Minggu, 28 September 2014

Pakaian Takwa


Imam Hasan al-Bashri bertutur bahwa pada suatu hari Khalifah Utsman ra berpidato di atas mimbar. Dia menyampaikan apa yang pernah didengarnya dari Rasulullah SAW. Katanya, "Wahai sekalian manusia, tak seorang pun dari kalian yang melakukan sesuatu secara sembunyi-sembunyi kecuali Allah SWT akan menampakkan padahari kiamat melalui selendang [pakaian] yang akan dikenakan kepadanya. Apabila perbuatanya bagus maka selendang yang dikenakan bagus dan apabila perbuatannya buruk maka selendang yang dikenakannya buruk pula." 

Lalu, Khalifah Utsman membacakan kepada hadirin ayat ini, "Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Mudah-mudahan, mereka selalu ingat." (QS al-A'raf [7]: 26).

Pakaian atau sandang dalam ayat di atas dikemukakan dengan kata libas dan risy. Menurut para pakar bahasa Alquran, libas semakna dengan kata tsaub atau tsiyab (QS al-Muddatstsir [74]: 4 ), yaitu sesuatu yang dipergunakan untuk menutup [sebagian] anggota badan. Sebagai contoh, gamis (qamish) adalah pakian; sarung (al-ditsar) juga pakaian; serban (`imamah) begitu juga.

Sementara, kata risy atau riyasy secara harfiah berarti bulu burung yang halus dan indah. Risy menunjuk pada pakaian yang dikenakan untuk memperindah atau mempercantik diri (ma yatajammalu bihi al-insan). Selain dua kata (libas dan risy) ini, ayat di atas memperkenalkan pakaian lain yang disebutnya lebih baik, yaitu pakaian takwa (libas al-taqwa).

Terdapat lima fungsi pakaian bila merujuk pada ayat di atas dan beberapa ayat lain yang semakna, yaitu menutup aurat, memperindah dan mempercantik diri, membangun identitas [menunjukkan kelas], menjaga dan melindungi diri dari bahaya perang, dan terakhir memperkuat moral dan spiritual untuk kemuliaan diri lahir batin, dunia dan akhirat. Yang terakhir ini merupakan fungsi dari pakaian takwa.

Dalam suatu hadis diterangkan bahwa iman itu telanjang (al-iman `uryanun), pakaiannya adalah takwa (wa libasuhu al-taqwa), dan hiasannya adalah rasa malu (wa zinatuhu al-haya’). (Lihat, Qut al-Ulub fi Mu`amalat al-Mahbub: 1/139). Lantas, apa yang dimaksud pakaian takwa itu?

Zaid bin Ali berpendapat, pakaian takwa itu adalah agama Islam itu sendiri. Menurut Ibn Abbas ra ia adalah iman dan amal shalih (huwa al-iman wa  al-`amal al-shalih). Pendapat lain menyatakan bahwa pakaian takwa adalah moralitas dan keluhuran budi pekerti. (Tafsir al-Manar: 8/320).Jadi, pakaian takwa adalah ketakwaan itu sendiri, yaitu sikap tunduk dan patuh kepada Allah dengan melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Wallahu alam!!

Oleh: A Ilyas Ismail


Jumat, 26 September 2014

Melemahkan Setan



Setan adalah musuh kita. Dia akan berupaya terus menyesatkan dan membinasakan manusia. Tidak ada kata menyerah baginya untuk mencelakakan kita. Sepanjang kita hidup, setan tidak akan pernah berhenti menggoda dan membiarkan kita selamat.

Oleh karena itu, Allah mengingatkan hamba-hamba-Nya untuk hati-hati terhadap setan. Tuhan pun memerintahkan kita untuk menjadikan setan sebagai musuh serta mengumumkan kepada kita tentang peperangan melawan setan sebagaima firman Allah SWT  QS Fatir ayat 6, “Sesungguhnya, setan itu adalah musuh bagimu maka anggaplah ia musuh (mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.”

Untuk itu, hendaknya kita mencari cara melemahkan dan melumpuhkan setan agar bisa selamat dari bujuk rayunya. Caranya, dengan rajin membaca dan memaknai kalimat basmalah dan takbir.

Dengan membaca basmalah akan membuat setan menjadi kecil dan tak berdaya. Sebagaimana diungkapkan Imam Ahmad bin Hambal dalam musnadnya meriwayatkan dari seseorang yang dibonceng oleh Nabi SAW. Dia berkata, “Tunggangan Nabi SAW tergelincir maka aku katakan: Celaka setan.” Nabi SAW bersabda, “Jangan engkau mengucapkan‘celaka setan’. Karena, jika engkau mengucapkannya maka setan akan membesar dan berkata: Dengan kekuatanku, aku jatuhkan dia. Jika engkau mengucapkan bismillah maka ia akan menjadi kecil hingga seperti seekor lalat.” (Hadis Riwayat Ahmad dan Abu Dawud).

Begitu pula dengan kalimat takbir yang akan menjadikan setan semakin kecil.  Zat Yang Mahabesar itu hanyalah Allah SWT dan selain-Nya adalah kecil. Berkaitan dengan kalimat takbir ini pula, Umar bin Khaththab pernah mengatakan, “Seorang hamba yang mengatakan Allahu Akbar itu lebih baik daripada dunia dan seisinya.”

Namun, harus diingat, bacaan itu bukan sekadar ucapan yang keluar dari lisan, melainkan untuk dimaknai dan direalisasikan. Tidak sedikit orang yang mengucapkan kalimat ini, tapi perbuatannya menyimpang dari makna yang diucapkan.

Lafaz bismillah mengandung pengertian aku memulai pekerjaanku dengan menyebut nama Allah atau aku mulai melakukan sesuatu dengan menyebut nama Allah. Realisasi dari basmalah ini hendaknya menjadikan segenap aktivitas yang dilakukan dilandasi niat karena Allah SWT menjadikan kita sebagai pribadi yang bertanggung jawab dan amanah dalam mengemban amanat Allah SWT.

Sedangkan, realisasi dari kalimat takbir ini hendaknya menjadikan kita menjadi orang yang selalu mengagungkan, membesarkan, dan mengutamakan seruan-Nya di atas seruan selain-Nya. Takbir seharusnya menghapus sifat takabur yang ada pada diri kita.

Untuk itu, bacalah "bismilaahi Allahuakbar" saat kita digoda oleh setan dengan penuh penghayatan. Dengan seizin Allah SWT, setan pun menjadi lemah.



Oleh: Mochammad Hisyam

Rabu, 24 September 2014

Sabar Ketika Sakit





Kesabaran mutlak diperlukan dalam menjalani kehidupan ini, termasuk ketika kita didera sakit. Dunia ini didesain oleh Allah sebagai gudangnya ujian bagi manusia. Tanpa kesabaran, mustahil kita dapat lulus dari ujian tersebut.

Seorang pasien gagal ginjal, misalnya, mutlak harus memiliki kesabaran selama hidupnya. Ia mesti sabar menjalani terapi rutin cuci darah dua kali dalam seminggu meskipun hal itu harus di jalaninya seumur hidup. Jika tidak memiliki kesabaran, mungkin ia akan memilih mogok cuci darah karena merasa terapi tersebut tidak ada ujungnya.

Kesabaran diperlukan tidak hanya sebagai bentuk ikhtiar agar kondisi kita semakin baik. Lebih dari itu, kesabaran akan membuat hati menjadi lapang. Sabar juga akan membuat kita seperti selalu dekat dengan Allah SWT dan mendapatkan pahala tanpa batas.

Dalam salah satu firman-Nya disebutkan, "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.

Sesungguhnya, Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS alBaqarah: 153).

Di antara faktor yang menjadikan orang bersabar adalah adanya keyakinan bahwa jalan keluar dan pertolongan Allah pasti datang. Setelah kesempitan pasti ada kelapangan, setelah kesulit an pasti ada kemudahan, dan setelah kesusahan pasti ada kesenangan. Keyakinan ini sedikitnya akan meringankan penderitaan ketika kita didera sakit.

Bagaimana agar kesabaran kita bisa meringankan penderitaan ??


Pertama, kita harus yakin bahwa sakit yang menimpa kita tidak seberapa jika dibandingkan dengan segala nikmat pemberian Allah SWT. Bagi pasien gagal ginjal, misalnya, sadarilah bahwa masih banyak nikmat lain yang bisa kita rasakan.

Bukankah kita masih bisa merasakan nikmat penglihatan, pendengaran, bahkan masih bisa merasakan nikmatnya ma kan an lezat. Belum lagi, kita masih diberi keluarga yang me nyayangi kita.

Kedua, hibur diri kita dengan orang lain yang senasib dengan kita. Yakinilah, setiap orang pasti memiliki masalah dan musibahnya masing-masing. Menghibur diri dengan musibah-musibah orang lain termasuk salah satu cara jitu untuk mengurangi kesedihan dan meringankan penderitaan.

Ketika kita ditimpa satu penyakit, ingatlah bahwa orang lain ada yang ditimpa penyakit komplikasi. Ketika kita menderita akibat sakit gigi, lihatlah orang lain yang menderita sakit lever. Ketika kita ditimpa gagal ginjal, tengoklah orang lain yang menderita gagal jantung.

Ketiga, anggaplah enteng penyakit yang menimpa kita. Jangan mendramatisasi penyakit yang ada. Jika mau jujur, permasalahan yang terjadi di dalam hidup kita adalah hasil dari dramatisasi yang dilakukan oleh diri kita sendiri. Kita lebih banyak merasakan penderitaan atas kenyataan yang terjadi sebagai akibat dari karangan kita sendiri, kekhawatiran kita sendiri, dan kepanikan kita sendiri. Ternyata, semua itulah yang membuat kita menjadi merasa tertekan dan menderita.

Karena itu, kendalikan diri sebisa mungkin agar terhindar dari sikap mendramatisasi masalah yang sedang terjadi. Janganlah larut dalam jebakan-jebakan sikap yang mempersulit diri sendiri. Karena, sikap-sikap seperti itulah yang akan semakin memperbesar kesulitan dan penderitaan di dalam diri.

Ingatlah firman Allah SWT, "Allah tidak membebani seseorang, melain kan sesuai dengan kadar kesanggupannya." (QS al-Baqarah: 286). 


 Oleh Yadin Burhanudin --


Hebatnya Kekuatan Doa



Siapa yang tak kenal imam besar Masjidil Haram Syekh Abdurrahman as-Sudais? suaranya yang khas dan merdu saat membacakan ayat-ayat Alquran sering diperdengarkan di Indonesia. Posisi menjadi imam masjid  di tempat seluruh umat Islam berkiblat dengan Ka'bah di dalamnya adalah sebuah kemuliaan besar. Tapi, siapa sangka, di balik kedudukan ulama yang telah hafal Alquran pada usia 12 tahun ini ada doa ibunya  yang cukup unik.
Sudais kecil dikenal sebagai sosok yang sangat nakal. Karena ulah dan perangainya, ia sering membuat geram ibunya. Tapi, sang ibu tak pernah melontarkan kata-kata buruk. Bahkan, saat memarahi Sudais akibat  kenakalannya, ibunya justru melantunkan doa.

Suatu ketika, Sudais sedang bermain pasir di depan rumah. Saat itu, ayah dan ibunya sedang kedatangan tamu penting. Ibunya menyiapkan hidangan kambing untuk disantap sang tamu. Saat masakan telah siap dan dihidangkan, Sudais kecil berulah. Ia dengan polos, menaburi sajian kambing dari ibunya dengan pasir. Sontak, kejadian ini membuat ibunya marah. Tapi, sungguh, hanya kata-kata kebaikan yang meluncur dari  lisannya. "Pergilah, semoga Allah menjadikanmu imam Masjidil Haram," kata ibunya.

Dan, benarlah doa orang tua itu mustajab. Sudais yang dikenal nakal masa kecilnya kini menjadi imam besar Masjidil Haram. Suaranya didengar bukan hanya di Makkah, melainkan di seluruh dunia.

Tak terlintas dalam hati sang ibu, bagaimana mungkin anak yang nakal dan malas belajar bisa menjadi seorang imam Masjidil Haram? Namun, perkataan seorang Muslim adalah doa. Apalagi, doa orang tua untuk  anaknya. Rasulullah SAW bersabda, "Tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi (kemakbulannya), yaitu doa orang tua, doa orang yang bepergian (safar), dan doa orang yang dizalimi." (HR Abu Daud).

Doa menjadi kepingan yang saat ini disepelekan umat Islam. Kini, tak sedikit umat Islam yang  mengabaikan doa-doa masnunah (doa sehari-hari). Padahal, dalam melakukan aktivitas apa pun, ada doa yang dituntunkan Rasulullah SAW untuk mengawali dan mengakhirinya. Seperti, akan makan dan selesai makan, bepergian, memasuki kamar kecil, mamakai pakaian, bahkan ketika bercermin. Semua aktivitas  seorang Muslim tak terlepas dari doa.

Kebanyakan umat Islam dengan mudahnya melontarkan kata-kata tak baik kepada saudaranya. Padahal, kata- kata yang keluar dari mulut seorang Muslim bagaikan doa. Itulah alasannya, tidak diperbolehkan  mengeluarkan kata-kata laknat. Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang melaknat seorang Mukmin maka ia seperti membunuhnya." (HR Bukhari).

Disayangkan lagi, justru kata-kata laknat, umpatan, dan makian kerap keluar dari mulut orang tua kepada  anaknya sendiri. Seharusnya, perilaku ibunda Syekh Abdurrahman as-Sudais menjadi pelajaran betapa doa orang tua adalah sesuatu yang mustajab. Sehingga, amanah Allah yang dititipkan berupa anak seharusnya diperlakukan dengan baik, bukan justru dengan umpatan kala seorang anak melakukan kesalahan.

Doa adalah kekuatan orang beriman. Doa bisa menyelamatkan seseorang dari bencana. Doa bisa mengubah takdir yang telah digariskan. Allah SWT berfirman, "Katakanlah: Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu  dari bencana di darat dan di laut yang kamu berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dan dengan suara  yang lembut (dengan mengatakan), 'Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah  kami menjadi orang-orang yang bersyukur.'"(QS al-An'aam [6] : 63].

Doa juga yang menyambung kekuatan batin dari umat Islam meski mereka tidak pernah bertemu. Kala Ramadhan 2013, Imam The Grand Mosque Kuwait pernah diprotes para jamaah. Ketika itu, doa-doa qunut untuk Palestina yang tengah diserang Israel sangat marak. Sayangnya, sang imam hanya membaca sepatah doa saja untuk Palestina.

Para jamaah protes, mengapa doa untuk Palestina sangat pendek ketika qunut. Pada shalat Tarawih sebelumnya, malah doa untuk Palestina tidak ada sama sekali. Bagi jamaah, mungkin secara fisik mereka tidak bisa langsung hadir di Palestina dan membantu saudara-saudaranya. Tapi, mereka merasa berkewajiban mengirimkan doa khusus untuk kaum Muslimin Palestina. Ketika ada doa yang terlewatkan untuk saudaranya, mereka ramai-ramai protes. Inilah bentuk doa sebagai kekuatan orang beriman.

Zionis dengan seluruh kemajuan persenjataan mungkin cukup ketakutan dengan kekuatan doa. Roket-roket  dari pejuang Palestina mungkin bisa ditangkal dengan iron drone, tapi dengan apakah mereka akan  menangkal doa-doa kaum Muslimin?




Sahabat dan Shalawat Nabi



Dalam berbagai kesempatan, baik saat memberi tausiyah, seminar, maupun lainnya, saya mengajak jamaah untuk senantiasa berdoa. Tidak hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang lain. Untuk ayah ibunya, kakaknya, adiknya, istrinya, suaminya, anak-anaknya, tetangganya, teman-temannya, dan juga orang lain. Baik yang dia kenal maupun tidak. Karena, pada hakikatnya, doa yang dia panjatkan untuk orang lain juga akan dirasakan manfaatnya oleh dirinya sendiri.

Dalam bershalawat pun demikian juga. Selain bershalawat untuk Rasulullah SAW, hendaknya juga bershalawat untuk para sahabat Rasulullah. "Maa raaitu ahadan yuhibbu ahadan. Kahubbi ashhabi Muhammadin, Muhammadaa."

Saya nggak pernah melihat seorang pencinta yang mencintai seseorang seperti cintanya para sahabat Nabi Muhammad terhadap Nabi Muhammad. (Juga tentunya istri-istri Nabi dan keluarga Nabi).

Karena itu, saya mengajak diri saya, keluarga saya, jamaah saya, dan juga pembaca koran yang kita sayangi ini untuk bersama-sama bershalawat. Dan, dalam shalawat itu, sebutlah selalu sahabat-sahabat Nabi.

Mengapa kita perlu bershalawat untuk para sahabat Nabi? Karena, mereka adalah orang-orang mulia yang berjuang bersama-sama Rasulullah SAW. Mereka banyak mengetahui sosok dan kiprah Rasulullah dibandingkan kita.

Mereka sangat mencintai Rasulullah. Mereka tak pernah rela sesuatu terjadi pada diri Rasulullah. Mereka tak rela Rasulullah disakiti, dihina, dicaci maki, atau apa pun yang melukai perasaan Rasulullah.

Karena itu, perbanyak shalawat untuk Rasulullah, juga untuk sahabatnya dan keluarganya, serta untuk seluruh umat Islam. Sebab, shalawat itu juga akan kita rasakan manfaatnya. Semoga Allah mempertemukan dan mengumpulkan kita semua dengan semua sahabat Nabi.

Saya banyak membayangkan, di Padang Mahsyar nanti, kita dijemput oleh sahabat-sahabat Nabi yang kita selalu sebut dalam shalawat, diantar, serta dipertemukan dengan Nabi. "Ya Rasulullah, inilah orang yang juga mencintaimu dan mencintai yang mencintaimu ...."

Allahumma shalli wa sallim wa baarik, 'alaa Sayyidinaa Muhammadin wa ikhwaanihii minal ambiyaa-i wal mursaliin, wa azwaajihim wa aalihim wa dzurriyyaatihim wa ash-haabihim wa ummatihim ajma'iin.


Ya Allah, berilah shalawat, keselamatan, dan keberkahan untuk Nabi Muhammad dan saudara-saudaranya dari para nabi dan rasul, dan istri-istri mereka semua, keluarga mereka, turunan-turunan mereka, dan sahabat-sahabat dari semua nabi dan rasul, termasuk sahabat-sahabat Nabi Muhammad dan semua yang terkait dengan Nabi Muhammad.

Oleh: Yusuf Mansur



Berprasangka Baik kepada Allah



Hidup ini adalah sebuah perjalanan singkat, pada akhirnya nanti kita pasti akan kembali kepada Allah. Saat kembali menghadap Allah, kita akan mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan kita di dunia ini.

Saat hidup di dunia inilah, kita sebaiknya terus-menerus berprasangka baik kepada Allah. Apabila telah berhasil, kita akan menjadi hamba yang menebarkan energi positif untuk diri sendiri, lingkungan, dan menerima ketentuan Allah dengan tulus ikhlas.

Peristiwa yang menimpa Ummul Mukminin Aisyah RA ketika difitnah berbuat serong dengan salah seorang sahabat, berkatalah istri Abu Ayub kepada suaminya tentang istri Rasulullah. “Abu Ayub, tidakkah engkau mendengar apa yang dibicarakan orang tentang Aisyah?”

“Ya, aku mendengarnya. Tetapi, semua itu dusta. Engkau sendiri Ummu Ayub, apakah mungkin melakukannya?” Abu Ayub balik bertanya. “Demi Allah aku tidak mungkin melakukannya,” jawab sang istri tegas. “Ya dan Aisyah lebih baik daripada dirimu.” Begitu kata akhir Abu Ayub.

Kisah ini, mengingatkan kita untuk berprasangka baik kepada diri sendiri, lingkungan, dan ketentuan Allah. Sukses tidaknya seseorang tergantung keyakinannya tentang dirinya dan prasangka baiknya kepada Allah.

Sebagaimana yang terdapat dalam penjelasan hadis nabi, “Sesungguhnya Allah berkata, Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap Aku dan Aku bersamanya ketika ia berdoa kepada-Ku.” (HR. Muslim).

Senada dengan sabda di atas, Jalaluddin Rumi juga mengingatkan, “Engkau adalah apa yang engkau pikirkan, saudaraku, selebihnya adalah tulang dan serat. Jika engkau memikirkan bunga mawar, engkau adalah mawar kebun. Jika engkau pikir engkau adalah onak, engkau adalah bahan bakar tungku.”

Dalam kehidupan ini, orang yang berhasil merupakan mereka yang memiliki tujuan untuk menjadi orang yang bertakwa, kemudian berusaha terus-menerus merealisasikan tujuannya menjadi orang yang bertakwa tersebut. Selain itu, juga memiliki pemikiran dan harapan yang positif terhadap kehendak Allah.

Setiap saat seseorang menghadapi masalah dan tantangan dalam hidup ini. Orang-orang yang berprasangka baik kepada Allah tentu memiliki keyakinan bahwa bersama kesulitan terdapat kemudahan. Sebagaimana yang tergambar dalam firman Allah, “Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS al-Insyirah [94]: 5-6).  

Mungkin saat ini kita termasuk orang miskin, memiliki keterbatasan fisik, berpendidikan rendah, serta sudah lanjut usia, dan memiliki hambatan lainnya. Namun, apabila kita selalu berprasangka baik kepada Allah, tentu akan selalu ada harapan untuk perubahan hidup yang lebih positif dan bahagia.