Oops! Jangan berpikir yang nggak-nggak dulu!
Pacaran yang dimaksud, adalah pacaran dengan pasangan resmi kita yang terikat dalam ikatan pernikahan. Kalau dengan orang lain ya namanya selingkuh! Sangat tidak saya anjurkan di sini.
Masih ingat nggak, indahnya masa pacaran dengan suami/istri dulu, sebelum menikah? Duuuhhh dunia serasa milik berdua ya? Oh ya, ini berlaku buat mereka yang sebelum menikah menjalani masa pacaran ya.. kalu nggak, ya gak papa! Pacaran setelah menikah pun pastinya asyik kan.
Saya masih ingat, setiap hari saya teleponan dengan suami..eh pacar saya dulu. Sehari bisa berkali-kali, mungkin minimal sepuluh kali hehehe. Kata cinta dan mesra mengalir bak mitraliur. Kalu lagi jalan-jalan juga ga segan-segan pamer kemesraan. Tapi masih dalam batas yang wajar - menurut sudut pandang saya tentu. Bukan pamer juga sebenarnya. Yah , sekedar gandengan tangan, peluk, atau menggelendot manja di lengan tebal pacar saya itu.
Setelah menikah, rasanya masih sama saja dengan pacaran, ditambah lagi sudah halal untuk melakukan yang ehm ehm.. hanya boleh dilakukan pasangan yang sudah menikah. Lebih seru karena kemesraan dengan suami makin lengkap dengan apa-yang-dulu -sudah-sangat-ingin-dicoba-dilakukan-karena-penasaran-dan-ehm sedikit-nafsu-tapi–belom-boleh-itu. Hihihi… apalagi saya tidak langsung punya anak, bener-bener berasa pacaran plus-plus (plus sex tentu)..
Nah, setelah punya anak, kesibukan kerja yang meningkat, dan usia pernikahan yang bertambah, saya sempat mengalami apa yang namanya .. apa ya? Rasa ‘plain’ dalam hubungan saya dengan suami. Plain. Tadinya mau pakai kata tawar atau hambar kok kayaknya terlalu kejam, karena memang tidak separah itu. Saya tetap merasa dicintai oleh suami saya. He’s a great husband! Apalagi dia amat sangat peduli dan turut ambil peran yang aktif dalam pengasuhan anak kami. Pokoknya suami saya itu ayah yang luar biasa buat anak saya.. aduh maaf narsis dikit ya.. ( ini beneran tidak dibuat-buat).
Tapi ya itu, komunikasi kami jadi berkurang kualitasnya. Sehari-hari kami hanya membicarakan tentang anak, dan tentang jadwal. Jadwal?? Yah kira-kira beginilah bentuk komunikasinya : dah makan belum,-pulang jam berapa-bisa pulang bareng gak-hati2 di jalan-jangan malem2 ya pulangnya-jangan lupa kasih makan kucing-ya begitu deh). Lama-lama bukan hanya kualitas yang berkurang tapi juga kuantitas.
Belum lagi urusan pergi bareng. Kami pergi bersama mainly untuk belanja. Ke mall. Sama anak, atau hanya berdua. Kami membicarakan daftar belanjaan, mau masak apa, apa aja yang habis di rumah.
Kemesraan yang dulu ada waktu pacaran, menjadi hal yang langka. Sentuhan fisik yang sederhana, seperti pelukan atau sekadar pegang tangan saat berjalan berdua, menjadi hal-hal yang layak disebut memori. Masih untung bukan fosil.
Tidak, saya tidak menyalahkan suami saya karena itu. Saya juga pegang peranan karena kurang menjaga hal-hal yang sekilas kayaknya remeh temeh tapi sebetulnya sangat bermakna dalam menjaga ikatan perkawinan.
pacaran menikah
Singkatnya, saya ingin mengalami kemesraan seperti yang dulu saya rasakan waktu pacaran. Saya ingin pacaran lagi. Dan itu saya lakukan. Saya mengajak suami saya pergi berdua saja. Mungkin sekedar makan pempek di warung kesukaan kami. Saya memegang tangannya waktu dia menyetir mobil (dah lama banget saya nggak lakukan itu, hehehe). Saya sering minta dipeluk (seperti dulu). Hampir tiap hari saya minta dipeluk, walau sebentar.
Saya mengajak suami nonton film yang bisa ditonton berdua. Kompromi lah, atau saya yang mengalah mengenai filmnya. Gapapalah.. demi bisa pacaran di bioskop, heheh. Saya bersifat agresif di rumah, misalnya tanpa angin tanpa hujan sering curi cium bibirnya .. cium pipinya..cium.. ups.
Kok kesannya saya, saya dan saya ya yang mengerjakan? Heheh..dulu saya mengharapkan suami yang memulai. Persis waktu pacaran dulu. Lelaki kan yang biasanya mulai duluan? Lha tapi kok dianya gak mulai-mulai untuk menunjukkan kemesraan yang saya inginkan? Pusinglah kepala awak ni.
Perlahan saya belajar bahwa memang kadang para pria tidak menganggap penting hal-hal remeh seperti ini. Baginya mungkin rasa cinta ditunjukkan dengan tanggungjawab. Ya ga salah juga siy. Kan pria dan wanita kek orang Mars dan orang Venus. Tapi buat saya sentuhan fisik itu penting. So i asked for it, i strived for it. And i did it. We did it.
Sedikit kerlingan mata, saat ini sudah cukup untuk membuat lelaki saya memahami bahwa saya hanya ingin dipeluk sebentar. Hati ini merasa bahagia dan tenang kala dia membiarkan kepala saya bersandar di bahunya. Dia menggandeng saya dengan mantap saat kami jalan-jalan berdua. Seperti masa pacaran dulu. Kami pacaran lagi setelah menikah.
Saya bahagia. Semoga dia juga begitu. Bahagia.
Harapannya sih, di usia pernikahan kami yang sudah di atas 5 tahun ini, api cinta tetep meletup-letup dan memperkokoh pernikahan ini (ceileeeh).
Ngga ada yang mau kalau pernikahan menjadi terjebak pada rutinitas, yang membuatnya rentan terhadap godaan perselingkuhan.
Saya miris juga melihat pernikahan beberapa sahabat saya kandas dalam usia yang dini. Walaupun saya ngga terlalu tahu masalah mereka, mungkin aja komunikasi yang hambar dan macet jadi salah satu sebab.
Semoga ke-plain-an hubungan yang pernah terjadi pada saya, nggak terjadi sama anda. Atau cegahlah sebelum itu terjadi. Caranya? Mungkin dengan mengajak pasangan anda ‘pacaran’ lagi, seperti saya! Selamat pacaran, sahabat!
http://suarasenja.blogdetik.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar