A’uudzu
billaahi minasysyaithaanir rajiim
Bismillahirrahmaniraahim...
Assalamu’alaikum
Warohmatullaahi Wabarokaatuhu ,
Perjuangan
para hamba ALLAH yang mencari keutamaan berakhir pada hawa nafsunya. Maka
barang siapa yang mampu menundukkan hawa nafsunya (Taat dan Ridho terhadap apa
yang telah ALLAH berikan , berbagai macam ujian kehidupan di hadapi tetap dalam
keimanan , ke qana’ah’an dan ketaatan (ber-amal Sholeh) maka ia akan berbahagia
karena telah mendapatkan kemenangan = Ridho ALLAH Subhana Wa Ta’ala => Surga
Ad’n , jadi yang di perjuangkan hamba ALLAH yang beriman , yang faham dengan
segala amal Sholeh/a nya itu , bukan lah menjemput Surga yang dijanjikan ALLAH Subhana
Wa Ta’ala tapi menjemput ridho-Nya , dengan Ridho-nya ALLAH itu lah hamba ALLAH
itu bisa menempati Surga yang dijanjikan.
Nafsu
Muthmainnah (مطمئنّة) adalah peringkat
nafsu yang tertinggi yang perlu kita berusaha untuk mencapainya.
Ibnu
Abbas berkata, “nafsu muthmainnah ialah nafsu yang membenarkan”.
Dalam
arti kata lain, perkataan beliau mungkin bermakna nafsu yang membenarkan dan
yakin dengan segala yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w.
Sheikh
Dr. Ahmad Farid mengulas tentang ciri-ciri nafsu muthmainnah: “Bila nafsu
terasa damai dengan Allah, merasa tenteram dan tenang dengan mengingatiNya,
suka kembali kepadaNya, merasa rindu ingin berjumpa denganNya dan merasa senang
berdekatan denganNya, itulah yang disebut sebagai nafsu muthmainnah“.
Banyak
lagi pengertian yang lain. Saya simpulkan arti nafsu muthmainnah ini sebagai
nafsu yang jiwanya sentiasa tenang, khusyuk dan akrab dengan Allah, jiwa yang
betul-betul teguh aqidahnya, sentiasa redha atas segala ketentuan dan tunduk
dengan perintah Allah, serta dimanifestasikan seluruh keteguhan iman dan cinta
kepada Allah itu dengan keinginan yang kuat untuk giat beramal soleh.
Tentang
kemuliaan nafsu muthmainnah ini, ganjarannya ialah keredhaan Allah dan
dimasukkan ke dalam syurga di mana terletaknya puncak kebahagiaan yang tidak
terbanding.
-------------------------------------------------------------------------------
Al
Fajr 27 – 30
يٰٓأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
yaa
ayyatuhaa alnnafsu almuthma-innatu
Wahai
jiwa yang tenang (Al Fajr , 89 : 27)
ارْجِعِىٓ إِلَىٰ
رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً
irji'ii
ilaa rabbiki raadiyatan mardhiyyatan
kembalilah
kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai. ( Al Fajr , 89 : 28)
فَادْخُلِى فِى
عِبٰدِى
faudkhulii
fii 'ibaadii
Maka
masuklah kedalam golongan hamba-hamba-Ku ( Al Fajr , 89 : 29)
وَادْخُلِى جَنَّتِى
waudkhulii
jannatii
dan
masuklah kedalam surga-Ku” (Al Fajr , 89 : 30)
----------------------------------------------------------------------------
Siapakah
yang disebut Nafsul-Muthmainnah?
Al-Qur’an
sendiri menyebutkan tingkatan yang ditempuh oleh nafsu atau diri manusia.
Pertama Nafsul Ammarah, yang selalu mendorong akan berbuat sesuatu di luar
pertimbangan akal yang tenang. Maka keraplah manusia terjerumus ke dalam lembah
kesesatan karena nafsul-ammarah ini. (Lihat Surat 12, Yusuf; ayat 53).
Bilamana
langkah telah terdorong, tibalah penyesalan diri atas diri. Itulah yang dinamai
Nafsul-Lawwamah. Itulah yang dalam bahasa kita sehari-hari dinamai “tekanan
batin”, atau merasa berdosa. Nafsul-Lawwamah ini dijadikan sumpah kedua oleh
Allah, sesudah sumpah pertama tentang ihwal hari kiamat. (Surat 75, Al-Qiyamah
ayat 2).
Demikian
pentingnya, sampai dijadikan sumpah. Karena bila kita telah sampai kepada
Nafsul-Lawwamah, artinya kita telah tiba dipersimpangan jalan; atau akan
menjadi orang yang baik, pengalaman mengajar diri, atau menjadi orang celaka,
karena sesal yang tumbuh tidak dijadikan pengajaran, lalu timbul sikap yang
dinamai “keterlanjuran”.
Karena
pengalaman dari dua tingkat nafsu itu, kita dapat naik mencapai
“An-Nafsul-Muthmainnah”, yakni jiwa yang telah mencapai tenang dan tenteram.
Jiwa yang telah digembleng oleh pengalaman dan penderitaan. Jiwa yang telah
melalui berbagai jalan berliku, sehingga tidak mengeluh lagi ketika mendaki,
karena di balik pendakian pasti ada penurunan.
Dan
tidak gembira melonjak lagi ketika menurun, karena sudah tahu pasti bahwa
dibalik penurunan akan bertemu lagi pendakian. Itulah jiwa yang telah mencapai
Iman! Karena telah matang oleh berbagai percobaan.
Jiwa
inilah yang mempunyai dua sayap. Sayap pertama adalah syukur ketika mendapat
kekayaan, bukan menepuk dada. Dan sabar ketika rezeki hanya sekedar lepas
makan, bukan mengeluh. Yang keduanya telah tersebut dalam ayat 15 dan 16 tadi.
Jiwa
inilah yang tenang menerima segala khabar gembira (basyiran) ataupun khabar
yang menakutkan (nadziran).
Jiwa
inilah yang diseru oleh ayat ini:
“Wahai
jiwa yang telah mencapai ketentraman.” (ayat 27). Yang telah menyerah penuh dan
tawakkal kepada Tuhannya: Telah tenang, karena telah mencapai yakin: terhadap
Tuhan.
Berkata
Ibnu ‘Atha’: “Yaitu jiwa yang telah mencapai ma’rifat sehingga tak sabar lagi
bercerai dari Tuhannya walau sekejap mata.” Tuhan itu senantiasa ada dalam
ingatannya, sebagai tersebut dalam ayat 38 dari Suray 13, Ar-Ra’ad.
Berkata
Hasan Al-Bishri tentang muthmainnah ini: “Apabila Tuhan Allah berkehendak
mengambil nyawa hamba-Nya yang beriman, tenteramlah jiwanya terhadap Allah, dan
tenteram pula Allah terhadapnya.”
Berkata
sahabat Rasulullah SAW ‘Amr bin Al-‘Ash (Hadis mauquf): “Apabila seorang hamba
yang beriman akan meninggal, diutus Tuhan kepadanya dua orang malaikat, dan
dikirim beserta keduanya suatu bingkisan dari dalam syurga. Lalu kedua malaikat
itu menyampaikan katanya: “Keluarlah, wahai jiwa yang telah mencapai
keternteramannya, dengan ridha dan diridhai Allah.
Keluarlah
kepada Roh dan Raihan. Tuhan senang kepadamu, Tuhan tidak marah kepadamu.”
Maka
keluarlah Roh itu, lebih harum dari kasturi.”
“Kembalilah
kepada Tuhanmu, dalam keadaan ridha dan diridhai.” (ayat 28).
Artinya: setelah
payah engkau dalam perjuangan hidup di dunia yang fana, sekarang pulanglah
engkau kembali kepada Tuhanmu, dalam perasaan sangat lega karena ridha; dan
Tuhan pun ridha, karena telah menyaksikan sendiri kepatuhanmu kepada_nya dan
tak pernah mengeluh.
“Maka
masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku.” (ayat 29).
Di sana telah menunggu
hamba-hamba-Ku yang lain, yang sama taraf perjuangan hidup mereka dengan kamu;
bersama-sama di tempat yang tinggi dan mulia. Bersama para Nabi, para Rasul,
para shadiqqin dan syuhadaa. “Wa hasuna ulaa-ika rafiiqa”; Itulah semuanya yang
sebaik-baik teman.
“Dan
masuklah ke dalam syurga-Ku.” (ayat 30).
Di situlah kamu berlepas menerima
cucuran nikmat yang tiadakan putus-putus daripada Tuhan; Nikmat yang belum
pernah mata melihatnya, belum pernah telinga mendengarnya, dan lebih daripada
apa yang dapat dikhayalkan oleh hati manusia.
Dan
ada pula satu penafsiran yang lain dari yang lain; yaitu annafs diartikan
dengan roh manusia, dan rabbiki diartikan tubuh tempat roh itu dahulunya
bersarang. Maka diartikannya ayat ini: “Wahai Roh yang telah mencapai tenteram,
kembalilah kamu kepada tubuhmu yang dahulu telah kamu tinggalkan ketika maut
memanggil,” sebagai pemberitahu bahwa di hari kiamat nyawa dikembalikan ke
tubuhnya yang asli.
Penafsiran ini didasarkan kepada qiraat (bacaan) Ibnu
Abbas, Fii ‘Abdii dan qiraat umum Fii “Ibaadil.
Wallahu
A’lam Bishshawaabi.
Wassalamu’alaikum
Warohmatullaahi Wabarokaatuhu ,
Kembalilah..
BalasHapusKembalilah..
BalasHapus