Islam memerintahkan pemeluknya untuk berjamaah. Tidak hanya dalam shalat. Tapi
juga dalam ekonomi dan lain-lain hal, termasuk makan. Innal barakata ma’al jamaa’ah,
sesungguhnya keberkahan itu ada di dalam kebersamaan.
Shalat sendiri, beda dengan shalat berjamaah. Jika berjamaah, beda 27 derajat. 27 kali lipat dapatnya. Bahkan istimewanya, siapa yang shalatnya lebih bagus, baik dalam ilmu, rasa, keikhlasan, maka derajat dia yang dipakaikan ke semua yang ada di dalam shalat berjamaah tersebut.
Dapat pula pahala ikutan lain-lainnya sebab shalat berjamaah. 40 orang yang berdoa, maka dikabulkan itu doa. Berapa kalo kita kemudian berjamaah dalam masjid yang jamaahnya mencapai lipatan 40?
Sebab berjamaah, maka dapat pahala melangkah ke masjid, dapat pahala jika datang ke masjid udah dalam keadaan berwudhu, bisa dapat pahalatahiyyatul masjid, qobliyah ba’diyah, zikir, sesuatu yang mungkin tidak dapat kita laksanakan manakala gak berjamaah dan tidak ke masjid.
Bersedekah juga begitu. Begitu berjamaah, maka Rp 20 ribu, Rp 50 ribu, Rp 100 ribu jadi sesuatu yang besar. Jika sebelumnya 20 ribu, bisa dapat dua bungkus nasi plus lauk sederhana, 50 ribu dapat lima bungkus nasi plus lauk sederhana, 100 ribu bisa dapat 10 nasi bungkus plus lauk sederhana.
Maka bila satu juta orang berkumpul, bersedekah Rp 20 ribu, Rp 50 ribu, Rp 100 ribu? Dapat berapa? Dapat apa? Dapat ribuan hektar sawah, yang bisa kemudian sedekahnya bisa bergulir dan bergulir.
Bisa punya peternakan sapi yang gak bergantung sama import, bisa membeli perahu dan membangun pasar ikannya sendiri, bisa membuka perkebunan yang tidak dikontrol harganya oleh pasar.
Sayang, ummat kita belom dimaksimalkan potensi berjamaahnya. Potensi ummat, terutama dari sisi berjamaah ini, baru dimanfaatkan oleh segelintir orang.
Misal, kebutuhan orang untuk makan, udah kemudian dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk berjualan. Bukan kemudian pasarnya yang dimiliki oleh masyarakat.
Salah satu atau mungkin banyak properti besar, dikucurkan dana hingga ratusan milyar, dari sebuah bank. Itu juga pemanfaatan yang boleh jadi positif, boleh jadi tetap negatif, untuk ekonomi jangka pendek dan panjang.
Shalat sendiri, beda dengan shalat berjamaah. Jika berjamaah, beda 27 derajat. 27 kali lipat dapatnya. Bahkan istimewanya, siapa yang shalatnya lebih bagus, baik dalam ilmu, rasa, keikhlasan, maka derajat dia yang dipakaikan ke semua yang ada di dalam shalat berjamaah tersebut.
Dapat pula pahala ikutan lain-lainnya sebab shalat berjamaah. 40 orang yang berdoa, maka dikabulkan itu doa. Berapa kalo kita kemudian berjamaah dalam masjid yang jamaahnya mencapai lipatan 40?
Sebab berjamaah, maka dapat pahala melangkah ke masjid, dapat pahala jika datang ke masjid udah dalam keadaan berwudhu, bisa dapat pahalatahiyyatul masjid, qobliyah ba’diyah, zikir, sesuatu yang mungkin tidak dapat kita laksanakan manakala gak berjamaah dan tidak ke masjid.
Bersedekah juga begitu. Begitu berjamaah, maka Rp 20 ribu, Rp 50 ribu, Rp 100 ribu jadi sesuatu yang besar. Jika sebelumnya 20 ribu, bisa dapat dua bungkus nasi plus lauk sederhana, 50 ribu dapat lima bungkus nasi plus lauk sederhana, 100 ribu bisa dapat 10 nasi bungkus plus lauk sederhana.
Maka bila satu juta orang berkumpul, bersedekah Rp 20 ribu, Rp 50 ribu, Rp 100 ribu? Dapat berapa? Dapat apa? Dapat ribuan hektar sawah, yang bisa kemudian sedekahnya bisa bergulir dan bergulir.
Bisa punya peternakan sapi yang gak bergantung sama import, bisa membeli perahu dan membangun pasar ikannya sendiri, bisa membuka perkebunan yang tidak dikontrol harganya oleh pasar.
Sayang, ummat kita belom dimaksimalkan potensi berjamaahnya. Potensi ummat, terutama dari sisi berjamaah ini, baru dimanfaatkan oleh segelintir orang.
Misal, kebutuhan orang untuk makan, udah kemudian dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk berjualan. Bukan kemudian pasarnya yang dimiliki oleh masyarakat.
Salah satu atau mungkin banyak properti besar, dikucurkan dana hingga ratusan milyar, dari sebuah bank. Itu juga pemanfaatan yang boleh jadi positif, boleh jadi tetap negatif, untuk ekonomi jangka pendek dan panjang.
Ulasannya bukan di sini tentunya. Seperti satu berita
bahwa satu bank memberi Rp 600 milyar untuk satu kelompok properti besar. Apa
yang saya baca?
Jutaan ummat berkumpul, menabung. Lalu tabungan mereka digunakan untuk membiayai properti tersebut, yang kelak properti ini justru menggusur masyarakat penabung yang notabene rakyat kecil, yang justru tidak akan mampu membeli properti mereka. Duit mereka membunuh mereka sendiri.
Tapi saya gak mau jadi the loser. Sisi positifnya jelas banyak. Pasti ada keuntungannya. Jangka pendeknya, bisa membuka lapangan pekerjaan lebih banyak.
Jutaan ummat berkumpul, menabung. Lalu tabungan mereka digunakan untuk membiayai properti tersebut, yang kelak properti ini justru menggusur masyarakat penabung yang notabene rakyat kecil, yang justru tidak akan mampu membeli properti mereka. Duit mereka membunuh mereka sendiri.
Tapi saya gak mau jadi the loser. Sisi positifnya jelas banyak. Pasti ada keuntungannya. Jangka pendeknya, bisa membuka lapangan pekerjaan lebih banyak.
Kemudian bila pajaknya cakep pengelolaannya, bisa dipakai
untuk ummat yang lebih banyak. Tappiii... Entahlah.
Berjamaah, sungguh Allah dan Rasul-Nya menyeru, bukan hanya di urusan shalat. Ayo dong, di semua urusan. Bahkan di dalam urusan politik. Ummat bercerai berai gak keruan.
Visi misi yang udah gak sama lagi, hingga kemudian noda perilaku dan karakter, menyempurnakan ketidaksolidan suara. Akhirnya suara banyak dipegang sama yang tidak lagi membela Allah dan Rasul-Nya, agama-Nya, dan ummat Islam.
Di urusan ekonomi, saya mengingatkan diri saya, dan sebanyak-banyaknya orang, sesungguhnya kita masih teramat kuat.
Berjamaah, sungguh Allah dan Rasul-Nya menyeru, bukan hanya di urusan shalat. Ayo dong, di semua urusan. Bahkan di dalam urusan politik. Ummat bercerai berai gak keruan.
Visi misi yang udah gak sama lagi, hingga kemudian noda perilaku dan karakter, menyempurnakan ketidaksolidan suara. Akhirnya suara banyak dipegang sama yang tidak lagi membela Allah dan Rasul-Nya, agama-Nya, dan ummat Islam.
Di urusan ekonomi, saya mengingatkan diri saya, dan sebanyak-banyaknya orang, sesungguhnya kita masih teramat kuat.
Sebab kita ini banyak. Sungguh, kita ini banyak. Banyak
banget. Bener-bener banyak. Mudah-mudahan kita ini sadar.
Saya mencoba mengumpulkan baru 15 ribu orang saja, dan itupun baru tiga ribu orang kurang lebihnya, tapi sudah bisa mentake-over hotel Siti, yang didedikasikan buat hotel haji dan umrah sebagai pasar utamanya.
Dua tower, masing-masing 12 lantai, 300 kamar. Baru 15 ribu orang, dan sekali lagi, itu pun baru tiga ribu orang. Gimana jutaan ummat? Perusahaan apa yang tidak bisa dibeli ulang?
Bahkan perusahaan asing sekalipun, di negara mereka langsung, bisa dibeli oleh kita. Semoga kita semua diizinkan Allah bersatu, berjamaah. Diberi-Nya ilmu, kesempatan, kekuatan, termasuk juga ridha-Nya. Salam.
Saya mencoba mengumpulkan baru 15 ribu orang saja, dan itupun baru tiga ribu orang kurang lebihnya, tapi sudah bisa mentake-over hotel Siti, yang didedikasikan buat hotel haji dan umrah sebagai pasar utamanya.
Dua tower, masing-masing 12 lantai, 300 kamar. Baru 15 ribu orang, dan sekali lagi, itu pun baru tiga ribu orang. Gimana jutaan ummat? Perusahaan apa yang tidak bisa dibeli ulang?
Bahkan perusahaan asing sekalipun, di negara mereka langsung, bisa dibeli oleh kita. Semoga kita semua diizinkan Allah bersatu, berjamaah. Diberi-Nya ilmu, kesempatan, kekuatan, termasuk juga ridha-Nya. Salam.
Oleh: Ustaz Yusuf
Mansur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar