Salah satu akhlak mulia ialah memelihara amanah dalam hidup keseharian kita. Dalam tataran politik, misalnya, amanah itu berarti kedudukan atau jabatan yang diperoleh dengan melibatkan dukungan orang banyak.
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan bila kalian menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkannya dengan adil.” (QS An-Nisa [4]: 58).
Ayat di atas menjelaskan, amanah – khususnya di dunia politik praktis – harus diberikan kepada orang yang berhak, yakni seseorang yang mampu berbuat adil dalam menetapkan hukum.
Namun, kebanyakan kita menganggap jabatan sebagai sebuah prestasi sendiri yang diraih dengan susah payah. Hal ini memang benar tapi lebih tepatnya jabatan adalah sebuah amanah yang harus dilaksanakan untuk menebarkan keadilan.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah ada seseorang hamba yang Allah beri kepercayaan untuk memimpin, kemudian pada saat matinya dia berada dalam (keadaan) melakukan penipuan terhadap rakyatnya kecuali akan diharamkan atasnya untuk masuk surga.” (HR Bukhari-Muslim).
Oleh karena itu, Islam mengingatkan pengemban amanah harus orang yang cakap, ahli, dan bisa dipertanggungjawabkan kejujurannya. Sebab, bila amanah itu dipegang orang yang tidak tepat akan membawa kehancuran bagi kehidupan kolektif.
Dalam sejarah Islam, banyak tokoh yang menangis ketika ia diberi jabatan. Karena, ia sadar dalam jabatan itu terkandung beban yang harus dipertanggung-jawabkan nanti di hadapan Allah.
Saat Umar bin Abdul Aziz diberitahu tentang kesepakatan kaum Muslimin mengangkatnya sebagai pemimpin, ia malah menangis. Ia menyadari, amanah itu sangat berat di akhirat kelak.
Tangisan Umar, pada saat itu menjadi titik awal untuk selalu mengemban amanah sehingga roda pemerintahannya dapat menyejahterakan rakyat. Meskipun amanah itu berat di akhirat, kita tidak seharusnya menghindari amanah rakyat.
Ketika kita menyadari amanah akan dipegang orang tidak berkemampuan, dan menurut analisa kita lebih mampu untuk mengemban amanah, tidak mengapa bila menawarkan diri, seperti yang dilakukan Nabi Yusuf.
Dia menawarkan diri menjadi bendahara di Mesir dan menyatakan sanggup menata anggaran belanja negara untuk menghadapai tujuh tahun musim subur dan musim peceklik selama tujuh tahun pula.
Setelah menjadi bendahara, terbukti ia mampu menghindarkan penduduk di Mesir dari kelaparan. Allah mengancam keras orang yang menyia-nyiakan amanah. Ancaman bukan hanya ditunjukan pada individu yang memegang amanah itu. Tetapi ancaman juga berupa kehancuran komunitas yang berada di bawah kepemimpinannya.
Allah SWT berfirman, “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." (QS Al-Isra’ [17]: 16).
Karena itu, orang yang mengkhianati amanah, seperti disabdakan Nabi SAW, termasuk orang munafik yang diancam siksa api neraka. Seorang pemimpin yang tak mampu memegang amanah masuk golongan manusia yang dibenci Allah SWT.
Sabdanya, “Ada empat golongan yang paling Allah benci. Peniaga yang banyak bersumpah, orang fakir yang sombong, orang tua yang berzina, dan seorang pemimpin (penguasa) yang zalim.” (HR An-Nasai). Wallahua'lam.
Oleh: Prof Dadang Kahmad
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/06/18/n7cp7k-amanah-kepemimpinan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar