Selasa, 29 September 2009

Karena Memiliki Maka Rendah Diri


Di Inggris ada sebuah SD ningrat swasta yang ternama, kepala sekolah SD tersebut adalah tokoh yang sangat dikenal karena kasih sayangnya terhadap murid-muridnya.

Ketika Walikota menanyai beliau tentang resepnya mengelola sekolah tersebut, kepala sekolah ini berkata, “Saya tahu bahwa seluruh anak-anak ini kelak adalah pemilik negeri ini, sudah pasti di antaranya terdapat banyak tokoh-tokoh yang bakal memimpin Inggris dan dunia, bagaimana mungkin saya tidak rendah hati dan hormat kepada mereka?”
Tidak lama setelah kepala sekolah SD yang bergelar Phd bidang pendidikan ini meninggal dunia, di Inggris muncul seorang ahli pikir yang bernama Martin Luther yang sangat berpengaruh di Inggris dan dunia, ia adalah murid lulusan dari SD ningrat tersebut.

Kepala sekolah SD ningrat ini memiliki status ibarat seorang raja di kalangan pendidikan di Inggris, akan tetapi hormatnya terhadap murid-muridnya bukan disebabkan oleh karena latar belakang keluarga para murid, juga bukan karena uang sekolah yang dibayar oleh para orang tua murid yang sangat besar jumlahnya, sebenarnya saat itu di kalangan atas masyarakat Inggris terdapat tidak sedikit orang yang bersikap seperti itu. Mereka memiliki ciri-ciri yang sama yaitu berpendidikan baik, sopan santun, dan mengerti untuk menghormati orang lain.

Berbicara tentang menghormati orang lain, bukan ditujukan terhadap atasan, terhadap orang tua, terhadap tokoh terkemuka dalam masyarakat yang memiliki kekuasaan, melainkan merupakan hormat akan segala hal, hormat pada setiap orang, bawahan, sanak keluarga, terhadap orang yang dilayani, bahkan terhadap keluarga miskin yang diberikan sedekah pun sangat dihormati.

Dalam sebuah film Amerika, saya melihat kaum pekerja kantor di sana tidak seperti kita dalam memperlakukan seorang seniman jalanan, juga tidak seperti kita dalam memperlakukan pengemis. Kita biasanya melemparkan begitu saja uang ke tempatnya, sementara mereka selalu membungkuk dengan hati-hati meletakkan uang kertas satu dolar ke dalam topi. Hal yang serupa, apakah kita pernah menyerahkan uang dengan kedua tangan pada kasir saat kita akan membayar ketika berbelanja, dan masih ditambahkan lagi dengan sepatah kata yang tulus : “Terima kasih”.

Beberapa waktu lalu saya telah membatalkan membeli Barang dari seorang kasir yang telah menyerahkan uang kembalian pada saya hanya dengan sebelah tangan. Namun setelah itu lambat laun saya baru menyadari bahwa saya sendiri masih belum belajar dengan baik.

Asalkan kita menuntut diri sendiri dengan baik, sudah cukup, tidak perlu sampai harus menuntut orang lain juga bersikap sama seperti kita. Tuhan membuat kita mengerti bahwa menghadapi setiap orang dengan penuh rasa hormat adalah merupakan berkah bagi diri kita, karena kita adalah orang yang berpendidikan, sementara orang-orang yang sombong dan angkuh, sama sekali bukan kewajiban dan porsi kita untuk merubah kebiasaan mereka. (The Epoch Times/lin)

Epoch times Selasa, 29 sepember 2009
http://erabaru.net/kehidupan/41-cermin-kehidupan/5338-karena-memiliki-
maka-rendah-diri

Kehidupan Bagaikan Perahu


Kehidupan manusia ibarat sebuah kapal, jika di dalam pelayaran hidupnya terlalu banyak dan terlalu berat dimuat dengan keinginan (nafsu) materi dan sifat sombong, maka perahu kehidupan ini sangat mudah kandas dan tenggelam di tengah perjalanan.

Jika ingin mencapai tepian kehidupan di seberang sana dengan lancar, maka wajib untuk segera mengurangi muatan yang berat itu, dan hanya mengambil batas terendah materi yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup, dan dengan tegas melepaskan ketamakan serta nafsu keinginan dalam hati manusia yang berlebihan.

Baru-baru ini saya sering mendengar perkataan beberapa teman melakukan investasi di saham atau kegiatan MLM (multi level marketing). Uang mereka dalam jumlah besar telah tertipu oleh pedagang curang. Dari teman-teman yang tertipu ini mereka semua memiliki kelemahan yang sama, yaitu hati yang sangat tamak.

Jika dipikir dengan seksama, akan segera dapat diketahui bahwa dalam investasi dan perdagangan sangat mustahil untuk bisa mendapatkan keuntungan 50 kali lipat hanya dalam satu kali raup, tapi masih ada saja orang yang dihantui dengan ketamakan yang dengan mudah mempercayai perusahaan yang mengatakan bahwa saham perusahaannya dapat naik 50 kali lipat, sehingga akhirnya tertipu dan uangnya habis.

Jelas-jelas mengetahui bahwa pengelolaan dan aturan pembagian hasil dari perusahaan MLM tidak transparan, tapi ketika kelihatan satu lembar cek tunai bernominal satu juta dollar, masih saja beranggapan bahwa asalkan serius menjalankan MLM bisa segera menjadi jutawan, cek tersebut juga sudah tidak perlu diperiksa lagi keasliannya dan dengan mudah percaya pada janji orang lain, akhirnya uang dalam jumlah besar pun habis tak bersisa hanya untuk membeli barang-barang tak berkualitas yang menumpuk bagaikan gunung.

Penduduk asli di Afrika mempunyai cara yang unik untuk menangkap simpanse : Di dalam sebuah kotak kayu kecil diletakkan buah-buahan yang berkulit keras yang disukai oleh simpanse, pada salah satu sisi kotak tersebut dibuat sebuah lubang yang besarnya persis sebesar tangan simpanse agar dapat masuk untuk mengambil buah-buahan di dalamnya, begitu simpanse menjulurkan tangan ke dalam dan meraih buah-buahan yang ada di dalam, maka tangannya tidak akan dapat ditarik keluar lagi dari lubang itu, cara ini sering digunakan oleh penduduk untuk menangkap simpanse.

Sebab simpanse ada satu kebiasaan, yaitu tidak mudah melepaskan benda apa pun yang telah digenggam dalam tangannya.

Orang-orang selalu menertawakan kebodohan simpanse : mengapa tidak melepaskan buah dalam genggamannya itu lalu melarikan diri? Sesungguhnya jika kita renungkan kembali hal yang terjadi pada diri kita, kita juga akan mendapati bahwa tidak hanya simpanse yang bisa berbuat kesalahan seperti itu.

Di kampung halaman saya, semasa kecil dulu, pernah terjadi bencana kebakaran, waktu itu ada satu keluarga yang miskin yang berhasil selamat dari kobaran api karena tidak memiliki harta apa pun, sehingga lolos dari mara bahaya itu. Sebaliknya tetangga mereka yang kaya raya, menerjang masuk kembali ke dalam kobaran api dan berusaha untuk menyelamatkan perabotnya yang mahal dan mencari uangnya, akhirnya tertelan kobaran api dan tidak pernah keluar lagi.

Kehidupan bagaikan perahu. Semakin sedikit memiliki kekayaan benda materi, semakin ringan pula beban dalam kehidupan ini, maka dari itu melepaskan ketamakan hati manusia akan meringankan muatan dan bisa bergerak maju ke depan, maka manusia akan hidup wajar dan lepas bebas.

Kekayaan materi hidup tidak bisa dibawa serta, mati pun tidak bisa dibawa pergi, tahu akan batasan dan mengekang keinginan materi dan sifat sombong, maka pasti akan membuat perjalanan hidup ini menjadi lancar, dengan lega dan mudah mencapai ke tepian di seberang sana yang terang benderang. (The Epoch Times/lin)

Epoch Times Rabu, 23 September 2009
http://erabaru.net/kehidupan/41-cermin-kehidupan/5175-kehidupan-bagaikan-perahu

War in the Qur'an





…God is All-Gentle, Most Merciful to mankind. (Qur'an, 2:143)

According to the Qur'an, war represents an "unwanted obligation" which has to be carried out with strict observance of particular humane and moral guidelines and which must not be resorted to except when it is absolutely inevitable.

In one Qur'anic verse, it is explained that those who start wars are the disbelievers and that God does not approve of wars:

…Each time they kindle the fire of war, God extinguishes it. They rush about the earth corrupting it. God does not love corrupters. (Qur'an, 5:64)

In the case of a conflict, before engaging in a war, believers must wait until fighting becomes compulsory. Believers are allowed to fight only when the other party attacks and no other alternative except war remains:

But if they cease (fighting), God is Ever-Forgiving, Most Merciful. (Qur'an, 2:192)

A closer examination of the Prophet Muhammad's life reveals that war was a method resorted for defensive purposes only in unavoidable situations.

The revelation of the Qur'an to the Prophet Muhammad continued for a period of 23 years. During the first 13 years of this period, Muslims lived as a minority under a pagan order in Mecca and faced much oppression. Many Muslims were harassed, abused, tortured, and even murdered, their houses and possessions plundered. Despite this, however, Muslims led their lives without resorting to violence and always called the pagans to peace.

When the oppression of the pagans escalated unbearably, the Muslims emigrated to the town of Yathrib, which was later to be renamed Madinah, where they could establish their own order in a freer and more friendly environment. Even establishing their own system did not prompt them to take up weapons against the aggressive pagans of Mecca. Only after the following revelation, the Prophet commanded his people to prepare for war:

Permission to fight is given to those who are fought against because they have been wronged - truly God has the power to come to their support - those who were expelled from their homes without any right, merely for saying, "Our Lord is God"… (Qur'an, 22:39-40)

In brief, Muslims were allowed to wage war only because they were oppressed and subjected to violence. To put it in another way, God granted permission for war only for defensive purposes. In other verses, Muslims are warned against the use of unnecessary provocation or violence:

Fight in the Way of God against those who fight you, but do not go beyond the limits. God does not love those who go beyond the limits. (Qur'an, 2:190)

After the revelation of these verses, several wars occurred between the Muslims and the pagan Arabs. In none of these wars, however, were the Muslims the inciting party. Furthermore, the Prophet Muhammad established a secure and peaceful social environment for Muslims and pagans alike by signing the peace agreement of Hudaybiya which conceded to the pagans most of their requests. The party who violated the terms of the agreement and started hostilities once again were the pagans. With rapid conversions into Islam, the Islamic armies mustered a great force against the pagan Arabs. However, Muhammad conquered Mecca without bloodshed and in a spirit of tolerance. If he wished, Muhammad could have taken revenge on pagan leaders in the city. Yet, he did not do harm to any one of them, forgave them and treated them with the utmost tolerance. In the words of John Esposito, a Western expert on Islam, "eschewing vengeance and the plunder of conquest, the Prophet instead accepted a settlement, granting amnesty rather than wielding the sword toward his former enemies." 2

Pagans, who would later convert to Islam of their own free will, could not help admiring such nobility of character in the Prophet.

Not only during Mecca's conquest, but also in the course of all the battles and conquests made in the time of the Prophet Muhammad, the rights of innocent and defenceless people were meticulously protected. The Prophet Muhammad reminded believers numerous times about this subject and by his own practice became a role model for others to follow. Indeed, he addressed believers who were about to go to war in the following terms: "Go to war in adherence to the religion of God. Never touch the elderly, women or children. Always improve their situation and be kind to them. God loves those who are sincere."3 The Messenger of God also clarified the attitude Muslims must adopt even when they are in the middle of a raging battle:

Do not kill children. Avoid touching people who devote themselves to worship in churches! Never murder women and the elderly. Do not set trees on fire or cut them down. Never destroy houses!4

The Islamic principles God proclaims in the Qur'an account for this peaceful and temperate policy of the Prophet Muhammad. In the Qur'an, God commands believers to treat the non-Muslims kindly and justly:

God does not forbid you from being good to those who have not fought you over religion or driven you from your homes, or from being just towards them. God loves those who are just. God merely forbids you from taking as friends those who have fought you over religion and driven you from your homes and who supported your expulsion... (Qur'an, 60:8-9)

The verses above clarify how Muslims should behave towards non-Muslims: A Muslim should treat all non-Muslims kindly and only avoid making friends with those who show enmity towards Islam. In a case where this enmity causes violent attacks against Muslims, that is, where they wage a war against them, then Muslims should respond to them justly by considering the humane dimensions of the situation. All forms of barbarism, unnecessary acts of violence and unjust aggression are forbidden by Islam. In another verse, God warns Muslims against this and explains that rage felt towards enemies should not cause them to fall into injustice:

You who believe! Show integrity for the sake of God, bearing witness with justice. Do not let hatred for a people incite you into not being just. Be just. That is closer to heedfulness. Heed God (alone). God is aware of what you do. (Qur'an, 5:8)

The Meaning of the Concept of "Jihad"

Another concept that deserves clarification due in the context of our discussion is that of "jihad".

The exact meaning of "Jihad" is "effort". Thus, in Islam, "to carry out jihad" is "to show effort, to struggle". The Prophet Muhammad explained that "the greatest jihad is the one a person carries out against his lower soul". What is meant by "lower soul" here is selfish desires and ambitions.

Assessed from the Qur'anic point of view, the word "jihad" can also mean a struggle carried out on intellectual grounds against those who oppress people, treat them unjustly, subject them to torture and cruelty and violate legitimate human rights. The purpose of this struggle is to bring about justice, peace and equality.

Apart from these ideological and spiritual meanings, struggle in the physical sense is also considered as "jihad". However, as explained above, this has to be a struggle carried out solely for defensive purposes. The use of the concept of "jihad" for acts of aggression against innocent people, that is for terror, would be unjust and a great distortion of the true meaning of the term.

Killing Oneself (Committing Suicide) is Forbidden in the Qur'an

Another important matter that arose in the wake of the latest terrorist assaults against the United States is that of suicide attacks. Some people who are ill-informed on Islam have made utterly erroneous statements to the effect that this religion of peace allows suicide attacks, whereas in Islam killing oneself and killing other people are both prohibited. In the words, "Do not kill yourselves." (Qur'an, 4:29) God has declared suicide to be a sin. In Islam it is forbidden for anyone to kill himself or herself, for no matter what reason.

The Prophet reveals suicide to be a sin in a parable, when he says that those who commit suicide will be punished:

Indeed, whoever (intentionally) kills himself, then certainly he will be punished in the Fire of Hell, wherein he shall dwell forever.5

As this makes clear, committing suicide, and thus carrying out suicide attacks, and causing the deaths of thousands of innocent people while doing so, is a total violation of Islamic morality. God says in the Qur'an that it is a sin to put an end to one's own life. For that reason, it is quite impossible for someone who believes in God and says he abides by the Qur'an to do such a thing. The only people who can do such things are those who have a very mistaken perception of religion, have no idea of true Qur'anic morality, fail to use their reason and conscience, are under the influence of atheist ideologies, and who have been brainwashed with feelings of hatred and revenge. Everybody must oppose such actions
And do not kill yourselves. God is Most Merciful to you.
(Qur'an, 4:29)

.

Compassion, Tolerance and Humanity in the History of Islam

To sum up the facts we have seen so far, we can say that the political doctrine of Islam (in other words, Islamic rules and principles regarding political matters) is exceedingly moderate and peace-loving. This truth is accepted by many non-Muslim historians and theologians. One of these is the British historian Karen Armstrong, a former nun and an expert on Middle East history. In her book Holy War, which examines the history of the three divine religions, she makes the following comments:

... The word 'Islam' comes from the same Arabic root as the word 'peace' and the Qur'an condemns war as an abnormal state of affairs opposed to God's will… Islam does not justify a total aggressive war of extermination… Islam recognises that war is inevitable and sometimes a positive duty in order to end oppression and suffering. The Qur'an teaches that war must be limited and be conducted in as humane a way as possible. Mohammad had to fight not only the Meccans but also the Jewish tribes in the area and Christian tribes in Syria who planned on offensive against him in alliance with the Jews. Yet this did not make Mohammed denounce the People of the Book. His Muslims were forced to defend themselves but they were not fighting a 'holy war' against the religion of their enemies. When Mohammad sent his freedman Zaid against the Christians at the head of a Muslim army, he told them to fight in the cause of God bravely but humanely. They must not molest priests, monks and nuns nor the weak and helpless people who were unable to fight. There must be no massacre of civilians nor should they cut down a single tree nor pull down any building.6

After the death of the Prophet, the Caliphs who succeeded him were also very sensitive in exercising justice. In conquered countries, both the indigenous people and the newcomers led their lives in peace and security. Abu Bakr, the first Caliph, demanded his people adopt just and tolerant attitudes in these lands. All these attitudes were in compliance with the values of the Qur'an. Abu Bakr gave the following command to his army before the first Syrian expedition:

Stop, O people, that I may give you ten rules to keep by heart: Do not commit treachery, nor depart from the right path. You must not mutilate, neither kill a child or aged man or woman. Do not destroy a palm tree, nor burn it with fire and do not cut any fruitful tree. You msut not slay any of the flock or herds or the camels, save for your subsistence. You are likely to pass by people who have devoted their lives to monastic services; leave them to that to which they have devoted their lives. You are likely, likewise, to find people who will present to you meals of many kinds. You may eat; but do no forget to mention the name of Allah.7


Umar ibn al-Khattab, who succeeded Abu Bakr, was famous for the way he exercised justice and made contracts with the indigenous people of the conquered countries. Each one of these contracts proved to be an example of tolerance and justice. For instance, in his declaration granting protection to Christians in Jerusalem and Lod, he ensured that churches would not be demolished and guaranteed that Muslims would not worship in churches in groups. Umar granted the same conditions to the Christians of Bethlehem. During the conquest of Medain, the declaration of protection given to the Nestorian Patriarch Isho'yab III (650 - 660 AD) again guaranteed that churches would not be demolished and that no building would be converted into a house or a mosque. The letter written by the patriarch to the bishop of Fars (Persia) after the conquest is most striking, in the sense that it depicts the tolerance and compassion shown by Muslim rulers to the Book of People in the words of a Christian:

The Arabs to whom God has given at this time the government of the world... do not persecute the Christian religion. Indeed, they favour it, honour our priests and the saints of the Lord and confer benefits on churches and monasteries.8

All these are very important examples revealing the understanding of justice and tolerance of true believers. In a verse God commands the following:

God commands you to return to their owners the things you hold on trust and, when you judge between people, to judge with justice. How excellent is what God exhorts you to do! God is All-Hearing, All-Seeing. (Qur'an, 4:58)

Canon Taylor, one of the mission leaders of the Anglican Church, expresses the beauty revealed by the Islamic morality in one of his speeches as follows:

It [Islam] brought out the fundamental dogmas of religion - the unity and greatness of God, that He is merciful and righteous, that He claims obedience to His will, resignation and faith. It proclaimed the responsibility of man, a future life, a day of judgment, and stern retribution to fall upon the wicked; and enforced the duties of prayer, almsgiving, fasting and benevolence. It thrust aside the artificial virtues, the religious frauds and follies, the perverted moral sentiments, and the verbal subtleties of theological disputants… It gave hope to the slave, brotherhood to mankind, and recognition to the fundamental facts of human nature.9

The false assertion that people in conquered countries converted to Islam under threat has also been disproved by Western researchers, and the justice and tolerant attitude of Muslims has been confirmed. L.Browne, a Western researcher, expresses this situation in the following words:

Incidentally these well-established facts dispose of the idea so widely fostered in Christian writings that the Muslims, wherever they went, forced people to accept Islam at the point of the sword.10

In his book The Prospects of Islam, Browne goes on to say that the real motive behind the Muslims' conquests was the brotherhood of Islam. The vast majority of Muslim administrators who have reigned over the Muslim lands throughout history continued to treat the members of other religions with the utmost tolerance and respect. Within the borders of all Islamic states, both Jews and Christians lived in safety and enjoyed freedom.

Georgetown University's Professor of Religion and International Relations John L. Esposito describes how Jews and Christians who came under the administration of Muslim states met with enormous tolerance:

Muslim armies proved to be formidable conquerors and effective rulers, builders rather than destroyers. They replaced the indigenous rulers and armies of the conquered countries, but preserved much of their goverment, bureaucracy, and culture. For many in the conquered territories, it was no more than an exchange of masters, one that brought peace to peoples demoralized and disaffected by the casualties and heavy taxation that resulted from the years of Byzantine-Persian warfare. Local communities were free to continue to follow their own way of life in internal, domestic affairs. In many ways, local populations found Muslim rule more flexible and tolerant than that of Byzantium and Persia. Religious communities were free to practice their faith - to worship and be governed by their religious leaders and laws in such areas as marriage, divorce, and inheritance. In exchange, they were required to pay tribute, a poll tax (jizya) that entitled them to Muslim protection from outside aggression and exempted them from military service. They were therefore called the ''protected ones'' (dhimmmi). In effect, this often meant lower taxes, grater local autonomy, rule by fellow Semites with closer linguistic and cultural ties than the hellenized, Greco-Roman elites of Byzantium, and greater religious freedom for Jews and indigenous Christians. Most of the Christian churches, such as the Nestorians, Monophysites, Jacobites, and Copts, had been persecuted as heretics and schismatics by Christian orthodoxy. For these reasons, some Jewish and Christian communities aided the invading armies, regarding them as less oppressive than their imperial masters. In many ways, the conquests brought a Pax Islamica to an embattled area.11

Another "Pax Islamica" brought by Islam was to women, a segment of society that was tremendously abused in the pre-Islamic times. Professor Bernard Lewis, known to be one of the greatest Western experts on the Middle East, makes the following comment:

In general, the advent of Islam brought an enormous improvement in the position of women in ancient Arabia, endowing them with property and some other rights, and giving them a measure of protection against ill treatment by their husbands or owners. The killing of female infants, sanctioned by custom in Pagan Arabia, was outlawed by Islam. But the position of women remained poor, and worsened when, in this as in so many other respects, the original message of Islam lost its impetus and was modified under the influence of pre-existing attitudes and customs.12

The reign of the Seljuk Turks and that of the Ottoman Empire were also marked by the just and tolerant outlook of Islam. In his book, The Spread of Islam in the World, Sir Thomas Arnold, the British researcher, explains the Christians' willingness to come under Seljuk rule because of this attitude:

This same sense of security of religious life under Muslim rule led many of the Christians of Asia Minor, also, about the same time, to welcome the advent of the Saljuq Turks as their deliverers… In the reign of Michael VIII (1261-1282), the Turks were often invited to take possession of the smaller towns in the interior of Asia Minor by the inhabitants, that they might escape from the tyranny of the empire; and both rich and poor often emigrated into Turkish dominions.13


Malik Shah, the ruler of the Islamic Seljuk Empire during its brightest age, approached the people in the conquered lands with great tolerance and compassion and thus was remembered with respect and love by them. All objective historians refer to the justice and tolerance of Malik Shah in their works. His tolerance also kindled feelings of love towards him in the hearts of the People of the Book. For this reason, unprecedented in history, many cities came under Malik Shah's rule of their own free will. Sir Thomas Arnold also mentions Odo de Diogilo, a monk of St. Denis, who participated in the Second Crusade as the private chaplain of Louis VII, refers in his memoirs to the justice administered by Muslims regardless of the subjects' religious affiliation. Based on the graphic account of Odo de Diogilo, Sir Thomas Arnold writes:

The situation of the survivors would have been utterly hopeless, had not the sight of their misery melted the hearts of the Muhammadans to pity. They tended the sick and relieved the poor and starving with open-handed liberality. Some even bought up the French money which the Greeks had got out of the pilgrims by force or cunning, and lavishly distributed it among the needy. So great was the contrast between the kind treatment the pilgrims received from the unbelievers and the cruelty of their fellow-Christians, the Greeks, who imposed forced labour upon them, beat them, and robbed them of what little they had left, that many of them voluntarily embraced the faith of their deliverers. As the old chronicler [Odo de Diogilo] says: "Avoiding their co-religionists who had been so cruel to them, they went in safety among the infidels who had compassion upon them, and, as we heard, more than three thousand joined themselves to the Turks when they retired."14

These statements by historians reveal that Muslim administrators who truly adopted the morality of the Islam always ruled with tolerance, compassion and justice. Likewise, the history of the Ottoman Empire which ruled lands on three continents for centuries abounds with examples of tolerance.

The way the Jews settled in Ottoman lands during the time of Sultan Beyazid II, after being subjected to massacre and exile in the Catholic kingdoms of Spain and Portugal, is a fine example of the tolerance that Islamic morality brings with it. The Catholic monarchs who ruled much of Spain at the time brought grave pressure to bear on the Jews who had formerly lived in peace under Muslim rule in Andalusia. While Muslims, Christians and Jews were able to live side by side in peace in Andalusia, the Catholic monarchs tried to force the whole country to become Christian, and declared war on the Muslims while oppressing the Jews. As a result, the last Muslim ruler in the Granada region of southern Spain was overthrown in 1492. Muslims were subjected to terrible slaughter, and those Jews who refused to change their religion were sent into exile.

One group of these Jews without a homeland sought shelter in the Ottoman Empire, and the state allowed them to do so.The Ottoman fleet, under the command of Kemal Reis, brought the exiled Jews, and those Muslims who had survived the slaughter, to the land of the Ottomans.


Sultan Beyazid II has gone down in history as a most pious believer, and in the spring of 1492 he settled these wronged Jews who had been expelled from Spain in certain parts of his empire, around Edirne, and Thessalonica in present-day Greece. Most of the 25,000 Turkish Jews living in Turkey today are the ancestors of those Spanish Jews. They have adapted their religion and customs, which they brought from Spain some 500 years ago, to the conditions in Turkey, and continue to live most comfortably with their own schools, hospitals, old people's homes, cultural associations and newspapers. In the same way that they have traders and businessmen, they also have representatives in numerous professions, from technical subjects to advertising, with increasingly developing intellectual circles. While Jewish communities in many countries in Europe have for centuries been exposed to the fear of anti-Semitic racist attacks, those in Turkey have lived in peace and security. This example alone is enough to demonstrate the tolerance that Islam brings with it and its understanding of justice.

The compassion and tolerance exhibited by Sultan Beyazid II applied to all the Ottoman sultans. When Sultan Mehmet the Conqueror captured Constantinople, he allowed the Christians and the Jews to live freely there. André Miquel, who is known for the valuable works he has written about the just and tolerant practices of Muslims and the world of Islam, says:

The Christian communities lived under a well administered state that they did not have during the Byzantine and Latin periods. They were never subjected to systematic persecution. On the contrary, the empire and especially Istanbul had become a refuge for Spanish Jews who were tortured. People were never Islamized by force; the movements of Islamization took place as a result of social processes.15

As is clear from these facts, Muslims have at no time in history been oppressive. On the contrary, they have brought peace and security to all nations and beliefs wherever they have gone. They have abided by God's verse which says: "Worship God and do not associate anything with Him. Be good to your parents and relatives and to orphans and the very poor, and to neighbours who are related to you and neighbours who are not related to you, and to companions and travellers and your slaves. God does not love anyone vain or boastful." (Qur'an, 4:36) and have behaved well to all people.

In short, friendship, brotherhood, peace and love are the bases of Qur'anic morality, and it is to these superior virtues that Muslims try to adhere. (For further details, see Harun Yahya's Justice and Tolerance in the Qur'an)

Those who believe and do not mix up their belief with any wrongdoing, they are the ones who are safe…
(Qur'an, 6:82)






2. John L. Esposito, Islam: The Straight Path, Oxford University Press, 1998, p. 10
3. Ramuz El Hadis, Vol 1, 84/8
4. Ramuz El Hadis, Vol 1, 76/12
5. Bukhaaree (5778) and Muslim (109 and 110), Reported by Muslim - Eng. Trans, Vol. 1, p.62, No. 203
6. Karen Armstrong, Holy War, MacMillan London Limited, 1988, p. 25
7. Tabari, Ta'rikh, 1, 1850, cited in Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam, Johns Hopkins Press, Baltimore, 1955, p. 102
8. Fred Aprim, "The A to Z of the ancient Chaldeans and their relation to modern Chaldeans", http://www.atour.com/education/20001021a.html
9. Prof. Thomas Arnold, The Spread of Islam in the World, A History of Peaceful Preaching, p. 71-72
10. L. Browne, The Prospects of Islam, p. 11-15
11. John L. Esposito, Islam: The Straight Path, p. 33-34
12. Bernard Lewis, The Middle East, Weidenfeld & Nicolson, London, 1995, p. 210
13. Prof. Thomas Arnold, The Spread of Islam in the World, A History of Peaceful Preaching, p. 96
14. Prof. Thomas Arnold, The Spread of Islam in the World, A History of Peaceful Preaching, p. 88-89
15. F. Emecen, K. Beydilli, M. Ýpþirli, M.A. Aydýn, Ý. Ortaylý, A. Özcan, B. Yediyýldýz, M. Kütükoðlu, Osmanlý Devleti ve Medeniyeti Tarihi (The History of the Ottoman State and Civilization), Ýslam Tarih, Sanat ve Kültür Araþtýrma Merkezi, Ýstanbul, 1994, p. 467

http://harunyahia.com/terrorism3.php

Ekonomi Syariah Diperdebatkan di Prancis


Sistem keuangan syariah memicu perdebatan sengit di Prancis. Negara Eropa sekuler kelas berat itu kelihatannya tengah memasuki booming perbankan syariah, sebagai salah satu indikasi dan dampak lain dari industri global.

"Kita tidak boleh membiarkan prinsip-prinsip hukum syariah, atau etika dari Al-Quran untuk diperkenalkan ke dalam hukum Prancis," ujar Henri Emmanuelli Sosialis kepada kantor berita Agence France Presse (AFP), kemarin (27/9).

Parlemen Prancis sendiri bulan ini, telah menyepakati sejumlah penyesuaian terhadap undang-undang perbankan perizininan sukuk (obligasi Islam) yang diterbitkan untuk pertama kalinya. Saat ini, Qatar Islamic Bank merupakan bank Islam pertama yang beroperasi legal di Prancis.

Pemerintah Prancis tampaknya berusaha menarik investasi miliaran dolar dari para pengusaha muslim, berharap untuk menggeser London sebagai ibukota Eropa keuangan Islam dengan menawarkan produk-produk yang sesuai dengan Syariah.


Sementara itu, Menteri Christine Lagarde dan Gubernur Bank Sentral Noyer Kristen menghadiri sebuah konferensi besar di Paris pekan ini yang dapat menghasilkan beberapa pengumuman untuk mempromosikan sistem keuangan Islam di Prancis. (em/iol/ika)

Esqmagazine.com
Senin, 28 September 2009 08:17:23

http://esqmagazine.com/internasional/2009/09/28/506/ekonomi-syariah-diperdebatkan-di-prancis.html

Raja dan Nelayan yang Pandai


Kerajaan yang dialiri oleh sungai Tigris dan Euphrates pernah diperintah oleh seorang raja yang sangat gemar dan menyukai hidangan ikan. Suatu hari dia duduk bersama Sherem, sang Ratu, di taman istana yang berhadapan langsung dengan tepi sungai Tigris, yang pada saat itu terentang jajaran perahu yang indah; dimana pada satu perahu duduk seorang nelayan yang mempunyai tangkapan ikan yang besar.

Menyadari bahwa sang Raja mengamatinya, dan tahu bahwa sang Raja ini sangat menggemari ikan, nelayan tersebut memberi hormat pada sang Raja dan dengan ahlinya membawa perahunya ke tepian, datang dan berlutut pada sang Raja dan memohon agar sang Raja mau menerima ikannya sebagai hadiah. Sang Raja sangat senang dengan hal ini, dan memerintahkan agar sejumlah besar uang diberikan kepada nelayan tersebut.

Tetapi sebelum nelayan tersebut meninggalkan taman istana, Ratu berputar menghadap sang Raja dan berkata: "Kamu telah melakukan sesuatu yang bodoh." Sang Raja terkejut mendengar Ratu berkata demikian dan bertanya bagaimana bisa. Sang Ratu membalas:

"Berita bahwa kamu memberikan sejumlah besar hadiah untuk hadiah yang begitu kecil akan cepat menyebar ke seluruh kerajaan dan akan dikenal sebagai hadiah nelayan. Semua nelayan yang mungkin berhasil menangkap ikan yang besar akan membawanya ke istana, dan apabila mereka tidak dibayar sebesar nelayan yang pertama, mereka akan pergi dengan rasa tidak puas, dan dengan diam-diam akan berbicara jelek tentang kamu diantara teman-temannya."

"Kamu berkata benar, dan ini membuka mata saya," kata sang Raja, "tetapi tidakkah kamu melihat apa artinya menjadi Raja, apabila untuk alasan tersebut dia menarik kembali hadiah yang telah diberikan?" Kemudian setelah merasa bahwa sang Ratu siap untuk membantah hal itu, dia membalikkan badan dengan marah dan berkata "Hal ini sudah selesai dan tidak usah dibicarakan lagi."

Bagaimanapun juga, dihari berikutnya, ketika pikiran sang Raja sedang senang, Ratu menghampirinya dan berkata bahwa jika dengan alasan itu sang Raja tidak dapat menarik kembali hadiah yang telah diberikan, dia sendiri yang akan mengaturnya. "Kamu harus memanggil nelayan itu kembali," katanya, "dan kemudian tanyakan, 'Apakah ikan ini jantan atau betina?' Jika dia berkata jantan, lalu kamu katankan bahwa yang kamu inginkan adalah ikan betina, tetapi bila nelayan tersebut berkata bahwa ikan tersebut betina, kamu akan membalasnya dengan mengatakan bahwa kamu menginginkan ikan jantan. Dengan cara ini hal tersebut dapat kita sesuaikan dengan baik."

Raja berpendapat bahwa ini adalah jalan yang terbaik untuk keluar dari kesulitan, dan memerintahkan agar nelayan tadi dibawa ke hadapannya. Ketika nelayan tersebut, yang ternyata adalah orang yang sangat pandai, berlutut di hadapan raja, sang Raja berkata kepadanya: "Hai nelayan, katakan padaku, ikan yang kamu bawa kemarin adalah jantan atau betina?"

Nelayan tersebut menjawab, "Ikan tersebut bukan jantan dan bukan betina." Saat itu sang Raja tersenyum mendengar jawaban yang sangat cerdik dan memerintahkan bendahara istana untuk memberikan sejumlah uang yang lebih banyak kepada nelayan tersebut.

Kemudian nelayan itu menyimpan uang tersebut dalam kantong kulitnya, berterima kasih kepada Raja, dan memanggul kantong tersebut diatas bahunya, bergegas pergi, tetapi tidak lama kemudian, dia menyadari bahwa dia telah menjatuhkan satu koin kecil. Dengan menaruh kantong tersebut kembali ke tanah, dia membungkuk dan memungut koin itu dan kembali melanjutkan perjalanannya, diikuti dengan pandangan mata Raja dan Ratu yang mengawasi semua tindakannya.

"Lihat! betapa pelitnya dia!" kata Sherem, sang Ratu. "Dia benar-benar menurunkan kantongnya hanya untuk memungut satu buah koin kecil karena mungkin dia akan sangat merasa kehilangan hanya dengan berpikir bahwa koin tersebut akan diambil oleh salah seorang pelayan Raja, atau seseorang yang lebih miskin, yang membutuhkannya untuk membeli sebuah roti."

"Sekali lagi kamu berbicara benar," balas sang Raja, merasakan kebenaran dari komentar Ratu; dan sekali lagi nelayan tersebut dibawa untuk menghadap ke istana. "Apakah kamu ini manusia atau binatang buas?" Raja bertanya kepadanya. "Walaupun kamu mungkin sudah kaya tanpa harus bekerja keras lagi, tetapi sifat pelit dalam dirimu tidak membiarkan kamu untuk meninggalkan satu koin kecil untuk orang lain." Lalu sang Raja memerintahkan nelayan tersebut untuk pergi dan tidak menampakkan lagi wajahnya di dalam kota kerajaannya.

Saat itu nelayan tersebut berlutut pada kedua kakinya dan menangis: "Dengarkanlah hamba, Oh sang Raja, pelindung rakyat miskin! Semoga Tuhan memberkahi Tuanku dengan umur panjang. Bukan nilai dari koin tersebut yang hamba pungut, tetapi karena pada satu sisi koin tersebut tertera tulisan pujian atas nama Tuhan, dan disisi lainnya tergambar wajah Raja. Hamba takut bahwa seseorang, mungkin dengan tidak sengaja karena tidak melihat koin tersebut, akan menginjaknya. Biarlah sang Raja yang menentukan apakah yang saya lakukan ini pantas untuk dicela atau tidak."

Jawaban tersebut membuat sang Raja sangat senang tidak terhingga, dan memberikan lagi nelayan terseut sejumlah besar uang. Dan kemarahan Ratu saat itu juga menjadi reda, dan dia menjadi sadar dan melihat dengan ramah terhadap nelayan tersebut yang pergi dengan kantung yang dimuati dengan uang. (Hartwell James/yqm)


Era Baru Senin, 28 September 2009

http://erabaru.net/featured-news/48-hot-update/5296-raja-dan-nelayan-pandai

Pulau Zira yang Tidak Tergantung pada Minyak Bumi






Pulau Zira yang tidak tergantung pada minyak bumi serta lebih mengandalkan pada matahari, angin dan air.




Azerbaijan, sebuah negara yang berada di persimpangan Eropa dan Asia Barat Daya, akan membangun sebuah resort yang ramah lingkungan dan mandiri energi di pulau Zira, pulau seluas 1.000.000 meter persegi (letaknya di perairan laut Kaspia) dipersiapkan menjadi sebuah resort modern yang tidak tergantung pada minyak bumi serta lebih mengandalkan pada matahari, angin dan air.

BIG Architects, berbasis di Denmark membuat master plan bagi pemerintah Azerbaijan untuk pembangunan tujuh gedung tinggi yang mewakili tujuh pegunungan tinggi di Azerbaijan. Setiap bangunan tersebut akan berisi rumah-rumah dan ruang publik.

Untuk menghangatkan dan mendinginkan bangunan-bangunan di pulau tersebut, hanya dibutuhkan pompa-pompa yang ditanamkan di perairan sekitar pulau untuk mensirkulasikan air dari bangunan ke laut dan sebaliknya. Panel surya dipasang dengan sudut yang tepat pada fasade-fasade dan atap-atap bangunan untuk menghasilkan listrik. Turbin angin lepas pantai juga akan digunakan untuk menjamin pasokan listrik bagi pulau.

Pulau Zira


Sampah padat biomassa digunakan sebagai pupuk untuk tanaman dan berbagai tumbuhan produktif yang akan ditanam di sana. Limbah cair dari rumah-rumah dan bangunan akan dikumpulkan pada satu tempat pengolahan limbah dan didaur ulang untuk irigasi. Untuk air bersih, Zira akan membuat fasilitas penyulingan air laut menjadi air bersih. (Ziraisland.com/yqm)

Senin, 28 September 2009
Erabaru

http://erabaru.net/featured-news/48-hot-update/5294-pulau-zira-yang-tidak-tergantung-pada-minyak-bumi

Memperbaiki Kesalahan dengan Keberanian


"Berbuat salah adalah manusiawi," sebuah pepatah Tiongkok kuno. Ini menyiratkan bahwa kesatriapun pasti akan membuat kesalahan. Berbeda dengan orang biasa, orang yang bijaksana lebih cenderung melihat ke diri sendiri, memperbaiki kesalahan-kesalahannya, dan meningkatkan diri. Hal inilah yang menjadikan mereka agung dan bijaksana.


Orang bijak jaman dulu menyarankan bahwa kita harus "menerima nasihat dengan senang hati." Kaisar Tang Taizong (23 Januari 599 - 10 Juli 649) adalah kaisar kedua Dinasti Tang. Nama kecilnya adalah Li Shimin, yang berarti "melayani negara dan membawa perdamaian ke masyarakat." Dari sejarah semua kaisar Tiongkok kuno, ia dikenang dapat menerima nasihat dengan sikap yang paling bijak dan lapang dada, dan ia menjadi contoh yang baik bagi kaisar berikutnya. Dia mendorong para pejabat untuk memberikan masukan kepadanya dan memaafkan orang-orang yang mengkritik dia tanpa alasan.

Ketika para bawahannya menyampaikan pendapat mereka atau menunjukkan kesalahan-kesalahannya, ia dengan tulus menjawab, "Apa yang Anda katakan masuk akal. Saat itu aku berpikir ceroboh." Ketika orang mengkritik Kaisar Tang Taizong tanpa alasan, beberapa pejabat menyarankan agar ia menghukumnya. Tang Taizong menjawab, "Aku tidak bisa melakukan itu. Jika aku menghukum mereka, tak akan ada yang berani lagi menunjukkan kesalahan saya." Karena Dinasti Tang memiliki kaisar bijaksana dan banyak pejabat jujur dan lurus, pemerintahannya tidak korup, maka negara stabil dan damai, dan masyarakat hidup damai. Itu adalah era makmur bagi Dinasti tersebut.

 Saat memberikan atau menerima saran, seseorang harus melakukannya tanpa rasa takut, demi kebaikan bagi rakyat diatas segalanya. Qi Xuanwang (sekitar 350-301 SM) adalah raja dari salah satu dari Tujuh Negara Berperang. Suatu kali ia memerintahkan agar istana direnovasi. Setelah mengerjakan hampir tiga tahun belum juga selesai, tetapi tidak seorang pejabatpun memberikan nasihat kepada raja.

Seorang kesatria bernama Chun Ju khawatir bahwa keterlambatan pembangunan dapat menguras sumber daya negara. Dia mempertaruhkan hidupnya untuk memberikan nasihat kepada Raja Qi dan berkata, "Jika seorang raja suatu bangsa tidak mempertimbangkan kemampuan rakyatnya untuk bersabar, apakah ia raja yang baik?" Raja Qi menjawab, "Tidak, itu bukan raja yang baik." Chun Ju mengajukan pertanyaan lain, "Anda sekarang membangun kembali istana yang besar diatas lahan seratus hektar lebih, dengan tiga ratus pintu gerbang. Sebuah negara sebesar Qi bahkan tidak dapat menyelesaikan renovasi sebuah istana dalam tiga tahun, dan tidak ada pejabat yang berani memberikan nasihat. Apakah Yang Mulia benar-benar memiliki pejabat? " Raja Qi ragu-ragu sejenak dan menjawab, "Tidak, aku tidak punya." Chun Ju mohon diri, lalu berbalik dan pergi. Raja Qi tiba-tiba mengerti, ia segera bangun dan berseru, "Tuan Chun, mohon kembalilah! Mengapa Anda membutuhkan waktu begitu lama untuk menasihati saya? Saya segera memerintahkan untuk menghentikan pembangunan." Dia kemudian mengatakan kepada pejabatnya, "Tolong catat ini dalam catatan sejarah negara bahwa saya ingin merenovasi istana dan saya tidak berbudi luhur. Saat itu Tuan Chun yang mengingatkan saya."

Supaya dapat memperbaiki kesalahan dan meningkatkan diri, seseorang harus memiliki hati yang lapang dan pikiran terbuka. Pada pemerintahan Kaisar Kangxi dari Dinasti Qing (1661-1722 M), Zhang Ying adalah seorang pejabat di Istana Wenhua dan Sekretaris Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Zhang Ying bertetangga dengan keluarga terpandang Ye. Pada suatu saat, mereka berselisih tentang tembok halaman. Istri Zhang Ying segera mengirim surat kepada suaminya yang bekerja di istana.

Setelah membaca surat itu, Zhang Ying membalas surat istrinya: "Kau menulis surat dari ribuan kilometer jauhnya tentang sebuah tembok. Tidak ada salahnya untuk mundur tiga meter. Ingatlah kalimat ini: “Tembok besar China masih berdiri, tetapi Kaisar Qin sudah tiada." Nyonya Zhang mengerti maksud suaminya dan memerintahkan para pekerja untuk membangun tembok mundur tiga meter. Keluarga Ye sangat tersentuh dan membangun tembok mundur tiga meter juga. Akhirnya kedua keluarga menjadi tetangga harmonis.



Sesungguhnya, ketika seseorang mampu mengoreksi kesalahannya dan memperbaiki diri, ia benar-benar bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Untuk dapat mencapai itu, kita tidak perlu putus asa karena telah melakukan sebuah kesalahan. Jauh lebih buruk jika menyembunyikannya. Orang harus ingat untuk mengikuti dan melaksanakan prinsip-prinsip memperbaiki diri sendiri setiap saat dalam segala keadaan. Bagi mereka yang telah melakukan kesalahan serius, pengaruhnya bahkan sangat besar. Pepatah kuno mengatakan: "Tidak peduli seberapa besar prestasi yang telah dicapai, tidak sebanding dengan satu ons membual. Tak peduli seberapa serius kejahatan yang telah dilakukannya, tidak dapat dibandingkan rasa penyesalan." Setelah seseorang memiliki rasa malu dan penyesalan, itu adalah tanda kebijaksanaan. Sebaliknya, jika seseorang terus saja membual, tidak mampu keluar dari "diri sendiri" dan "egoisme", sehingga terus mencari pembenaran atas perilakunya, maka ia pasti akan kehilangan teman dan akan menuai apa yang ia tabur.

Zhou Liwang adalah Kaisar kesepuluh Zhou Barat dan memerintah selama hampir enam belas tahun. Dia adalah seorang raja yang lalim dan mendominasi pemerintahan serta membanggakan kemampuannya untuk "mencegah kritik." Walaupun rakyat memiliki banyak keluhan, Zhou Liwang tidak akan membiarkan mereka berbicara dan mengawasi orang-orang yang mengkritik dirinya. Begitu mendengar ada orang yang mengkritiknya, apakah pejabat atau rakyat, ia dijatuhi hukuman mati. Rakyat tidak berani saling berbicara di jalan atau, bahkan jarang berdiskusi. Zhou Liwang lebih mengkhawatirkan tentang "mencegah orang mengkritik daripada mencegah sungai banjir." Tiga tahun kemudian, tanah mulai menghalangi aliran sungai dan menyebabkan banjir. Rakyat tidak bisa lagi menerimanya. Mereka berkumpul di sekeliling istana dan ingin membunuh Zhou Liwang. Para prajurit kerajaan tidak bersedia untuk melindunginya. Keluarga, kerabat dan teman-temannya meninggalkan Zhou Liwang dan dikucilkan ke Zhi.

Sejarah seperti sebuah cermin, dan hasil akhirnya tergantung pada kemampuan seseorang untuk menerima kritik. Kita harus memahami prinsip "Berbuat salah adalah manusiawi, tetapi orang menghormati mereka yang mampu mengakui kesalahan dan bersedia untuk berubah." Kita tidak perlu takut jika membuat kesalahan. Kuncinya adalah mengetahui apa yang dilakukan ketika kita melakukan kesalahan. Sebagian orang takut mendengar kata-kata yang tidak menyenangkan. Begitu mereka mendengar sesuatu yang menyerang saraf, mereka marah, dan ingin menggertak orang lain untuk membalas. Perilaku semacam ini tidak hanya akan menyakiti orang lain tetapi pada akhirnya akan melukai diri sendiri. Kita harus berperilaku dan berbuat yang benar, terus-menerus meningkatkan cara berpikir kita. Maka jalan lapang dan lebar ada di depan kita. (Minghui.net/art)




Minggu, 27 September 2009
Era Baru

http://erabaru.net/featured-news/48-hot-update/5282-memperbaiki-kesalahan-dengan-keberanian

Menikmati Teh yang Baik dengan Alat yang Baik


Memilih peralatan minum teh, selain harus memperhatikan tekstur peralatan itu sesungguhnya, juga harus memperhatikan warna tampilannya.

Hanya dengan memadukan ketiga unsur utama yaitu fungsi, tekstur dan warna, menjadi suatu kesatuan yang serasi, kita baru bisa mendapatkan peralatan minum teh yang sempurna.

Corak warna pada keramik dan mineral yang terkandung pada pemoles saling berhubungan erat, sementara komposisi bahan mineral yang sama dengan persentase berbeda juga dapat menghasilkan corak warna yang berbeda pula.

Keramik umumnya dibuat dari tanah liat yang mengandung bahan besi beroksidan, hanya saja temperatur pembuatannya, tingkat oksidasinya yang berbeda, corak warnanya terdiri dari kuning, merah kecoklatan, coklat, abu–abu dan lain–lain. Sementara corak gambarnya sangat kaya dan bervariasi.

Corak warna pada peralatan minum teh yang dimaksud di sini adalah warna dari bahan pembuatnya serta warna dari gambar yang dilukiskan ke atas peralatan minum tersebut, yang biasanya terbagi menjadi dua jenis corak yaitu corak dingin dan corak hangat.

Corak dingin terdiri dari warna–warna biru, hijau, putih, hitam dan lain–lain, sementara corak hangat terdiri dari warna kuning, orange, merah, coklat dan lain–lain. Memilih corak warna pada peralatan minum teh sepenuhnya tergantung pada kombinasi pilihan warna dari tampak luarnya saja.

Prinsip ini harus dikombinasikan dengan daun teh. Untuk dinding sebelah dalam gelas minum sebaiknya digunakan yang berwarna putih, agar dapat merefleksikan warna dari cairan teh itu sendiri dan tingkat kejernihannya. Bersamaan dengan itu, harus diperhatikan juga kombinasi warna dengan teko kecil, kendi, cangkir dan peralatan lainnya, lalu dipadu dengan nampan besar, baki, penutup, agar tercipta kesan sejiwa.

Jika peralatan minum teh utama ini dapat dikombinasikan dengan perlengkapan tambahan, maka akan lebih sempurna lagi. Pemilihan corak warna yang sesuai untuk berbagai jenis peralatan minum teh antara lain adalah :

Teh hijau :
cangkir kaca gelas, sebaiknya tidak berwarna, tidak bermotif, tidak ada tutup. Atau gunakan keramik putih, biru, cangkir keramik biru yang tidak ada tutup.

Teh bunga :
keramik biru, keramik biru bermotif, mangkok dengan tutup, cangkir dengan tutup, cangkir.

Teh kuning : keramik putih susu atau kuning dan cangkir kuning jeruk, mangkok dengan tutup, cangkir dengan tutup.

Teh merah : berbahan pasir ungu, keramik putih, keramik merah, peralatan yang berwarna hangat, cangkir dengan tutup, mangkok dengan tutup atau peralatan minum kopi.

Teh putih :
keramik putih atau cangkir tembikar tanah kuning dan keramik hitam yang dindingnya bercorak.

Teh Wulung : peralatan teh berbahan pasir ungu, atau dari keramik putih, mangkok dengan tutup, cangkir dengan tutup. Juga dapat menggunakan peralatan teh berbahan tembikar berwarna abu kecoklatan. (The Epoch Times/dia)

Senin, 28 September 2009
Era Baru

http://erabaru.net/featured-news/48-hot-update/5295-menikmati-teh-yang-baik-dengan-alat-yang-baik

Sanggupkah Wanita Menjadi Tiang Agama


Wanita adalah tiang agama. Mendengar pepatah ini, sebagai wanita seperti mendapat beban yang sangat berat yang mesti dipikul dalam menjalani kehidupan ini. Seolah-olah hancur leburnya dunia ini semua diserahkan kepada wanita sebagai penanggung jawab. Dunia berada dalam genggaman tangan wanita, entah madu atau racun yang akan disuguhkan, itu semua tergantung pada wanita. Namun jika ditinjau dari sisi sebaliknya, wanita seharusnya merasa bangga jika mampu mewujudkan keberhasilanya sebagai wanita penegak tiang agama.

Wanita yang mampu menyuguhkan madu buat keluarganya, tentunya bukan sembarang wanita yang mampu melakukan. Wanita tersebut pasti mempunyai iman yang kuat, tahu nilai-nilai kebajikan dan tabah menjalani segala cobaan hidup. Tidak gampang terpengaruh oleh kilaunya dunia serta mampu memahami arti kehidupan di dunia fana ini. Wanita seperti ini tentunya tidak gampang terbujuk oleh bujuk rayu nafsu keduniawian, sikapnya sederhana dan menyejukan hati siapa saja yang berada bersamanya. Dengan demikian tak ada alasan bagi pengaruh jahat apapun yang akan berusaha menghancurkannya, karena tidak ada celah kekosongan dalam hatinya yang mampu disusupi oleh pengaruhi iblis manapun.


Sebaliknya wanita yang membawa racun, seluruh hidupnya hanya akan menghancurkan orang-orang disekitarnya. Sebagai ibu, dia hanya bisa mengajarkan anak-anaknya mengejar keduniawan, bagaimana mengejar kepentingan pribadi dan keluarga semata-mata demi nama baik dan kekayaan. Anak bagi dia adalah sebagai penerus ambisinya, sebagai alat pemuas nafsu mengejar nama baik dan pengumpul kekayaan. Sepanjang hidupnya dalam hatinya hanya terisi keinginan untuk menjadi pemenang untuk meraih puja dan puji. Sebagai istri, wanita ini hanya akan selalu menuntut agar suaminya memenuhi segala keinginanya untuk menjadi wanita yang paling sempurna dalam penampilannya. Dia sudah tidak peduli berapa besar kemampuan suaminya dalam mewujudkan keinginannya. Sedangkan suami yang tidak tegas salah-salah akan menghalalkan segala cara demi permintaan istri dan anak hasil didikannya.


Wanita yang mampu menegakkan tiang agama, akan dengan tegas mampu menolak segala sesuatu yang tidak mengikuti norma kebajikan dalam agama dan mampu memikul konsekwensi atas segala penolakannya. Misalnya suami atau anak terlibat perbuatan yang meyimpang dari agama, dia sangggup dengan tegas meminta suami dan anaknya untuk kembali ke jalan yang benar dengan berani menangung resiko kemiskinan dan menanggung perasaan terhina dan segala penderitaan, bukan malah berusaha menutupi segala perbuatan buruk suami dan anaknya demi menutupi rasa malunya sendiri. Dalam kemiskinan wanita tersebut mampu menahan segala godaan yang menyesatkan, serta mampu meghindar dari segala bujuk rayu yang menawarkan kenikmatan agar segera terlepas dari penderitaannya. Dengan kata lain, wanita ini, tak peduli betapa menderitanya, dia sanggup bertahan demi mempertahankan moral dan kebajikan dengan penuh keyakinan.


Seandainya semua wanita mempunyai nilai-nilai moral dan kebajikan yang tinggi, niscaya tak ada lagi istilah laki-laki hidung belang, tak ada lagi perselingkuhan, tak ada lagi korupsi karena semua wanita tak tergiur oleh harta dan tak silau oleh puja dan puji. Biarkanlah para pria yang mempunyai hati dan niat yang tidak baik bertepuk sebelah tangan, dengan demikian seluruh angan-angan buruknya akan sirna dengan sendirinya. Jika semua wanita sanggup berbuat begini maka tiang agama benar-benar akan tegak dan tak akan pernah tergoyahkan.(erabaru.net)

Oleh : Nurani Utami

Senin, 28 September 2009
Era Baru News

http://erabaru.net/featured-news/48-hot-update/5305-sanggupkah-wanita-menjadi-tiang-agama

Hepatitis C Jadi Ancaman Terselubung




Jakarta - Hepatitis C berpotensi menjadi wabah terselubung karena penyakit hati akibat infeksi virus yang dapat menular dengan cepat antarmanusia tersebut tidak menunjukkan gejala khas sehingga sulit teridentifikasi.



"Data yang ada mengindikasikan, masalah hepatitis C telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius. Penyakit ini mematikan dan berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa," kata Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit Menular Departemen Kesehatan Tjandra Yoga Aditama di Jakarta, Selasa (29/9).

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) memperkirakan tujuh juta penduduk Indonesia mengidap virus hepatitis C dan ribuan infeksi baru muncul setiap tahun namun 90 persen pengidap tidak menyadari kondisi infeksi mereka.

Pemerintah belum memiliki data kasus dan sebaran hepatitis C menyeluruh namun sejak dua tahun lalu memulai pendataan kasus hepatitis di sejumlah provinsi bekerja sama dengan perusahaan farmasi PT Roche Indonesia.

Menurut hasil pendataan yang dilakukan 123 unit pelapor yang terdiri atas unit transfusi darah, rumah sakit dan laboratorium kesehatan di 21 provinsi tersebut, jumlah kasus positif hepatitis C yang terlapor di unit pelapor total sebanyak 15.736 kasus.

"Tetapi itu belum bisa digunakan sebagai acuan untuk memperkirakan insiden atau prevalensi karena pendataan hanya dilakukan berbasis fasilitas," kata Tjandra.

Pemerintah, lanjutnya, berencana melanjutkan dan memperluas pemantauan (surveilans) kasus hepatitis C untuk mendapat gambaran penyebaran penyakit tersebut di Indonesia.

"Surveilans di 21 provinsi tetap dilanjutkan dan akan diperluas. Tetapi itu butuh waktu karena tidak mudah menyiapkan sentinel-sentinel pengumpulan data untuk keperluan tersebut," kata Tjandra.

Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) Unggul Budihusodo mengatakan surveilans nasional hepatitis C sangat diperlukan dalam penyusunan strategi penanganan hepatitis C yang komprehensif.

"Data kasus dan sebaran yang dihasilkan dari kegiatan pemantauan penyakit akan menjadi dasar dalam menyusun strategi, kebijakan dan program intervensi," katanya.

Penanggulangan penyakit itu mesti dilakukan secara komprehensif karena beban tahunan akibat penyakit itu tergolong tinggi. Biaya tahunan yang dibutuhkan setiap pasien hepatitis C kronis per tahun mencapai Rp3,5 juta hingga Rp5 juta, pasien sirosis Rp15 juta-Rp20 juta dan pasien kanker hati Rp1,3 miliar-Rp3 miliar.
Penularan

Infeksi virus hepatitis C menular dari manusia ke manusia lewat cairan darah terinfeksi, antara lain melalui transfusi, pemakaian jarum dan alat medis berulang, penggunaan alat cukur dan pemotong kuku secara bergantian.

Hal itu membuat pengguna narkotika dengan suntikan, penerima produk darah yang belum melalui proses pemindaian, penerima transplantasi organ tanpa pemindaian, pasien hemofilia dan hemodialisis (cuci darah), tenaga medis dan orang dengan mitra seksual terinfeksi hepatitis C menjadi kelompok yang berisiko terserang hepatitis C.

Menurut Prof Ali Sulaiman dari Divisi Hepatologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, infeksi hepatitis C kronis dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya dan dalam jangka panjang menyebabkan komplikasi berat seperti sirosis (pengerasan hati) dan kanker hati yang berujung kematian.

Jumlah pengidap virus hepatitis C di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, menurut WHO cukup tinggi namun persentase jumlah orang yang ditemukan atau terdiagnosis sangat bervariasi dengan kisaran antara lima persen hingga 50 persen.

Tingkat pelaporan kasus tersebut tergolong rendah karena tidak ada gejala khas yang menandainya. Hal itu, menurut WHO, membuat sekitar 90 persen pengidap virus hepatitis C tidak sadar telah terinfeksi.

Oleh karena itu, lanjut Prof Ali, yang terpenting dalam upaya penanggulangan penyakit tersebut adalah pencegahan dini, akses terapi dan surveilans nasional.

Pencegahan infeksi, menurut dia, bisa dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dini, khususnya bagi mereka yang berisiko tinggi tertular virus hepatitis C.

"Petugas kesehatan harus memastikan melakukan tindakan pencegahan standar. Sebaiknya jangan menggunakan jarum yang sudah terkontaminasi darah dan mentato atau menindik tubuh. Lakukan seks secara aman," katanya.(ant/yan)

Selasa, 29 September 2009
Era Baru News


http://erabaru.net/featured-news/48-hot-update/5344-hepatitis-c-jadi-ancaman-terselubung

Senin, 28 September 2009

RENUNGAN : Kaca Spion (Catatan Andy F Noya )

Sejak bekerja saya tidak pernah lagi berkunjung ke Perpustakaan Soemantri Brodjonegoro di Jalan Rasuna Said, Jakarta . Tapi, suatu hari ada kerinduan dan dorongan yang luar biasa untuk ke sana . Bukan untuk baca buku, melainkan makan gado-gado di luar pagar perpustakaan.

Gado-gado yang dulu selalu membuat saya ngiler. Namun baru dua tiga suap, saya merasa gado-gado yang masuk ke mulut jauh dari bayangan masa lalu. Bumbu kacang yang dulu ingin saya jilat sampai piringnya mengkilap, kini rasanya amburadul. Padahal ini gado-gado yang saya makan dulu. Kain penutup hitamnya sama. Penjualnya juga masih sama. Tapi mengapa rasanya jauh berbeda? malamnya, soal gado-gado itu saya ceritakan kepada istri. Bukan soal rasanya yang mengecewakan, tetapi ada hal lain yang membuat saya gundah.

Sewaktu kuliah, hampir setiap siang, sebelum ke kampus saya selalu mampir ke perpustakaan Soemantri Brodjonegoro. Ini tempat favorit saya. Selain karena harus menyalin bahan-bahan pelajaran dari buku-buku wajib yang tidak mampu saya beli, berada di antara ratusan buku membuat saya merasa begitu bahagia. Biasanya satu sampai dua jam saya di sana . Jika masih ada waktu, saya melahap buku-buku yang saya minati. Bau harum buku, terutama buku baru, sungguh membuat pikiran terang dan hati riang. Sebelum meninggalkan perpustakaan, biasanya saya singgah di gerobak gado-gado di sudut jalan, di luar pagar. Kain penutupnya khas, warna hitam. Menurut saya, waktu itu, inilah gado-gado paling enak seantero Jakarta . Harganya Rp 500 sepiring
sudah termasuk lontong. Makan sepiring tidak akan pernah puas. Kalau ada uang lebih, saya pasti nambah satu piring lagi. Tahun berganti tahun. Drop out dari kuliah, saya bekerja di Majalah TEMPO sebagai reporter buku Apa dan Siapa Orang Indonesia . Kemudian pindah menjadi reporter di Harian Bisnis Indonesia . Setelah itu menjadi redaktur di Majalah MATRA. Karir sayaterus meningkat hingga menjadi pemimpin redaksi di Harian Media Indonesia dan Metro TV.

Sampai suatu hari, kerinduan itu datang. Saya rindu makan gado-gado di sudut jalan itu. Tetapi ketika rasa gado-gado berubah drastis, saya menjadi gundah. Kegundahan yang aneh. Kepada istri saya utarakan kegundahan tersebut. Saya risau saya sudah berubah dan tidak lagi menjadi diri saya sendiri. Padahal sejak kecil saya berjanji jika suatu hari kelak saya punya penghasilan yang cukup, punya mobil sendiri, dan punya rumah sendiri, saya tidak ingin berubah. Saya tidak ingin menjadi sombong karenanya.

Hal itu berkaitan dengan pengalaman masa kecil saya di Surabaya . Sejak kecil saya benci orang kaya. Ada kejadian yang sangat membekas dan menjadi trauma masa kecil saya. Waktu itu umur saya sembilan tahun. Saya bersama seorang teman berboncengan sepeda hendak bermain bola. Sepeda milik teman yang saya kemudikan menyerempet sebuah mobil. Kaca spion mobil itu patah.

Begitu takutnya, bak kesetanan saya berlari pulang. Jarak 10 kilometer saya tempuh tanpa berhenti. Hampir pingsan rasanya. Sesampai di rumah saya langsung bersembunyi di bawah kolong tempat tidur. Upaya yang sebenarnya sia-sia. Sebab waktu itu kami hanya tinggal di sebuah garasi mobil, di Jalan Prapanca. Garasi mobil itu oleh pemiliknya disulap menjadi kamar untuk disewakan kepada kami. Dengan ukuran kamar yang cuma enam kali empat meter, tidak akan sulit menemukan saya. Apalagi tempat tidur di mana saya bersembunyi adalah satu-satunya tempat tidur di ruangan itu. Tak lama kemudian, saya mendengar keributan di luar. Rupanya sang pemilik mobil datang. dengan suara keras dia marah-marah dan mengancam ibu saya. Intinya dia meminta ganti rugi atas kerusakan mobilnya.

Pria itu, yang cuma saya kenali dari suaranya yang keras dan tidak bersahabat, akhirnya pergi setelah ibu berjanji akan mengganti kaca spion mobilnya. Saya ingat harga kaca spion itu Rp 2.000. Tapi uang senilai itu, pada tahun 1970, sangat besar. Terutama bagi ibu yang mengandalkan penghasilan dari menjahit baju. Sebagai gambaran , ongkos menjahit baju waktu itu Rp 1.000 per potong. Satu baju memakan waktu dua minggu. Dalam sebulan, order jahitan tidak menentu. Kadang sebulan ada tiga, tapi lebih sering cuma satu. Dengan penghasilan dari menjahit itulah kami - ibu, dua kakak, dan saya - harus bisa bertahan hidup sebulan.

Setiap bulan ibu harus mengangsur ganti rugi kaca spion tersebut. Setiap akhir bulan sang pemilik mobil, atau utusannya, datang untuk mengambil uang. Begitu berbulan - bulan. Saya lupa berapa lama ibu harus menyisihkan uang untuk itu. Tetapi rasanya tidak ada habis-habisnya. Setiap akhir bulan, saat orang itu datang untuk mengambil uang, saya selalu ketakutan. Di mata saya dia begitu jahat. Bukankah dia kaya? Apalah artinya kaca spion mobil baginya? Tidakah dia berbelas kasihan melihat kondisi ibu dan kami yang hanya menumpang di sebuah garasi?

Saya tidak habis mengerti betapa teganya dia. Apalagi jika melihat wajah ibu juga gelisah menjelang saat-saat pembayaran tiba. Saya benci pemilik mobil itu. Saya benci orang-orang yang naik mobil mahal. Saya benci orang kaya.

Untuk menyalurkan kebencian itu, sering saya mengempeskan ban mobil-mobil mewah. Bahkan anak-anak orang kaya menjadi sasaran saya. Jika musim layangan, saya main ke kompleks perumahan orang-orang kaya. Saya menawarkan jasa menjadi tukang gulung benang gelasan ketika mereka adu layangan. Pada saat mereka sedang asyik, diam-diam benangnya saya putus dan gulungan benang gelasannya saya bawa lari.

Begitu berkali-kali. Setiap berhasil melakukannya, saya puas. Ada dendam yang terbalaskan. Sampai remaja perasaan itu masih ada. Saya muak melihat orang-orang kaya di dalam mobil mewah. Saya merasa semua orang yang naik mobil mahal jahat. Mereka orang-orang yang tidak punya belas kasihan. Mereka tidak punya hati nurani.

Nah, ketika sudah bekerja dan rindu pada gado-gado yang dulu semasa kuliah begitu lezat, saya dihadapkan pada kenyataan rasa gado-gado itu tidak enak di lidah. Saya gundah. Jangan-jangan sayalah yang sudah berubah. Hal yang sangat saya takuti.

Kegundahan itu saya utarakan kepada istri. Dia hanya tertawa. ''Andy Noya, kamu tidak usah merasa bersalah. Kalau gado-gado langgananmu dulu tidak lagi nikmat, itu karena sekarang kamu sudah pernah merasakan berbagai jenis makanan. Dulu mungkin kamu hanya bisa makan gado-gado di pinggir jalan. Sekarang, apalagi sebagai wartawan, kamu punya kesempatan mencoba makanan yang enak-enak. Citarasamu sudah meningkat,'' ujarnya. Ketika dia melihat saya tetap gundah, istri saya mencoba meyakinkan, "Kamu berhak untuk itu. Sebab kamu sudah bekerja keras." Tidak mudah untuk untuk menghilangkan perasaan bersalah itu. Sama sulitnya dengan meyakinkan diri saya waktu itu bahwa tidak semua orang kaya itu jahat. Dengan karir yang terus meningkat dan gaji yang saya terima, ada ketakutan saya akan berubah. Saya takut perasaan saya tidak lagi sensisitif. Itulah kegundahan hati saya setelah makan gado-gado yang berubah rasa. Saya takut bukan rasa gado-gado yang berubah, tetapi
sayalah yang berubah. Berubah menjadi sombong.

Ketakutan itu memang sangat kuat. Saya tidak ingin menjadi tidak sensitif.
Saya tidak ingin menjadi seperti pemilik mobil yang kaca spionnya saya tabrak. Kesadaran semacam itu selalu saya tanamkan dalam hati. Walau dalam kehidupan sehari- hari sering menghadapi ujian. Salah satunya ketika mobil saya ditabrak sepeda motor dari belakang. Penumpang dan orang yang dibonceng terjerembab. Pada siang terik, ketika jalanan macet, ditabrak dari belakang, sungguh ujian yang berat untuk tidak marah. Rasanya ingin melompat dan mendamprat pemilik motor yang menabrak saya.

Namun, saya terkejut ketika menyadari yang dibonceng adalah seorang ibu tua dengan kebaya lusuh. Pengemudi motor adalah anaknya. Mereka berdua pucat pasi.
Selain karena terjatuh , tentu karena melihat mobil saya penyok. Hanya dalam sekian detik bayangan masa kecil saya melintas. Wajah pucat itu serupa dengan wajah saya ketika menabrak kaca spion.

Wajah yang merefleksikan ketakutan akan akibat yang harus mereka tanggung. Sang ibu, yang ecet-lecet di lutut dan sikunya, berkali-kali meminta maaf atas keteledoran anaknya. Dengan mengabaikan lukanya, dia berusaha meluluhkan hati saya. Setidaknya agar saya tidak menuntut ganti rugi. Sementara sang anak terpaku membisu. Pucat pasi. Hati yang panas segera luluh. Saya tidak ingin mengulang apa yang pernah terjadi pada saya. Saya tidak boleh membiarkan benih kebencian lahir siang itu. Apalah artinya mobil yang penyok berbanding beban yang harus mereka pikul.

Maka saya bersyukur. Bersyukur pernah berada di posisi mereka. Dengan begitu saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Setidaknya siang itu saya tidak ingin lahir sebuah benih kebencian. Kebencian seperti yang pernah saya rasakan dulu. Kebencian yang lahir dari pengalaman hidup yang pahit.

http://adamakna.blogspot.com/2009/02/renungan-kaca-spion-catatan-andy-f-noya.html

Free Trade Gagal Atasi Kemiskinan Warga Dunia







Guru Besar Universitas Nusa Cendana (Undana) Prof. Ir. Fredrik Lukas Benu, MSi, Ph.D mengemukakan kapitalisme dan radikalisme pasar bebas di era global telah gagal mengatasi persoalan kemiskinan yang meluas di dunia ketiga.

"Fenomena ini banyak berhubungan dengan kelangkaan bahan pangan di dunia dan kenaikan harga pangan yang mencapai di atas 50 persen," kata Prof. Benu, dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar ekonomi produksi Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, di Kupang, Sabtu (19/9).

Menurutnya, ada tiga alasan mengapa kapitalisme dan radikalisme pasar bebas di era global gagal mengatasi persoalan kemiskinan.

Alasan pertama, hilangnya visi peran berimbang pemerintah. Banyak "deregulasi" (ketidak teraturan) yang dihasilkan akibat tekanan pasar global sebagai contoh nyata dari kekurangan visi pemerintah dalam mengatur mekanisme perimbangan dalam perdagangan bebas.

Dia mengatakan, "deregulasi" yang dilakukan di banyak negara berkembang, juga merupakan buah dari `palang pintu` utama kapitalisme yaitu Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank) yang banyak memberikan saran terhadap resesi yang dialami negara-negara berkembang.

"Sejak awal, memang kita semua cukup menyadari bahwa tawaran bantuan IMF seperti `madu dan racun`, tetapi kita terpaksa harus `menelannya` karena ketidakmampuan menahan tekanan kapitalisme," katanya.

Menurut dia, peran berimbang pemerintah sangat diperlukan dalam mengatur lalu lintas perdagangan, agar dapat berlangsung secara adil antarpelaku ekonomi di negara ini.

Namun, harus disadari bahwa mengharapkan adanya visi peran perimbangan pemerintah sendiri sangatlah tidak mungkin, karena kelemahan struktur pemerintahan di banyak negara dunia ketiga bahkan negara berkembang telah "tertawan" oleh radikalisme perdagangan bebas.

Bahkan dalam banyak kasus, katanya, justru pemerintah berperan mendorong terjadinya ketimpangan sosial antarpelaku ekonomi.

"Lebih buruk lagi, bila ketimpangan yang terjadi akibat campur tangan pemerintah `yang salah` dibanding membiarkan pasar bekerja secara bebas," katanya.

Di sinilah, lanjut Benu, pentingnya kehadiran instrumen lain khususnya dunia kampus yang diharapkan mampu memainkan peranan perimbangan.

"Kampus sendiri memang bukan instrumen penentu kebijakan, tetapi minimal dunia kampus dapat memainkan peranan sebagai 'antecedent variable' atau variabel perantara dalam penguatan instrumen kebijakan untuk mewujudkan visi perimbangan," katanya.

Alasan kedua,
menurutnya, adalah kurang adanya tanggungjawab sosial dari kaum kapitalis.

Menurut dia, penganut paham pasar bebas yang radikal memegang teguh asumsi klasik bahwa, jika setiap individu dibiarkan melakukan tindakan profit taking atau mengambil keuntungan tanpa adanya hambatan dari pihak manapun, khususnya pemerintah, maka efisiensi secara "agregat" akan terjadi dan kesejahteraan sosial pun akan tercipta dengan sendirinya.

"Paham pasar bebas ini salah besar karena kesejahteraan sosial tidak pernah terwujud, malah kesenjangan yang terjadi dan bahkan kesenjangan sosial ini semakin didorong pada era global," katanya.

Benu menambahkan, kaum profit seeker akan melakukan cara apa pun untuk memperoleh keuntungan setinggi-tingginya.

"Bagi mereka, benar atau salah tidak menjadi masalah, 'fair' atau tidak urusan kedua, yang penting untung dan akhirnya kreasi efisiensi sosial sebagaimana yang diharapkan malah berbuah kesenjangan, kemiskinan, dan kemelaratan di berbagai belahan dunia," kata Benu.

Alasan ketiga
kapitalisme dan radikal gagal adalah peran kontraproduktif perbankan. "Hal ini bersangkut paut dengan sektor moneter global," katanya. (ant/ika)

Sabtu, 19 September 2009 16:34:01
Esqmagazine.com

http://esqmagazine.com/ekonomi-bisnis/2009/09/19/477/free-trade-gagal-atasi-kemiskinan-warga-dunia.html

"AKU CINTA KAMU" DALAM BERBAGAI BAHASA




Istilah2 Aku Cinta Kamu dalam berbagai bahasa, dapat disimak di bawah ini:
Jangan lupa bagi pemula diharuskan memberi embel-embel artinya. Jangan sampai pasangan kita ga paham dan nanti bukannya disayangi tapi malah disemprot :) karena salah paham. OK
Pilih menurut kamu ok.Sip ?


1. Afrikaans - Ek is lief vir jou
2. Albanian - te dua
3. Alentejano (Portugal) - Gosto De Ti, Porra!
4. Alsacien (Elsass) - Ich hoan dich gear
5. Amharic (Aethio.) - Afekrishalehou
6. Arabic - Ana Ahebak / Ana Bahibak
7. Armenian - yes kez shat em siroom
8. Assamese - Moi tomak bhal pau
9. Assyr - Az tha hijthmekem
10. Bahasa Malayu (Malaysia) - Saya cinta mu
11. Bambara - M’bi fe
12. Bangla - Ami tomakay bala basi
13. Bangladeschi - Ami tomake walobashi
14. Basque - Nere maitea
15. Batak - Holong rohangku di ho
16. Bavarian - tuI mog di
17. Belarusian - Ya tabe kahayu
18. Bengali - Ami tomake bhalobashi
19. Berber - Lakh tirikh
20. Bicol - Namumutan ta ka
21. Bisaya - Nahigugma ako kanimo
22. Bolivian Quechua - Qanta munani
23. Bosnian - Ja te volim (formally) or volim-te Turkish seni seviyorum
24. Bulgarian - As te obicham
25. Bulgarian - Obicham te
26. Burmese - chit pa de
27. Cambodian (to the female) - bon saleng oun
28. Cambodian (to the male) - oun saleng bon
29. Canadian French - Je t’adore (”I love you”)
30. Canadian French - Je t’aime (”I like you”)
31. Catalan - T’estim (mallorcan)
32. Cebuano - Gihigugma ko ikaw
33. Chamoru (or Chamorro) - Hu guaiya hao
34. Cherokee - Tsi ge yu i
35. Cheyenne - Ne mohotatse
36. Chichewa - Ndimakukonda
37. Chickasaw - Chiholloli (first ‘i’ nasalized)
38. Chinese - Ngo oi ney a (Cantonese)
39. Chinese - Wuo ai nee (Mandarin) / wo ai ni --> updated by mei*mei
40. Corsican - Ti tengu cara (to female)
41. Corsican - Ti tengu caru (to male)
42. Creol - Mi aime jou
43. Croatian - Volim te (used in common speech)
44. Czech - Miluji Te
45. Danish - Jeg elsker dig
46. Dutch - Ik hou van jou
47. Dutch - Jeg elsker dig
48. Ecuador Quechua - Canda munani
49. English - I love thee (used only in Christian context)
50. English - I love you
51. Eskimo - Nagligivaget
52. Esperanto - Mi amas vim
53. Estonian - Ma armastan sind / Mina armastan sind (formal)
54. Ethiopia - afekereshe alhu
55. Faroese - Eg elski teg
56. Farsi - Tora dost daram
57. Filipino - Mahal ka ta --- mahal ki ta --> updated by mei*mei
58. Finnish (Minä) rakastan sinua
59. Flemish (Ghent) - ‘k’ou van ui
60. French (formal) - Je vous aime --- French (non-formal) = Je t'aime --> updated by rhazchan
61. Friesian - Ik hald fan dei
62. Gaelic - Tá mé i ngrá leat
63. Galician - Querote (or) Amote
64. Georgian - Miquar shen
65. German - Ich liebe Dich
66. Ghanaian - Me dor wo
67. Greek - agapo se
68. Greek - S’agapo
69. Greenlandic - Asavakit
70. Gronings - Ik hol van die
71. Gujarati - oo tane prem karu chu
72. Hausa - Ina sonki
73. Hawaiian - Aloha au ia`oe
74. Hebrew - Ani ohevet ota
75. Hiligaynon - Guina higugma ko ikaw
76. Hindi - Main tumsey pyaar karta hoon / Maine Pyar Kiya
77. Hmong - Kuv hlub koj
78. Hokkien - Wa ai lu
79. Hopi - Nu’ umi unangwa’ta
80. Hungarian - Szeretlek te’ged
81. Icelandic - Eg elska thig
82. Ilocano - Ay ayating ka
83. Indi - Mai Tujhe Pyaar Kartha Ho
84. Indonesian - Saya cinta padamu (’Saya’ --> 'Aku')
85. Inuit - Negligevapse
86. Iranian - Mahn doostaht doh-rahm
87. Irish - taim i’ ngra leat
88. Italian - Ti amo/Ti voglio bene
89. Japanese - Anata wa, dai suki desu
90. Javanese (formal) - Kulo tresno marang panjenengan
91. Javanese (informal) - aku terno kowe
92. Kannada - Naanu ninna preetisuttene
93. Kapampangan - Kaluguran daka
94. Kenya (Kalenjin) - Achamin
95. Kenya (Kiswahili) - Ninakupenda
96. Kikongo - Mono ke zola nge (mono ke’ zola nge’)
97. Kiswahili - Nakupenda
98. Konkani - Tu magel moga cho
99. Korean - SA LANG HAE / Na No Sa Lan Hei
100. Kurdish - Khoshtm Auyt
101. Laos - Chanrackkun
102. Latin - Te amo
103. Latvian - Es mîlu Tevi
104. Lebanese - Bahibak
105. Lingala - Nalingi yo
106. Lithuanian - As Myliu Tave
107. Lojban - mi do prami
108. Luo - Aheri
109. Luxembourgeois - Ech hun dech gäer
110. Macedonian - Jas Te Sakam
111. Madrid - lingo Me molas, tronca
112. Malaysia - Saya cintamu / Saya sayangmu / Aku sayang enkow / Sayah Chantikan Awah
113. Malayalam - Njyaan Ninne’ Preetikyunnu
114. Mohawk- Konoronhkwa
115. Navaho - Ayor anosh’ni
116. Norwegian - Eg elskar deg (Nynorsk)
117. Osetian - Aez dae warzyn
118. Persian - Tora dost daram
119. Polish Kocham - Cie / Ja cie kocham
120. Portuguese - Amo-te / Eu te amo
121. Romanian - Te iu besc
122. Russian - Ya vas liubliu / ya liubliu tebia / ya tebia liubliu / Ya polyubeel tebya.
123. Scot - Gaelic Tha gra\dh agam ort
124. Serbian - LUBim te.
125. Serbocroatian - volim te
126. Shona - Ndinokuda
127. Sinhalese - Mama oyata adarei
128. Sioux - Techihhila
129. Slovak - lubim ta
130. Slovene - ljubim te
131. Spanish - Te quiero / Te amo
132. Srilankan Mama Oyata Arderyi
133. Swahili - Naku penda (followed by the person’s name)
134. Swedish - Jag a”lskar dig
135. Swiss-German Ch’ha di ga”rn
136. Syrian - Lebanes BHEBBEK (to a female) / Lebanes BHEBBAK (to a male)
138. Tagalog - Mahal kita
139. Tamil - n^An unnaik kAthalikkinREn (I love you)
140. Telugu - Neenu ninnu pra’mistu’nnanu
141. Thai - Ch’an Rak Khun / Phom Rak Khun
142. Tunisian - Ha eh bak *
143. Turkish - Seni seviyo*rum (o* means o)
144. Ukrainian - ja tebe koKHAju (real true love)
145. Vietnamese - Em ye^u anh (woman to man) / Anh ye^u em (man to woman)
146. Welsh - ‘Rwy’n dy garu di.
147. Yiddish Ich libe dich
148. Yugoslavian - Ya te volim
149. Zazi - Ezhele hezdege (sp?)
150. Zuni - Tom ho’ ichema
151. Zulu - Ngiyakuthanda!

Dalam bahasa daerah:

1. Aceh - loen galak ngon gata
2. Bangka - ku nek kek ka
3. Banjarmasin - unda katuju’ lawan ikam
4. Batak Karo - ngena ateku kam
5. Batak Toba - holong rohakku tu ho --> updated by babiho
6. Bugis - u puji’ki an’dri
7. Dayak (kenyah) - ake uba iko
8. Jakarta - abang demen ame eneng
9. Jawa - aku tresna karo kowe / kowe demen sampeyan / aku seneng kowe
10. Manado - kita suka pangana
11. Padang - ambo senang siko
12. Palembang - aku cinto bedebek samo kau
13. Sunda - abdi bogoh ka anjeun
14. Suroboyo - aku cinta kön, c*k!!!
15. Malang - Uka cinta umak
16. Osing - Isun demen nang riko

Good Luck Bro!

http://adamakna.blogspot.com/2009/02/aku-cinta-kamu-dalam-berbagai-bahasa.html

ARTI WARNA-WARNA FAVORIT KITA





Kita pasti memiliki warna favorit yang bisa saja menggambarkan kepribadian kita.Leatrice Eisman, seorang konsultan warna dan penulis buku More Alive With Color, memberi arti dari warna-warna favorit Anda.




Biru
Arti: kesetiaan, ketenangan, sensitif dan bisa diandalkan.
“Biru memiliki arti stabil karena itu adalah warna langit,” kata Eisman. Meski langit kelabu dan akan hujan, kita tahu di atas awan-awan itu warna langit tetaplah biru.

Kapan dipakai: Biru tua lebih cocok untuk acara formal atau seragam, sementara biru muda untuk yang sifatnya non formal. “Untuk memberi kesan humor dan kreatifitas, cobalah campuran warna biru dan ungu,” kata Eisman.

Keabu-abuan
Arti: Serius, bisa diandalkan dan stabil
Warna abu-abu adalah warna alam. Di luar sana warna abu-abu merupakan warna yang permanen, misalnya batu atau karang.

Kapan dipakai: “Abu-abu adalah warna yang kuat dan praktikal,” kata Eisman. Saat wawancara kerja, pilih busana warna ini untuk menunjukkan Anda orang yang bertanggung jawab. Tapi bila warna ini dipakai dari atas hingga ke bawah Anda akan dianggap orang yang membosankan. Beri sentuhan warna lain, misalnya atasan bercorak, sepatu cantik, atau anting-anting yang manis.

Merah muda
Arti: Cinta, kasih sayang, kelembutan, feminin
Warna yang disukai banyak wanita ini menyiratkan sesuatu yang lembut dan menenangkan, tapi kurang bersemangat dan membuat energi melemah.

Kapan dipakai: Bila ingin memberi kesan lebih sensual, jangan gunakan warna ini, kata Eisman. Warna pink yang lembut cocok untuk acara kencan yang romantis, bukan menggairahkan.

Merah
Arti: Kuat, berani, percaya diri, gairah
Merah adalah warna yang punya banyak arti, mulai dari cinta yang menggairahkan hingga kekerasan perang. Warna ini tak cuma memengaruhi psikologi tapi juga fisik. Penelitian menunjukkan menatap warna merah bisa meningkatkan detak jantung dan membuat kita bernapas lebih cepat.

Kapan dipakai: Ini adalah warna yang dinamis dan dramatis. Bila dipakai dalam dunia profesional memiliki kesan yang sangat kuat. Tapi jangan gunakan baju merah saat wawancara kerja. “Warna ini bisa menimbulkan konflik saat negosiasi,” kata Eisman. Kenakan warna merah hanya sebagai aksen, misalnya kamisol merah yang dipadankan dengan blazer abu-abu.

Kuning
Arti: Muda, gembira, imajinasi
Warna kuning akan meningkatkan konsentrasi, itu sebabnya warna ini dipakai untuk kertas legal atau post it. Kuning juga merupakan warna persahabatan. Jadi Anda sudah bisa menebak jika si dia memberi mawar kuning saat Valentine.

Kapan dipakai: Banyak orang yang kurang pede memakai warna ini karena takut terlihat mencolok. Padahal warna kuning hadir dalam berbagai variasi, mulai dari pastel hingga kuning cerah. Bila Anda tak nyaman dengan busana warna ini, padankan dengan sesuatu yang Anda sukai, misalnya tas bunga-bunga warna kuning.

Hitam
Arti: Elegan, kuat, sophisticated
Hitam punya reputasi buruk. Warna ini dipakai oleh para penjahat di komik atau film. Hitam juga melambangkan duka dan murung. Tapi, hitam juga punya sisi lain, misalnya saja untuk menyatakan sesuatu yang abadi, klasik, dan secara universal dianggap sebagai warna yang melangsingkan.

Kapan dipakai: Khawatir Anda akan memakai gaun dengan warna sama dalam pesta? Tambahkan sedikit keceriaan, misalnya gunakan perona mata cerah, kalung bebatuan, cat kuku warna merah, atau stiletto warna silver. Warna hitam mudah dipadukan dengan aksesori jenis apa pun.

Hijau
Arti: Kesejukan, keberuntungan, dan kesehatan.
Hijau melambangkan alam, kehidupan, dan simbol fertilitas. Para pengantin di abad 15 menggunakan gaun pengantin berwarna hijau.

Kapan dipakai: Warna hijau cocok dipakai

http://adamakna.blogspot.com/2009/02/arti-warna-warna-favorit-kita.html

Minggu, 27 September 2009

Kunyah Tembakau Bikin Cerdas


Selama ini tembakau dianggap sebagai biang penyebab berbagai penyakit, sehingga diperangi oleh para pegiat kesehatan. Akibatnya yang terjadi adalah dua kutub pertentangan antara ekonom pro petani tembakau dan pegiat anti tembakau.

Menurut Abdulbar Hamid, Dokter spesialis syaraf Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, berdasarkan referensi ilmu kedokteran, tembakau bisa meningkatkan kecerdasan.

“Berdasarkan referensi ilmu kedokteran, tembakau bisa meningkatkan kecerdasan. Asal tidak dihisap,” jelasnya belum lama ini.

Jika diisap dalam bentuk rokok, menurut Abdulbar, inilah yang dapat menimbulkan masalah kesehatan, seperti gangguan jantung, pembuluh darah dan problem kesehatan lainnya.

“Karena proses pembakaran itulah, tembakau menjadi racun, menimbulkan tar dan berbahaya bagi kesehatan,” ujarnya dokter lulusan Universitas Indonesia ini.

Pendapat dari pengurus Persatuan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia itu meluruskan persepsi yang salah tentang tembakau.

“Zat nikotin itu bagus buat kecerdasan dan menghambat dimentia, tapi kalau dikunyah bukan dibakar,” ujarnya.
Dokter Abdulbar mencontohkan, orang desa yang biasa menyusur tembakau di mulutnya, bisa hidup lebih lama dan tetap kuat berjalan kaki jarak jauh.

”Tapi ingat, bukan diisap seperti rokok, tapi disusur seperti nyirih,” pungkasnya. (gg/ika)

Selasa, 22 September 2009 09:27:23
Esqmagazine.com
http://esqmagazine.com/kesehatan/2009/09/22/486/kunyah-tembakau-bikin-cerdas.html


*******************************

Adakah Merokok Sehat?

Kian Siong - Saitama

Menurut prakiraan WHO, jumlah kematian yang terkait dengan rokok saat ini mencapai 5,4 juta orang per tahun, dan jika dibiarkan maka jumlah kematian dapat mencapai satu milliar pada akhir abad 21, yang mana 80% nya merupakan penduduk negara berkembang.

Tidak ada yang menyangkal kalau kebiasaan yang telah dimulai 4-5000 tahun lalu merupakan salah satu biang keladi yang menggrogoti kesehatan manusia, yang secara nyata pula berimbas negatif pada ekonomi negara maju dan berkembang. Jika dibuatkan daftar penyakit yang dapat ditimbulkan dari 4000 jenis zat, unsur dan senyawa kimia yang ada dalam rokok dan asap rokok, maka daftar itu akan merupakan yang terpanjang yang sulit dicarikan tandingannya.

Sebuah penelitian yang lebih dikenal dengan “British doctors study” selama kurun waktu 1951-2001, menyimpulkan kebiasaan merokok telah menyebabkan turunnya harapan hidup sampai 10 tahun. Kesimpulan itu tentunya semakin menguatkan stigma perokok sebagai orang yang “awet muda”, yang artinya mereka memang tidak pernah menjadi tua, karena umur mereka memang lebih pendek. Tak ajal, semakin banyak negara yang membuat peraturan yang membatasi atau bahkan melarang, seperti Bhutan yang memasukan aktivitas merokok sebagai perbuatan melanggar hukum.

Senyawa berbahaya dan beracun dalam rokok

Adalah proses fermentasi tembakau (curing) sebelum dilinting menjadi rokok dan proses pembakaran saat merokok yang menjadikan rokok sarat dengan zat kimia berbahaya dan beracun. Proses curing yang banyak dilakukan dengan pemanasan, baik melalui kontak langsung ataupun tidak langsung dengan api, menyebabkan terjadinya proses reaksi kimia (oksidasi dan pirolisis) pada senyawa-senyawa kimia dalam tembakau. Proses curing yang ditujukan untuk memberikan cirikhas rasa serta kontrol kadar nikotin pada tembakau juga menghasilkan nitrosamines yang merupakan salah satu karsinogen utama (zat yang dapat menyebabkan kanker) dalam rokok.

Selanjutnya pada proses pembakaran saat rokok dinyalakan, selain nitrosamines dalam rokok yang terhisap, nitrosamines tambahan sebagai hasil reaksi oksidasi nikotin dan karsinogen lainnya sebagai produk reaksi pirolisis (penguraian suhu tinggi tanpa oksigen) pun ikut terhisap. Bersama nitrosamines, terdapat deret panjang karsinogen lain nya yang ikut terhisap seperti logam berat (timbal (Pb), cadmium, mercury, arsenik), acrolein, formaldehyde, benzene, radioaktif (210Pb, 210Po), PAH (poly-aromatic hydrocarbons) dan lain-lain.

Polonium (Po) sendiri adalah unsur radioaktif yang sangat beracun, 250 ribu kali lebih beracun dari gas sianida dan hanya dibutuhkan satu gram untuk membunuh 10 juta manusia dalam tempo singkat. Po inilah yang merupakan salah satu dari 69 jenis karsinogen dalam asap rokok, yang ikut “dinikmati” oleh perokok pasif, yang mungkin termasuk anak istri dari perokok sendiri. Kebiasaan merokok dalam ruang ber-AC semakin memperburuk keadaan perokok pasif, dimana terjadi pemekatan radioaktif serta zat-zat berbahaya dan beracun di atas.

Merokok dengan “sehat”

Bagi yang bukan perokok, sangatlah gampang mengatakan tidak pada rokok, tapi bagi pencandu berat nikotin, mereka mungkin akan memilih tidak makan sehari daripada tidak merokok sehari. Sementara itu, efek asap rokok bagi perokok pasif pun bukan lagi suatu yang diperdebatkan seperti dua atau tiga dasawarsa silam. Hasil studi epidemiologi sudah begitu kuat menunjukkan perokok pasif pun ikut menuai akibat dari aktivitas perokok di sekitar mereka. Namun adakah pilihan yang lebih bijaksana? Sehingga bagi yang tidak makan nangka tidak perlu kebagian getahnya.

Walaupun setiap jenis rokok memberikan citarasa tersendiri bagi pemakainya, efek “nendang” dalam rokok bakar ditentukan oleh tinggi-rendahnya kandungan nikotin, yang juga merupakan senyawa utama yang bertanggung-jawab pada proses kecanduan. Saat rokok dinyalakan dan dihisap, hanya diperlukan 7 detik bagi nikotin untuk mencapai otak. Walaupun sebenarnya nikotin yang terhisap dan masuk dalam aliran darah hanyalah sebagian kecil dibandingkan dengan total kandungan nikotin dalam rokok. Kadar yang kecil itu cukup untuk memaksa otak yang berkerja berdasarkan “reward system” untuk melepaskan neurotransmitter dopamine yang memberikan efek menyenangkan. Dan mekanisme pelepasan dopamine yang dirangsang oleh nikotin tidak lah beda dengan narkoba lainnya seperti cocaine dan heroin.

Dari hasil studi selama ini, efek buruk nikotin sendiri bagi kesehatan memang lebih “lembut” dibandingkan senyawa dan unsur kimia dalam asap rokok hasil pembakaran yang masuk kedalam paru. Dan sampai saat ini, IARC (International Agency for Research on Cancer) belum mengklasifikasi nikotin sebagai senyawa karsinogenik, walaupun beberapa studi terakhir menunjukkan nikotin sebagai “pupuk” dalam pertumbuhan tumor kanker.


Smokeless tobacco


Rokok tanpa asap (smokeless tobacco) seperti tembakau kunyah (chewing tobacco, dipping tobacco), snuff dan snus, melepaskan jauh lebih banyak nikotin ke dalam tubuh dibandingkan rokok bakar. smokeless tobacco boleh jadi menjadi pilihan yang lebih bijaksana jika kecanduan nikotin tidak dapat dihentikan ataupun dikurangi. Dengan beralih ke smokeless tobacco, setidaknya collateral damage alias tebar racun kepada orang sekitarnya yang tidak merokok dapat dihindari. Diantara jenis smokeless tobacco, terdapat dua pilihan yang cukup “baik”.

Pilihan pertama tentunya adalah kembali pada budaya “nyirih”, suatu budaya yang keberadaan nya telah dirongrong oleh budaya rokok bakar ala barat. Dengan mengganti pinang (yang menurut IARC bersifat karsinogenik) dengan tembakau kering alami, campuran gambir, tembakau, kapur dalam bungkusan daun sirih tentukan akan memberikan efek “nendang” yang lebih “sehat” dibandingkan dengan rokok bakar. Pilihan kedua adalah snus (http://en.wikipedia.org/wiki/Snus).

Dilihat sekilas, snus adalah versi modern dari “nyirih”, dimana campuran bubuk tembakau mentah (tanpa fermentasi), rempah-rempah, garam, sodium karbonat dimasukan dalam kantong-kantong kecil. Snus yang telah digunakan selama kurang lebih 200 tahun di Swedia, dipercaya sebagai cara mendapatkan nikotin “paling sehat” diantara jenis smokeless tobacco. Hal ini terbukti dari hasil studi yang menunjukkan jumlah kasus kanker paru pada kaum pria di Swedia adalah yang terkecil diantara negara-negara di benua Europa.

Berbeda dengan tembakau kunyah ala Amerika(http://en.wikipedia.org/wiki/Dipping_tobacco), proses curing tembakau dalam snus tidak melalui pembakaran dengan api, melainkan dengan uap air panas yang akhirnya menghasilkan produk dengan kadar nitrosamines yang jauh lebih rendah. Walaupun mungkin terkesan kurang “macho” karena tidak “ngebul”, snus yang pemakaiannya dilakukan dengan menyelipkan kantong kecil berisi snus pada gusi bibir atas berhasil “dipopulerkan” oleh pemerintah Swedia. Keberhasilan snus menggeser tahta rokok bakar ini tak lepas dari kontrol ketat terhadap asap rokok pada fasilitas umum serta pemberlakukan cukai yang tinggi pada rokok bakar.

Belajar pada kasus Swedia, pemerintah Indonesia harus nya jangan ragu memberlakukan cukai tinggi pada rokok bakar dan jangan takut pula kehilangan cukai dari rokok bakar, karena pemasukan cukai itu tak lebih dari menabung untuk membeli obat, yang apabila dihitung dengan memasukan aspek turun kualitas sumberdaya manusia Indonesia, tabungan cukai rokok itu menjadi kurang atau bahkan tidak berarti sama sekali.

http://community.kompas.com/read/artikel/1029