengahambat keyakinan! Dan mulai meyakininya untuk memberi nafas kehidupan pada impian Anda.

9. Buat Rencana

Semua impian di dunia tak akan mengubah kehidupan tanpa adanya usaha. Ketika Anda memiliki sebuah gagasan tentang pekerjaan apa yang benar-benar Anda harapkan, mulailah mengambil langkah pertama. Buat sebuah rencana yang akan membantu Anda menjelajahi gagasan itu. Sungguh menakjubkan mengetahui seberapa banyak pintu yang akan terbuka saat Anda mulai membuat rencana dan bertindak!

10. Rayakan Kesuksesan Anda

Perayaan merupakan hal yang paling penting! Mulai dengan perayaan di setiap langkah kecil dalam mewujudkan impian Anda. Kenapa? Pertama, karena ini menyenangkan! Kedua, merayakan setiap kesuksesan kecil membantu Anda untuk tetap fokus pada kesuksesan dan mempertahankan motivasi Anda untuk terus bergerak maju.

Nah, apakah impian masa kecil Anda masih berharga untuk diwujudkan? Temukanlah
jawabannya!! (artb/erl)

Jum'at, 13 April 2007 17:09
KapanLagi.com
http://www.kapanlagi.com/a/10-langkah-menggali-dan-mewujudkan-impian-terdalam.html

Impian Sejati


Suatu hari, ada seorang muda yang bertemu dengan seorang tua yang bijaksana. Si anak muda bertanya, “Pak, sebagai seorang yang sudah kenyang dengan pengalaman tentunya anda bisa menjawab semua pertanyaan saya”.


“Apa yang ingin kau ketahui anak muda ?” tanya si orang tua. “Saya ingin tahu, apa sebenarnya yang dinamakan impian sejati di dunia ini”. Jawab si anak muda.

Orang tua itu tidak menjawab pertanyaan si anak, tapi mengajaknya berjalan-jalan di tepi pantai. Sampai di suatu sisi, kemudian mereka berjalan menuju ke tengah laut. Setelah sampai agak ke tengah di tempat yang lumayan dalam, orang tua itu dengan tiba-tiba mendorong kepada si anak muda ke dalam air.

Anak muda itu meronta-2, tapi orang tua itu tidak melepaskan pegangannya. Sampai kemudian anak muda itu dengan sekuat tenaga mendorong keatas, dan bisa lepas dari cekalan orang tua tersebut.

“Hai, apa yang barusan bapak lakukan, bapak bisa membunuh saya” tegur si anak muda kepada orang bijak tersebut. Orang tua tersebut tidak menjawab pertanyaan si anak, malah balik bertanya ,”Apa yang paling kau inginkan saat kamu berada di dalam air tadi ?”. “Udara, yang paling saya inginkan adalah udara”. Jawab si anak muda.

“Hmmm, bagaimana kalo saya tawarkan hal yang lain sebagai pengganti udara, misalnya emas, permata, kekayaaan, atau umur panjang ?”tanya si orang tua itu lagi.

“Tidak ….. tidak …… tidak ada yang bisa menggantikan udara. Walaupun seisi dunia ini diberikan kepada saya, tidak ada yang bisa menggantikan udara ketika saya berada di dalam air” jelas si anak muda.

Nah, kamu sudah menjawab pertanyaanmu sendiri kalau begitu.
KALAU KAMU MENGINGINKAN SESUATU SEBESAR KEINGINANMU AKAN UDARA KETIKA KAMU BERADA DI DALAM AIR, ITULAH IMPIAN SEJATI   kata si orang tua dengan bijak.

Apakah anda saat ini mempunyai impian sejati ? 

Banyak orang yang mengatakan impian mereka ini, atau itu, tapi sebagian besar yang mereka sebutkan adalah keinginan belaka, bukan impian. Keinginan sifatnya tidak mendesak. Kalo bisa dapat syukur, nggak dapat juga tidak apa-apa. Kalo bisa mobil BMW, kalo nggak, Kijang juga gak apa-2.

Ada pula orang yang mempersepsikan impian dengan harapan. Keduanya mirip namun berbeda. Harapan lebih kepada sesuatu di masa depan yang terjadi dengan sendirinya atau atas hasil kerja orang lain. Campur tangan kita kecil sekali, atau bahkan tidak ada. Impian tidak seperti itu. Apapun yang terjadi, mau tidak mau, dengan perjuangan sekeras apapun impian itu HARUS tercapai.

Impian terbaik seorang manusia adalah ketika dia berusia dibawah lima tahun. “Saya mau jadi dokter, mau jadi pilot, mau jadi pengusaha, dll ……” bukankah itu yang kerap dikatakan oleh anak-anak anda ?

Sayangnya, begitu mereka menginjakkan kaki di bangku sekolah, mereka `diharamkan’ membuat kesalahan. Selain itu, mereka juga mulai diajarkan melihat realitas dunia – dari sisi yang negatif.

Menurut sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika, seorang remaja hingga dia berusia 20 tahun, rata-rata akan menerima 20.000 macam kata “NO”. “Jangan nakal, jangan main air, jangan kesana,jangan malas, jangan pergi, dan ribuan kata jangan yang lain. Memang tujuannya baik karena mengajarkan kepada kita agar dapat hidup dengan baik. Tapi karena terlampau seringnya kata “NO’ itu diterima, akan mempengaruhi pula alam bawah sadar manusia. Sehingga setiap kali kita memikirkan sesuatu yang baru, misalnya impian, yang pertama kali terlintas di benak kita adalah kata “NO”.

Banyak juga orang saat ini apabila ditanya apa impiannya, mereka menjawab tidak tahu. Sungguh malang nasib orang tersebut, karena orang yang tidak mempunyai impian sebetulnya secara mental mereka sudah `mati’. Mungkin orang-2 tersebut menganggap hidup adalah suatu nasib, sehingga sekeras apapun mereka bekerja atau setinggi apapun impian mereka, namun apabila nasib tidak menghendaki mereka sukses, mereka tidak akan sukses.

Atau ada pula type orang yang terjebak di dalam `comfort zone’, dimana kehidupan mereka saat ini sudah nyaman, atau setidaknya berkecukupan. Mereka merasa tidak perlu membuat suatu impian yang lebih besar. Mereka mungkin akan berkata “Ah, buat apa rumah besar-besar …. Bisa ngontrak aja sudah bagus ……”.

Type ketiga, ada orang yang SENGAJA tidak mau membuat impian, karena ……. malu jika ditertawakan orang lain, dianggap norak, nggak tau diri, atau bahkan gila. Nah, sebenarnya bukan anda yang norak, tapi karena hidup kita sudah terlalu penuh dikelilingi oleh orang-orang dengan pikiran negatif, dimana mereka akan merasa `tidak suka’ jika ada seseorang yang tadinya setingkat dengan mereka, lalu mau pergi ke tingkat yang lebih tinggi. Mereka akan berusaha dengan ejekan, sindiran dan usaha-usaha lain agar anda tetap `selevel’ dengan mereka. Kalau anda ingin membuktikan, coba besok pagi di kantor, katakan kepada rekan-2 anda , “Saya punya impian untuk jadi orang sukses. Saya akan berusaha keras mencapainya, untuk membawa saya dan keluarga saya ke tingkat yang lebih baik”. Lalu coba lihat ….. berapa banyak yang mentertawakan anda ….. Dan coba lihat pula berapa orang yang mendukung anda. Mungkin hampir tidak ada yang mendukung anda. Masih maukah anda meraih impian tersebut ….. setelah anda ditertawakan ….?

Sahabat situs motivasi resensi.net sekalian, saya yakin kita saat ini masih mampu menciptakan impian-2 kita, asalkan kita mau menghilangkan segala penghalang di dalam benak kita. Cobalah untuk berpikir bebas, seperti anak berusia 5 tahun. Jangan hiraukan apa yang dikatakan orang tentang impian anda, tapi berusahalah agar impian itu tercapai.

Memang benar, kita tidak akan bisa mencapai semua impian kita. Tapi tanpa punya impian, anda tidak akan meraih apa-apa. Ciptakan impian, lakukan kerjanya, dan raih hasilnya !

Semoga sukses !




Motivational Quotes

There are many people who have big plans but their big plans never come true. The reason is, too many people have big plans but fail to keep their small agreements
- Robert Kiyosaki -

The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams
- Eleanor Roosevelt -

What ever the mind of man can conceive & believe, it can achieve !
- Napoleon Hill -

Most of the important things in the world have been accomplished by people who have kept on trying when there seemed to be no hope at all
- Dale Carnegie -

I can not give you the formula for success, but I can give you the formula for failure, which are try, try and try  - Herbert Bayard Swope -


http://www.resensi.net/impian-sejati/2007/11/14/

Perjuangan Menjadi Muslim Amerika: Islam Substansial atau Islam Arab?

Muhammad (40 tahun) menangis terisak-isak. Hatinya hancur. Imigran asal Aljazair itu bercerita bahwa puteranya yang baru beranjak dewasa memilih menjadi ateis ketimbang Muslim. Sementara itu, para jemaat masjid yang lain hanya bisa termangu pasrah, mendengar bagaimana budaya sekular Amerika mempertunjukkan keperkasaannya.

Itu hanyalah sepenggal di antara banyak kisah sedih keluarga Muslim yang gagal meninggalkan jejak Islam di negara baru mereka. Sebagian besar putera-puteri mereka melakukan konformitas budaya, mengikuti gaya hidup yang materialistis dan sekular, yang secara dominan dipraktikkan di Amerika Serikat.

Jeffrey Lang seorang mualaf kulit putih Anglo-Saxon Amerika Serikat. Dalam sebagian besar kandungan buku Even Angles Ask: A Journey Islam in Amerika, Lang menuturkan betapa konflik budaya, konflik pemikiran, yang menghadang generasi muda Muslim maupun mualaf (pemeluk baru), merupakan persoalan dalam perkembangan Islam di Amerika Serikat.

Ada beberapa kelompok masyarakat di Amerika yang sukar menerima Islam sebagai bagian budaya Amerika. Pertama, generasi muda Muslim yang lahir dan besar di negara itu dan cenderung ingin menjadi “orang Amerika” ketimbang “orang Arab.” Kedua, para mualaf kulit putih Amerika yang terbiasa dengan rasionalitas, yang akhirnya murtad karena tidak bisa menerima kedangkalan berpikir komunitas Muslim yang terdominasi budaya Arab. Ketiga, masyarakat Amerika yang mempunyai stereotip bahwa menjadi Muslim berarti menjadi orang Arab.

Lang mengakui, sukar memang membantah stereotip, atau stigma tersebut. Sebab, “Ketika muncul dalam berita, para Muslilm Amerika selalu berpakaian dalam jubah Timur Tengah,” tulis Lang mengambil contoh (h.132). Selain itu, tambah Lang, simbol-simbol seperti pakaian Timur Tengah, ucapan-ucapan Arab, atau berjanggut, meneguhkan semua anggapan itu, sampai-sampai para mualaf dan sahabat Lang berkomentar kepadanya bahwa kaum Muslim mungkin mengira bahwa Tuhan “hanya mengerti bahasa Arab.”

Tidak heran, warga setempat yang masuk Islam mengalami krisis identitas dan konflik budaya. Di satu sisi mereka ditolak komunitas mereka sendiri, didiskrimnasi lantaran dianggap melakukan pengkhianatan budaya. Tapi, di sisi lain, mereka pun tidak diterima komunitas Muslim sepenuhnya, karena sukar mengadaptasikan budaya Amerika yang sudah tertanam semenjak kecil, dengan budaya Arab yang asing.

Ketika mengkritik praktik dan pandangan yang bercorak Arab tradisional, sebagai contoh, sering malah mereka dituding kebarat-baratan dan dicap “tidak islami.” Apalagi, jika seorang Muslim mempertanyakan hukum Islam klasik atau kebiasaan yang mapan, ia dibungkam dengan tuduhan “hendak mengubah agama” (h.142).

Seorang Muslim justru dianggap saleh jika semakin menampilkan kebiasaan lahiriah yang tidak penting semisal mengenakan sorban, gamis, memanjangkan janggut, dan mengucapkan idiom-idiom Arab. Disebabkan oleh pemahaman yang remah ini, sebagian mualaf kulit putih berupaya keras menjadi “orang Arab” agar dapat diterima komunitas Muslim. Hal-hal seperti ini lagi-lagi semakin memperkuat stereotip warga Amerika bahwa Islam identik dengan Arab.

“Saya teringat suatu ceramah yang saya hadiri di sebuah universitas sewaktu pertama kali saya tertarik dengan Islam. Pembicaranya — seorang mualaf Amerika yang mengenakan busana mirip pakaian Saudi Arabia — terus-menerus menyisipkan dalam presentasinya istilah-istilah Arab yang diucapkan dengan buruk, seolah-olah segenap khalayaknya akrab dengan istilah-istilah itu. Suasana seperti itu menciptakan begitu banyak kesenjangan dalam pemahaman saya sehingga pembicaraannya, bagi saya, secara praktis tidak bisa dipahami. Saya tinggalkan ceramah itu dengan perasaan bahwa untuk menjadi seorang Muslim seseorang harus menjadi seorang Arab,” tulis Lang (h.31).

Lang hendak mengungkapkan bahwa konflik yang terjadi sesungguhnya bukan antara Islam dengan Amerika, melainkan antara “budaya Arab yang kolot dan konservatif” dengan “budaya yang rasional dan modern.”

Misalnya, pandangan orang Arab mengenai peran gender membuat tidak sedikit wanita kulit putih Amerika mengundurkan diri dari niat mempelajari Islam. Lang pernah menyaksikan, sebagai contoh, seorang wanita kulit putih Amerika memutuskan tidak jadi memeluk Islam karena gerah mendengar pertengkaran para jemaat Masjid tentang boleh tidaknya seorang perempuan hadir di masjid itu.

Sewaktu Lang dan keluarga tinggal di Dahran, Arab Saudi, ketiga putrinya ia masukkan ke sebuah sekolah Islam khusus untuk anak-anak perempuan. Pada hari pertama belajar, kepala sekolah mengutip hadis yang mengatakan bahwa intelegensi kaum wanita berada di bawah kaum pria (h.148) walaupun menurut Lang tak ada ayat Quran yang mendukung hadis ini. Namun, sayangnya, di Amerika justru pandangan-pandangan tradisional seperti ini seringkali dilontarkan penceramah Muslim dalam kuliah-kuliah umum tentang Islam di universitas-universitas sehingga membuat orang Amerika salah paham tentang Islam.

Generasi muda Muslim yang lahir dan tumbuh dalam budaya Amerika tidak nyaman dengan praktik-praktik dan pandangan-pandangan semacam ini, sehingga mereka enggan disebut sebagai seorang Muslim kendati mewarisi “nama Arab.” Jika ditanya, “Apakah kamu Muslim?” Mereka akan menjawab, “Orang tua sayalah yang Muslim.”

Oleh karena itulah, Lang menyimpulkan bahwa kaum Muslim di Amerika sangat membutuhkan ulama-ulama asli Amerika yang dapat memecahkan problem budaya tersebut. Ulama-ulama itu mengerti budaya Amerika dan mampu membimbing generasi baru Muslim Amerika — baik generasi muda Muslim maupun para mualaf — untuk hidup menurut ajaran Islam yang sebenarnya. Mereka menguasai ilmu-ilmu klasik, tapi siap mengkaji secara kritis karya-karya ulama di masa lalu. Dengan begitu Islam dapat ditafsirkan dengan konteks masyarakat Amerika kontemporer. Di sini Lang ragu bahwa komunitas Islam Amerika bisa bertenggang rasa dengan kajian Islam klasik yang ada saat ini. Pendeknya, Lang mendambakan terciptanya masyarakat Muslim yang bergaya Amerika moden (h.297-298).

Nama Jeffrey Lang dapat disejajarkan dengan para mualaf Barat lain seumpama Leopold Weiss, Murad Hofmann, Roger Garaudy, atau Maryam Jameelah yang menyumbangkan perspektif alternatif dalam menafsirkan universalitas Islam. Keinginan Lang menampilkan citra diri sebagai Muslim Amerika, misalnya, ia ejawantahkan dengan mempertahankan nama Amerikanya, memilih mengucapkan “thank’s God” alih-alih “alhamdulillah,” dan tetap berbusana ala Barat, karena baginya simbol-simbol bukan persoalan substansial.

Selama beberapa tahun menjadi Muslim yang “bukan merupakan rencana hidupnya” itu, Jeffrey Lang — yang juga seorang guru besar matematika — menyaksikan bagaimana komunitas Muslim saling mendengki, menggunjing, menjelekkan jemaat Muslim di luar kelompok mereka, enggan menerima kritik, bahkan mengkafirkan satu sama lain.

Banyak mualaf kulit putih yang keluar dari Islam lantaran kecewa, tapi Lang bersiteguh. “Saya memeluk Islam bukan karena komunitas Muslim, melainkan lantaran kebenaran Qur’an!” katanya kepada sahabat kulit putihnya yang akhirnya murtad.

Buku ini sebenarnya dipersembahkan Lang kepada puteri-puterinya agar mengenal Islam. Selan itu, buku ini juga ditujukan sebagai penuntun bagi para mualaf kulit putih Amerika yang pada umumnya mengalami tahap-tahap perjalanan spiritual keislaman serupa.

Sebagian besar isi buku ini mengandung pergulatan intelektual dan spiritual Lang dalam memahami Islam, tapi bab dua secara khusus memuat penafsiran Lang mengenai prinsip-prinsip dasar Islam yang menjadi argumen keberislamannya.

Meskipun di Amerika menemukan relevansinya, gagasan dalam buku ini — bagi kita di Indonesia — mungkin kedengaran usang, karena perdebatan semacam ini pernah dipopularkan Nurcholish Madjid sekitar dua-tiga dekade silam. Namun demikian, buku ini memberikan kesadaran bahwa sebagaimana malaikat yang berani mempertanyakan penciptaan manusia kepada Tuhan, kita pun seharusnya berani menggugat pengamalan Islam yang secara umum kita pahami sekarang. Islam substansial, atau Islam Arab?

Judul Buku: Bahkan Malaikat Pun Bertanya: Membangun Sikap Berislam yang Kritis; Judul Asli: Even Angels Ask: A Journey to Islam in Amerika; Penulis: Jeffrey Lang; Penerjemah: Abdullah Ali; Penyunting: M.S. Nasrulloh; Pengantar: Murad Hoffman (edisi Amerika Serikat), Jalaluddin Rakhmat (Indonesia). Tebal: xvi + 302 halaman; Penerbit: Serambi. Tahun 2001

Oleh: Jeffrey Lang

http://www.semestanet.com
http://www.eramuslim.net/?buka=show_kisah&id=42