Dalam Alquran, tutur kata ada dua macam. Pertama, tutur kata yang baik yang disebut dengan al-kalimah ath-thayyibah (QS Ibrahim [14]:24 dan QS Faathir [35]:10). Sedangkan dalam hadis Nabi SAW disebut denganqowlan khairan (HR Bukhari).
Kedua, tutur kata yang buruk yang disebut dengan al-kalimah al-khabitsah (QS Ibrahim [14]:26) yang dapat berbentuk antara lain qowlan gharuran, yakni perkataan yang menipu (QS al An’am [6]:112) danqowlan al-zuur, yakni perkataan yang dusta (QS al Hajj [22]:30).
Kedua tutur kata tersebut memiliki dampaknya masing-masing dalam pembentukan karakter anak atau sesorang dalam hidupnya.
Anak yang dididik dan tumbuh dalam keluarga yang dihiasi
tutur kata yang baik akan menjadi anak yang santun dan lemah lembut tapi gagah,
bukan hanya dalam tutur kata, melainkan juga sikap dan lakunya.
Sementara, anak yang dibesarkan dalam lingkungan dengan tutur kata yang buruk akan tumbuh menjadi pribadi yang keras dan kasar (kurang beradab), baik dalam ucapan, sikap, maupun tingkah lakunya.
Tutur kata atau ucapan adalah wujud (buah) dari benih yang ditanamkan dalam hati seseorang (qalb). Jika hatinya bersih, tutur katanya pun bagus dan harum. Namun, jika hatinya rusak dan buruk, tutur katanya pun buruk dan busuk (HR Bukhari).
Tutur kata atau perkataan dalam kajian ilmiah disebut dengan komunikasi Islami. Alquran telah menjadi landasan dan tuntunannya, sementara Nabi SAW yang menjadi modelnya. Sehingga, kita dapat meneladani keduanya dalam berkomunikasi di berbagai konteks sosial yang dihadapi.
Ada enam konsep komunikasi Islami dalam Alquran.
Pertama, qawlan ma’ruufan (QS an-Nisa [4]:8). Dalam Tafsir al-Misbah, Prof HM Quraish Shihab menjelaskan maknanya sebagai perkataan yang menghibur hati kerena sedikitnya atau karena tidak ada yang diberikan kepada mereka (yatim dan miskin atau kerabat yang bukan ahli waris) saat pembagian harta warisan.
Kedua, qawlan sadiidan (QS an-Nisa [4]:9). Konsep ini lanjutan dari ayat sebelumnya dalam konteks yang sama, yakni perkataan yang benar dan mengenai tepat pada sasarannya. Pesan-pesan agama pun, jika bukan pada tempatnya, tidak diperkenankan untuk disampaikan.
Ketiga, qawlan baliighan (QS an-Nisa [4]:63), yakni tertampungnya seluruh pesan dalam kalimat yang disampaikan. Kalimatnya tidak bertele-tele, tidak pula singkat sehingga mengaburkan pesan dan cukup tidak berlebih atau kurang.
Keempat, qawlan kariiman (QS al Isra [17]:23), yakni perkataan yang indah dan baik (qawlan jamiilan wa hasanan), lembut lagi mudah (qawlan layyinan sahlan). Kelima, qawlan maysuuran (QS al Isra [17]:28) yang ditafsirkan hampir sama oleh Ibnu Jarir, yakni qawlan layyinan sahlan, ar-rifqi (lembut), dan qawlan jamiilan.
Konteks ayat ini berkaitan dengan ketidakmampuan untuk memberikan bantuan (hak-hak) kepada kaum kerabat, orang miskin, dan ibnu sabil.
Sementara, anak yang dibesarkan dalam lingkungan dengan tutur kata yang buruk akan tumbuh menjadi pribadi yang keras dan kasar (kurang beradab), baik dalam ucapan, sikap, maupun tingkah lakunya.
Tutur kata atau ucapan adalah wujud (buah) dari benih yang ditanamkan dalam hati seseorang (qalb). Jika hatinya bersih, tutur katanya pun bagus dan harum. Namun, jika hatinya rusak dan buruk, tutur katanya pun buruk dan busuk (HR Bukhari).
Tutur kata atau perkataan dalam kajian ilmiah disebut dengan komunikasi Islami. Alquran telah menjadi landasan dan tuntunannya, sementara Nabi SAW yang menjadi modelnya. Sehingga, kita dapat meneladani keduanya dalam berkomunikasi di berbagai konteks sosial yang dihadapi.
Ada enam konsep komunikasi Islami dalam Alquran.
Pertama, qawlan ma’ruufan (QS an-Nisa [4]:8). Dalam Tafsir al-Misbah, Prof HM Quraish Shihab menjelaskan maknanya sebagai perkataan yang menghibur hati kerena sedikitnya atau karena tidak ada yang diberikan kepada mereka (yatim dan miskin atau kerabat yang bukan ahli waris) saat pembagian harta warisan.
Kedua, qawlan sadiidan (QS an-Nisa [4]:9). Konsep ini lanjutan dari ayat sebelumnya dalam konteks yang sama, yakni perkataan yang benar dan mengenai tepat pada sasarannya. Pesan-pesan agama pun, jika bukan pada tempatnya, tidak diperkenankan untuk disampaikan.
Ketiga, qawlan baliighan (QS an-Nisa [4]:63), yakni tertampungnya seluruh pesan dalam kalimat yang disampaikan. Kalimatnya tidak bertele-tele, tidak pula singkat sehingga mengaburkan pesan dan cukup tidak berlebih atau kurang.
Keempat, qawlan kariiman (QS al Isra [17]:23), yakni perkataan yang indah dan baik (qawlan jamiilan wa hasanan), lembut lagi mudah (qawlan layyinan sahlan). Kelima, qawlan maysuuran (QS al Isra [17]:28) yang ditafsirkan hampir sama oleh Ibnu Jarir, yakni qawlan layyinan sahlan, ar-rifqi (lembut), dan qawlan jamiilan.
Konteks ayat ini berkaitan dengan ketidakmampuan untuk memberikan bantuan (hak-hak) kepada kaum kerabat, orang miskin, dan ibnu sabil.
Perkataan yang baik atau menghibur agar mereka tidak kecewa
karena tidak mendapat bagian. Keenam, qawlan layyinan (QS Thaha [20]:44), yakni sikap lemah
lembut, perkataan yang ramah, dan suasana kedamaian.
Bertutur kata yang baik (hifdz al-lisan) adalah akhlak karimah, kewajiban, dan kehormatan diri seorang Muslim. Hati-hatilah karena lisan (lidah) itu lebih tajam dari pedang. Jika pedang melukai badan masih ada obat penghilang. Tapi, jika lidah melukai hati, hendak ke mana obat dicari.Wallahu a’lam bish-shawab
Bertutur kata yang baik (hifdz al-lisan) adalah akhlak karimah, kewajiban, dan kehormatan diri seorang Muslim. Hati-hatilah karena lisan (lidah) itu lebih tajam dari pedang. Jika pedang melukai badan masih ada obat penghilang. Tapi, jika lidah melukai hati, hendak ke mana obat dicari.Wallahu a’lam bish-shawab
Oleh: Hasan Basri Tanjung MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar