Rabu, 06 April 2011
Falsafah Lagu Gundul-gundul Pacul, sebuah renungan
Sekedar intermezo untuk direnungkan, terutama bagi yang sdh mulai gundul:
Falsafah Lagu Gundul-gundul Pacul : semua tahu lagu "gundul-gundul Pacul
"Gundul gundul pacul-cul, gembelengan
Nyunggi nyunggi wakul-kul, gembelengan
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar...
Tembang Jawa ini konon diciptakan tahun 1400-an oleh Sunan Kalijaga dan teman-temannya yang masih remaja dan mempunyai arti filosofis yg dalam dan sangat mulia.
Gundul adalah kepala plonthos tanpa rambut. Kepala adalah lambang kehormatan, kemuliaan seseorang. Rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. jd gundul adl kehormatan tanpa mahkota.
Pacul adalah cangkul yaitu alat petani yang terbuat dari lempeng besi segi empat. jd pacul adl lambang kawula rendah, kebanyakan petani.
Gundul pacul artinya adalah bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul utk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Orang Jawa mengatakan pacul adalah papat kang ucul (4 yg lepas).
Kemuliaan seseorang tergantung 4 hal, yaitu bgmn menggunakan mata, hidung, telinga n mulutnya.
1.Ơ̴̴̴̴̴̴͡.̮Ơ̴̴͡ Mata digunakan untuk melihat kesulitan rakyat.
2.Telinga digunakan untuk mendengar nasehat.
3. Hidung digunakan untuk mencium wewangian kebaikan.
4. Mulut digunakan untuk berkata adil.
Jika empat hal itu lepas, maka lepaslah kehormatannya.
Gembelengan artinya besar kepala, sombong dan bermain-main dalam menggunakan kehormatannya.
GUNDUL2 PACUL CUL artinya jk orang yg kepalanya sdh kehilangan 4 indera itu mengakibatkan
GEMBELENGAN (= congkak/sombong).
NYUNGGI2 WAKUL KUL (menjunjung amanah rakyat) dengan GEMBELENGAN (= sombong hati), akhirnya
WAKUL NGGLIMPANG (amanah jatuh gak bisa dipertahankan)
SEGANE DADI SAK LATAR (berantakan sia2, gak bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat
Memang Sunan sekaliber Kalijaga, Jayanaya, apalagi utusan-utusan Tuhan, punya kelebihan untuk menggambarkan 'kondisi' dunia di masa yad, yang acap kali perlu 'kajian' untuk menerkanya
AMANAT NYUNGGI WAKUL
Wakil rakyat adalah bagian terpilih dari sekumpulan rakyat sebagai penyambung lidah, penyampai aspirasi dan kepentingan rakyat secara keseluruhan. Demikian halnya para pemimpin rakyat, baik yang duduk di struktural birokrasi maupun sosial kemasyakatan adalah manusia terpilih untuk memikirkan nasib warganya. Mereka semuanya adalah pengemban amanat rakyat.
Mereka, wakil dan pemimpin rakyat adalah anak kandung rakyat. Mereka lahir dari rakyat yang memberikan mandat kekuasaan bagi kesejahteraan bersama. Rakyat dan pemimpin adalah kesatuan yang harus manunggal, tidak boleh terpisahkan satu sama lain. Rakyat adalah pemimpin yang sejati, sedangkan wakil dan pemimpin rakyat hanyalah pemegang titipan kepemimpinan sejati tersebut.
Pemimpin bagaikan bocah gundul yang tiada akan berarti tanpa adanya rakyat yang mendukungnya. Kepada si gundul pacul itulah rakyat menyerahkan wakul kehidupannya. Wakul adalah wadah nasi yang kita santap sehari-hari, simbol kesejahteraan rakyat. Nenek moyang kita memberikan petuah luhur lewat lelagon anak-anak berjudul gundul-gundul pacul.
Gundul-gundul pacul…cul gembelengan;
Nyunggi-nyunggi wakul…kul gembelengan;
Wakul ngglimpang segone dadi sak latar;
Wakul ngglimpang segone dadi sak latar.
Gundul artinya kepala. Gundul pacul adalah gambaran bocah kecil yang belum remaja. Jaman dahulu di kampung-kampung, anak usia bocah memang biasa bercukur gundul papak dengan sisa kuncung di bagian tengah bagaikan dicukur dengan cangkul. Pola tingkah laku bocah gundul memang serba gembelengan, serba kemlinthi, serba grusa-grusu, bertindak sembrono tanpa perhitungan. Namanya juga masih anak-anak, wajarlah.
Demikian halnya para wakil rakyat dan pemimpin, mereka hanyalah ibarat bocah gundul yang gembelengan, merasa mampu untuk nyunggi wakul, memakmurkan rakyat. Padahal sesungguhnya mereka tidak akan pernah dapat menjalankan kekuasaan tanpa dukungan rakyat. Rakyatlah yang mempercayakan bakul kesejahteraannya kepada mereka. Maka apa jadinya jika mereka gembelengan memangku amanat rakyat?
Nyunggi merupakan kata kerja yang menunjukkan membawa suatu benda di atas kepala. Demikian tinggi perlambang pengembanan suatu amanat yang memang harus diletakkan tinggi-tinggi melebihi kepala, bagian tubuh yang paling tinggi. Amanat merupakan tugas kesucian yang harus dijunjung tinggi. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi mengamanatkan kekuasaannya kepada para wakil dan pemimpinnya. Maka menjadi kewajiban mereka untuk nyunggi, menjunjung tinggi amanat untuk dilaksanakan secara bersungguh-sungguh dan penuh rasa tanggung jawab.
Pemimpin yang mengkhianati amanat rakyat, ceroboh dan teledor dalam nyunggi wakul simbol kesejahteraan itu, hanya akan menyebabkan wakul ngglimpang segone dadi sak latar. Kepemimpinan yang tidak bertanggung jawab, tidak amanah dalam menjalankan amanat rakyat hanyalah akan menimbulkan malapetaka. Segala potensi dan sumber daya yang semestinya dapat didayagunakan untuk mensejahterakan rakyat hanya akan berceceran kemana-mana dan menyebabkan kemubadziran bahkan kerusakan. Kemakmuran dan kesejahteraan yang diidam-idamkan bukannya tercapai, malahan rusaklah segala tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dapatkah para wakil rakyat dan pimpinan kita saat ini dapat kembali menyelami nasehat luhur dari para pendahulu tersebut? Sebagai rakyat yang memiliki wakul kesejahteraan, marilah kita cermat dan teliti dalam memilih si bocah gembelengan yang akan nyunggi bakul kita. Kembali dengarlah suara hati dan mohonkanlah petunjuk kepada Ilahi. Dan presiden adalah termasuk bocah gundul yang harus rakyat pilih.
Adapun bagi para wakil rakyat yang terpilih dan para pemimpin yang memegang amanat nyunggi bakulnya rakyat, ingatlah selalu akan amanat yang akan senantiasa diminta pertanggungjawabannya sejak di kehidupan dunia dan akhirat. Di tangan andalah bakul kesejahteraan rakyat itu akan tetap kokoh menampung benih kebaikan dan kemakmuran, ataukah bakul itu akan tumpah menyengsarakan kehidupan rakyat. Bercerminlah selalu ke dasar lubuk jiwa yang terdalam.
Lalu apa arti falsafah : Aku bocah deso, Jenengku Arjuno, arep menyang kuto, ndelok negoro lio, ora sudi cah gundul, kowe ojo kemaki, tak tutuk gagang pacul, arep mlayu nangendi ..dst..dst.
http://hilmanmuchsin.blogspot.com/2011/04/renungan.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar