Dalam satu perjalanan, Nabi SAW mengingatkan para sahabat agar berhenti atau mampir apabila melewati taman surga (riyadh al-jannah). Mereka bertanya, “Apakah taman surga itu?” Jawab Nabi, “ Majalis al-Dzikr” (majelis-majelis zikir). (HR Tirmidzi dan Ahmad dari Anas ibn Malik).
Majelis zikir itu, dalam riwayat lain, disebut majelis ilmu. Riwayat lainnya menyebut masjid. Masjid atau majelis zikir disebut taman surga dalam kisah di atas, dapat dipahami dalam beberapa makna.
Pertama, bagi kaum beriman, masjid tak ubahnya taman, yaitu tempat yang indah dan nyaman. Kita harus rajin ke masjid agar kita memperoleh kesegaran dan kebugaran, tidak saja fisik, tetapi terutama mental dan spiritual.
Kedua, Nabi SAW wanti-wanti agar dalam melakukan perjalanan (al-safar), kaum beriman tidak lupa berhenti dan mampir di masjid, untuk shalat dan zikir kepada Allah. Pada masa kita sekarang, peringatan Nabi ini sungguh penting, karena banyak orang dalam perjalanan hanya berhenti di rest area untuk makan dan minum. Sebagian besar mereka lupa untuk berhenti di taman surga atau masjid.
Ketiga, orang yang rajin ke masjid dan berzikir, sesungguhnya ia sedang membangun rumah dan tamannya sendiri yang indah di surga. Maka, kaum beriman diseru agar banyak berzikir. “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya." (QS. Al-Ahzab: 41).
Zikir itu bermakna mengingat Allah atau menyadari kehadiran-Nya. Orang menyadari kehadiran Allah akan terbebas dari penyakit kehampaan spiritual yang membuatnya terjaga dan terpelihara dari dosa dan maksiat.
Di sinilah makna paling penting dari zikir, sampai-sampai Imam Al-Qusyairi dalam Risalat Al-Qusyairiyah menyebutnya sebagai jalan paling prinsip menuju Tuhan. Bahkan, bagi Qusyairi, tak bisa dibayangkan seseorang bisa sampai (ma`rifah) kepada Allah tanpa zikir secara terus-menerus (wa la yashil ahadun ila Allah illa bi dawam al-dzikr).
Zikir sebagai proses mempertinggi kesadaran tentang kehadiran Allah, bisa dilakukan secara lisan (al-dzikr bi al-Lisan) dan secara rohani atau spiritual (al-dzikr bi al-Qalb). Para sufi, termasuk Qusyairi, memahami zikir secara lisan hanya sebagai alat untuk menggugah agar mampu berzikir lahir dan batin sepanjang waktu.
Kemampuan zikir lahir dan batin tanpa putus ini (istidamat al-dzikr) disebut oleh Nabi SAW sebagai perbuatan paling utama, yaitu tatkala seorang hamba terus berzikir sampai mengembuskan napasnya yang terakhir, sedangkan lidahnya basah (komat-kamit) karena zikir dan mengingat Allah. (HR Thabrani dari Mu`adz ibn Jabal).
Kesadaran spiritual (zikir) itu, menurut Ghazali, berpusat di hati (kalbu). Bagi Ghazali, hati menjadi alat untuk mengenal Allah (al-`alim bi Allah), yang mendekatkan diri (al-mutaqarrib), yang bekerja (al-`amil), yang berjalan (al-sa`i), dan yang menyaksikan rahasia kebesaran Allah melalui terbukanya tirai kegaiban (al-mukasyif bi-ma `inda Allah).
Oleh: A Ilyas Ismail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar