BOHONG itu sesungguhnya sulit, dan jujur itu mudah.
Tapi, mengapa banyak di antara kita yang suka berbohong?
Ya, pasti ada maksudnya. Tetapi, ketika kita berbohong, rasanya ada sesuatu yang mengganjal. Atas sesuatu yang kita sembunyikan, kadang-kadang tidak sepenuhnya tersembunyikan betul. Seperti kisah Nasruddin Hoja (NH) berikut. :
Karena kehadirannya pada suatu pesta perkawinan tetangganya sebelumnya, sepatu NH hilang, maka ketika menghadiri pesta perkawinan selanjutnya, NH menyembunyikan sepatunya di balik jubahnya. Tentu jubah itu tampak menonjol, dan memunculkan pertanyaan dari para tamu lain.
Seseorang mengajukan pertanyaan, apakah yang ada di balik jubah itu sebuah buku tebal, NH mengatakan iya, sebuah buku kebijaksanaan. O, pastilah buku itu sangat menarik dan ini menegaskan bahwa NH adalah Mullah yang bijak, sampai-sampai datang ke pesta perkawinan pun membawa buku tebal.
Kemudian orang itu bertanya lagi, Di mana Mullah mendapatkan buku itu?
Di toko sepatu..
Kisahnya sampai di sini. Tetapi tentu saja meninggalkan sesungging senyum pada kita.
Soalnya, jawaban NH ini membingungkan, bagaimana mungkin sebuah buku dibeli di toko sepatu? Apakah mungkin toko sepatu menjual buku? Jarang bukan? Persoalannya mengapa NH tidak mengatakan apa adanya saja, seperti kisah yang lain, dimana NH hendak shalat Jumat di hari Kamis.
NH punya keledai yang dinilainya malas sekali. Jalannya pelan-pelan.
Suatu hari, NH menunggang keledainya itu, hingga tetangganya bertanya hendak ke mana. NH menjawab bahwa ia hendak menunaikan shalat Jumat. Tetapi, tetangganya mengingatkan NH bahwa hari itu masih Kamis.
Barangkali Mullah lupa..
O, tidak, saya tahu kalau hari ini hari Kamis. Perlu saya kasih tahu ya, keledai saya ini sangat pemalas, jalannya pelan-pelan, sehingga saya khawatir tidak bisa ikut shalat Jumat di masjid desa sebelah, bisa sampai besok saja sudah alhamdulillah, kata NH. NH mungkin sedang melakukan kritik kepada keledainya. Mungkin pula ia lebih jujur mengatakan sesuatu, ketimbang kisah menyembunyikan sepatunya di atas.
Dalam kisah lain NH, cukup jeli memahami bahwa kebiasaan buruk yang melekat, susah untuk ditutupi termasuk dengan cara berbohong (jaga imej). Orang itu gampang untuk dikenali, dan perlu penanganan tersendiri.
Ada seorang hakim yang dikenal korup kecemplung di sebuah sungai kecil penuh lumpur, ia hampir tenggelam. Tetapi ia hanya diam saja tak bereaksi ketika banyak orang berusaha menolongnya. Kemudian datanglah NH. Orang-orang mengatakan bahwa Pak Hakim tidak mau ditolong dan diam saja ketika mau ditolong.
NH menanyakan ke orang-orang itu, bagaimana cara menolongnya. Mereka mengatakan bahwa yang menolong mengulurkan tangannya dan berkata, Wahai hakim berikan tanganmu.
O, pantas, kata NH, Caranya salah, yang betul, ulurkan tangan ke dia, dan katakan terimalah tanganku.
Dan yang terjadi benar. Ternyata hanya beda kalimat. Hakim itu tak biasa memberi, tapi biasa menerima (sogokan, suap, dan sebagainya). Orang yang terbiasa diberi, boleh jadi tak biasa memberi. Orang yang biasa dimanja fasilitas, biasanya kaget manakala fasilitas-fasilitas itu tak lagi diperolehnya. Biasanya, baru setelah itu muncul kisah-kisah apa adanya, bahwa hidupnya penuh dengan adegan-adegan kebohongan. Tetapi, siapa berani jujur manakala kejujuran mengandung risiko atas karir pekerjaannya serta hal-hal lain yang membuat tercabutnya fasilitas-fasilitas?
(M Alfan Alfian, Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta)
********************************
Catatan :
Ada berita penting belakangan ini, tapi tak banyak diperdebatkan. Para tokoh lintas agama punya gagasan menjadikan tahun 2011 ini sebagai “Tahun Perlawanan terhadap Kebohongan”.
Sungguh amat menarik, masalah bohong-berbohong dijadikan isu nasional dan yang disasar adalah para pemimpin di negeri ini. Padahal perbuatan yang paling mudah dilakukan, baik oleh pemimpin maupun oleh rakyat, adalah berbohong. Sedangkan perbuatan yang paling sulit dilakukan adalah mempertahankan kebohongan itu.
Saya heran kenapa berita ini tidak menjadi headline di koran-koran, kenapa tidak diperbincangkan di semua stasiun televisi, kenapa tidak menjadi cover story di majalah berita. Bukankah melawan kebohongan dan menegakkan kejujuran adalah perjuangan yang amat mulia? Seorang rekan beralasan, berita itu menjadi rendah nilainya lantaran para tokoh lintas agama yang menggagas ide tersebut “orangnya itu-itu saja”. Lagi pula ada nuansa politisnya. Saya hanya mengelus dada kalau benar ini jadi alasannya.
Berbohong atau tidaknya seseorang memang tak selalu mudah dibuktikan. Apalagi kalau tak ada fakta yang menangkis kebohongan itu. Kepada Adnan Buyung Nasution, Gayus Tambunan semula tak mengaku pergi ke Bali selama ditahan di Markas Brimob. Belakangan, setelah banyak bukti terkuak, Gayus mengaku. Artinya, ia berbohong kepada pengacaranya. Si Abang pun jadi kesal.
Gayus dicap sebagai pembohong. Akibatnya, ucapan Gayus selanjutnya selalu dicurigai sebagai bualan. Gayus sudah menyebutkan siapa saja yang membantunya mencarikan paspor dan siapa yang mengaturnya ke luar negeri. Gayus pun menyebutkan orang-orang yang terlibat dalam “mafia pajak” yang dia ikut mainkan. Ia mengaku tahu siapa big fish (kelas kakap dan paus) karena dia hanyalah teri. Bahkan Gayus bisa membersihkan negeri ini dari korupsi dalam waktu dua tahun kalau ia dijadikan staf ahli Kapolri. Tapi, apa kata polisi? Ucapan Gayus sulit dipegang karena selalu berubah-ubah. Jadi, kalau polisi tak tergerak atau lamban merespons pengakuan Gayus, itu jadi pembenaran.
Korupsi tetap subur di negeri ini dan pemberantasannya mulai kendur. Mengurusi Gayus saja sudah kelabakan, belum lagi kalau mau mengurusi “atasan-atasan” Gayus. Lalu, apakah Presiden Yudhoyono serta-merta dicap pembohong karena pernah menyebutkan tekadnya menjadi orang terdepan dalam pemberantasan korupsi? Nah, model begini sulit diklarifikasi, berbohong atau tidak.
Ada banyak akal untuk mengaburkan kebohongan. Orang-orang protes ketika DPR bersiap membangun gedung baru yang ada kolam renangnya. Ini kemewahan yang tak pantas dimiliki oleh wakil rakyat yang suka membolos. Apa kata pimpinan DPR? Tak ada kolam renang, itu bohong dan fitnah.
Ketika desain gedung DPR dipublikasikan dan ternyata di lantai 36 (teratas) memang ada kolam yang luas, Ketua DPR memberi keterangan: “Lantai itu adalah taman yang dibuat asri. Untuk memperindah taman, dibuatlah kolam. Airnya nanti bisa dipakai untuk pemadam kebakaran.” Ketua DPR tak bisa disebut berbohong, karena memang tak dibangun kolam renang. Bahwa nanti setelah kolam itu jadi dan dipakai berenang oleh para wakil rakyat, itu kan dalam rangka efisiensi memanfaatkan fasilitas yang ada agar tidak mubazir.
Menutupi kebohongan dengan cara seperti ini bisa menjadi tren baru. Masuk akal kalau para tokoh lintas agama sibuk mencari istilah lain pengganti “berbohong”. Beberapa sudah ditemukan: “ingkar janji” atau “tak satu kata dengan perbuatan”. Wah, tentu akan banyak muncul kata lain, yang intinya sama: bohong.
Putu Setia
http://www.tempointeraktif.com/hg/carianginKT/2011/01/16/krn.20110116.224175.id.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar