Dikisahkan,
pada malam-malam yang sepi dan hening seiring dalam dinginnya kota Madinah yang
menusuk tulang — Nabi Muhammad SAW berdiri berjam-jam, menengadahkan tangan,
rukuk, khusuk, dan bersujud lama sekali di hadapan ”Kekasih”-nya,
Allah SWT. Akibatnya, bukan cuma mata Beliau yang memerah, tapi kakinya pun
bengkak.
Aisyah,
istri Beliau, menyoal, buat apa semua itu. ”Bukankah Anda seorang yang
ma’shum, yang sudah diampuni dosanya?” tanya Aisyah.
Nabi
menjawab singkat: Afalam akuunu abdan syakura…. Tidak bolehkah
aku menjadi hamba yang bersyukur ?
Apa
yang dilakukan Nabi SAW tersebut jelas merupakan contoh ibadah yang ideal.
Ibadah yang didasarkan pada rasa cinta dan keikhlasan seorang hamba kepada
penciptanya. Bukan amal karena ingin balasan surga, karena ibadah jenis itu
adalah ibadahnya pedagang yang selalu berhitung ”untung-rugi”. Bukan pula
karena takut Neraka, karena ibadah model ini, menurut Imam Ali bin Abi Thalib
adalah ibadahnya budak. Ibadah Nabi SAW adalah ibadah karena cinta. Ibadah yang
benar-benar ikhlas. Ibadah seorang yang bebas merdeka, bukan budak yang takut
dipecat majikannya.
Beramal
demi sebuah ganjaran, sebetulnya adalah ibadah untuk diri kita sendiri. Untuk
ego kita. Oleh sebab itu, jika kita mengharap pahala — dari amal ibadah yang
kita lakukan — dengan sendirinya pahala itu untuk kepentingan kita. Padahal
ibadah yang ikhlas itu untuk Allah semata, bukan untuk ego kita.
Begitu
pula sebaliknya: menghindari yang haram karena takut neraka, tidaklah seikhlas
yang menghindarinya karena mencari ridha Allah. Seorang anak yang ikhlas
meladeni ayahnya, melakukan hal itu bukan karena takut dipukul sang ayah atau
supaya diberi uang, melainkan karena cinta pada orangtua. Kita, barangkali akan
merasa sulit mengikuti ibadah yang dilakukan oleh Nabi SAW. Meminjam istilah
Al-Ghazali, kita masih tergolong manusia dalam tahap ‘awam’ sementara masih ada
tahap khusus dan tahap khususnya khusus, khuwash-al-khawash. Seperti piramid,
makin tinggi tahapan itu, makin sedikit jumlah manusianya.
Kendati
begitu, kita barangkali masih tergolong ikhlas, kalau kita, misalnya, berderma
untuk menghindari musibah. Karena itu juga perintah Allah. Tapi ini tergolong
ikhlasnya awam, sebab kita baru mau bersedekah karena janji ganjaran yang
berlipat ganda atau agar terhindar dari musibah dan marabahaya. Tentu saja
orang mesti berusaha setahap demi setahap mencari tingkatan yang lebih tinggi,
hingga tiba di tahap khawash-al-khawash. Kita harus selalu berusaha
meningkatkan amal ibadah dari hari ke hari dan dari waktu ke waktu, hingga
menjadi sempurna seperti yang dilakukan oleh panutan kita Nabi SAW. Bukankah
berusaha meneladani Beliau sudah merupakan ibadah? (ah)
http://kajianislam.wordpress.com/2009/11/23/hakikat-ibadah/
*****************
Catatan
:
Secara
umum ibadah dapat dibagi dalam 2 macam, yaitu :
1. Ibadah formal (maqhdoh/ritual/resmi)
Ketika
Allah menetapkan sebuah ibadah formal/ritual, prinsip yang harus dipahami
adalah bahwa yang namanya ritual lebih merupakan sebuah
upacara/formalitas/birokrasi yang terkadang tidak dijelaskan apa, kenapa dan
bagaimana harus seperti itu. Oleh karena itulah kenapa Allah SWT menurunkan
seorang nabi untuk memberikan contoh sebuah ibadah formal, baik dalam hal
gerakan, perbuatan ataupun teknik-teknik yang lain, yang bisa langsung ditiru
begitu saja tanpa harus diungkapkan alasan-alasannya. Sebagaimana Rosulullah
menyebutkan “Sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sholat”. Jadi, yang
menjadi panutan dalam sebuah ibadah formal adalah seorang manusia, yaitu tidak
lain adalah Rasulullah.
Jikalau
terdapat orang yang bertanya kenapa sholat musti gerakan-nya seperti rukuk
sujud dan lain sebagainya, berarti orang tersebut sebenarnya tidak mempunyai
iman kepada Rosul, karena dia menggunakan akal atau logika dalam kaitan-nya
ibadah ritual. Boleh saja dalam ibadah menggunakan logika atau akal, selama
bukan untuk ibadah ritual.
Ibadah
ritual tidak menggunakan metodologi akal atau analisa, namun menggunakan
metodologi apa yang dilihat dan apa yang dilakukan oleh Rosulullah. Maka dalam
sholat tidak pernah Rosulullah menjelaskan hubungan/kaitan sholat dengan
kesehatan. Jikalau ternyata ada hubungan-nya, pasti ada ayat yg menjelaskan hal
tersebut. Bahwa tujuan sholat pada dasarnya bukan untuk kesehatan, namun tidak
lain adalah untuk menjalankan perintah Allah SWT, dan bukti bahwa hamba
tersebut bertaqwa kepada Allah SWT.
2.
Ibadah non formal (umum/muamalah/sosial)
Ibadah
ini menggunakan logika, akal, nalar serta alasan. Prinsipnya adalah Allah SWT
menciptakan alam untuk manusia, silahkan dieksplorasi manfaatnya untuk
kepentingan dunia maupun akhirat, asalkan jangan melanggar apa yang sudah Allah
SWT tentukan. Prinsip ibadah muamalah adalah jika apa yang bermanfaat
silahkan dikerjakan tanpa harus ada contohnya, asalkan bermanfaat buat diri
sendiri atau bermanfaat buat orang lain, asal tidak melanggar ketentuan Allah
SWT.
Ibadah
sholat di jaman Rosulullah tidak ada yang meributkan perihal tata cara sholat,
yang diributkan bukanlah gerakan sholat,namun apakah ibadah tersebut mempunyai
pengaruh dalam kehidupan sehari-hari yang bermafaat bagi dirinya maupun untuk
orang lain.
Sholat
bisa jadi merupakan sebuah hiburan bagi Rasulullah. Jika Rasulullah lagi gundah
ataupun teringat-ingat terhadap sebuah kenangan maka beliau memanggil Bilal
untuk adzan dan kemudian sholat berjamaah. Dan dalam sholat-nya Rasulullah
terkadang menangis. Tangisan tersebut adalah karena mengerti, faham dan
menghayati arti ayat-ayat yang dibacakan. Sehingga kenikmatan ibadah tidak lain
adalah inti dari sebuah sholat.
Kekhusyukan
dalam ibadah sebenarnya adalah sadar apa yang sedang dikerjakannya. Orang yg
paling khusyuk adalah Rasulullah. Rasulullah ketika sedang sholat, sadar dan
mengetahui kondisi sekelilingnya. Ketika beliau sedang sholat berjamaah,
terdengar suara tangisan bayi, maka beliau mempercepat sholat-nya. Termasuk
ketika ada orang yg lewat, dicegahlah orang tersebut agar tidak lewat depan
sholat-nya beliau. Sholat pada dasarnya memahami apa yang sedang dikerjakan,
baik lisannya maupun gerakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar