I.
PENDAHULUAN
Manusia dalam hidupnya dibekali
oleh Allah dengan akal, nafsu, qaib dan jiwa. Di antara keempat itu nafsu
merupakan musuh terbesar manusia karena nafsu yang tidak terkendali membawa
manusia dalam kesesatan dan jatuh lantah kenistaan. Orang-orang yang menapaki
jalan Allah mengatakan bahwa nafsu insaniyah, merupakan penghalang bagi hati
insani untuk mencapai Tuhannya. Namun tidak setiap nafsu berorientasi pada
hal-hal negatif. Ada kalanya nafsu-nafsu insaniyah tersebut bisa dikendalikan
sehingga membawa ketenangan dan ketentraman.
Dalam makalah ini akan dibahas
mengenai nafsu yang memberi ketenangan dan ketentraman. Bagaimana karakteristik
nafsu itu dan bagaimana upaya untuk mencapai derajat nafsu tersebut. Selanjutnya
akan dijelaskan di dalam pembahasan.
II.
PEMBAHASAN
A. Definisi Nafsu Muthmainnah
Muthmainnah adalah dorongan untuk
berbuat kebaikan. Nafsu yang merasa tenang ketika menghadapi ke haribaan
AllahSWT. Nafsu yang merasa tentram dengan mengingat-Nya. Nafsu yang senantiasa
kembali (dengan bertobat) kepada-Nya. Nafsu yang senantiasa rindu untuk bertemu
dengan-Nya dan nafsu yang merasa tentram, karena kedekatan dengan-Nya.[1]
Allah SWT berfirman :
Artinya : “Hai nafsu (jiwa) yang
tenang,, kemablilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku”.
(QS. Al-Fajr : 27 -30)
Ibnu Abbas r.a berkata :
“Muthmainnah artinya yang memberikan kebenaran”. Dan Qatadah berpendapat,
“Hanyalah orang yang beriman, yang jiwanya tenang terhadap apa yang dijanjikan
Allah “.[2]
Nafsu muthmainnah merupakan
permualaan pencapaian derajat sufi atau wali. Nafsu muthmainnah disebut dengan
keadaan rohani. Nafsu ini merupakan tingkatan terakhir dari perkembangan nafsu
manusia, yang menjadikan manusia itu bebas dari segala kelemahan.[3]
Berikut ini adalah beberapa
pernyataan para syaikh thariqat yang telah dikemukakan berkenaan dengan nafsu
yang tenang :
Ketika matahari kenikmatan dari
Allah mencapai puncak langit petunjuk yang benar dan menyinari nafsu dengan
cahaya ketuhanan.
Ketika nafsu yang memerintah
terguncang dengan guncangan cinta kepada Allah yang tak tertahankan, maka dia
berubah menjadi nafsu yang tenang.
Ketika nafsu yang penuh dengan
penyesalan menjadi bersih dari kotoran dan penderitaan melalui bantuan
penyesalan dan senantiasa mengingat Allah.
Ketika akar pertentangan dan
keragu-raguan terputus dari nafsu, dia menjadi tentram dengan terlepasnya
perselisihan dan hasutan dari hati dan tunduk terhadap pengaruh titah
ketuhanan, yang dengannya keragua-raguan menjadi keridhaan dan menjadi dikenal
dengan nafsu yang tenang.[4]
B. Sifat Nafsu Muthmainnah
Hamba Tuhan yang sebenar-benarnya
adalah mereka yang telah sampai ke peringkat nafsu muthmainnah. Orang yang
telah mencapai nafsu tercermin pada perilaku dan raut mukanya. Ia tampak senang
berisi penuh keceriaan dan bersabar diri serta menerima setiap cobaan dari
Allah dengan lapang dada dan tawakal. Kepribadian yang demikian itu telah
tampak sejak hatinya mengenal Asma Allah, sifat-sifat-Nya, Rasul-Nya, hari
kiamat.[5]
Untuk lebih spesifiknya,
sifat-sifat keruhanian yang timbul dari nafsu muthmainnah diantaranya adalah :
Tawakal
Orang yang mencapai nafsu
muthmainnah senantiasa menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Allah. Ia sedikit
pun tidak gundah, gelisah dan berputus asa bila tertimpa musibah, dan tidak
pula terlalu bersuka cita bila mendapatkan kebahagiaan, sebab semuanya itu
telah digariskan oleh Allah SWT sebelum musibah itu menimpa dirinya bahkan
sebelum dirinya diciptakan.
Allah SWT berfirman :
Artinya : “Tidak ada satu musibah
yang menimpa seorang, kecuali dengan izin Allah. Dan barang siapa beriman
kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya”. (QS.
At-Taghaabun : 11)
Kuat beramal
Ia selalu merasa rindu untuk
berbuat kebaikan (muthmainnah insan) yakni rasa tentram ketika melaksanakan
perintah Allah dengan hati yang ikhlas dan tulus. Ia tidak melaksanakan
perintah Allah atas dasar kemauan hawa nafsunya sendiri atau bertaklid secara
buta. Ia tidak menyediakan ruang hatinya bagi suatu keraguan (syubhat) yang
dapat mempengaruhi berita-berita dari Allah, Atau syubhat yang dapat
menghalangi jalan menuju perintah-Nya.
Kekal mengerjakan sholat
Orang yang telah mencapai martabat
ini senantiasa menunggu datangnya waktu untuk beribadah kepada Allah. Mereka
ini disebut sebagai penggembala matahari karena senantiasa menunggu waktu
sholat.
Takut dengan dosa
Bagi orang yang telah mencapai
nafsu muthmainnah, ia selalu gelisah terhadap perbuatannya yang buruk. Walaupun
pebuatan buruk yang kecil, tetapi sudah dianggapnya besar, seolah-olah dosa
yang diakibatkan dari perbuatanya itu bagaikan gunung yang siap menimpa
kepalanya. Dengan tenang ia segera bertobat kepada Allah.
Menghargai dan menghormati waktu
Baginya, waktu adalah modal dasar
kebahagiaan. Ia akan menjadi orang yang menghemat waktu, menggunakan waktu
seefisien mungkin dan seefektif mungkin dan menggunakan lebih banyak waktu
untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Tentunya masih banyak sifat mulia
lain yang timbul dari nafsu muthmainnah. Yang pokok dari semua itu adalah
Yaqadzah yang merupakan titik awal dari tingkatan nafsu muthmainah yakni
kesadaran jiwa yang tinggi dan respektif terhadap setiap gejolak-gejolak
jiwanya, yang akan menyingkap tabir kealpaan hatinya selama bertahun-tahun, dan
menyinarinya dengan pantulan cahaya surgawi.[6]
Setelah mencapai klimaks kesadaran
seperti itu, ia seakan melihat apa yang telah disediakan roda kehidupan ini,
tanpa memberi kesempatan terhadap mereka yang ingin memperbaiki
kesalahan-kesalahannya. Di saat kesadaran ini timbul, ia akan bangkit dan
berkata :
Artinya : “…Aku menyesal atas
kelalaianku dalam (menunaikan) kewajiban terhadap Allah”. (QS. Az-Zumar :
56)[7]
C. Cara Mencapai Nafsu Muthmainah
Manusia akan mencapai martabat
nafsu muthamainnah setelah ia bisa mengalahkan nafsu yang memerintah, yang
menyuruh seseorang melakukan segala bnetuk kejahatan yakni nafsu ammarah.
Sesuatu yang dirasa paling berat oleh nafsu muthmainnah ialah melepaskan
amal-amal perbuatan dari jeratan dan belenggu setan serta nafsu ammarah. Nafsu
ammarah selalu berdiri tegak di hadapan nafsu muthmainnah, sehingga setiap kali
nafsu muthmainnah datang membawa kebaikan, maka datanglah nafsu ammarah dengan
membawa kejahatan sebagai tandingannya.[8]
Untuk dapat mengalahkan nafsu
ammarah maka manusia bermujahadah yakni berjuang memerangi nafsu tersebut
melalui pengendalian semua keinginan-keinginan nafsu ammarah harus dilawan
dengan takwa dan kebaikan. Jika nafsu ammarah diibaratkan kuda banal, maka para
ulama mengataka ada tiga cara melawannya, yakni :
1) Mengekang keinginan, sebab,
binatang binal akan lemah bila dikurangi makannya.
2) Dibebani dengan beribadah,
sebab keledai pun jika ditambah bebannya dan dikurangi makannya akan tunduk dan
menurut.
3) Berdoa dan memohon pertolongan
Allah.
Nabi Yusuf a.s mengatakan bahwa :
اِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّواءِ اِلاَّمَارَحِمَ رَبِى
Artinya : “Sesungguhnya nafsu itu
selalu menyuruh pada kejahatan kecuali nafsu yang di beri rakhmat oleh Tuhanku”
(Q.S Yusuf : 33).[9]
Selain cara yang telah diugkapkan
para ulama di atas, di bawah ini dijelaskan tahapan-tahapan yang dapat
dilakukan manusia untuk bermujahadah diri melawan nafsu ammarah sehingga dapat
mencapai dapat mencapai derajat nafsu muthmainnah.
Perenungan (Tafakur)
Langkah petama dan terutama untuk
berjuang melawan nafsu ammarah, dan kemudian berjalan menuju Allah, adalah
tafakur (perenungan diri). Di sini tafakur digunakan dalam arti meluangkan
waktu, betapapun sedikitnya, untuk merenung tentang tuga-tugas manusia terhadap
pencipta dan penguasaanya. Jika direnungkan dengan akal sesaat, maka akan
dipahami bahwa tujuan dari seluruh rahmat dan anugerah yang ditanamkan dalam
diri manusia bukan sekedar melayani eksistensi hewani dan memuaskan nafsu
manusia, tetapi lebih unggul dan lebih tinggi yakni menilai dirinya dan merasa
sedih atas ketidakberdayaannya.
Tekad atau kehendak (‘Azim) dan
kesungguhan
Langkah berikutnya untuk mencapai
kemajuan ruaniah adalah kehendak dan kesugguhan adalah esensi kemanusiaan dan
kriteria kebebasan masing-masing manusia.
Kesungguhan yang diperlukan untuk
tahap ini sama dengan meletakkan fondasi untuk hidup yang baik, sebuah
kesungguhan untuk membersihkan diri dari dosa dan melaksanakan seluruh
kewajiban dan sebuah kesugguhan untuk besikap sebagaimana seharusnya sikap
manusia yang berakal dan beribadah sesuai dengan aturan hukum agama.
Pengkondisian Diri (Musyarathah)
Pengkondisian diri berarti
mengikatkan diri dengan ketetapan hati untuk tidak melakukan apapun yang
bertentangan dengan perintah Allah. Ini disebut nusyarathah, seperti “Aku tidak
akan melanggar hukum Allah hari ini”. Dan amat mudah memaksakan diri untuk
mematuhi janji seperti itu untuk satu hari. Cobalah untuk bersungguh-sugguh,
patuhilah dengan kemauan dirimu sendiri, dan lakukanlah dan kau akan melihat
betapa mudahnya tugas ini.
Menjaga Diri Keburukan (Muraqabah)
Muraqabah dapat dilakukan dengan
menyadarkan diri bahwa setiap muncul pikiran untuk melanggar perintah-Nya, ia
harus mengetahui bahwa pikiran itu ditanamkan kedalam pikirannya oleh iblis dan
sekutunya, yang akan menggoyahkan kesungguhannya. Maka yang harus dilakukan
manusia untuk mengutuk iblis adalah mencari perlindungan dari Allah dan memusnahkan
seluruh pikiran keji itu dari hatinya
.
Mengingat Allah (Tadzakkur)
Mengingat Allah dapat dilakukan
dengan mengucap dzikir, nama-nama dan sifat-sifat Alalh setiap saat. Selain itu
mengingat Allah juga dapat dilakukan dengan mengingat seluruh rahmat yang telah
dianugerahkan-Nya kepada manusia serta mensyukuri segala yang telah diberikan
kepada kita.[10]
III.
PENUTUP
Nafsu muthmainnah merupakan nafsu
yang tenang, yang merasa tentram dengan mengingat-Nya dan senantiasa rindu
dengan-Nya. Karakteristik nafsu ini selalu membawa dan mendorong untuk berbuat
kebaikan dan mendekati-Nya. Banyak cara dapat dilakukan untuk mencapai derajat
nafsu ini dari yang paling rendah yakni merenung hingga selalu mengingat Allah.
Dengan adanya makalah ini
diharapkan para pembaca dapat mengendalikan nafsu-nafsu ammarah yang ada pada
dirinya sehinga bisa mencapai ketentraman dan kemabali kepada-Nya dengan nafsu
yang tenang. Tentuya masih ada kekurangan-keurangan dalam makalah ini, oleh
karena itu kritik dan saran yang konstruktif sangat diharapkan oleh penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal, dkk,
Empat Puluh Hadits : Telaah Imam Khomeini
Al-Ghazali, Imam, 1995,
Minhajul Abidin, Tejemah Abdul Hiyadah, Petunjuk Ahli Ibadah, Mutiara Ilmu,
Surabaya
Faried,Ahmad, 1999,
Menyusikan Jiwa : Konsep Ulama Salaf, Risalah Gusti,
http://dyanswan.blogspot.com , Matabat
Nafsu Para Ulama Tasawuf, 28 April 2009
Nurbakshyi, Javad,
Psycology Of Sufism, (Del wa Nafs), Terjemahan Psikologi Sufi, Arif rakhmat,
Fajar,Pustaka baru , Yogyakarta, 1988
Takariawan Cahyadi dan
Ghazali Mukri, Kitan Tazkiyah : Metode Pembersih Hati Aktivis dakwah, Erta
Intermedia, Solo, 2005
[1] Cahyadi Takariawan,
dan Ghazali Mukri, Kitan Tazkiyah : Metode Pembersih Hati Aktivis dakwah, Erta
Intermedia, Solo, 2005, Hlm. 161
[2] Ahmad Faried,
Menyusikan Jiwa : Konsep Ulama Salaf, Risalah Gusti, 1999, Hlm. 71
[3] http://dyanswan.blogspot.com , Matabat
Nafsu Para Ulama Tasawuf, 28 April 2009
[4] Javad Nurbakshyi,
Psycology Of Sufism, (Del wa Nafs), Terjemahan Psikologi Sufi, Arif Rakhmat,
Fajar, Pustaka baru , Yogyakarta, 1988, hlm. 113
[5] Ahmad Faried, Op.Cit,
Hlm. 72
[6] Ahmad Faied, Op.Cit,
Hlm. 76
[7] Cahyadi Takariawan,
dan Ghazali Mukri, Op. Cit, Hlm. 163
[8] Ahmad Faried, Op.Cit,
Hlm. 78
[9] Imam Al-Ghazali,
Minhajul Abidin, Tejemah Abdul Hiyadah, Petunjuk Ahli Ibadah, Mutiara Ilmu,
Surabaya, 1995, Hlm. 119
[10] Zainal Abidin, dkk,
Empat Puluh Hadits : Telaah Imam Khomeini, Hlm. 12-19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar