Sabtu, 06 November 2010
Manusia Sebagai Subjek dan Objek Bencana
Bencana demi bencana di negeri ini seperti tiada hentinya. Dari banjir bandang di Wasior, gunung Merapi meletus, hingga gempa dan tsunami di Mentawai.
Siapa atau apa sebenarnya yang memicunya? Satu hal yang pasti, manusia adalah objek yang menjadi korbannya. Tulisan ini mencoba menelisiknya dari perspektif teologis.
Perspektif Alquran
Dalam Alquran, setidaknya ada dua ayat penting yang berbicara tentang musibah (bencana alam) di antaranya "Apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)" (QS 42:30).
Kedua, "Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS 57:22)
Dua ayat ini memberikan gambaran tentang bencana. Ayat pertama mengungkapkan bahwa bencana itu disebabkan oleh tangan-tangan manusia. Ayat kedua mengungkapkan bahwa segala bencana di muka bumi itu sudah ada ketetapannya di sisi-Nya (takdir).
Ayat pertama mengaitkan bencana pada ulah tangan manusia, sedangkan ayat kedua mengaitkan bencana pada hak mutlak kekuasaan-Nya.
Sepintas, dua ayat ini kontradiktif, tapi sesungguhnya bisa diselaraskan jika diletakkan dalam konteksnya masing-masing. Dua ayat ini saling berhubungan membentuk simpul pemahaman tentang bencana dalam perspektif Alquran.
Bahwa bencana selalu terkait relasi manusia dengan alam dan Allah sekaligus. Allah pencipta semesta di mana manusia berada di dalamnya. Maka manusia adalah bagian dari semesta.
Menurut Ibnu Arabi, salah satu tokoh filsuf-sufi Islam, alam ini mencakup di dalamnya segala yang ada di bumi seperti batu, pepohonan, manusia, dan hewan adalah penampakan atau citra Allah.
Kalangan agawaman ortodoks menganggap Ibnu Arabi sesat karena pemikiran panteistik yang seperti ini, padahal tidak demikian. Karena Allah sendiri mengatakan, "Ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah" (QS 2:115).
Salah satu buku Quraish Shihab terbaru berjudul Dia di Mana-mana; Tangan Tuhan di Balik Setiap Fenomena (2010). Buku ini mengetengahkan bahwa dalam setiap fenomena alam, termasuk di dalamnya bencana, ada keterkaitan dengan Tuhan.
Tuhan, Manusia, dan Alam
Tuhan Maha Kuasa, tetapi Dia juga Maha Adil dan Maha Penyayang. Ini bermakna bahwa Tuhan tidak akan bertindak semena-mena terhadap makhluk-Nya meskipun Dia Maha Kuasa.
Semua bencana di muka bumi hakikatnya berada dalam wilayah kuasa Tuhan. Tetapi, wilayah ini terkait dengan sebab yang dibuat oleh manusia. Banjir, misalnya, itu terjadi karena salah satunya manusia melakukan penebangan hutan secara liar tanpa memperhatikan dampaknya.
Manusia tidak bisa mengatur besaran curah hujan yang turun, karena itu di luar kuasanya. Hujan adalah kuasa Tuhan. Maka ketika curah hujan tinggi, sementara tidak ada pepohonan yang menampung airnya, terjadilah banjir bandang.
Ada beberapa bencana yang juga berada dalam lingkup kuasa Tuhan, dan secara tidak langsung berkaitan dengan perilaku manusia. Alam dan manusia selalu terkait erat, karena manusia adalah bagian dari alam.
Dalam relasi demikian, kuasa Tuhan ada di situ. Jika bencana banjir disebabkan secara langsung oleh ulah tangan-tangan manusia, maka bencana yang tidak bisa manusia prediksi seperti gunung meletus, gempa, dan tsunami, bukan berarti tidak ada peran manusia di situ.
Manusia memiliki energi positif dan negatif. Dalam filosofi Tiongkok, energi itu disimbolisasi dalam bentuk Yin dan Yang. Dr. Masaru Emoto, ilmuwan kelahiran Yokohama Jepang, yang terkenal dengan teori airnya dalam salah satu karyanya, Messages from Water, membuktikan bahwa molekul-molekul air berubah-ubah tergantung energi yang diarahkan kepadanya.
Jika energi itu positif, maka molekul-molekul air itu akan bercahaya terang, tapi jika energi itu negatif maka molekul-molekul air itu akan redup dan gelap.
Demikianlah keterkaitan antara energi yang dipancarkan oleh manusia terhadap benda-benda di bumi. Semakin banyak energi positif yang dipancarkan melalui perilaku-perilaku manusia yang baik, maka alam akan semakin positif dan bersahabat.
Sebaliknya, semakin banyak energi negatif dipancarkan melalui perilaku manusia yang buruk, maka alam akan semakin negatif dan tidak bersahabat.
Dalam bahasa Alquran, "Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah (atom) pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan siapa yang mengerjakan keburukan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.” (QS 99:7-8)
Keterkaitan antara Tuhan, manusia, dan alam ini menyadarkan manusia bahwa bencana itu lebih banyak disebabkan oleh tangan-tangan manusia sendiri, baik itu secara langsung maupun tidak langsung (melalui pancaran energi negatifnya).
Bencana demi bencana itu merupakan akumulasi dari relasi manusia dengan alam dan Tuhan yang timpang. Tuhan sudah berbaik hati memberi manusia hidup. Alam juga sudah berbaik hati menyediakan apa pun untuk manusia agar dikelola dengan baik. Tetapi, manusia malah berperilaku buruk terhadap alam dan Tuhan.
Manusia subjek bencana, sekaligus menjadi objek bencana. Segenap elemen dan lapisan bangsa, dari tingkat atas hingga bawah mesti segera introspeksi dan memperbaiki diri, jika memang ingin agar alam kembali bersahabat. (editor widodo)
Oleh Fajar Kurnianto,
Peneliti Institut Studi Agama Sosial & Politik (Isaspol) Jakarta
Tinggal di Jakarta
http://www.tribunnews.com/2010/11/03/manusia-sebagai-subjek-dan-objek-bencana
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar