“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok….” (QS. Al-Hasyr: 18)
Bersyukurlah orang-orang yang beriman.
Hidupnya begitu mudah, tenang, dan membahagiakan. Kesulitan-kesulitan hidup,
tak lebih hanya kerikil-kerikil ujian yang sesekali mengguncang jalan.
Kadang terasa kecil, dan tak jarang
lumayan besar. Besar kecil guncangan sangat berbanding lurus dari bagaimana
teknik kesiapan diri menghadapi jalan hidup.
Di antara teknik kesiapan itu adalah
kemampuan kita menata hari esok. Hidup perlu perencanaan. Kitalah yang
menyiapkan, apa warna hari esok. Kelak, Allah-lah yang menentukan, apa warna
yang cocok buat kita.
Ketentuan Allah selalu yang terbaik
buat sang hamba. Dan segala upaya perencanaan itu tak akan pemah sia-sia di
sisi Allah. “….Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki
dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan
sesungguhnya, pahala di akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang beriman
dan selalu bertakwa.” (QS. Yusuf: 56-57)
Kesempatan tak Berkunjung Dua Kali
Salah satu nikmat Allah yang teramat
mahal adalah kesempatan. Di antara wujud kesempatan buat seorang manusia adalah
hidup sebelum matinya, sehat sebelum sakitnya, waktu luang sebelum sibuknya,
muda sebelum tuanya, dan kaya sebelum miskinnya.
Sayangnya, tak sedikit orang yang
akhirnya menyadari bahwa sesuatu adalah kesempatan ketika sesuatu itu telah
pergi. Dan kepergiannya itu merupakan kehilangan besar. Saat itulah barui
terasa kalau luputnya sang kesempatan merupakan kerugian yang teramat besar.
Seperti itulah, mungkin, ketika
orang-orang yang durhaka kepada Allah menghadapi dahsyatnya neraka. Mereka
berujar, “Andai kami dulu termasuk orang-orang yang bertakwa. Andai kami tidak
mendurhakai Rasul. Andai kehidupan bisa terulang diua kal. Andai….”
Dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata,
Rasulullah saw. bersabda, “Ada dua nikmat di mana manusia banyak tertipu
karenanya: kesehatan dan kesempatan.” (HR. Bukhari)
Keadaan hari esok, sejenak apa pun
waktu yang dibutuhkan, merupakan rahasia Allah. Tak seorang pun yang tahu
bagaimana nasibnya di hari esok. Bahagiakah, dukakah, kemudahankah, atau
kesulitan dan musibah.
Dan persiapan diri dalam menghadapi
segala kemungkinan itu adalah modal yang luar biasa. Masalahnya, bagaimana
mungkin persiapan bisa teraih tanpa menyiasati kesempatan yang hampir berlalu.
Di situlah, seorang hamba Allah tak
boleh menyia-nyiakan nikmat kesempatan. Sebentar apa pun kesempatan itu hinggap.
Dan sekecil apa pun takaran kesempatan terlihat.
Ketika masih ada nikmat hidup,
persiapkanlah ia buat menghadapi mati. Ketika sehat masih melekat,
persiapkanlah ia buat datangnya safcit. Ketika waktu luang menyambang,
persiapkan ia untuk menyongsong sibuk.
Ketika muda masih ada, persiapkanlah
ia buat masa tua. Ketika kaya masih jaya, sisihkanlah ia buat datangnya miskin.
Dan, tak ada kemiskinan yang paling menyusahkan selain miskin amal di saat hari
kebangkitan.
Perencanaan mengikis penyesalan
Orang-orang yang malas mengelola
kesempatan selalu bersembunyi di balik tawakal. “Nggak perlu persiapan, tawakal
ajalah,” begitulah mungkin kilah mereka.
Saat itulah, orang-orang yang meyakini
hal itu sedang terjebak dalam kebodohannya sendiri. Islam tidak pernah
memposisikan tawakal sebagai legitimasi kemalasan.
Siapakah hamba Allah yang paling
tawakal selain Rasulullah saw.
Beliau bersusah payah mencari
penghasilan sebelum memasuki gerbang pernikahan. Beliau menanam Mush’ab bin
Umair di Madinah sebelum kaum muslimin Mekah hijrah ke sana. Beliau
memerintahkan para sahabat untuk berlatih kemiliteran sebelum memasuki arena
peperangan.
Sekecil apa pun perencanaan,
setidaknya, ia akan menjadikan seseorang siap menghadapi rumitnya hari esok.
Karena kumpulan hari-hari esok tak lain adalah ladang ujian. Semakin banyak
hari esok yang kita lalui, akan banyak dan meningkat pula ujian yang akan kita
hadapi.
Hidup bagaikan meniti anak tangga.
Semakin banyak anak tangga yang kita lalui, semakin berat beban yang kita bawa,
dan semakin besar risiko jatuh. Dengan begitu, semakin jauh hari esok yang kita
rencanakan, semakin matang perhitungan-perhitungan yang mesti kita siapkan.
Penyesalan selalu datang kemudian. la
bisa menghapus segala nikmat kesempatan yang telah berlalu. Dan rasanya begitu
menyakitkan. Jika penyesalan tak segera berubah perencanaan, maka penyesalan
akan selalu muncul di hari esok. Tak ada kata terlambat buat melawan penyesalan
selama nikmat kesempatan hidup masih tersedia.
Seorang mukmin tak patut merundung
penyesalan yang berkepanjangan. la harus bangkit, siap menyongsong kasih sayang
Allah selanjutnya. Inilah ucapan Nabi Ya’qub kepada anak-anaknya yang
diabadikan Al-Quran dalam Surah
Yusuf ayat 87.
“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka
carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari
rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum
yang kafir.”
Pagari hidup dengan muhasabah
Muhasabah adalah pelengkap lain dari
kesiapan seorang hamba Allah menghadapi hari esok. Boleh jadi, ada rute
hidupnya yang nyaris melenceng dari rel perencanaan. Saat itulah, rute itu bisa
diluruskan.
Orang yang hidupnya akrab dengan
muhasabah menjadikan hatinya senantiasa hidup dan terjaga. Tidak mati dan
lalai. la selalu menghitung-hitung prestasinya di hari ini dengan kemampuannya
di hari kemarin. Meningkatkah, sama, atau kian berkurang? Beruntunglah orang
yang hari ini lebih baik dari kemarin. Merugilah orang yang hari ini sama dengan
kemarin. Dan celakalah mereka yang hari ini lebih buruk dari kemarin.
Umar bin Khaththab adalah di antara
sahabat Rasul yang sukses menata hari-harinya. Sebagai apa pun, termasuk
seorang khalifah. Di masa kekhalifahannyalah, dunia kian mengenal Islam dengan
sukarela atau terpaksa.
Dan muhasabah, adalah di antara kunci
suksesnya. Beliau r.a. pernah mengatakan, hisablah diri sebelum dihisab orang
lain. Atau, evaluasilah diri, sebelum dievaluasi orang lain.
Ketika kita mampu menatap hari esok di
hari ini, tataplah dengan penuh perhitungan. Karena hari ini adalah rangkaian
buat hari esok. Hari kemarin telah menghilang, dan hari ini tak akan berulang.
Pilihlah mutu hari esok ketika ia bisa dipilih di hari ini.
Sumber : Buletin An-Nadwah Edisi 673 Thn XIV
Tidak ada komentar:
Posting Komentar