Minggu, 20 Juni 2010
Profesionalisme
"De omnibus dubitandum!" , ujar Rene Descrates, yang artinya "Segala sesuatu harus diragukan!".
Segala yang ada dalam hidup ini dimulai dengan meragukan sesuatu, bahkan juga Hamlet si peragu, yang berseru kepada Ophelia, kekasihnya:
Ragukan bahwa bintang itu api;
Ragukan bahwa matahari itu bergerak;
Ragukan bahwa kebenaran itu dusta;
Tapi jangan ragukan cintaku padamu.
Sebaliknya, kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu!!.
Dalam sebuah buku karya Jujun S. Suriasumantri yang menyampaikan kisah berikut ini yang bercerita tentang sebuah pertemuan ilmiah tingkat "tinggi", dimana seseorang ilmuwan berbicara panjang lebar tentang sesuatu penemuan ilmiah dalam risetnya. Setelah berjam-jam dia berbicara maka dia pun menyeka keringatnya dan bertanya kepada hadirin; "Adakah kiranya yang belum jelas?". Salah seorang bangkit dan seperti seorang yang pekak memasang kedua belah tangan disamping kupingnya "Apa?", rupanya sejak tadi dia tak mendengar apa-apa.
Memang, orang itu sejak tadi "tidak mendengar apa-apa",sebab "tidak tertarik untuk mendegar apa-apa", sebab "tidak ada apa-apa yang berharga untuk didengar". Orang nyentrik itu baru mau mendengar dan tidak meragukan, dan oleh karena itu pada akhirnya ia akan mengakui sebagai sebuah kebenaran. Pendapat yang bersifat ilmiah sekiranya pendapat itu dikemukakan lewat cara, proses dan prosedur ilmiah. Biarpun seorang pembicara mengutip sekian pemenang hadiah nobel, mengemukakan sekian fakta yang aktual, namun bila bagian dia tidak jelas mana yang masalah, yang mana hipotesis, yang mana kerangka pemikiran, yang mana kesimpulan, yang keseluruhannya terkait dan tersusun dalam penalaran ilmiah, maka bagi dia semua itu hanyalah sekedar GIGO (maksudnya masuk ke telinga kiri sampah, dan keluar dari telinga kanan juga masih tetap sampah).
"Masalah utama dengan disertasi Saudara, kata seorang penguji kepada seorang promovendus, "ialah bahwa Saudara berlaku sebagai seorang pemborong bahan bangunan, dan bukan arsitek yang membangun rumah. Memang batanya banyak sekali, bertumpuk di sana sini, namun tidak merupakan dinding, kayunya menumpuk sekian meter kubik, namun tidak merupakan atap. Sebagai ilmuwan Saudara harus membangun kerangka dengan bahan-bahan tersebut, kerangka pemikiran yang orisinal dan menyakinkan, disemen oleh penalaran dan pembuktian yang tidak meragukan...."
Masalah teknologi, khususnya konstruksi, sebenarnya dapat dilihat sebagai masalah yang sangat sederhana, namun dapat juga dipandang sebagai masalah yang sangat rumit karena terkait dengan berbagai aspek, seperti sosial, ekonomi, kelembagaan, dana, bisnis, hukum, budaya, sumberdaya manusia, dan bahkan terkadang bisa juga terkait dengan masalah politik.
Bagi seorang ahli teknik konstruksi profesional, katakanlah insinyur, masalah konstruksi ini akan semata dipandang sebagai masalah teknis konstruksi semata, tidak lebih, dan bidang tersebut sepatutnya memang sangat dikuasai olehnya sebagai profesional di bidang ini. Akan tetapi masalah akan menjadi sangat lain apabila kita berbicara tentang konstruksi dengan seorang pejabat, pengusaha, praktisi, pengembang, politisi, ahli hukum, ahli kelembagaan, ketua asosiasi profesi ataupun jasa bidang teknik, ahli pemasaran, bankers, ekonom, bahkan seorang sosiolog atau pun budayawan.
Ditangan mereka, dan kita pun sepakat bahwa memang begitulah seharusnya, permasalahan konstruksi nasional saat ini bukanlah merupakan masalah yang bisa dilihat hanya sebagai masalah konstruksi semata. Masalah konstruksi nasional saat ini adalah sebuah masalah yang cukup kompleks dan rumit sekali sifatnya. Permasalahan konstruksi harus dilihat sebagai masalah bagaimana meningkatkan kompetensi dan profesionalisme pelaku konstruksi nasional, bagaimana menumbuhkembangkan kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pelaku konstruksi nasional dalam menghasilkan produk-produk infrastruktur, bagaimana membuka jaringan bisnis dan meningkatkan kreativitas antara manufaktur, pemasok dan profesional pembangunan dari dalam dan luar negeri untuk bertukar pengetahuan teknologi terbaru dan peluang usaha di bidang konstruksi.
Disamping itu, dunia konstruksi nasional saat ini harus pula dilihat dalam konteks bagaimana mempromosikan perkembangan teknologi industri konstruksi, bagaimana caranya membangun aliansi serta jaringan bisnis untuk memperluas pangsa pasar, bagaimana menampilkan eksistensi dan kemampuan usaha jasa dan industri konstruksi yang profesional, kokokh, handal, efisien dan berdaya saing di pasar nasional, regional maupun internasional, bagaimana meningkatkan potensi sumberdaya manusia jasa konstruksi secara maksimal agar menjadi lebih profesional, terampil dan berdaya saing tinggi dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain, intinya adalah Profesionalisme.
Lalu, jika memang demikian halnya, saat ini kira-kira bagaimana gambaran kondisi dan perkembangan konstruksi nasional dengan berbagai permasalahan dan kerumitannya tersebut?. Apakah para pelaku konstruksi nasional kita sudah benar-benar bertindak profesional di bidangnya, telah siap menghadapi persaingan regional dan bahkan global, dan sebagainya?.
Atau mungkin masih sangat banyak pelaku konstruksi kita yang bersikap, berperilaku, dan berbicara sebagaimana layaknya seorang ilmuwan dan bahkan filsuf seperti digambarkan diatas sebelumnya, yang pembicaraannya, ide-ide, ataupun inovasi yang menurut pendapatnya merupakan ide, inovasi atau bahkan penemuan baru yang spektakuler tetapi tidak pernah diambil peduli atau bahkan didengarpun tidak, apalagi dipercaya oleh orang-orang disekelilingnya karena tidak jelas ujung pangkal dari pembicaraannya?.
Yang hanya berbicara untuk sekedar berbicara dan menunjukkan eksistensi serta kedigjayaan atau kehebatannya semata? Apakah pelaku dan perilaku pelaku konstruksi seperti itu yang dibutuhkan oleh negara kita saat ini?
Diferensiasi dalam bidang ilmu dengan cepat terjadi. Dari cabang ilmu yang satu sekarang ini telah berkembang lebih dari 650 ranting disiplin keilmuan. Pembedaan yang making terperinci ini tentunya menimbulkan keahlian dan profesionalisme yang makin spesifik pula.
Cerita berikut ini, yang dikutip dari buku Jujun S. Suriasoemantri, yang berjudul "Pengantar Ilmu Filsafat", mungkin dapat menggambarkan dengan sangat tepat bagaimana kiranya kita telah tiba pada zaman keahlian dan profesionalisme yang semakin spesifik tersebut.
"Saya adalah Doktor Polan, ahli burung betet betina" , demikian dalam abad spesialisasi seorang memperkenalkan dirinya. Jadi tidak lagi sekedar ahli zoologi, atau ahli burung, bukan juga ahli betet, melainkan khas betet betina.
"Ceritakan dok, bagaimana membedakan burung betet betina dan burung betet jantan" ujar seseorang. Dengan segera si doktor menjawab
"Burung betet jantan makan cacing betina, sedangkan burung betet betina makan cacing jantan...".
"Bagaimana membedakan cacing jantan dengan cacing betina, Dok" ujar orang tersebut kembali.
"Wah, itu diluar profesi dan keahlian saya. Saudara harus bertanya kepada seorang ahli cacing".
Kemudian, didalam buku tersebut juga dapat kita baca sebuah anekdot berikut yang sangat menarik. Taufik Ismail dalam pembacaan sebuah puisinya di Taman Ismail Marzuki pada awal tahun 1980 menyampaikan anekdot berikut ini:
"Penalaran otak orang itu luar biasa", demikian kesimpulan ilmuwan kerbau dalam makalahnya. "Namun mereka itu curang dan serakah. Sedangkan sebodoh-bodohnya umat kerbau, kita tidak curang dan serakah.".
Pernyataan yang lugu ini, namun benar dan mengena, sungguh menggelitik nurani kita. Benarkah bahwa makin cerdas, maka makin pandai pula kita menemukan kebenaran?. Benarkah bahwa makin benar, maka makin baik pula perbuatan kita? Apakah manusia yang mempunyai penalaran tinggi, lalu makin berbudi, sebab moral mereka dilandasi analisis yang hakiki, ataukah malah sebaliknya: makin cerdas, makin pandai pula kita berdusta!!.
Dalam konteks kekinian dikaitkan dengan pelaku dan perilaku dari pada pelaku konstruksi nasional, kelihatannya kisah-kisah dan catatan diatas perlu kita cermati den renungkan bersama, bahwa "Untuk menjadi seorang ilmuwan, ahli ataupun pelaku konstruksi yang pendapat-pendapat, ide, ataupun inovasi-inovasinya didengar dan diacu, serta sebagai sumber inspirasi bagi banyak kalangan, dan agar apa yang dimiliki tersebut dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat, maka cerdas saja ternyata tidaklah cukup".
Yang dibutuhkan oleh negara kita saat ini adalah pelaku konstruksi
yang selain cerdas,
juga jujur,
profesional,
selalu bertindak dalam koridor kebenaran tanpa ragu,
mempunyai penalaran tinggi,
berbudi dan bermoral tinggi,
tidak curang dan tidak serakah,
dan yang paling penting adalah mampu mengkomunikasikan ide, ilmu, inovasi dan informasi yang melatarbelakangi ide, ilmu dan inovasi tersebut kepada semua orang dengan bahasa yang jelas sehingga mudah dimengerti, dicerna dan diaplikasikan ke dalam bentuk karya-karya nyata bagi kepetingan masyarakat dan bangsa.
Nah, kalau ilmuwan dan pelaku konstruksi nasional kita sudah bersikap, berlaku dan berperilaku seperti itu, maka hal itu berarti bahwa mereka telah siap untuk bersaing di arena nasional. Tidak mudah, memang, menjadi seperti gambaran ideal tersebut, namun secara perlahan tetapi pasti kita harus yakin bahwa kita sedang menuju ke arah sana!.
SBA (Dikutip dari majalah Kiprah Volume 30)
http://pustaka.pu.go.id/new/artikel-detail.asp?id=280
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar