Suatu peristiwa yang terkenal dengan nama “Haditsul ifki” (berita bohong), yaitu berita murahan dan tuduhan keji yang disebarluaskan oleh sekelompok orang yahudi dan kaum munafik terhadap seorang putri remaja suci, putri seorang shiddiq, yaitu istri seorang Rasulullah yang suci. Dialah kekasih yang dekat di hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bernama Aisyah binti Abu bakar Shiddiq. Dialah istri Rasulullah dan merupakan istri yang paling dicintainya.
Haditsul ifki atau berita bohong yang dimaksudkan oleh para musuh Islam untuk melukai perasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan cara melemparkan tuduhan palsu terhadap istrinya yang sangat terhormat, dibicarakan oleh Al-Qur’an al-Karim, sebagai berikut:
“Sesungguhnya orang yang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar di dalam penyiaran berita bohong itu baginya adzab yang besar.
Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mu’min dan mu’minat tidak bersangka baik terhdap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.
Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang pendusta.
Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua dan di akhirat niscaya kamu ditimpa adzab yang besar, karena pembicaran kamu tentang berita bohong itu.
(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.
Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.”
Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.
Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Dan sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penya-yang (niscaya kamu ditimpa adzab yang besar).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuat-an yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha mengetahui.
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabatnya, orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sesungguhnya orang-orang yang menuduh perempuan-perem-puan yang baik-baik, (yang lengah) lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka adzab yang besar.
Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.
Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allahlah Yang Benar, lagi yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya).
Perempuan-perempuan yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat perempuan-perempuan yang keji (pula), dan perempuan-perempuan yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (surga).” (An-Nur: 11-26).
Mari kita simak Aisyah radhiyallahu ‘anhu menceritakan kisah berita bohong besar tersebut, yang diriwayatkan oleh az-Zuhri dari ‘Urwah dan lain-lain dari riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata: “Biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila hendak bepergian jauh melakukan undian bagi istri-istrinya, maka siapa saja di antara mereka yang bagiannya keluar atas namanya maka dialah yang mendapat bagian ikut pergi bersama beliau. Pada suatu ketika, Nabi akan pergi dalam suatu peperangan, lalu beliau melakukan undian dan yang keluar adalah bagian atas namaku. Maka aku pun ikut pergi bersamanya (mendampinginya) sesudah ayat tentang wajib hijab diturunkan. Aku pada saat itu dibawa di dalam sekedup (di atas punggung unta) dan di situlah aku tinggal. Kami pun berjalan hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai dari misi peperangannya dan beliau pun kembali. Dan sudah terasa dekat dari kota madinah, maka pada suatu malam beliau mengizinkan (para sahabatnya) untuk berangkat (pulang). Maka aku pun bangkit (untuk buang hajat) ketika mereka diizinkan untuk pulang hingga pasukan itu telah berlalu. Seusai buang hajat aku kembali kepada untaku, kemudian aku raba dadaku dan ternyata kalungku terputus karena terenggut kukuku (dan hilang). Maka aku kembali (ke tempat buang hajat) sambil mencari kalungku yang terjatuh hingga makan waktu cukup lama. Lalu pada saat itu sekelompok orang yang biasa menuntun untaku datang menuju unta yang dipunggungnya ada sekedupku dan mereka langsung menggiringnya dengan mengira bahwa aku ada di dalamnya. Rata-rata perempuan pada masa itu ringan, tidak gemuk, karena kami biasa makan sesuap makanan saja, sehingga ketika mengangkat sekedupku ke atas punggung unta tidak merasa bahwa aku tidak ada di dalamnya dan mereka pun langsung membawanya. Sementara pada saat itu aku masih remaja di bawah umur sedangkan unta telah pergi bersama mereka. Kalungku baru aku temukan sesudah para pasukan berjalan jauh, maka dari itu aku pergi ke bekas tempat mereka singgah (bermalam) dan di sana tidak ada seseorang. Lalu aku menuju bekas persinggahanku, karena dalam dugaanku mereka pasti akan mencariku di sini.
Ketika aku sedang duduk menunggu, aku pun tertidur. Pada saat itu ada seorang sahabat Nabi bernama Shafwan bin Mu’atthal As-Sulami Adz-Dzakwani, bertugas sebagai orang yang memeriksa di belakang pasukan hingga kemalaman dan pada keesokan harinya ia berada di dekat persinggahanku. Lalu ia melihat warna kehitam-hitaman tampak seperti manusia yang sedang tidur dan ia pun menghampirinya (aku) dan langsung mengenalku di saat ia melihatku, dan itu sebelum diwajibkan hijab (tabir). Akupun terbangun karena ucapan “istirja’-nya di saat melihatku. (Istirja’ adalah ucapan: Inna lillahi wa inna ilaihi rajiu’un). Maka aku langsung menutup wajahku dengan jilbabku, demi Allah, ia tidak berbicara kepadaku dengan satu katapun, dan aku tidak mendengar satu kata pun selain istirja’-nya tadi. Lau ia turun dan mendudukkan untanya (supaya aku naik untanya). Maka aku naik ke untanya dan ia pun mengendalikannya, hingga kami dapat mengejar para pasukan setelah mereka singgah beristirahat (di suatu tempat).
Aisyah melanjutkan: Maka binasalah orang-orang yang terlibat dalam masalahku ini; dan tokoh yang menyebarluaskan dosa besar ini ada Abdullah bin Ubai bin Salul. Setibanya kami di Madinah aku jatuh sakit selama satu bulan karenanya (karena berita bohong itu), dan orang-orang banyak terlibat dalam hasutan para penyebar berita bohong itu, sedangkan aku tidak sadarkan diri dan makin membuatku tidak menentu di masa sakitku adalah bahwasanya aku tidak melihat lagi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kelembutan yang selama ini selalu aku melihatnya mana kala aku sedang sakit, dan beliau hanya memberikan salam bila masuk menjengukku lalu bertanya, “Bagaimana kamu”, lalu pergi. Itulah yang membuatku makin merasa bimbang.
Aku tidak merasakan adanya keburukan kecuali setelah aku sembuh dan masih dalam keadaan lemah. Aku keluar bersama Ummi Masthah menuju Manashi’, yaitu tempat kami buang air. Kami tidak keluar ke sana kecuali pada malam hari, dan itu sebelum kami menggunakan dinding pelindung (untuk buang air), karena kami sama seperti orang-orang Arab lainnya dalam hal buang air besar, yaitu membuang air besar di padang yang jauh (gha’ith). Kemudian, seusai buang hajat aku dan Ummi Masthah kembali dengan jalan kaki. (Ummi Masthah adalah putri Abu Dirham bin Abdil Mutthalib bin Abdi Manaf, sedangkan ibunya adalah anak dari Shakhar bin ‘Amir, bibinya Abu Bakar Siddik, putranya bernama Masthah bin Utsatsah). Tiba-tiba Ummi Masthah tersandung karena kainnya dan berkata, “Celaka Masthah!” Maka aku bertanya, “Alangkah buruknya apa yang kamu katakan! Apakah kamu mencela orang yang telah ikut dalam perang Badar?” Ia menjawab, “Wahai saudaraku, apakah kamu belum mendengar apa yang ia katakan?” Aku bertanya, “Apa yang telah ia katakan?” Lalu Ummi Masthah menceritakan kepadaku bahwa Masthah ikut membicarakan apa yang dibicarakan oleh para penyebar berita bohong itu. Maka aku pun bertambah sakit. Sekembalinya aku ke rumah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk menjengukku dan berkata, “Bagaimana kamu?” Aku berkata kepada beliau, “Izinkan aku datang kepada kedua ibu-bapakku.” Pada saat itu aku ingin mencek berita dari pihak mereka (orang tuaku). Maka Rasulullah mengizinkan dan akupun pergi menemui ibu dan ayahku. (Di rumah) aku bertanya kepada ibuku, “Wahai ibuku, apa yang sedang dibicarakan oleh banyak orang saat ini?” Ibu menjawab, “Wahai anakku, tahan dirimu atas peristiwa ini, karena demi Allah, jarang ada perempuan cantik yang mempunyai suami yang sangat mencintainya, sedangkan ia mempunyai banyak madu (istri-istri suami yang lain) melainkan mereka selalu memojokkannya.”
Aku berkata, “Maha suci Allah, sungguh manusia telah membicarakan masalah ini?” Maka aku pun menangis pada malam itu hingga pagi, air mata terus bercucuran tiada henti dan tidak dapat tidur. Pagi harinya pun aku tetap menangis.
Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah radhiyallahu ‘anhuma ketika wahyu belum kunjung turun untuk minta pendapat kepada mereka berdua tentang perpisahan beliau dengan istrinya.
Aisyah menceritakan: Adapun Usamah, menganjurkan sesuai dengan pengetahuannya akan kebersihan istrinya dan dengan dasar pengetahuannya bahwa Nabi sangat mencintai mereka, seraya berkata: “Mereka adalah keluargamu wahai Rasulullah, dan kami, demi Allah, tidak mengenal mereka kecuali sebagai orang-orang baik.”
Sedangkan Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Wahai Rasulullah, Allah tidak mempersulit dirimu, dan perempuan selain dia (Aisyah) masih sangat banyak. Engkau hanya minta carikan kepada salah seorang perempuan, niscaya ia mencarikannya.”
Aisyah melanjutkan: Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil Barirah seraya bersabda, “Wahai Barirah, apakah engkau melihat padanya (Aisyah) ada sesuatu yang meragukanmu?”
Barirah menjawab, “Tidak, demi Tuhan yang telah mengangkatmu dengan haq sebagai Nabi, jika engkau melihat darinya (Aisyah) sesuatu, maka campakkanlah kepadanya. Dia kan cuma seorang remaja belia yang masih di bawah umur, dan bisanya hanya tidur saja, lalu membiarkan hidangan keluarganya sehingga datang ayam memakannya.”
Aisyah menuturkan: Semenjak hari itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi dan meminta kerelaan orang-orang untuk menindak Abdullah bin Ubai bin Salul seraya bersabda sambil berdiri di atas mimbar, “Siapa yang mendukungku untuk menghukum orang yang telah menyakiti aku dengan mencemarkan keluargaku? Demi Allah, aku tidak mengenal keluargaku selain sebagai orang yang baik. Dan sesungguhnya mereka menyebutkan seseorang yang tidak aku ketahui kecuali sebagai orang baik, dan ia tidak pernah datang kepada keluargaku kecuali bersamaku.”
Lanjut Aisyah: Maka Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu berdiri seraya berkata, “Wahai Rasulullah, Aku, demi Allah, aku mendukungmu untuk menghukumnya. Kalau dia berasal dari suku Aus, maka kita penggal lehernya, dan kalau ia berasal dari saudara kami, suku Khazraj, maka kami tunggu apa perintahmu terhadapnya, niscaya kami lakukan.”
Kemudian Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu bangkit –dia adalah pemuka suku Khazraj dan merupakan seorang lelaki shalih, namun fanatisme kesukuannya sangat tinggi- seraya berkata kepada Sa’ad bin Mu’adz, “Tidak benar kamu! Demi Allah, kamu tidak boleh membunuhnya dan tidak akan mampu melakukannya.” Kemudian, Usaid bin Hudhair radhiyallahu ‘anhu (keponakan Sa’ad bin Mu’adz) berkata kepada Sa’ad bin Ubadah, “Kamu yang tidak benar! Demi Allah, kami pasti membunuhnya, kamu adalah orang munafik, karena membela orang-orang munafik.” Maka kedua suku Aus dan Khazraj ini pun naik darah, hingga hampir saja mereka berbunuhan. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih berada di atas mimbar dan melunakkan emosi mereka hingga akhirnya mereka diam dan kemudian beliau turun (dari mimbar).
Aku pada hari itu menangis tiada henti dan air mataku pun terus berlinang dan tidak merasakan tidur sedikit pun juga. Pada malam berikutnya pun aku masih terus menangis dengan air mata bercucuran dan tidak dapat tidur hingga pada keesokan harinya ayah dan ibuku mendampingiku. Sungguh, aku telah menangis dua malam satu hari hingga aku mengira bahwa tangisan itu akan membelah hatiku. Ketika ayah dan bundaku duduk di sisiku, sementara aku sedang menangis, seketika ada seorang perempuan dari kaum Anshar minta izin masuk, maka aku pun mengizinkannya. Lalu ia duduk sambil menangis bersamaku. Ketika kami dalam keadaan seperti itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk kepada kami lalu duduk, padahal ia tidak pernah duduk di sisiku semenjak hari disebarluaskannya berita bohong itu. Sudah sebulan lamanya beliau tidak menerima wahyu berkenaan dengan perihalku ini. Beliau ber-tasyahhud ketika duduk, lalu bersabda, “Sesungguhnya telah sampai berita kepadaku tentang kamu, bahwa begini dan begitu. Maka jika kamu benar-benar bersih dari tuduhan itu, niscaya Allah membebaskan kamu dari tuduhan. Dan jika kamu benar-benar telah melakukan dosa, maka minta ampunlah kamu kepada Allah dan bertobatlah kepada-Nya, karena sesungguhnya apabila seorang hamba mengakui dosanya lalu bertobat, niscaya Allah menerima tobatnya.”
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai mengutarakan ucapannya maka air mataku kering (berhenti) hingga aku tidak merasa ada setetes pun.
Kemudian aku berkata kepada ayahku, “Berbicaralah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewakiliku sebagai jawaban ucapannya.” Ayahku berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang akan aku katakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Lalu aku berkata kepada Ibuku, “Berbicaralah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewakiliku sebagai jawaban ucapannya.” Ibuku berkata, “Demi Allah, aku pun tidak tahu apa yang akan aku katakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Aisyah menuturkan: “Aku pada saat itu masih remaja belia, aku belum mempunyai banyak bacaan (hafalan) Al-Qur’an. Maka aku berkata (kepada Rasulullah), “Demi Allah, sesungguhnya aku telah mengetahui bahwa engkau telah mendengar pembicaraan yang sedang menjadi buah bibir banyak orang, dan itu telah tertancap di dalam dirimu, bahkan engkau mempercayainya. Jika aku katakan bahwa sesungguhnya aku bersih dari tuduhan itu, maka engkau tidak akan mempercayaiku. Dan jika aku mengakui kepadamu bahwa tuduhan itu benar, padahal Allah mengetahui bahwa tuduhan itu palsu dan aku bersih darinya, niscaya engkau mempercayaiku. Maka, demi Allah, Aku tidak menemukan perumpamaan lain bagiku dan bagimu selain Ayah Yusuf (Nabi Ya’qub) di mana ia berkata: “Maka Sabar itulah yang terbaik, dan Allah tempat aku meminta pertolongan terhadap apa yang kalian katakan.”
Kemudian aku pun pindah dan berbaring di tempat tidurku, dan pada saat itu, demi Allah, dia mengetahui bahwa aku bersih (dari tuduhan) dan Allah pasti akan menyatakan kebersihan dan kebebasanku. Namun, aku tidak mengira kalau Allah akan menurunkan wahyu yang selalu dibaca mengenai permasalahanku ini. Sebab bagiku, aku adalah sangat terlalu hina kalau Allah membicarakan aku melalui wahyu-Nya yang selalu dibaca. Yang aku harapkan pada saat itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bermimpi tentang aku suatu mimpi yang dengannya Allah membebaskanku dari tuduhan. Demi Allah, beliau tidak berpindah dari tempat duduknya dan tidak ada seorang pun dari keluargaku yang keluar melainkan Allah Subhaanahu Wata'ala menurunkan wahyu-Nya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan seperti biasanya, beliau menggigil dan seperti tidak sadarkan diri sambil tersenyum. Dan kata pertama yang beliau katakan kepadaku adalah, “Wahai Aisyah, memujilah kepada Allah Subhaanahu Wata'ala karena Dia telah menyatakan kebebasanmu.” Lalu ibuku berkata kepadaku, “Datangilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam! Maka aku jawab, “Demi Allah, aku tidak akan datang kepada beliau dan tidak akan memuji kecuali hanya kepada Allah Subhaanahu Wata'ala semata, sebab Dialah yang tekah menurunkan (wahyu) kebebasanku dari tuduhan.”
Pada saat itu Allah menurunkan firman-Nya:=
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga…” (Dan ayat-ayat lanjutannya).
Lalu setelah ayat tentang pembebasanku ini diturunkan Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu yang sebelumnya selalu memberi nafkah kepada Misthah bin Utsatsah karena hubungan kerabat dekat dan kefakirannya, ia berkata: “Demi Allah, aku tidak akan memberinya nafkah lagi selama-lamanya, karena ia turut serta menyebarkan berita bohong yang dituduhkan terhadap Aisyah radhiyallahu ‘anha.” Maka kemudian Allah menurunkan ayat:
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nur: 22).
Maka setelah itu Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah, aku benar-benar sangat suka kalau Allah mengampuni aku.” Maka ia pun kembali memberi nafkah kepada Misthah sebagaimana biasanya, bahkan beliau berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mencabut (pemberian nafkah ini) darinya selama-lamanya.”
Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menanyakan tentang aku kepada Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha seraya berabda, “Wahai Zainab, apa yang engkau ketahui (tentang Aisyah) dan apa yang telah kamu lihat.” Zainab menjawab, “Ya Rasulullah, aku selalu memelihara pendengaran dan mataku, demi Allah, aku tidak mengetahui tentang dia kecuali baik-baik saja.”
Dialah (Zainab) di antara istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang selalu menyaingi aku, dan Allah melindunginya dengan ke-wara’annya.
Aisyah juga menuturkan, “Namun saudara perempuannya selalu melancarkan serangan terhadapnya, maka dari itu ia binasa (mendapat hukuman) bersama-sama para penyebar berita bohong itu.”
Itulah kisah tentang berita bohong sebagaimana diceritakan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha suatu cerita sejarah yang membicarakan penderitaan dan kepedihan hati yang menimpa seorang manusia disebabkan tuduhan yang ditimpakan terhadapnya, padahal ia bersih dari tuduhan itu. Kisah di atas menjelaskan betapa dahsyatnya pengaruh atau akibat buruk yang timbul dari tindakan pencemaran harga diri, kehormatan dan nama baik. Dan dari sini kita dapat mengetahui betapa pentingnya hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah Subhaanahu Wata'ala terhadap siapa saja yang telah memperpanjang lidahnya untuk melontarkan tuduhan keji, pencemaran kehormatan terhadap orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar