“Barangsiapa
membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan
barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan
melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya
(dirugikan).” (Qs Al-An’aam: 160)
Bagai dua sisi mata uang, kehidupan manusia juga diliputi
dua hal. Adakalanya suka, juga duka. Terkadang tertawa, dalam kesempatan lain
menangis. Termasuk juga dalam hal perbuatan. Berpusat dari hati dan keimanan,
manusia berpotensi untuk berbuat baik dan tidak baik. Manusia dapat konsisten
dengan perbuatan baikya, jika kondisi iman sedang bertambah.
Namun dalam kesempatan lain, manusia juga dapat berbuat
yang tidak baik dan cenderung menguruti hawa nafsunya. Dua sisi kepribadian
manusia inilah yang sejatinya menjadi ‘ibrah dalam momen isra mi’raj disini.
Perihal isra mi’raj, Allah Swt telah mengungkapkannya dalam surah Al-Isra.
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya
pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami
berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya
sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs Al-Israa’: 1)
Sesuai dengan nama surah di atas, Al-Israa, yang berasal
dari kata ‘saroo’ yakni berjalan, Allah Swt memberikan definisi secara tersurat
perihal Israa yang berarti perjalanan Rasulullah Saw dari masjidil haraam ke
masjidil aqsha. Sedangkan mi’raj ialah proses naiknya Rasulullah dari langit
pertama hingga sidratul muntaha. Perihal mi’raj sendiri, Anas bin Malik. dalam
hadits shahih Bukhari dan Muslim, mengungkapkan secara detail tentang peristiwa
isra dan mi’raj.
Dalam hadits tersebut, Anas bin Malik mengungkapkan
pertemuan Rasulullah saw dengan beberapa para Nabi dari langit pertama hingga
ke tujuh. Dari Nabi Adam, hingga Nabi Ibrahim as. Semua mengucap salam
penghormatan kepada Rasulullah Saw. terlebih Nabi Musa as. Pertemuan dengan
Nabi Musa ini sempat menghadirkan sebuah dialog yang unik.
Proses ‘penerimaan’ perintah shalat (yang awalnya) 50
waktu, disarankan Nabi Musa untuk mengajukan pengurangan. Maka Nabi Muhammad
kembali kepada Allah dan shalat berkurang lima waktu. setelahnya, Nabi Musa
masih menganggap 45 waktu itu masih terlalu banyak, lantaran beliau pernah
menyuruh Bani Israil dan mereka pun lalai menjalankannya.
Rasulullah Saw pun akhirnya memohon keringanan lagi
pada Allah. Hingga Rasulullah Saw mengungkap dalam akhir hadits ini ‘Qad
roja’tu ilaa Rabby, hatta-s tahyaitu minhu- Sungguh aku telah bolak balik
pada Tuhanku, hingga aku malu,”.
Makna ‘malu’ yang Rasulullah maksud ini adalah bahwa—di
akhir hadits ini, Allah mengklarifikasi tujuan dari disyariatkannya 50 waktu
shalat yang berarti, ‘setiap shalat fardhu diganjarkan dengan sepuluh ganjaran.
Oleh karenanya berarti lima waktu shalat fardhu sama dengan 50 pahala.
Begitu juga siapa yang berniat baik maka dicatatlah satu
kebaikan untuknya. Jika dia melakukannya, maka sepuluh pahala baginya. Dan
siapa yang berniat berbuat jahat, tapi tidak melakukannya, niscaya tidak satu
kejahatan dicatat baginya. Seandainya dia mengerjakannya, maka dicatat satu
kejahatan saja baginya.
Hadits ini diperkuat oleh firman Allah dalam surah
Al-An’aam ayat 160 di atas, bahwa betapa baiknya Allah yang selalu menimbang
pahala dengan ganjaran yang besar atas setiap niat berbuat baik. Saat manusia
baru saja berniat, Allah perintahkan malaikat untuk segera mencatat satu pahala
atas niatnya.
Tapi tidak dengan perbuatan jahat yang dengan
kemurahan-Nya, Allah tunda catatan itu, hingga ia benar-benar melakukannya.
Setidaknya, isra mi’raj mengajarkan kita, hamba Allah, umat Rasulullah untuk
menanam niat baik dan menunai ganjaran pahala dari-Nya. Wallahu a’lam
Oleh Ina
Salma Febriany
Tidak ada komentar:
Posting Komentar