DALAM praktik, dokter beretika pun bisa salah. Apalagi bila kegiatan profesinya tidak dibekali etika medis. Bukan sedikit, kalau tak patut dikatakan banyak, kasus tak elok hubungan dokter dengan pasien terjadi di Indonesia, sering hanya karena persoalan etika. Judes dan ketus di depan pasien, tentu bukan malpraktik, melainkan misconduct.
Setiap dokter membutuhkan etika melebihi profesi lain.
Bukan hanya buat kepentingan diri sendiri sehubungan dengan sumpahnya (janji
kepada Tuhan), namun terlebih tanggung jawab profesi bagi masyarakat luas.
Etika medis tersebut, selain menyangkut hubungan dokter
dengan sesama individu, juga dengan masyarakat berdasarkan keahlian yang
dimiliki. Itu sebabnya pendidikan kedokteran tak lengkap tanpa pembekalan
etika. Dokter tak beretika merugikan pasien.
Pekerjaan dokter bergumul di wilayah humaniter. Dokter tak
boleh melakukan hal yang bertentangan dengan perikemanusiaan. Profesi dokter
bukan pula bisnis ekonomi, melainkan bisnis moral. Tak cukup hanya tahu tentang
hal yang baik dan yang buruk, melakukan apa yang harus dilakukan, atau tidak
melakukan yang seharusnya dilakukan. Berbuat baik saja tak cukup bila merugikan
pasien. Beretika bagi seorang dokter berarti meringankan dan sebisa mungkin
menghilangkan penderitaan pasien, bukannya malah sebaliknya.
Dokter Beretika
Selain etika umum, setiap dokter membutuhkan etika medis
(kemudian akan kita sebut Etika Biomedis) sebagai salah satu etika terapan.
Sejatinya dasar-dasar etika perlu dokter kuasai. Prinsip beretika menolong
dokter dalam pengambilan keputusan yang bisa melebihi domain ilmu yang
dimiliknya.
Menjadi dokter yang luhur tak cukup hanya cerdas. Dokter
akan ditinggalkan pasien dan dicibir masyarakat kalau dalam berpraktik
memperlakukan pasien sebagai nomor. Dokter bukan hanya insinyur tubuh manusia,
maka tak patut bersikap seperti montir mobil. Siapa pun dokter, perlu
menghormati otonomi pasien, dan sudi bersikap egaliter. Selain berbuat baik,
apa pun yang dikerjakan dokter tak boleh merugikan pasien. Dokter juga wajib
punya sikap berkeadilan.
Dokter yang tak mau menjawab ketika ditanya pasien hanya
karena pasiennya berjubel, tak profesional sebagai dokter. Tak elok dokter yang
memeriksa pasien di kamar praktik sekaligus lebih dari satu, atau yang tak
menepati janji, yang tak menjelaskan apa yang akan dikerjakan sebelum suatu
tindakan medis akan ia lakukan. Hal ini masih dilumrahkan di negeri kita.
Kasus malpraktik di sini terjadi lebih karena, sengaja
atau tak sengaja, dokter telah merugikan pasien. Tanpa dokter sadari, boleh
jadi tidak diberi tahu, bahwa berbuat baik saja tak cukup bila nyatanya
merugikan pasien. Terlebih bila dokter tidak berbuat baik.
Tidak semua kasus pelanggaran profesi maupun pelanggaran
etis, pasien di pihak yang dibela. Pasien yang belum sepenuhnya memahami haknya
sebagai pasien, sering diposisikan sebagai pihak yang tak berdaya. Sementara
itu, belum semua pasien kita berkompetensi sebagai pasien. Itulah sebabnya
dalam banyak kasus, pihak pasien pun belum tentu selalu benar.
Adanya jurang kompetensi antara dokter dengan pasien,
memberi celah kepada dokter untuk berkelit dan mencari alasan yang melebihi
kompetensi medis yang pasien miliki. Sikap tak etis dokter masih dilematis bila
sekolah dokter mengabaikan perlunya setiap dokter punya integritas seelok itu.
Profesi dokter memiliki otonomi tinggi, sementara ada
jurang kompetensi antara dokter dengan pasien. Dokter yang baik tidak
memanfaatkan kekuasaannya untuk memperdaya pasien. Misalnya, ada obat yang
lebih murah, malah memilih yang lebih mahal. Menganjurkan pasien dirawat di
rumah sakit, padahal sebenarnya tak perlu. Memeriksa dengan peralatan canggih
berbiaya tinggi, hanya untuk tujuan profit. Kebohongan profesi itu hanya dokter
dan Tuhan yang tahu. Dokter beretika tidak akan pernah melakukannya.
Etika Biomedis
Tantangan profesi dokter ke depan bakal lebih kompleks dan
rumit. Etika medis lalu tak lagi sebatas memiliki sikap humaniter, namun lebih
menjunjung tinggi kesucian kehidupan (sanctity of life). Bakal seperti itu
persoalan medis ke depan ketika harus memasuki ranah penelitian, ketika muncul
sisi moral terkait dengan kehidupan, dan perlunya menjaga martabat manusia.
Lebih tepat menjadi beretika biomedis.
Ke depan profesi dokter akan menghadapi masalah etis baru,
pertanyaan etis baru, selain dilema moral, sehingga tak cukup berbekal prinsip
moral yang sudah dianut. Etika biomedis bukan perluasan etika medis. Etika
biomedis lahir karena semakin kompleksnya persoalan medis bersifat
interdisipliner, pluralistis, dan mengglobal, yang bermanfaat bagi akademisi
dan praktisi medis. Etika biomedis menjadi kebutuhan tak terelakkan buat dokter
masa kini. Tak cukup dokter beretika medis saja.
Menjadi dokter yang baik itu urusan hati nurani. Bukan
asal sembarang hati, melainkan nurani yang dididik secara benar. Memahami etika
biomedis berarti mengisi hati nurani setiap calon dokter. Namun satu kelemahan
dalam pemahaman ini, kemungkinan kurang begitu dilirik dan diindahkan selama
orientasi sekolah dokter masih puas mencetak dokter sebatas cerdas saja.
Calon dokter yang nuraninya terdidik akan tampil luhur di
segala tempat dan di segala waktu, Termasuk sebagai dokter yang dikejar pasien.
Bahwa bersikap etis berarti senantiasa membela pasien, selain menyelamatkan
profesi dokter. Tanpa itu dokter bisa salah, dan pasien juga tidak selalu
benar.
Dokter yang dijuluki bertangan dingin, misalnya, bukan
semata karena ia cerdas, namun terlebih karena melakoni profesinya dengan hati.
Ia tahu kebutuhan pasien untuk didengar, diperiksa, ditangani, dan diberi
resep, yang keluar dari hati.
Dr. Handrawan Nadesul
Tidak ada komentar:
Posting Komentar