Ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang diakhiri dengan Asmaul Husna (Nama-nama Allâh Ta'ala yang Indah) menunjukkan bahwa hukum yang disebutkan dalam ayat-ayat tersebut memiliki keterkaitan dengan nama Allâh Ta'ala tersebut.
Ini adalah kaidah yang sangat mendalam dan bermanfaat. Bila ditelusuri pada seluruh ayat yang diakhiri dengan nama-nama Allâh Ta'ala (Asmaul Husna), niscaya akan kita dapati adanya kesesuaian yang sangat tepat yang menunjukkan bahwa syariat, perintah dan penciptaan; semua itu muncul dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya, sekaligus berkaitan erat dengannya.
Pembahasan tentang sifat-sifat Allâh Ta'ala dan hukum-hukum-Nya termasuk pengetahuan dan ilmu yang paling mulia. Kita dapati ayat-ayat tentang rahmat Allâh Ta'ala, diakhiri dengan nama-nama-Nya yang mengandung sifat Rahmat. Ayat-ayat hukuman dan adzab ditutup dengan nama-nama yang memuat sifat Keperkasaan, Kedigdayaan, Kebijaksanaan, Ilmu dan Kekuasaan.
Perkara ini menjadi semakin penting karena jarang kitab-kitab tafsir yang membahas kaidah ini. Berikut ini beberapa contoh untuk menjelaskan kaidah di atas:
Allâh Ta'ala berfirman:
“(Dia-lah Allâh) yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (Qs al-Baqarah/2:29)
Penyebutan keluasan ilmu-Nya setelah menyebutkan penciptaan bumi dan langit menunjukkan bahwa ilmu-Nya meliputi segala makhluk yang ada di dalamnya. Juga menunjukkan bahwa Dia Maha Bijaksana, karena Allâh Ta'ala menjadikannya (langit dan bumi) untuk para hamba-Nya dan telah memperindah bentuk penciptaannya dalam gambaran yang terbaik dan keteraturan yang sempurna. Demikian pula penciptaan langit dan bumi termasuk bukti keluasan ilmu Allâh Ta'ala.
Allâh Ta'ala berfirman :
“Apakah Allâh yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (Qs al-Mulk/67:14)
Jadi, penciptaan Allâh Ta'ala terhadap seluruh makhluk adalah dalil aqli (akal) paling kuat tentang ilmu-Nya, sebab bagaimana mungkin Dia menciptakan sesuatu kalau Dia tidak mengetahuinya?
Allâh Ta'ala berfirman:
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Rabbnya, maka Allâh menerima taubatnya. Sesungguhnya Allâh Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs al-Baqarah/2:37)
Banyak ayat yang diakhiri dengan dua nama ini (Maha Penerima taubat dan Penyayang) setelah menyebutkan rahmat, maghfirah, taufik, serta kelembutan Allâh Ta'ala. Korelasinya akan tampak sekali bagi setiap orang. Dengan dua nama ini, Allâh Ta'ala memberi perhatian lebih terhadap hati orang-orang yang bertaubat kepada-Nya dan memberikan taufik kepada mereka untuk melakukan perkara-perkara yang menyebabkan Allâh Ta'ala menerima taubat dan merahmati mereka, dan kemudian mengampuni dan mengasihi mereka.
Allâh Ta'ala pertama kali menerima taubat mereka dengan memberikan taufik kepada mereka agar bertaubat dan mengambil langkah-langkah menuju ke sana. Kemudian Allâh Ta'ala menerima taubat mereka kedua kalinya dengan berkenan menerima taubat mereka lagi dan memenuhi permohonan mereka.
Allâh Ta'ala berfirman dalam ayat yang lain:
“Kemudian Allâh menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya.” (Qs at-Taubah/9:11)
Kalau bukan karena taufik-Nya dan mengarahkan hati-hati mereka untuk bertaubat, niscaya mereka tidak punya jalan menuju taubat manakala mereka telah dikuasai oleh hawa nafsu yang selalu memerintahkan keburukan (kecuali orang yang dirahmati Allâh Ta'ala dan dipelihara hawa nafsunya dari bisikan-bisikan setan).
Allâh Ta'ala berfirman:
“Dan kepunyaan Allâh-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allâh. Sesungguhnya Allâh Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Qs al-Baqarah/2:115)
Ini bermakna bahwa keutamaan dan kerajaan-Nya sangat luas, yang meliputi semua alam. Selanjutnya, di samping keluasan kerajaan dan keutamaan-Nya, Dia juga mengetahui seluruhnya. Ilmu-Nya meliputi segala perkara yang lampau dan yang akan datang dan hikmah-Nya meliputi arah kiblat-kiblat yang beragam serta meliputi niat orang-orang yang menghadap kiblat ke suatu arah jika mereka keliru dalam kiblat yang telah ditentukan. Lantas, kemana orang shalat itu menghadap? Ia menghadap ke wajah Rabb-nya.
Adapun ucapan Nabi Ibrahim 'Alaihissalâm dan Ismâ’îl 'alaihissalâm ketika keduanya mengangkat pondasi rumah Allâh Ta'ala (Ka'bah):
“Ya Rabb kami, terimalah daripada Kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs al-Baqarah/2:127)
Sungguh, Nabi Ibrâhîm 'Alaihissalâm bertawasul kepada Allâh Ta'ala dengan dua nama ini (as-Samî‘ dan al-Alîm) agar diterima amal mulia yang dilakukannya, dimana Allâh Ta'ala mengetahui niat dan maksud keduanya, mendengar pembicaraan keduanya, serta mengabulkan doa keduanya. Maka sungguh, yang dimaksud dengan as-Samî’ (Yang Maha Mendengar dalam konteks doa -doa ibadah dan doa permohonan-) bermakna Yang Menjawab Permohonan, sebagaimana perkataan Nabi Ibrâhîm 'alaihissalam dalam ayat yang lain:
“Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa.” (Qs Ibrâhîm/14:39)
Dan adapun firman Allâh Ta'ala :
“Ya Rabb kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-kitab (al-Qur‘ân) dan al-Hikmah (Sunnah) serta mensucikan mereka.” (Qs al-Baqarah/2:129)
Yang diakhiri dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs al-Baqarah/2:129)
Mengandung makna, sesungguhnya bukan termasuk hikmah bila Dia membiarkan makhluk-Nya begitu saja; tidak mengutus rasul kepada mereka. Maka Allâh Ta'ala merealisasikan hikmah-Nya dengan mengutus rasul supaya manusia tidak memiliki hujjah lagi di hadapan Allâh Ta'ala. Segala urusan -qadari dan syar’i nya- tidak akan tegak kecuali dengan kekuasaan Allâh Ta'ala dan terlaksananya hukum-hukum-Nya.
Sungguh cukup bagi Allâh Ta'ala menyebutkan Asmâ’ul Husna (tanpa penjelasan lagi) dengan hanya menyebutkan hukum-hukum dan balasan-Nya. Agar para hamba-Nya sadar bahwa jika mereka mengetahui Allâh Ta'ala dari nama yang agung tersebut, niscaya akan mengetahui apa yang diakibatkan dari hukum-hukum-Nya tersebut, seperti firman Allâh Ta'ala :
“Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allâh) sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran.” (Qs al-Baqarah/2:209)
Allâh Ta'ala tidak melanjutkan dengan: “Maka kalian mendapatkan hukuman seperti ini dan itu”, namun berfirman:
“Bahwasanya Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs al-Baqarah/2:209)
Apabila kalian mengetahui kekuasaan-Nya (yaitu keperkasaan, kehebatan, kekuatan dan pertahanan-Nya) dan mengetahui hikmah-Nya (yaitu meletakkan sesuatu pada tempatnya), tentu hal itu mengakibatkan kalian takut untuk tetap berada di atas dosa-dosa dan ketergelinciran kalian, karena di antara bentuk hikmah-Nya ialah menghukum orang yang berhak dihukum –terus-menerus melakukan dosa padahal dia mengetahuinya-. Dan sesungguhnya kalian tidak akan bisa menolaknya, keluar dari garis hukum dan pembalasan-Nya, karena kesempurnaan kekuasaan dan keperkasaan-Nya.
Ketika menyebutkan hukuman pencuri, Dia berfirman di akhir ayat-Nya:
“Sebagai siksaan dari Allâh. dan Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs al-Mâidah/5:38)
Dia-lah Yang Maha Perkasa dan Menghukumi, maka Dia menghukum orang-orang yang melampaui batas.
Ketika menyebutkan kisah-kisah para nabi bersama umat-umat mereka dalam surat as-Syu’arâ, Allâh Ta'ala menutup setiap kisah dengan firman-Nya:
“Dan Sesungguhnya Rabb-mu benar-benar Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.”
(Qs asy-Syu’arâ; 9,68,104,122,140,159,175,191)
Sungguh, setiap kisah yang mengandung penyelamatan nabi dan para pengikutnya (berkat rahmat dan kasih sayang Allâh Ta'ala) dan pembinasaan orang-orang yang mendustakannya merupakan bentuk kekuasaan-Nya. Sesungguhnya Dia menyelamatkan Rasul dan para pengikutnya dengan kesempurnaan kekuatan, kekuasaan dan kasih sayang-Nya, dan membinasakan orang-orang yang mendustakan dengan kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya.
Adapun perkataan Nabi Isâ 'Alaihissalam:
“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(Qs al-Mâidah/5:118)
Beliau tidak mengatakan; Engkaulah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Karena tempatnya adalah bukan tempat permintaan belas kasih ataupun rahmat, namun tempat marah dan membalas terhadap orang yang menjadikan tuhan (sesembahan lain) disamping Allâh Ta'ala. Maka, menjadi pas penyebutan keperkasaan dan kebijaksanaan (lebih utama daripada penyebutan rahmat).
Di antara keindahan dari kedudukan sifat raja’ (harapan) adalah Dia menyebutkan sebab-sebab rahmat dan sebab-sebab adzab, kemudian menutupnya dengan sesuatu yang menunjukkan rahmat Allâh Ta'ala, sebagaimana firman-Nya:
“Dia memberi ampun kepada siapa yang Dia kehendaki; Dia menyiksa siapa yang Dia kehendaki, dan Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs Ali Imrân/3:129)
Dan firman-Nya:
“Sehingga Allâh mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allâh menerima taubat orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan. dan adalah Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs al-Ahzâb/33:73)
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa rahmat-Nya mendahului murka-Nya. Kepada rahmat-Nya lah berujung setiap orang yang memiliki sebab-sebab rahmat yang paling rendah sekalipun. Oleh karenanya, akan keluar dari neraka orang yang di dalam hatinya masih terdapat keimanan meski seukuran biji sawi.Wallâhu a'lam.
Referensi:
Diringkas dari Al-Qawâidul Hisân Al-Muta`alliqah bi Tafsîril Qur`ân hlm. 51-57
http://majalah-assunnah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=115&Itemid=95
Tidak ada komentar:
Posting Komentar