Rabu, 31 Juli 2013

Berbagi Doa




“Apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku ini dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia berdo’a, maka hendaklah mereka memenuhi segala perintahKu dan beriman kepadaKu agar mereka memperoleh kebenaran.” (QS. Al-Baqarah [2]:186).

Salah satu sebab turunnya ayat tersebut di atas, Mu’awiyah bin Haidah berkata, “Seorang Badui mendatangi Rasulullah dan bertanya, apakah Tuhan kita dekat, sehingga kita cukup berbisik saat berdo’a kepadaNya. Ataukah Dia jauh, sehingga kita harus berteriak dengan suara keras saat memohon kepadaNya? Rasulullah SAW diam tidak menjawab pertanyaan tersebut. Sehingga akhirnya, turunlah ayat ini.” (HR. Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawaih, Abu Syaith dan lainnya).

Di antara amal ibadah yang penting dikerjakan di bulan Ramadhan yang mulia dan penuh berkah ini adalah memperbanyak do’a, yaitu bermunajat memohon ampunan, rahmat, keselamatan, kesuksesan, kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Agar do’a kita dikabulkan, maka terdapat ada-adab yang mesti diperhatikan. Merujuk kepada ayat di atas, ada tiga adab utama yang mesti diingat ketika seseorang memanjatkan do’a, yaitu keyakinan bahwa Allah SWT itu dekat, yang ditandai rasa percaya bahwa Ia mendengar dan akan mengabulkan do’anya. Kedua, istiqomah dalam melaksanakan  ketaatan yang telah Allah perintahkan. Sedangkan yang ketiga, keteguhan iman kepada Allah SWT.

Di samping itu, tentu harus mengetahui waktu-waktu dan tempat dikabulkannya do’a. Sebagaimana keterangan dari Nabi SAW, bahwa bulan Ramadhan adalah di antara waktu-waktu diijabahnya (dikabulkan) do’a seorang hamba.

Menurut Azzajjaaj, sekurang-kurangnya do’a itu mengandungi tiga substansi, yaitu menyatakan keesaan (tauhid) dan pujian (Tsana) kepada Allah. Kedua memohon maaf, ampunan, rahmat dan apa-apa yang mendekatkan diri kepada Allah SWT atau jalan menuju keridhaan dan surgaNya. Ketiga,  memohon kebaikan atau kebahagiaan di dunia, seperti rezeki yang halal, anak yang sholeh, kesehatan dan yang seumpamanya.

Namun dalam bero’a, disamping memohon  kebaikan untuk diri sendiri, seyogyanya kita juga meminta kepada Allah SWT agar memberikan kebaikan dan kebahagiaan kepada orang lain. Khususnya ahli keluarga, tetangga dan saudara-saudara seiman dan seakidah yang sedang mengahadapi kesulitan hidup.

Apalagi dalam kondisi global saat ini, di mana umat Islam di belahan dunia seperti di Libya, Syiria, Afghanistan, Palestina, Iraq, Turki, Mesir dan lain sebagainya sedang berada dalam keprihatinan luar biasa. Kekerasan, kezholiman, dan peperangan yang menimbulkan banyak korban jiwa masih saja  terjadi   hingga detik ini.

Dan yang paling menyedihkan, sebagian pertumpahan darah tersebut terjadi karena perang saudara di antara kalangan umat Islam sendiri yang dipicu oleh provokasi pihak ketiga.

Efek dari peristiwa tersebut tentu sangat besar dan luas, misalnya korban jiwa, kebangkrutan ekonomi, kegoncangan sosial, kemiskinan dan sebagainya.

Jika bantuan dalam bentuk fikiran dan harta sudah diberikan, maka bantuan dalam bentuk do’a sudah barang tentu sangat diharapkan oleh saudara-saudara  kita di luar sana. Bulan Ramadhan yang mulia dan berkah ini merupakan peluang emas untuk  berbagi kebahagiaan, termasuk berbagi do’a kepada saudara-saudara kita yang sedang ditimpa ujian dan kesusahaan yang tentunya sangat memerlukan do’a dari kita. Wallahu Al-Musta’an.

Oleh Imron Baehaqi
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/07/31/mqsh4d-berbagi-doa

Merawat Alquran

Salah satu keistimewaan yang ada pada bulan Ramadhan adalah diturunkannya Al Qur’an.  
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulanRamadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)" (QS Al Baqarah 185)
 
Berdasarkan ayat tersebut, fungsi diturunkannya Al Qur’an adalah sebagai petunjuk bagi manusia dalam mengarungi kehidupan.  Di samping itu juga sebagai pembeda (furqon) antara yang hak dengan yang bathil. Sehingga manusia dapat meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akherat.


Peristiwa turunnya Al Qur’an diperingati oleh umat Islam sebagai Nuzulul Qur’an, yang secara resmi oleh Pemerintah ditetapkan sebagai Peringatan Hari Besar Islam (PHBI). Sehingga, secara kenegaraan, pemerintah Indonesia, baik di tingkat pusat sampai daerah, setiap tahun selalu memperingati hari turunnya Al Qur’an, yang dihadiri oleh para pejabat negara.

 Lantas apa yang harus dilakukan oleh kaum muslim untuk merawat Al Qur’an?. 
Diantara beberapa upaya untuk merawat Al Qur’an adalah,  

Pertama; Mengimani. Kita harus mengimani semua bagian Al Qur’an tanpa terkecuali. Jangan sampai kita hanya mengimani sebagian isi Al Qur’an, yang sesuai dengan selera dan kehendak kita saja, dan mengingkari sebagian yang lainnya, jika tidak sesuai dengan selera dan kehendak kita. Sikap kita terhadap Al-Qur’an adalah:Sami’na wa atha’naa “Kami mendengar dan kami mentaati”.


Kedua, membaca (tilawah). Pada bulan Ramadhan biasanya dengan tadarusan. Agar dapat membaca dengan baik dan benar, maka harus mempelajari ilmu tajwid. Barangsiapa yangmembaca satu huruf dari kitab Allah (Al Qur’an) maka baginya satu kebaikan dan satu kebaikan itu dilipatgandakan dengan sepuluh (pahala). Aku tidak mengatakan ”Alif Laam Mim adalah satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf dan Mim satu huruf” (HR. Tirmidzi). Dan bagi orang-orang yang bisa membaca Al Qur’an dengan baik, kelak di Hari Qiyamat akan diberi kehormatan untuk membacakan Al Qur’an dihadapan para penduduk Surga (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasai).

Ketiga, Menghafal (al hifzu) sesuai kemampuan. Tujuannya agar mempermudah dalam pengamalannya, seperti pada bacaan Shalat, maupun disampaikan pada waktu ceramah. Kemampuan manusia dalam menghapal Al Qur’an, merupakan salah satu cara dari menjaga keutuhan Al Qur’an itu sendiri. Bahkan orang buta (tuna netra) juga diberi kemampuan untuk menghapal Al Qur’an. Sebab, jika terdapat bacaan (lafadz) atau tulisan (kitab) yang salah, maka para penghapal Al Qur’an akan mengingatkan kesalahannya. Sehingga menjadi benar kembali. Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang didalam hatinya tidak ada sesuatupun dari Al-Qur’an ibarat rumah yang rusak (HR At-Tirmidzi)

Keempat, memahami (al fahmu). Setiap muslim wajib memahami isi yang terkandung dalam Al Qur’an. Tanpa pemahaman yang baik dan benar, maka akan menjadi sulit untuk mengamalkan. Sebelum kita mengamalkan sesuatu, kita harus memahami dulu sesuatu itu, supaya tidak salah dalam mengerjakannya. Sebagai pedoman hidup yang paling lengkap, jika kita memahaminya, maka akan mempermudah kita dalam mengamalkan isinya. Karena Al Qur’an ditulis dengan menggunakan bahasa Arab, maka cara ideal untuk memahami Al Qur’an adalah dengan mempelajari bahasa Arab.

Kelima, diamalkan (al a’mal). Seorang yang memahami dan mengerti sebuah kebaikan namun tidak mengamalkan bagaikan lebah yang tidak menghasilkan madu. Al Qur’an adalahpedoman hidup manusia yang wajib untuk diamalkan isinya, baik dalam kehidupan diri, keluarga, masyarakat dan bangsa. Tujuannya agar manusia dapat menjalani hidup ini dengan baik sesuai petunjuk Allah Swt. Sehingga setiap langkahnya akan dibimbing dan mendapatkan ridho dari Allah Swt.

Keenam, disampaikan (ad dakwah). Kebaikan bukanlah hanya untuk diri sendiri saja. Alangkah baiknya apabila ia dapat dirasakan oleh orang lain. Kebaikan yang terus menyebar ini akan menjadi ladang amal yang terus mengalir bahkan apabila kita sudah meninggal sekalipun, laksana air zamzam yang tak pernah berhenti memancar. 

Masih banyak umat Islam yang belum mengetahui kewajiban-kewajiban ini. Sebagai sesama muslim tentu kita wajib menyampaikannya. Sabda Nabi Muhammad Saw : “Sampikanlah dariku walaupun hanya satu ayat”.

Inilah salah satu refleksi yang harus kita lakukan di akhir bulan Ramadhan, sambil kita beriktikaf. Sehingga kita dapat terus berikhtiar untuk menjalani kehidupan sesuai dengan tuntunan Al Qur’an dan Sunnah. Wallahu’alam.


Oleh Faozan Amar/Direktur Al Wasath Institute dan Dosen Studi Islam UHAMKA
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/08/01/mqtntg-merawat-alquran



Pendakian Spiritual


Seorang Sufi termashur dengan konsep Mahabbah (cinta Ilahi), Rabi'ah al-'Adawiyah (713-801 M) pernah bermunajat dalam keheningan malam.
“Ya Allah, jika aku mengabdi kepada-Mu karena takut neraka, maka campakkanlah aku ke dalamnya. Jika aku mengabdi kepada-Mu karena mengharapkan surga, maka jauhkan aku darinya. Tetapi, jika aku mengabdi kepada-Mu semata-mata karena mencintai-Mu, maka janganlah sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal itu dariku.”

Ramadhan adalah momentum terbaik untuk meraih kenikmatan ibadah kepada Allah SWT, baik ibadah ritual (mahdhah), seperti shalat, puasa, zakat, baca Alquran, zikir, iktikaf, maupun ibadah sosial (mu'amalah), seperti sedekah, berbagi, dan membiayai pendidikan yatim.

Namun harus diakui, betapa sulitnya merasakan nikmatinya beribadah dan beramal saleh. Ibadah yang didasari cinta dan rindu kepada Allah, sehingga hati senang dan nikmat menjalankannya.  Untuk meraih kenikmatan ibadah itu, kita harus menempuh tangga pendakian spritual dalam tiga 'T' (3T).

Pertama, terpaksa. Ketika memilih jalan hidup Islam dengan bersyahadat maka kita telah menjadi mukallaf (orang yang dibebani tanggung jawab syariat) yakni menjalankan segala perintah (wajib dan sunah) dan menjauhi larangan (haram dan makruh).

Menjalankan syariat itu berat, tapi harus dilakukan. Berat mendirikan shalat (2:43), puasa (2:183), bayar zakat (2:110), haji (22:27), berbakti kepada orang tua (17:23), berinfak kepada kaum kerabat dan dhuafa (2:215).

Tapi, karena kewajiban harus dilakukan meski 'terpaksa'. Jangan menunggu ikhlas dulu baru dikerjakan. Jika belum ikhlas lakukan lagi, jangan berhenti hingga ia tumbuh dalam hati.

Kedua; terbiasa. Meskipun menjalankan syariat itu berat, tapi terus lakukan dan jangan pernah berhenti dalam kondisi 'terpaksa'. Seiring waktu akan naik pada tangga spiritual berikutnya, yakni terbiasa.

Jika di tangga 'terpaksa' beban terasa berat, terburu-buru dan asal jadi, maka bila sudah 'terbiasa' akan lebih ringan dan menerima apa adanya. Berat sekali bangun di tengah malam untuk shalat tahajud dan sahur. Tapi, karena dipaksakan akhirnya jadi 'terbiasa' (mudawamah). Begitu juga ibadah lainnya.

Nabi Muhammad SAW pernah ditanya, tentang amal yang paling disukai Allah SWT. Lalu Beliau menjawab, “Terus-menerus meski sedikit.” (HR Muslim). Oleh karena itu, jangan sampai membiasakan diri dengan perbuatan buruk. Awalnya 'terpaksa' atau dipaksa, tapi kalau berulang-ulang akan 'terbiasa.'

Ketiga, terasa. Bagian ini mulai sulit dijelaskan secara nalar (logika) karena sering kali tidak bisa dicerna akal manusia. Namun demikian, ia mudah dipahami dengan rasa (hati), apalagi bagi orang yang sudah merasakan.

'Terasa' berarti merasakan kenikmatan dan kesenangan dalam menjalankan ibadah atau amal perbuatan. Melakukan amal karena cinta kepada Sang Maha Pencinta (ikhlas). Mereka mencintai Allah dan Allah pun mencintai mereka (QS [5]:54). Mereka ridha dan Allah pun ridha kepada mereka. (QS [98]:7-8).

Akhirnya, kita beribadah kepada Allah bukan hanya karena takut neraka (terpaksa) dan mengharap surga (terbiasa), tapi karena cinta dan rindu yang membara (terasa). Wallahu a'lam.


Oleh Hasan Basri Tanjung 
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/08/01/mqu6ew-pendakian-spiritual

Selasa, 30 Juli 2013

Kajian Ramadhan

Meraih Takwa Dengan Puasa

Diantara tujuan puasa adalah agar seseorang mencapai tingkatan takwa sebagaimana firman Allah Ta’aala: 
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183). 

Orang yang bertakwa adalah orang yang mengerjakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya.

Orang yang berpuasa diperintahkan untuk mengerjakan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan sebagaimana sabda Nabi -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya serta kebodohan, Allah tidak butuh dengan ia meninggalkan makan dan minumnya (puasanya).” (HR. Bukhari).

Orang yang berpuasa apabila terlintas dalam dirinya keinginan untuk berbuat kemaksiatan, ia segera tersadar bahwa ia sedang berpuasa, lalu ia-pun segera menghindari kemaksiatan tersebut.

Orang yang sedang berpuasa tidak akan membalas kebodohan dengan kebodohan dan caci maki dengan caci maki, ia sadar bahwa orang yang berpuasa harus sanggup menguasai diri dan emosinya.

Pada akhirnya apabila seseorang berpuasa sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam, pasti ia menjadi orang yang bertakwa dan mendapatkan kebahagiaan dan kesuksesan di dunia dan di akhirat.

Puasa Adalah Bukti Iman dan Cinta Kepada Allah

Puasa adalah ibadah kepada Allah, yaitu seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah dengan meninggalkan perkara-perkara yang disukai, dicintai dan diinginkannya daripada makanan, minuman dan syahwat hawa nafsu sehingga tampak jelas kejujuran imannya, kesempurnaan penghambaannya kepada Allah dan kekuatan cintanya serta pengharapannya atas apa yang ada di sisiNya. Seseorang tidak mungkin meninggalkan apa yang dicintainya kecuali disebabkan sesuatu yang lebih agung baginya dari apa yang ditinggalkannya tersebut.

Seorang mukmin rela meninggalkan syahwat nafsu yang dicintainya dan sangat diinginkannya demi untuk mendapatkan ridha Rabbnya karena ia meyakini bahwasanya ridha Allah ada dalam berpuasa.

Oleh karena itu, banyak sekali orang mukmin yang dipaksa untuk berbuka pada bulan Ramadhan sebelum tiba waktunya bahkan sampai diancam dan dipukul, akan tetapi dia tetap tidak mau membatalkan puasanya tanpa alasan yang syar’i. Ini adalah diantara hikmah terbesar dan paling agung dari puasa.

Ramadhan…Membuka Lembaran Baru Yang Putih Bersinar…

Ramadhan adalah kesempatan untuk memperbaiki diri dan membuka lembaran baru dalam kehidupan ini…Lembaran yang putih, bersih, jernih, bening, bersinar dan bercahaya…

Bersama Allah…Dengan Taubatan Nasuha dan memperbanyak amal saleh yang ikhlas serta kaaffah (total) dalam berIslam…
 
Bersama Rasulullah -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam…Dengan semakin berpegang teguh kepada Sunnah Beliau…
 
Bersama Kedua Orang Tua, Suami, Isteri, Anak-Anak, Karib Kerabat dan Sanak Famili…Dengan menyambung tali silaturrahmi dan berbuat baik kepada mereka…
 
Bersama Sesama…Dengan menjadikan hidup semakin bermanfaat…

Rasulullah -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Manusia terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (Hadis Sahih).

Puasa Menghancurkan Kesombongan

Puasa yang dilakukan dengan benar sesuai tuntunan Rasulullah -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam mampu menghancurkan nafsu-nafsu jahat dan meruntuhkan kesombongan sehingga menjadi tunduk kepada kebenaran dan rendah hati kepada sesama, karena banyak makan, minum dan berhubungan suami isteri membawa kepada sifat sombong, congkak, mau menang sendiri dan merasa tinggi atas orang lain dan tidak mau menerima kebenaran. Ketika seseorang bernafsu untuk makan, minum dan berhubungan suami isteri maka dia akan berusaha untuk memenuhinya, dan apabila telah mampu mendapatkannya dan memenuhinya maka akan timbul perasaan bangga yang tercela yaitu yang berdampak kepada kecongkaan dan kesombongan yang semua itu menjadi penyebab kebinasaannya. Jadi, diantara hikmah puasa adalah menghancurkan kesombongan sehingga seseorang menjadi tawadhu’ dan rendah hati. Allah dan juga manusia membenci orang-orang yang sombong dan mencintai orang-orang yang tawadhu’ dan rendah hati.

Puasa Latihan Menundukkan dan Menguasai Hawa Nafsu

Diantara hikmah puasa adalah latihan menundukkan dan menguasai hawa nafsu sehingga benar-benar tunduh dan patuh untuk dikendalikan dan diarahkan menuju kebaikan, kebahagiaan dan keselamatan. Karena pada dasarnya nafsu selalu mengajak kepada keburukan kecuali yang dirahmati Allah. Isteri Al-Aziz yang menggoda Nabi Yusuf -Alaihis Salam berkata (sebagian Ahli Tafsir mengatakan bahwa ini adalah ucapan Nabi Yusuf -Alaihis Salam) : 

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf: 53).

Apabila nafsu dilepaskan dan tidak dikendalikan pasti akan menjerumuskan seseorang ke dalam kehinaan, kebinasaan dan kesengsaraan. Namun, apabila dikendalikan dan ditundukkan pasti seseorang akan mampu membawanya menuju derajat dan kedudukan yang tinggi lagi mulia.

“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).”/i] (QS. An-Naazi’aat: 37-41).
[i]“dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas (kacau dan sia-sia).” (QS. Al-Kahfi: 28).

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib -Radhiallahu ‘Anhu mengatakan: “Medan pertama yang harus kamu hadapi adalah nafsumu sendiri. Jika kamu menang atasnya maka terhadap yang lainnya kamu lebih menang. Dan jika kamu kalah dengannya maka terhadap yang lainnya kamu lebih kalah. Karena itu, cobalah kamu berjuang melawannya dahulu.”
Seseorang meminta nasehat kepada orang saleh: “Berilah aku nasehat”. Orang saleh tersebut menjawab: “Nafsumu! Jika kamu tidak menyibukkannya dengan yang positif pasti dia akan menyibukkan kamu dengan yang negatif.”

Puasa Menumbuhkan Kepedulian

Dengan berpuasa, orang kaya akan menyadari betapa banyak nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya berupa kekayaan dan kecukupan sehingga dia tidak pernah kekurangan makan, minum, menikah dan lainnya, padahal banyak orang yang tidak mendapatkan dan merasakan nikmat seperti itu. 

Dengan demikian orang kaya tersebut akan memuji Allah dan bersyukur kepadaNya atas kemudahan yang diberikan kepadanya. Orang kaya tersebut juga teringat saudaranya yang fakir miskin, yang adakalanya merasakan kelaparan sepanjang hari dan malam karena ketidakmampuannya. Hal ini menjadikan orang kaya tersebut terdorong dan termotivasi untuk membantunya dengan bershadaqah agar terpenuhi kebutuhannya berupa sandang, pangan dan papan.

Oleh karena inilah, Rasululah -Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam adalah orang yang paling dermawan dan kedermawanan Beliau bertambah ketika datang bulan Ramadhan, yaitu ketika berjumpa Malaikat Jibril -Alaihis Salam yang mengajarkan kepada Beliau Al-Qur’an.

Dengan Puasa Hati Jernih Untuk Berpikir dan Berdzikir

Diantara hikmah puasa adalah agar supaya hati kita jernih untuk berpikir dan berdzikir karena banyak makan minum serta memuaskan syahwat menyebabkan kelalaian dan adakalanya hati menjadi keras dan buta dari kebenaran karenanya.

Rasulullah -Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Tidaklah seseorang anak adam itu memenuhi suatu bejana yang lebih jelek dari pada perut. Cukuplah bagi seseorang makanan yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika terpaksa harus menambahnya, hendaknya sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR. Imam Ahmad dll).

Nafsu perut adalah termasuk perusak yang amat besar. Karena nafsu ini pula Adam -Alaihis Salam dikeluarkan dari surga. Dari nafsu perut pula muncul nafsu kemaluan dan kecenderungan kepada harta benda, dan akhirnya disusul dengan berbagai bencana yang banyak. Semua ini berasal dari kebiasaan memenuhi tuntutan perut.

Sedikit makan itu melembutkan hati, menguatkan daya pikir, serta melemahkan hawa nafsu dan sifat marah. Sedangkan banyak makan akan mengakibatkan kebalikannya.
Berkata Abu Sulaiman Ad-Darani -Rahumahullah: “Sesungguhnya jiwa apabila lapar dan haus menjadi jernih dan lembut hatinya dan apabila kenyang menjadi buta hatinya.”


Ramadhan…Bulan Pendidikan Ruhaniah

Ramadhan mengantarkan kita lebih dekat kepada Allah. Dengan puasa kita menjadi orang yang paling dicintai Allah. Puasa melatih kita meninggalkan sikap egois kita dan bukan memperkuatnya. Puasa dengan penuh keimanan dan pengharapan, dapat memenuhi kebutuhan spiritual kita. Sebuah penelitian di Barat menyebutkan bahwa orang yang berpuasa akan lebih tajam pikirannya sehingga mampu menangkap pesan-pesan moral wahyu Ilahi. Orang dewasa adalah orang yang selalu berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan ruhaniahnya, bukan kebutuhan-kebutuhan jasmaniahnya. Itulah orang yang sudah sangat dewasa…


 Sumber : [www.hatibening.com]