Rasulullah SAW menikahi Aisyah RA dan mulai tinggal dengannya pada bulan Syawal.
Nikah merupakan sunah Rasulullah SAW dan juga sunah para nabi terdahulu. Nikah sebagai jalan penyaluran fitrah manusia yang padanya terdapat hikmah yang luas. Dengan menikah, kemaslahatan dan keberlangsungan hidup manusia akan terjaga dengan baik.
Rasulullah SAW dalam hadisnya secara tegas mengatakan, “Sesungguhnya di antara sunahku, aku shalat malam dan aku juga tidur, aku berpuasa dan aku juga berbuka, aku menikah dan aku juga (bisa) menceraikan. Barang siapa yang membenci sunahku maka ia bukan golonganku.” (HR Ad-Darimi).
Pada dasarnya waktu menikah tidak terikat dengan waktu-waktu tertentu. Kapan saja, pada hari apa pun, dan bulan apa pun seseorang boleh untuk menikah. Dalam akidah Islam tidak ada istilah hari dan bulan buruk atau waktu sial untuk melangsungkan pernikahan.
Namun pada kenyataannya, masih saja ada yang meyakini adanya hari sial dan bulan sial. Dalam menentukan waktu pernikahan, mereka menghitung-hitung dan mencari waktu yang mereka yakini sebagai waktu yang baik, hari dan bulan baik. Harapannya, supaya terhindar dari bala bencana.
Keyakinan seperti itu disebut tasyaum atau thiyarah (anggapan sial terhadap sesuatu) yang tentu bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam hadisnya, Rasulullah SAW bersabda,
“Tidak ada (sesuatu) yang menular dan tidak ada (sesuatu) yang sial (yakni, secara zatnya), dan aku kagum dengan al-fa’l ash-shalih, yaitu kalimat (harapan) yang baik.” (HR Bukhari Muslim).
Dahulu, bangsa Arab Jahiliyah berkeyakinan bulan Syawal yang penuh berkah itu tak baik untuk melangsungkan pernikahan. Para wanita jahiliyah menolak untuk dinikahi pada bulan Syawal.
Alasannya cukup lucu, karena unta betina menolak didekati unta jantan dengan cara mengangkat ekornya. Mereka menamakan perilaku unta betina itu dengan sebutan Syalat bi dzanabiha (menolak dengan mengangkat ekornya).
Dari kata Syalat ini pulalah orang Arab Jahiliyah mengambil asal-muasal kata Syawal. Demikian, seperti diterangkan dalam Lisanul Arab Ibnu Mundzir (Jilid 11/ halaman 374).
Setelah Islam datang, tahayul yang dipercayai bangsa Arab itu dipatahkan Rasulullah SAW. Beliau SAW menikahi Aisyah RA pada tahun ke-11 kenabian, tepatnya pada bulan Syawal.
Tahayul bangsa Arab Jahiliyah ini hampir serupa pula dengan tahayul yang ada di masyarakat nusantara, salah satunya di Minangkabau. Di beberapa tempat diyakini, menikah antara dua khutbah (Idul Fitri dan Idul Adha) diyakini akan menuai sial.
Akhirnya, banyak yang khawatir untuk melangsungkan pernikahan pada bulan Syawal gara-gara tahayul jahiliyah yang sudah dipercayai turun-temurun ini.
Rasulullah SAW bersabda, “Nikah itu termasuk sunahku. Barang siapa yang enggan mengamalkan sunahku maka ia bukan termasuk golonganku.” (HR Ibnu Majah).
Tentunya, jika ingin mengikuti sunah Rasulullah SAW dan tergolong sebagai umatnya, menikah pada bulan Syawal termasuk pada sunah yang dinilai berpahala jika diikuti.
Mengikuti sunah, yakni dengan mengikuti tata cara pelaksanaan sunah itu sendiri. Jadi, dari segi waktu, menikah bulan Syawal mengikuti sunah Nabi SAW yang menikahi Aisyah RA pada bulan tersebut.
Aisyah RA menceritakan, “Rasulullah SAW menikahiku pada bulan Syawal dan membangun rumah tangga denganku pada bulan Syawal pula. Maka, istri-istri Rasulullah SAW yang manakah yang lebih beruntung di sisinya dariku?” (HR Muslim). Semenjak itu pula, Aisyah RA juga suka menikahkan shahabiyah pada bulan Syawal pula.
Imam Nawawi menerangkan, “Di dalam hadis ini terdapat anjuran untuk menikahkan, menikah, dan membangun rumah tangga pada bulan Syawal. Para ulama kami (ulama syafi’iyyah) telah menegaskan anjuran tersebut dan berdalil dengan hadis ini.
Dan Aisyah RA, ketika menceritakan hal ini bermaksud membantah apa yang diyakini masyarakat jahiliyah dahulu dan anggapan tahayul sebagian orang awam pada masa kini yang menyatakan kemakruhan menikah, menikahkan, dan membangun rumah tangga pada bulan Syawal.
Dan ini adalah batil, tidak ada dasarnya. Ini termasuk peninggalan jahiliyah yang ber-tathayyur (menganggap sial). Hal itu karena penamaan Syawal dari kata al-isyalah dan ar-raf’u(menghilangkan/mengangkat).”
Menikahnya Rasulullah SAW pada bulan Syawal untuk mematahkan tahayul Jahiliyah yang saat itu berkembang. Maka, sepatutnya pula bagi para dai mengikuti sunah dan menikah pada bulan Syawal untuk mematahkan pula tahayul jahiliyah yang marak diyakini masyarakat saat ini.
Jadi, jelaslah pada bulan Syawal terdapat hikmah dan anjuran untuk menikah. Menikah pada bulan tersebut dihitung sebagai pahala mengikuti sunah Rasulullah. Di samping itu, berpahala pula untuk mematahkan tahayul yang diyakini masyarakat jahiliyah.
Oleh: Hafidz Muftisany
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/14/08/10/na2guc-benarkah-menikah-pada-bulan-syawal-itu-sunah-2habis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar