assalaamu’alaikum wr. wb.
Pekerja seks komersial, disingkat PSK; itulah nama yang digunakan di media-media massa untuk menyebut mereka. Entah siapa sebenarnya yang pertama kali menggunakan istilah ini, namun yang jelas, nampaknya semua media sudah bersepakat (atau berkonspirasi?) untuk menggunakannya secara konsisten.
Pekerja, sebuah istilah yang sangat bagus.
Islam sangat menyukai kerja, apalagi kerja dalam rangka mencari nafkah. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari mengatakan bahwa tiada makanan yang lebih baik daripada yang merupakan hasil usaha tangan sendiri. Sebuah hadits lainnya mengatakan bahwa orang yang merasa kelelahan karena mencari nafkah akan disenangi Allah, bahkan dosa-dosanya di malam itu (yaitu malam ketika ia merasa kelelahan setelah bekerja seharian) akan diampuni. Ada juga hadits yang mengatakan bahwa diantara dosa-dosa yang tak bisa dihapus dengan pahala shalat, sedekah dan haji, ada yang bisa ditebus dengan kepayahan mencari nafkah.
Seks, sebuah istilah yang juga mengundang banyak perhatian dalam agama Islam. Berlainan dengan beberapa agama lainnya, Islam tidak memandang seks sebagai sesuatu yang buruk. Islam menetapkan pahala bagi hubungan seks antara suami-istri. Rasulullah saw. bersabda, jika menyalurkan hasrat seksual di jalan yang haram maka pasti berdosa. Sebaliknya, jika menyalurkannya di jalan yang benar tentu berpahala.
Komersial, sebuah istilah yang selalu berkaitan dengan perniagaan. Tidak ada salahnya berdagang dan mencari keuntungan, bahkan hal tersebut dicontohkan oleh Rasulullah saw. Kemandirian finansial adalah hal yang sangat penting bagi seorang Muslim. Islam juga sangat memperhatikan pentingnya kejujuran dan keridhaan dalam setiap transaksi jual-beli.
Jadi mengapa ketiga istilah yang sejatinya membicarakan hal-hal yang sangat ‘Islami’ ini kemudian diperkosa sedemikian rupa sehingga kombinasinya menghasilkan sebuah frase yang menggantikan kata “pelacur”? Tak berhenti sampai di situ, muncul pula istilah baru lain, demi membela harkat dan martabat para pelacur, yaitu: kupu-kupu malam. Kupu-kupu; hewan cantik yang hidupnya hinggap dari bunga ke bunga, yang melakukan puasa (saya tidak gunakan istilah shaum di sini untuk membedakannya dengan ibadah umat Muslim) untuk mengubah diri dari ulat yang buruk menjadi kupu-kupu yang manis. Malam; waktu-waktu strategis yang digunakan untuk beristirahatnya manusia, bahkan fungsinya ini pun disebut-sebut dalam Al-Qur’an. Apa dosa kupu-kupu dan malam sehingga mereka dikombinasikan untuk menghasilkan makna “pelacur”?
Keberpihakan manusia pada para pelacur memang luar biasa. Mungkin karena banyak yang percaya pada sebuah anekdot sarkastis yang mengatakan bahwa pelacur adalah profesi yang paling tua di dunia. Entah dari mana mereka mendapatkan data untuk mendukung hipotesis ini. Yang jelas, pembelaan media terhadap pelacur nampaknya memang jauh lebih hebat daripada pembelaannya terhadap para ulama atau MUI. Sebagian aktifis Islam yang menuntut ditegakkannya syariat Islam diberi label ‘preman berjubah’, sedangkan para pelacur nista disanjung sebagai ‘pekerja seks komersial’. Mesti kita beri nama apakah para insan pers yang merekayasa peristilahan dalam bahasa Indonesia ini?
Masyarakat marah pada para pelacur. Anak-anak mereka, suami-suami mereka, dan ayah-ayah mereka jadi tak bermoral gara-gara pelacuran. Yang melacur pun tak lain adalah anak-anak gadis mereka, kakak-adik perempuan mereka, dan barangkali juga istri-istri dan ibu-ibu mereka juga. Pemerintah yang menjunjung tinggi ‘kepentingan semua orang’ (termasuk kehendak para germo dan pelacur juga) kemudian mengajukan solusi: lokalisasi saja semua pelacur itu! Supaya tidak memberi ekses negatif pada masyarakat, para pelacur pun dibikinkan kompleknya sendiri untuk bernista-ria bersama para pelanggannya. Tapi para pelacur lebih pintar daripada pemerintah. Untuk memangkas biaya, lokalisasi tidak hanya jadi tempat bekerja, tapi juga jadi tempat tinggal mereka. Dan karena hukum ekonomi supply and demand, karena lokalisasi ramai dengan pengunjung, maka banyak yang melihatnya sebagai peluang bisnis. Jualan makanan kecil, minuman ringan, atau buka warung, pasti laku. Maka para pedagang pun berdatangan dan secara tidak langsung ikut menikmati bisnis pelacuran ini. Karena pedagang pun ingin memangkas biaya, maka mereka pun tinggal di lokalisasi itu. Para pelacur dan pedagang lebih pintar daripada pemerintah. Alih-alih menjauhkan pelacuran dari komunitas masyarakat, lokalisasi malah menciptakan masyarakatnya sendiri. Siklus beralih kembali, sehingga anak-anak mereka, suami-suami mereka, ayah-ayah mereka kembali jadi pelanggan para pelacur, sedangkan anak-anak perempuan mereka, kakak-adik perempuan mereka, istri-istri mereka dan ibu-ibu mereka pun menjadi pelacur pula. Generasi apa yang bisa kita harapkan lahir dari sebuah komplek yang didominasi oleh para pelacur?
Setelah berhasil menguasai komplek lokalisasi, menyedot perhatian masyarakat yang dulu meminggirkannya, dan mendapatkan pembelaan dari media massa, para pelacur pun sudah berani untuk mendeklarasikan keinginannya untuk mendominasi DPRD. Di Kabupaten Blitar, para pelacur sudah mengancam akan berdemo telanjang kalau Pemkab meneruskan niatnya untuk menutup tiga buah lokalisasi di kabupaten itu (ya, ada tiga!). “Kami ini juga manusia yang butuh pekerjaan untuk menghidupi keluarga!” kata salah seorang dari mereka. “Pemerintah harus manusiawi!” kata salah seorang aktifis yang membela mereka. “Dari parkir saja, lokalisasi menyumbang dana 1,5 juta rupiah per bulan!” begitu kata koordinator salah satu lokalisasi.
Para pelacur memang luar biasa. Kebobrokan moral bisa mereka tutupi dengan isu-isu kemanusiaan. Segalanya dikonversi dalam satuan rupiah, sehingga nampak seolah-olah mereka adalah semacam ‘pahlawan devisa’ bagi pemerintah. Tapi tak ada yang menghitung berapa banyak keluarga yang hancur berantakan gara-gara pelacuran, berapa banyak anak yang rusak moralnya karena lahir dan besar di lokalisasi, dan berapa orang yang terjangkit HIV/AIDS per tahunnya. Konspirasi yang mereka galang nyaris sempurna. Nyaris, karena nampaknya masih ada DPRD yang tak tersentuh. Jangan heran kalau di pemilu-pemilu mendatang ada caleg yang terang-terangan mengaku dulunya berprofesi sebagai pelacur, atau dengan berapi-api menyatakan akan membela hak-hak para pelacur. Ah, kenapa tidak sekalian saja bikin partai? Partai Pelacur?
Ah, tapi para pelacur tak suka disebut pelacur. Barangkali dalam waktu dekat ini, para penulis Kamus Besar Bahasa Indonesia pun akan dituntut untuk menghilangkan kata pelacur dari kosa kata bangsa Indonesia, selamanya!
wassalaamu’alaikum wr. wb.
Oleh : Akmal Sjafril
http://www.edumuslim.org/index.php?option=article&article_rf=171
Tidak ada komentar:
Posting Komentar