Presiden
Jokowi ketika menyampaikan presentasinya di forum KTT APEC, Beijing, Tiongkok,
Senin, 10 November 2014 (Kompas.com)
Apa
yang terjadi jika ada politikus oportunis pragmatis membuat pernyataan yang
menilai strategi bisnis luar biasa yang dilakukan oleh CEO kelas dunia?
Jawabnya adalah terjadilah pamer ketidakcerdasan dan kekonyolan, yang membuat
mual dan sakit perut orang yang mendengarnya.
Melecehkan
Pidato Jokowi di KTT APEC
Itulah
yang terjadi ketika kita mendengar pernyataan dari dua politikus masing-masing
Mahfudz Sidiq dari PKS dan Desmond J Mahesa dari Partai Gerindra ketika mereka
membuat pernyataan menilai pidato yang disampaikan oleh Presiden Jokowi di
forum KTT Asia Pasicif Economic Cooperation ( APEC) Economic Leaders’
Meeting, Beijing, Republik Rakyat Tiongkok pada Senin, 10 November 2014.
Mahfudz
Sidiq dan Desmond sama-sama mencela cara berpidato Jokowi yang dikatakan
mengedepankan ekonomi ketimbang politik, yang hanya seperti sales marketing,
penjaja atau pedagang produk Indonesia, hanya mau gagah-gagahan, sok bisa
bahasa Inggris, tanpa misi dan visi politiknya.
Mahfudz
menilai misi pemasaran Presiden Jokowi di forum KTT APEC di Beijing itu minim
visi politik karena seharusnya menyatakan juga visi dan sikap politiknya yang
mendasari semua tawaran kerjasama ekonomi dan investasi.
“Misalnya
poros maritim dari politiknya bagaimana. Garis kebijakan yang harus dinyatakan
agar kedaulatan NKRI tetap terjaga dan dihormati,” kata Mahfudz.
Dia
sangat menyayangkan kesempatan yang ada di forum resmi maupun tidak resmi di
APEC tidak digunakan Jokowi untuk menyampaikan dan menegaskan visi dan sikap
politik Indonesia.
“Tawaran
kerja sama dan investasi dengan para aktor besar dan presentasi di forum CEO
lebih gambarkan visi presiden sebagai marketing officer,” cela
Mahfudz (antaranews.com).
Yang
lebih melecehkan adalah Desmond J Mahesa (Gerindra). Dengan nada sinis Desmond
merendahkan nilai pidato Jokowi di forum KTT APEC itu. Kata dia, “Mengomentari
penampilan Jokowi, saya sulit sekali karena yang tampil itu sebagai Presiden
atau Kepala BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal)?”
Desmond
menuturkan, dibandingkan kepala negara lain yang lebih mengedepankan seremonial
dan soal kebijakan (politik) luar negerinya, Jokowi justru lebih menekankan
pada produk Indonesia. Kesannya, pidato seperti penjaja, pedagang barang,”
imbuh dia, Rabu, 11 November 2014 di Gedung DPR.
“Apakah
mendatangkan hasil untuk Indonesia atau tidak, ini ditunggu. Ini bukan forum
gagah-gagahan dipuji karena bisa berbahasa Inggris,” ucap Desmond (Kompas.com).
Siapa
yang tidak mual dan sakit perut mendengar pernyataan konyol dua orang politikus
ini?
Jokowi
Marketing Leader untuk Indonesia
Jelas-jelas
APEC adalah forum internasional pertemuan para pimpinan negara-negara Asia
Pasifik bersama dengan para economic leader untuk membahas kerjasama
ekonomi di kawasan Asia Pasifik, kenapa harus mengedepankan atau membahas
persoalan politik?
Jokowi
itu berbicara di hadapan para economic leader, termasuk 1.500 CEO
perusahaan multinasional. Mereka pasti tidak terlalu tertarik dengan
kebijakan-kebijakan politik pemerintah, yang kerap dibahas dengan cara-cara
normatif, seremonial, basa-basi, dan sebagainya itu. Aneh sekali, Desmond
kok malah bilang, seharusnya Jokowi lebih menampilkan politik seremonial?
Para
CEO di forum APEC itu sejatinya adalah para investor dan pengusaha kelas
internasional. Otak investor, dan pengusaha itu di mana-mana pada intinya sama,
yaitu tidak suka dengan segala hal yang sifatnya seremonial, normatif,
birokratif, basa-basi, bertele-tele, dan seterusnya. Yang dicari dan yang
dibutuhkan para investor itu adalah informasi yang tepat guna, yang langsung
pada sasarannya mengenai peluang, kemudahan, prospek bisnis dan investasi,
serta jaminan kepastian hukum mengenai kelangsungan investasinya itu di setiap
negara.
Jadi,
sungguh sangat tepat cara Jokowi tampil dengan presentasinya itu. Ya,
sebenarnya, lebih pas pidato Jokowi itu, disebut sebagai presentasi. Yaitu,
presentasi tentang peluang investasi di Indonesia, daripada sebuah pidato, yang
disampaikan pada waktu dan tempat yang sangat tepat. Jokowi sendiri beberapa
kali mengatakan bahwa yang disampaikan itu adalah “my presentation”.
Untuk
itu Jokowi perlu tampil sebagai seorang marketing leader bagi negaranya
sendiri, yang memasarkan peluang investasi dan bisnis berskala
internasional di Indonesia kepada para investor asing. Di KTT APEC, Beijing itu
mereka semua berkumpul, dan di sanalah waktu itu Jokowi menyampaikan
presentasinya. Benar-benar mengena pada sasarannya.
Beberapa
kali Jokowi mengatakan: “This is your opportunity” kepada para CEO dari
1.500 perusahaan raksasa dunia itu. Jelas Jokowi bermaksud menekankan kepada
para CEO itu bahwa saat ini Indonesia adalah negara yang sangat tepat dan
sangat besar prospek investasinya karena segera akan membangun beberapa proyek
raksasa sesuai dengan program pemerintahnya. Di antaranya, pembangunan sejumlah
bendungan, pelabuhan kapal laut berbagai ukuran, bandara, pusat pembangkit
tenaga listrik, rel kereta api, dan proyek tol laut yang menghubungkan dengan
secara berkesinambungan ujung barat Indonesia sampai dengan ujung timur
Indonesia.
Kendala-kendala
yang selama ini menjadi momok para investor asing di Indonesia, seperti masalah
perizinan yang bertele-tele (dipersulit), pembebasan lahan, infrastruktur,
pungli dan sebagainya dijamin tidak bakal ada lagi. Soal perizinan, misalnya,
Jokowi jamin dalam tiga hari sudah bisa diselesaikan.
Jadi,
“Saat inilah peluang besar paling menguntungkan bagi anda semua untuk
berinvestasi di Indonesia! Kami tunggu kedatangan anda!” Itulah yang
Jokowi tekankan untuk meyakinkan kepada para CEO internasional itu pada
presentasinya itu.
Untuk
memasarkan Indonesia dengan strategi yang tepat guna (efektif dan efesien)
kepada para CEO perusahaan-perusahaan multinasional diperlukan juga CEO
pemasaran kelas dunia, itulah dia Jokowi. Jokowi adalah CEO Marketing
Indonesia.
Dunia
Investor Mengapresiasi
Rupanya
bagi Desmond J Mahesa seorang Presiden tidak pantas melakukan penawaran
investasi langsung ke dunia seperti yang disampaikan oleh Jokowi. Menurut dia
itu sesuatu yang merendahkan dan memalukan, kok Presiden jadi seperti
pedagang? Padahal justru komentarnya itu yang sangat memalukan, bikin orang mau
muntah. Karena Presiden yang berpikiran ala seorang pebisnis dalam menjalankan
roda perekonomian negara saat ini adalah yang paling diperlukan.
Politik
memang perlu untuk stabilitas negara, tetapi dalam keadaan negara normal,
justru ekonomilah yang harus dikedepankan, rakyat harus diberi cukup pangan dan
papan, sejahtera, dan makmur terlebih dulu, dengan demikian stabilitas politik
negara pasti akan menjadi sangat kuat. Negara yang telah mencapai posisi
demikian, pasti akan semakin maju lagi ekonominya, demikian juga dengan
politiknya, pertahanan negaranya, dan sebagainya, yang akan menempat posisinya
sebagai negara besar yang disegani. Untuk mencapai semua itu, pimpinan suatu
bangsa dan negara harusnya seorang yang mempunyai jiwa penguasaha, yang rela
menjadi marketing leader bagi negaranya.
Pidato
atau presentasi Jokowi itu sangat diapresiasi para CEO dunia yang yang hadir di
sana. Begitu Jokowi selesai menyampaikan presentasinya itu, mereka semua
melakukan standing ovation. Kemudian ketika Jokowi hendak meninggalkan
ruangan, mereka justru terlihat berebutan memotret dan mengajak selfie
bersama Jokowi. Itu artinya mereka benar-benar tertarik dan menghargai apa yang
baru disampaikan Jokowi tersebut. Mereka merasa menemukan apa yang selama ini
yang betul-betul mereka cari.
APEC
juga mengunggah lengkap presentasi Presiden Jokowi itu di akun resmi mereka di
YouTube.
Sedangkan
di Indonesia IKADIN dan Apindo yang note bene terdiri dari para pelaku
ekonomi skala besar/raksasa juga merasakan adanya angin segar iklim investasi
yang dihembus oleh Jokowi dari Beijing itu. Mereka memuji pidato Jokowi itu
sebagai pidato yang bagus, singkat, jelas, dan langsung ke sasarannya. Sesuatu
yang sesuai dengan sifat dasar para pengusaha dan investor yang tidak suka
dengan hal-hal yang seremonial semata, yang bertele-tele, lamban, terlalu
birokratis, terlalu banyak basa-basi, normatif, dan sebagainya.
Maka
itu sangat aneh luar biasa, presentasi Jokowi yang diapresiasi sampai
sedemikian rupa di APEC, dan banyak kalangan itu justru dilecehkan oleh Mahfudz
Sidiq dari PKS dan Desmond J Mahesa dari Gerindra itu. Kelihatannya hanya
dari para hater Jokowi. Bagi orang-orang ini, apa pun yang dilakukan
Jokowi, harus dicela.
Presiden
sebagai Marketing Leader
Tidak
heran, bahkan seorang tokoh manajemen perubahan nasional sekaliber Rhenald
Kasali pun sampai tak tahan, ketika diminta pendapatnya terhadap pernyataan
Desmond J Mahesa yang dengan sinis menilai pidato Jokowi di APEC itu hanya
seperti seorang pedagang penjaja barang saja itu.
“Kalau
membuat pernyataan itu hendaklah cerdas!” komentar Rhenald singkat di TV Berita
Satu, Rabu malam, 12 November 2014, ketika diminta pendapatnya
tentang pernyataan Desmond itu.
Rhenald
Kasali yang malam itu tampil di acara diskusi TV Berita Satu dengan
judul “Marketing Jokowi di APEC” bersama Ketua Umum KADIN Suryo Bambang Sulisto
itu justru memuji gaya dan cara Jokowi menyampaikan presentasinya menawarkan
peluang investasi di Indonesia kepada para CEO dunia itu.
Rhenald
mengatakan bukan sesuatu yang aneh, bahkan sudah seharusnya seorang Presiden
pun menjadi marketer untuk perekonomian negaranya. Dia lalu mencontoh
Bill Clinton, yang ketika masih menjadi Presiden Amerika Serikat pun ikut turun
tangan langsung untuk memasarkan pesawat Boeing, ketika perusahaan pembuatan
pesawat terbang raksasa milik negara itu mengalami kesulitan bersaing dengan
Air Bus.
Bill
Clinton, kata Rhenald, ketika menjadi Presiden AS pun menyatakan selalu siap
menjadi pemasar produk barang dan jasa dari negaranya ke seluruh dunia.
Lalu,
saya juga teringat dengan apa yang pernah dilakukan oleh Presiden AS yang lain,
yang saat ini masih sebagai Presiden AS, Barrack Obama. Yang juga memposisikan
dirinya sebagai marketing investasi bagi negaranya yang nota bene adalah
negara yang paling maju ekonominya sampai saat ini.
Pada
18 November 2011, di sela-sela KTT APEC di Bali, dilakukan penandatangan
perjanjian Boeing Co dengan Lion Air untuk pembelian 230 unit pesawat Boeing
737 senilai 21,7 miliar Dollar AS. Ini adalah rekor transaksi pembelian pesawat
terbesar dalam sejarah Boeing. Pembelian pesawat sebanyak itu juga dengan
sendirinya akan menyerap banyak tenaga kerja di AS. Presiden Obama sampai
merasa perlu tampil ikut serta menyaksikan penandatangan perjanjian tersebut,
dan dalam pidatonya dia ikut mempromosikan peluang investasi di negara-negara
Asia Pasifik.
“Penandatangan
ini merupakan contoh hebat peluang perdagangan, investasi dan komersial di
kawasan Asia Pasifik. …Beberapa hari terakhir, saya berbicara tentang bagaimana
memastikan kehadiran kami di wilayah ini, yang dapat langsung berkaitan dengan
lapangan pekerjaan di negara kami,” kata Obama dalam pidatonya itu.
Perjanjian
ini menurut Obama akan melahirkan banyak kesempatan kerja baru bagi warga AS.
“Dan apa yang kita lihat di sini, kesepakatan bernilai miliaran dolar antara
Lion Air, salah satu maskapai penerbangan dengan pertumbuhan tercepat tidak
hanya di wilayah ini, namun di dunia, dan Boeing, akan menciptakan lebih dari
100.000 lapangan kerja di Amerika Serikat untuk jangka waktu panjang.”
“Inilah
contoh bagaimana kami mencapai tujuan jangka panjang yang saya tetapkan
termasuk meningkatkan dua kali lipat ekspor Amerika Serikat dalam beberapa
tahun mendatang,” kata Obama mempromosikan peluang bisnis dan investasi di
negaranya (BBC.co.uk).
Jadi,
Desmond dan Mahfudz Sidiq harus tahu bahwa bukan hanya Presiden Jokowi,
tetapi Presiden Bill Clinton dan Presiden Obama pun pernah menjadi – meminjam
istilah Desmond ketika melecehkan Jokowi – semacam kepala Kepala BKPM (Badan
Koordinasi Penanaman Modal), penjaja, dan pedagang produk AS.
Ekonomi
Harus di Depan Politik, Bukan Sebaliknya
Rhenald
Kasali di artikelnya yang berjudul Penakut
Tak Akan Pernah Melakukan Perubahan (Pointingonline.com), antara lain
menulis:
Lima
belas tahun yang lalu, salah seorang Emir terkemuka dari Uni Emirat Arab,
Sheikh Muhammad Makhtum al Makhtum pernah berujar: “Ekonomi itu ibaratnya kuda,
sedangkan politik adalah keretanya”. Baginya, Dubai menjadi besar karena
ekonominya berada di depan politik. Di Indonesia kita justru menyaksikan
pertunjukan sebaliknya, kuda di pacu agar bisa berlari kencang di taruh
dibelakang kereta bak tukang sate mendorong gerobaknya. Alih-alih berlari
cepat, kuda menjadi liar dan tabrak kanan – kiri. Ibarat kuda mabuk.
Kemudian,
di sebuah artikelnya yang berjudul Bukan Singa yang
Mengembik (Koran Sindo, Sabtu, 7 Juli 2014), Rhenald antara lain
menulis:
Ekonomi,
Bukan Politik
Kata
Sheik Rashid, “Kami harus bekerja keras dan bekerja cepat. Supaya bisa bekerja
cepat, kami harus bisa membangun sistem yang simpel dan berpikir simpel.”
Itulah program transformasi yang diusung oleh para sheik tersebut. Dalam
program transformasinya, Sheik Rashid mengedepankan ekonomi, bukan politik. Dia
percaya bahwa untuk bisa berpolitik secara beradab, masyarakatnya harus
sejahtera terlebih dulu. Bukan dibalik, untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, politik harus berada di depan. Di UEA, kita bisa melihat hasilnya.
Dua
puluh tahun setelah pertemuan tersebut, UEA–yang kini terdiri dari tujuh negara
bagian–menjadi salah satu negara yang paling sejahtera di kawasan Timur Tengah.
Ketika negaranegara lain di kawasan tersebut diguncang oleh gelombang Arab
Spring, UEA tetap tenang karena rakyatnya sejahtera, sehingga mampu
menghasilkan karya-karya yang monumental. Di antaranya Burj Khalifah, yang saat
ini menjadi gedung tertinggi di dunia. UEA juga berhasil mentransformasi bisnis
negaranya yang semula mengandalkan minyak dan gas menjadi lebih mengedepankan
bisnis jasa.
Kini,
bisnis wisata tumbuh subur di sana. Maskapai penerbangan mereka, Emirates
Airlines, pada tahun 2013 menempati peringkat pertama The World The Worlds Best
Airlines versi Syktrax. Padahal tahun sebelumnya masih menempati peringkat
ke-8. Saat ini UEA juga tengah membangun mal terbesar di dunia, Mall of The
World, yang luasnya mencapai 4,4 juta meter persegi. Para sheik itu adalah
singa yang berada di kumpulan kambing jinak.
Tapi
mereka tetap mengaum, bukan mengembik. Kita baru saja menjalani siklus lima
tahunan dengan memilih pasangan presiden dan wakil presiden. Belum ada pemenang
resmi. Meski begitu bolehlah sejak sekarang kita menaruh harapan, kelak
pemimpin kita dapat menjadi singa-singa berhati mulia yang mampu membuat
sejahtera negaranya. Bukan sebaliknya. Juga bukan keledai berbulu singa, atau
singa yang mengembik.
Mungkin
Mahfudz Sidiq dan Desmond J Mahesa belum membaca dan paham filosofi dari
artikel-artikel Rhenald Kasali ini, sehingga sampai hari ini mereka masih saja
berprinsip bahwa politiklah yang harus di depan ekonomi, bukan sebaliknya.
Padahal fakta dunia sudah terlalu banyak membuktikan bahwa itu salah.
Seharusnya: Ekonomilah yang di depan politik, bukan sebaliknya.
Singa
yang disebut Rhenald Kasali di artikel itu maksudnya adalah orang yang
harus mempunyai karakter seperti singa, yang selalu fokus, dan agresif dan
mengejar mangsanya. Karena hanya berkarakter demikian setiap manusia akan
selalu fokus, dan mati-matian dalam mengejar cita-citanya dan berupaya
sekeras-kerasnya untuk keluar dari setiap masalah yang datang. Bukan seperti
singa yang mengembik, yaitu mereka yang punya sebenarnya potensi untuk menjadi
orang besar, tetapi hanya selalu mencari aman, selalu berkelompok di zona
nyaman, saling melindungi satu dengan lain.
Sebab
kalau disuruh Indonesia harus menjadi macan Asia, atau bahkan macan dunia, itu
Jokowi tidak setuju. Menurutnya janganlah kita menjadi macan, karena akan
membuat banyak orang yang takut dan menjauh dari kita. Tetapi yang benar adalah
kita harus bisa menaklukkan macan itu, sehinga dia bisa menjadi sahabat dan
mitra kita. ***
by Daniel H.t, Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Berasal dari Fakfak, Papua Barat. Twitter @danielht2009
Artikel berita terkait:
http://sp.beritasatu.com/home/jokowi-tegas-kepala-negara-apec-termasuk-obama-kaget/68805
Tidak ada komentar:
Posting Komentar