Pada suatu hari serombongan fakir miskin dari sahabat Muhajirin datang mengeluh kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong semua pahala hingga tingkat yang paling tinggi.”
Nabi SAW bertanya, “Mengapa engkau berkata demikian?” Mereka menjawab, “Mereka shalat sebagaimana kami shalat, merekapu puasa sebagaimana kami puasa, mereka bersedekah sedangkan kami tidak bersedekah, dan mereka memerdekakan udak sedangkan kami tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya>”
Setelah mendenar keluhan orang fakir tadi, Rasulullah lalu bersabda, “Sukakah aku ajarkan kepadamu amal perbuatan yang dapat mengejar mereka dan tidak seorangpun yang lebih utama dari kamu, kecuali yang berbuat seperti perbuatanmu?” Dengan antusias mereka menjawab “Baiklah ya Rasulullah.” Kemudian Nabi SAW bersabda “Bacalah subhanallah, Allahu akbar, dan alhamdulillah setiap selesai shalat masing-masing 33 kali,”
setelah menerima wasiat Rasulullah, mereka pun pulang ke rumah masing-masing untuk mengamalkannya. Tidak lama berselang, para fakir miskin itu kembali mengeluh kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, saudara-saudara kami orang kaya mendengar perbuatan kami lalu mereka beruat sebagaimana perbuatan kami.”
maka nabi SAW bersabda, “Karunia Allah SWT diberikan kepada siapa saja yang ia kehendaki” (HR Bukhari).
Perilaku si miskin dan si kaya yang kita dapati dalam hadis di atas sama-sama mulia. Keduanya memiliki sifat yang begitu mulia, saling berlomba dalam setiap kebaikan.
Si kaya yang beruntung dengan dikarunia limpahan rezeki tidak menjadikannya bak si Qorun yang pongah dan bakhil. Ia sadar betul bahwa semua itu hanyalah titipan dari Allah SWT yang mesti dipergunakan di jalan yang semata-mata hanya untuk mencari keridhaanNya. Kekayaan tidak menjadikannya lupa daratan, namun menyadarkannya untuk lebih bederma karena di dalamnya begitu banyak hak orang lain yang mesti ditunaikan.
Begitu pula dengan potret si miskin yang tidak mau kalah beramal, ia selalu mencari solusi untuk bersaing dengan sehat untuk mencari keunggulan dalam beribadah, sadar akan ketidakberuntungan materi tidak menjadikannya patah arang untuk memberikan pengabdian terbaik bagi Allah SWT.
Menjadi kaya atau miskin tentu membutuhkan mental untuk menerima kenyataan. Namun, yang terpenting adalah kesiapan mempersembahkan yang terbaik bagi Allah SWT setelah diberi ketentuan satu di antara keduanya. Dengan begitu, ia akan menjadi pribadi yang bahagia dan mulia.
Oleh : Rita Zahara Nurliyah
http://hikmah08.multiply.com/journal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar