BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan sumber hukum dalam Islam.
Kata sumber dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an maupun sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba hukum syara’, tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma’ dan qiyas karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat dotimba norma hukum. Ijma’ dan qiyas juga termasuk cara dalam menemukan hukum. Sedangkan dalil adalah bukti yang melengkapi atau memberi petunjuk dalam Al-Qur’an untuk menemukan hukum Allah, yaitu larangan atau perintah Allah.
Apabila terdapat suatu kejadian, maka pertama kali yang harus dicari sumber hukum dalam Al-Qur’an seperti macam-macam hukum di bawah ini yang terkandung dalam Al-Qur’an, yaitu:
1. Hukum-hukum akidah (keimanan) yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus dipercaya oleh setiap mukallaf mengenai malaikatNya, kitabNya, para rasulNya, dan hari kemudian (Doktrin Aqoid).
2. Hukum-hukum Allah yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus dijadikan perhiasan oleh setiap mukallaf berupa hal-hal keutamaan dan menghindarkan diri dari hal kehinaan (Doktrin Akhlak).
3. Hukum-hukum amaliah yang bersangkut paut dengan tindakan setiap mukallaf, meliputi masalahucapan perbuatan akad (Contract) dan pembelanjaan pengelolaan harta benda, ibadah, muamalah dan lain-lain.
Untuk mengetahui lebih jauh penulis mencoba membahasnya dengan sebuah makalah yang berjudul “AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM FIQIH”.
BAB II
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM FIQIH
Atas dasar bahwa hukum syara’ itu adalah kehendak Allah tentang tingkah laku manusia mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum (law gider) adalah Allah SWT. KetentuanNya terdapat dalam kumpulan wahyunya yang disebut Al Qur’an. Dengan demikian ditetapkan bahwa Al Qur’an itu sumber utama bagi hukum Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqih. Al-Qur’an itu membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.
Karena kedudukan Al-Qur’an itu sebagai sumber utama dan pertama bagi penempatan hukum, maka bila seseorang ingin menemukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan pertama yang harus ia lakukan adalah mencari jawab penyelesaiannya dari Al-Qur’an. Selama hukumnya dapat diselesaikan dengan Al-Qur’an, maka ia tidak boleh mencari jawaban lain di luar Al-Qur’an.
Selain itu, sesuai dengan kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber utama atau pokok hukum Islam, berarti al-Quran itu menjadi sumber dari segala sumber hukum. Karena itu juka akan menggunakan sumber hukum lain di luar Al-Qur’an, maka harus sesuai dengan petujuk Al-Qur’an dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur’an. Hal ini berarti bahwa sumber hukum selain Al-Qur’an tidak boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan Al-Qur’an.
Kekuatan hujjah Al-Qur’an sebagai sumber dan dalil hukum fiqh terkandung dalam ayat al-qur’an yang menyuruh umat manusia mematuhi Allah. Hal ini disebutkan lebih dari 30 kali dalam Al-Qur’an. Perintah mematuhi Allah itu berarti mengikuti apa-apa yang difirmankanNya dalam Al-Qur’an.
1. Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologis Al-Qur’an adalah bentuk mashdar dari kara qara-a (قرأ ) sewazan dengan kata fu’laan (فعلان ), artinya; bacaan, berbicara tentang apa yang ditulis padanya; atau melihat dan menelaah. Dalam pengertian ini, kata قرأن berarti مقروء, yaitu isim maf’ul (objek) dari قرأ. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Qiyamah (75) : 17-18.
إنّ علينا جمعه وقرانه . فإذا قرأنه فاتّبع قرانه (القيامة: 17-18)
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya apabila kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaan itu”.
Kata Qur’an digunakan dalam arti sebagai nama kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Bila dilafazkan dengan menggunakan alif-lam yang berarti untuk keseluruhan apa yang dimaksud dengan Qur’an sebagimana firman Allah dalam surat al-Isra 17 : 9 :
إنّ هذا القران يهدي للتي هي أقوم. (الإسراء: 9 )
“Sesungguhnya atas tanggungan kami menyampaikannya dan membacanya apabila kami selesai membacanya maka ikutilah membacanya”.
Al-Qur’an disebut juga al kitab sebagaimana tersebut dalam surah al-Baqarah.
ذلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتّقين. (البقرة: 2)
“Kitab al-qur’ an itu tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.
Kitab Al-Qur’an secara terminologis ditemukan dalam beberapa rumusan defenisi sebagai berikut:
1. Menurut Syaltut, Al-Qur’an adalah lafaz Arabi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dinukilkan kepada kita secara mutawatir.
2. Al-Syaukani mengartikan Al-Qur’an dengan : kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis dalam mushhaf, dinukilkan secara mutawatir.
3. Defenisi Al-Qur’an yang dikemukakan Abu Zahrah ialah : kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
4. Menurut al-Sarkhisi, Al-Qur’an adalah : kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., ditulis dalam mushhaf, diturunkan dengan huruf yang tujuh yang masyhur dan dinulikan secara mutawatir.
5. Al-Amidi memberikan ta’rif Al-Qur’an : al-kitab adalah Al-Qur’an yang diturunkan.
6. Ibn Subki mendefenisikan Al-Qur’an : lafaz yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. mengandung mu’jizat setiap suratnya, yang beribadah membacanya.
Dengan menganalisis unsur-unsur setiap defenisi di atas dan membandingkan antara satu defenisi dengan lainnya, dapat ditarik suatu rumusan mengenai defenisi Al-Qur’an, yaitu lafaz berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang dinukilkan secara mutawatir.
Defenisi ini mengandung beberapa unsur yang menjelaskan hakikat Al-Qur’an, yaitu:
1. Al-Qur’an itu berbentuk lafaz. Ini mengandung arti bahwa apa yang disampaikan Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk makna dan dilafazkan Nabi dengan ibaratnya sendiri tidaklah disebut Al-Qur’an. Umpamanya hadits qudsi atau hadits qauli lainnya, karenanya tidak ada ulama yang mengharuskan berwudhu jika hendak membacanya.
2. Al-Qur’an itu adalah berbahasa Arab. Ini mengandung arti bahwa Al-Qur’an yang dialih bahasakan kepada bahasa lain atau yang diibaratkan dengan bahasa lain bukanlah Al-Qur’an, karenanya salat yang menggunakan terjemahan Al-Qur’an, tidak sah.
3. Al-Qur’an itu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ini mengandung arti bahwa wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi-nabi terdahulu tidaklah disebut Al-Qur’an, tetapi yang dihikayatkan dalam Al-Qur’an tentang kehidupan dan syariat yang berlaku bagi umat terdahulu adalah Al-Qur’an.
4. Al-Qur’an itu dinukilkan secara mutawatir. Ini mengandung arti bahwa ayat-ayat yang tidak dinukilkan dalam bentuk mutawatir bukanlah Al-Qur’an. Karenanya ayat-ayat shazzah atau yang tidak mutawatir penukilannya tidak dapat dijadikan hujjah dalam istimbath hukum.
Disamping 4 unsur pokok tersebut, ada beberapa unsur sebagai penjelasan tambahan yang ditemukan dalam sebagian dari beberapa defenisi Al-Qur’an di atas, yaitu:
a. Kata-kata “mengandung mu’jizat setiap suratnya”, memberi penjelasan bahwa setiap ayat Al-Qur’an mengandung daya mu’jizat. Oleh karena itu hadits tidak mengandung daya mu’jizat.
b. Kata-kata “beribadah membacanya”, memberi penjelasan bahwa dengan membaca Al-Qur’an berarti melakukan suatu perbuatan ibadah yang berhak mendapat pahala. Karenanya membaca hadits qudsi yang tidak mengandung daya ibadah seperti Al-Qur’an, tidak dapat disebut Al-Qur’an.
c. Kata-kata tertulis dalam mushhaf (dalam defenisi Syaukani dan Sarkhisi), mengandung arti bahwa apa-apa yang tidak tertulis dalam mushhaf walaupun wahyu itu diturunkan kepada Nabi, umpamanya ayat-ayat yang telah dinasakhkan, tidak lagi disebut Al-Qur’an.
2. Fungsi dan Tujuan Turunnya Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umat manusia bagi kemaslahatan mereka, khususnya umat mukminin yang percaya akan kebenarannya. Kemaslahatan itu dapat berbentuk mendatangkan manfaat atau keberuntungan, maupun dalam bentuk melepaskan manusia dari kemudaratan atau kecelakaan yang akan menimpanya.
Bila ditelusuri ayat-ayat yang menjelaskan fungsi turunnya al-Qur’an kepada umat manusia, terlihat dalam beberapa bentuk ungkapan yang diantaranya adalah:
1. Sebagai hudan (هدى ) atau petunjuk bagi kehidupan umat. Fungsi hudan ini banyak sekali terdapat dalam al-Qur’an, lebih dari 79 ayat, umpamanya pada surat al-Baqarah (2): 2:
ذلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتّقين . (البقرة)
“Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.
2. Sebagai rahmat (رحمة) atau keberuntungan yang diberikan Allah dalam bentuk kasih sayangnya. Al-Qur’an sebagai rahmat untuk umat manusia ini, tidak kurang dari 15 kali disebutkan dalam al-Qur’an, umpamanya pada surat Luqman (31): 2-3:
تلك ايات الكتاب الحكيم هدى ورحمة للمحسنين (لقمان:3).
“Inilah ayat al-Qur’an yang mengandung rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan”.
3. Sebagai Furqan (فرقان ) yaitu pembeda antara yang baik dengan yang buruk; yang halal dengan yang haram; yang salah dan yang benar; yang indah dan yang jelek; yang dapat dilakukan dan yang terlarang untuk dilakukan. Fungsi al-Qur’an sebagai alat pemisah ini terdapat dalam 7 ayat al-Qur’an. Umpamanya pada surat al-Baqarah (2): 185:
شهر رمضان الذي أنزل فيه القران هدى للناس وبيّنات من الهدى والفرقان.(البقرة:185)
“Bulan Ramadhan bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembela (antara yang hak dan yang bathil).
4. Sebagai mau’izhah (موعظة) atau pengajaran yang akan mengajar dan membimbing umat dalam kehidupannya untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Fungsi mau’izhah ini terdapat setidaknya dalam 5 ayat al-Qur’an. Umpamanya pada surat al-A’raf (7): 145:
وكتبنا له فى الألواح من كلّ شيء موعظة (الأعراف:145).
“Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada lul-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu”.
5. Sebagai busyra (بشرى) yaitu berita gembira bagi orang yang telah berbuat baik kepada Allah dan sesama manusia. Fungsi busyra itu terdapat dalam sekitar 8 ayat al-Qur’an, seperti pada surat al-Naml (27):1-2:
طس* تلك ايات القران وكتاب مبين هدى وبشرى للمؤمنين (النمل:1-2).
“Tha-siin. (Surat) ini adalah ayat-ayat al-Qur’an, dan (ayat-ayat) Kitab yang menjelaskan, untuk menjadi petunjuk dan berita gembira untuk orang-orang yang beriman”.
3. Ibarat Al-Qur’an dalam Menetapkan Hukum
Al-Qur’an bukanlah kitab undang-undang yang menggunakan ibarat tertentu dalam menjelaskan hukum. Al-Qur’an adalah sumber hidayah yang didalamnya terkandung norma dan kaidah yang dapat diformulasikan dalam bentuk hukum dan undang-undang.
Dalam menjelaskan hukum, al-Qur’an menggunakan beberapa cara dan ibarat, yaitu dalam bentuk tuntutan, baik tuntutan untuk berbuat yang disebut suruhan atau perintah, atau tuntutan untuk meninggalkan yang disebut larangan.
Suruhan atau perintah menunjukkan keharusan untuk berbuat seperti keharusan melaksanakan shalat dengan perintah Allah dalam surat An-Nisa (4): 77:
اقيموا الصلوة
“Laksanakanlah shalat”.
Larangan menunjukkan keharusan meninggalkan perbuatan yang dilarang, seperti larangan membunuh dalam firman Allah :
ولا تقتلوا النّفس الّتي حرّم الله إلا بالحق.
“Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharmkan Allah kecuali dengan hak”. (al-An’am (6): 151).
Perintah dalam al-Qur’an yang menunjukkan keharusan berbuat, disamping menggunakan kalimat suruhan, kadangkala dinyatakan dengan cara mengemukakan janji mendapat kebaikan, pujian atau pahala bagi yang melakukan suatu perbuatan. Umpamanya perintah untuk taat kepada Allah dan Rasulnya:
ومن يطع الله ورسوله يدخله جنّت.
“Siapa yang taat kepada Allah dan Rasul ia akan dimasukkan ke dalam surga”. (an-Nisa (4) : 13).
Bentuk perintah dalam al-Qur’an yang menunjukkan keharusan menjauhi suatu perbuatan, di samping menggunakan kata larangan, juga sering menggunakan cara dengan memberikan ancaman bagi pelaku suatu perbuatan; seperti keharusan meninggalkan pencurian:
والسارق والسارقة فاقطعوا ايديهما.
“ Pencuri laki-laki dan perempuan potonglah tangan keduanya”. (al-Maidah (5):58).
4. Penjelasan al-Qur’an terhadap Hukum
Ayat-ayat al-Qur’an dari segi kejelasan artinya ada dua macam. Keduanya dijelaskan Allah dalam al-Qur’an surat Ali Imram (3):7, yaitu: secara muhkam dan mutasyabih.
هو الذي انزل عليك الكتاب منه ايت محكمت هنّ امّ الكتاب واخر متشبهت.
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Diantara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat”.
1. Ayat muhkam adalah ayat yang jelas maknanya, tersingkap secara terang, sehingga menghindarkan keraguan dalam mengartikannya dan menghilangkan adanya beberapa kemungkinan pemahaman.
2. Ayat mutasyabih adalah kebalikan dari yang muhkam, yaitu ayat yang tidak pasti arti dan maknanya, sehingga dapat dipahami dengan beberapa kemungkinan.
Adanya beberapa kemungkinan pemahaman itu dapat disebabkan oleh dua hal:
a. Lafaz itu dapat digunakan untuk dua maksud dengan pemahaman yang sama. Umpamanya kata quru’ (قروء) dalam firman Allah pada surat al-Baqarah (2):228 yang berarti suci atau haid. Kata ‘uqdat al-nikah (عقدة النكاح) dalam firman Allah pada surat al-Baqarah (2): 237 mengandung arti wali atau isteri. Kata-kata لمستم dalam firman Allah pada surat an-Nisa (4):43 dapat berarti “bersentuh kulit” dan dapat pula berarti “bersetubuh”.
b. Lafaz yang menggunakan nama atau kiasan yang menurut lahirnya mendatangkan keraguan. Keraguan ini disebabkan penggunaan sifat yang ada pada manusia untuk Allah SWT, padahal Allah SWT tidak sama dengan makhluk-Nya. Umpamanya penggunaan kata “wajah” atau “muka” untuk Allah (al-Rahman (55):27) dan penggunaan kata “bersemayam” untuk Allah (Yunus (10):3).
Ulama yang menolak bentuk ungkapan yang mengandung arti penyamaan Tuhan dengan manusia, berusaha menta’wilkan atau mengalihkan arti lahir dari ayat mutasyabihat tersebut kepada arti lain, seperti kata “Wajah Allah” diartikan “Dzat Allah” dan “Allah bersemayam” diartikan “Allah berkuasa”. Sedangkan ulama yang tidak mau menggunakan ta’wil, tetap mengartikan ayat mutasyabihat itu menurut apa adanya.
Dari segi penjelasannya terhadap hukum, ada beberapa cara yang digunakan al-Qur’an, yaitu:
1. Secara Juz’i (terperinci). Maksudnya, al-Qur’an menjelaskan secara terperinci. Allah dalam al-Qur’an memberikan penjelasan secara lengkap, sehingga dapat dilaksanakan menurut apa adanya, meskipun tidak dijelaskan Nabi dengan sunnahnya. Umpamanya ayat-ayat tentang kewarisan yang terdapat dalam surat an-Nisa (4):11 dan 12. Tentang sanksi terhadap kejahatan zina dalam surat an-Nur (24):4. Penjelasan yang terperinci dalam ayat seperti di atas, sudah terang maksudnya dan tidak memberikan peluang adanya kemungkinan pemahaman lain. Dari segi kejelasan artinya, ayat tersebut termasuk ayat muhkamat.
2. Secara Kulli (global). Maksudnya, penjelasan al-Qur’an terhadap hukum berlaku secara garis besar, sehingga masih memerlukan penjelasan dalam pelaksanaannya. Yang paling berwenang memberikan penjelasan terhadap maksud ayat yang berbentuk garis besar itu adalah Nabi Muhammad dengan sunnahnya. Penjelasan dari Nabi sendiri di antaranya ada yang berbentuk pasti sehingga tidak memberikan kemungkinan adanya pemahaman lain. Disamping itu ada pula penjelasan Nabi dalam bentuk yang masih samar dan memberikan kemungkinan adanya beberapa pemahaman.
3. Secara Isyarah. Al-Qur’an memberikan penjelasan terhadap apa yang secara lahir disebutkan di dalamnya dalam bentuk penjelasan secara isyarat. Di samping itu, juga memberikan pengertian secara isyarat kepada maksud lain. Dengan demikian satu ayat al-Qur’an dapat memberikan beberapa maksud. Umpamanya firman Allah dalam surat al-Baqarah (2):233:
وعلى المولود له رزقهنّ وكسوتهنّ بالمعروف.
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”.
Ayat tersebut mengandung arti adanya kewajiban suami untuk memberi belanja dan pakaian bagi isterinya. Tetapi dibalik pengertian itu, mujtahid menangkap isyarat adanya kemaungkinan maksud lain yang terkandung dalam ayat tersebut, yakni bahwa “nasab seorang anak dihubungkan kepada ayahnya.
5. Hukum Yang Terkandung dalam Al-Qur’an
Sesuai dengan defenisi hukum syara’ sebagimana telah dijelaskan, hanya sebagian kecil dari ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung hukum, yaitu yang menyangkut perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat dan ketentuan yang ditetapkan. Hukum-hukum tersebut mengatur kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan Allah SWT maupun dalam hubungannya dengan manusia dan alam sekitarnya.
Secara garis besar hukum-hukum dalam al-Qur’an dapat dibagi tiga macam:
Pertama, hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT mengenai apa-apa yang harus diyakini dan yang ahrus dihindari sehubungan dengan keyakinannya, seperti keharusan mengesakan Allah dan larangan mempersekutukan-Nya. Hukum yang menyangkut keyakinan ini disebut hukum I’tiqadiyah yang dikaji dalam “Ilmu Tauhid” atau Ushuluddin”.
Kedua, hukum-hukum yang mengatur hubungan pergaulan manusia mengenai sifat-sifat baik yang harus dimiliki dan sifat-sifat buruk yang harus dijauhi dala kehidupan bermasyarakat. Hukum dalam bentuk ini disebut hukum khuluqiyah yang kemudian dikembangkan dalam “Ilmu Akhlak”.
Ketiga, hukum-hukum yang menyangkut tindak-tanduk manusia dan tingkah laku lahirnya dalam hubungan dengan Allah SWT, dalam hubungan dengan sesama manusia, dan dalam benyuk apa-apa yang harus dilakukan atau harus dijauhi. Hukum ini disebut hukum amaliyah yang pembahasannya dikembangkan dalam “Ilmu Syari’ah”.
Hukum amaliyah tersebut, secara garis besar terbagi dua:
1. Hukum yang mengatur tingkah laku dan perbuatan lahiriah manusia dalam hubungannya dengan Allah SWT, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Hukum ini disebut hukum ibadah dalam arti khusus.
2. Hukum-hukum yang mengatur tingkah laku lahiriah manusia dalam hubungannya dengan manusia atau alam sekitarnya; seperti jual beli, kawin, pembunuhan, dan lainnya. Hukum-hukum ini disebut hukum mu’amalah dalam arti umum.
BAB III
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis dalam mushhaf, dan dinukilkan secara mutawatir serta dihukum ibadah bagi siapa yang membacanya.
Sedangkan fungsi al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad adalah untuk disampaikan kepada umat manusia bagi kemaslahatan mereka, khususnya umat mukminin yang percaya akan kebenarannya.
Sebagai sumber hukum, dalam menjelaskannya, al-Qur’an menggunakan beberapa cara dan ibarat, yaitu dalam bentuk tuntutan, baik tuntutan untuk berbuat yang disebut suruhan atau perintah, atau tuntutan untuk meninggalkan yang disebut larangan.
Dari segi penjelasannya terhadap hukum, ada beberapa cara yang digunakan al-Qur’an, yaitu:
1. Secara Juz’i (terperinci).
2. Secara kulli (global).
3. Secara Isyarah.
Secara garis besar hukum-hukum dalam al-Qur’an dapat dibagi tiga macam:
1. Hukum I’tiqadiyah yang dikaji dalam “Ilmu Tauhid” atau Ushuluddin”.
2. Hukum khuluqiyah yang kemudian dikembangkan dalam “Ilmu Akhlak”.
3. Hukum amaliyah yang pembahasannya dikembangkan dalam “Ilmu Syari’ah”.
Sunnah merupakan sumber hukum fiqih
BAB I
PENDAHULUAN
Sunnah merupakan sumber hukum kedua Islam yang juga merupakan aturan yang harus ditaati bagi setiap muslim. Sunnah merupakan perkataan, perbuatan, dan takrir atau ketetapan Nabi SAW. Sunnah berupa aturan hukum atau anjuran bagi setiap muslim. Baik muslim zaman dahulu sampai muslim pada zaman ini, tetapi kita lihat muslim saat ini jarang yang benar-benar ada menghidupkan sunnah Rasulullah.
Sunnah juga merupakan penguat dalam hukum al qur’an.
a. Sunnah yaitu perbuatan Nabi yang juga merupakan penjelasan terhadap apa-apa yang terdapat dalam al-Qur’an. Namun hal tersebut masih memerlukan penjelasan Nabi sendiri seperti hal tentang zakat.
b. Sunnah adalah perbuatan Nabi yang fungsinya memberi petunjuk kepada umat dan bahwa perbuatan tersebut boleh dilakukan oleh umat.
Dengan demikian hukum yang ditetapkan dalam al-Qur’an mudah diterima dan dijalankan oleh semua umat. Periwayat sunnah pun orang yang benar-benar telah diketahui tabiatnya yang mempunyai akhlak dan budi pekerti serta jujur dan kuat hafalan, benar-benar diketahui sanad dan matannya yang berkualitas dari Nabi Muhammad SAW.
Dalam pembahasan ini penulis mencoba menguraikannya.
BAB II
PEMBAHASAN
SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM FIQIH
Kedudukan sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an, sebagaimana disebutkan sebelumnya. Dalam kedudukannya sebagai penjelas, sunnah kadang-kadang memperluas hukum dalam al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum diluar apa yang ditentukan Allah dalam al-Qur’an.
Kedudukan sunnah sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum al-Qur’an, tidak diragukan lagi dan dapat diterima oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi ditugaskan Allah SWT. Namun dalam kedudukan sunnah sebagai dalil yang berdiri sendiri sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an, menjadi bahan perbincangan dikalangan ulama. Perbincangan ini di sebabkan bahwa ajaran al-Qur’an telah sempurna.
Sunnah berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua sesudah al-Qur’an dan mempunyai kekuatan untuk di taati serta mengikat untuk semua umat Islam.
A. Pengertian Sunnah
Kata “sunnah” (سنة ) berasal dari kata سن secara etimologis berarti cara yang biasa dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik, atau buruk. Penggunan kata sunnah dalam arti ini terlihat dalam sabda Nabi :
من سنّ سنّة حسنة فله اجرها واجر من عمل بها ومن سنّ سنّة سيّئة فعليه وزرها ووزر من عمل بها إلى يوم القيامة.
“Siapa yang membuat Sunnah yang baik maka baginya pahala serta pahala orang yang mengerjakannya dan siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka baginya siksaan serta siksaan orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat”.
Dalam al-Qur’an terdapat kata “Sunah” dalam 16 tempat yang tersebar dalam beberapa surat dengan arti “kebiasaan yang berlaku” dan “jalan yang diikuti”. Umpamanya dalam firman Allah dalam surat Ali Imran (3): 137:
قد خلت من قبلكم سنن فسيروا في الأرض….(ال عمران 137)
“Sesungguhnya telah berlaku sebelum kamu sunnah-sunnah Allah. Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi”.
Kemudian dalam surat al-Isra’ (17): 77:
سنّة من قد ارسلنا قبلك من رسلنا ولا تجد لسنّتنا تحويلا.
“(Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu sunnah terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perobahan bagi ketetapan Kami”.
Para ulama Islam mengutip kata Sunnah dari al-Qur’an dan bahasa Arab yang mereka gunakan dalam artian khusus yaitu: “cara yang biasa dilakukan dalam pengalaman agama”. Kata Sunnah dalam periode awal Islam dikenal dalam artian seperti ini.
Kata Sunnah sering disebut seiring dengan kata “kitab”. Di kala kata Sunnah dirangkaikan dengan kata “kitab”, maka Sunnah berarti: “cara-cara beramal dalam agama berdasarkan apa yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW” ; “atau suatu amaliah agama yang telah dikenal oleh semua orang”. Kata Sunnah dalam artian ini adalah lawan dari kata “bid’ah” yaitu amaliah yang diada-adakan dalam urusan agama yang belum pernah dilakukan oleh Nabi. Bid’ah dalam arti ini ditolak Nabi dalam suatu pernyataannya.
Sunnah dalam istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupn pengakuan dan sifat Nabi”. Sedangkan Sunnah dalam istilah ulama fiqh adalah: “sifat hukum bagi suatu perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti” dengan pengertian diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak berdosa orang yang tidak melakukannya.
Perbedaan ahli ushul dengan ahli fiqh dalam memberikan arti pada Sunnah sebagimana disebutkan di atas adalah karena mereka berbeda dalam segi peninjauannya. Ulama ushul menempatkan Sunnah sebagai salah satu sumber atau dalil hukum fiqh. Untuk maksud itu ia mengatakan, “Hukum ini ditetapkan berdasarkan Sunnah”. Sedangkan ulama fiqh menempatkan Sunnah itu sebagai dari salah satu hukum syara’ yang lima yang mungkin berlaku terhadap satu perbuatan. Untuk maksud itu ia berkata, “Perbuatan ini hukumnya adalah Sunnah”. Dalam pengertian ini Sunnah adalah “hukum”, bukan “sumber hukum”.
Kata “Sunnah” sering diidentikkan dengan kata “Hadits”. Kata “Hadits” ini sering digunakan oleh ahli Hadits dengan maksud yang sama dengan kata “Sunnah” menurut pengertian yang digunakan kalangan ulama ushul.
Di kalangan ulama ada yang membedakan Sunnah dari Hadits, terutama karena dari segi etimologi kedua kata itu memang berbeda. Kata Hadits lebih banyak mengarah kepada ucapan-ucapan Nabi; sedangkan Sunnah lebih banyak mengarah kepada perbuatan dan tindakan Nabi yang sudah menjadi tradisi yang hidup dalam pengamalan agama.
Semua ulama Ahl al-Sunnah baik dalam kelompok ahli fiqh, ulama ushul fiqh maupun ulama Hadits sepakat mengatakan bahwa kata Sunnah atau Hadits itu hanya merujuk kepada dan berlaku untuk Nabi dan tidak digunakan untuk selain dari Nabi. Alasannya adalah karena beliau sendirilah yang dinyatakan sebagai manusia yang ma’shum (terpelihara dari kesalahan), dan karenanya beliau sendirilah yang merupakan sumber teladan, sehingga apa yang disunnahkannya mengikat seluruh umat Islam.
B. Fungsi Sunnah
Dalam uraian tentang al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum dalam al-Quran adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dar Sunnah. Dengan demikian fungsi Sunnah yang utama adalah untuk menjelaskan al-Qur’an. Hal ini telah sesuai dengan penjelasan Allah dalam surat al-Nahl (16): 64:
وما أنزلنا عليك الكتاب إلاّ لتبيّن لهم الذي اختلفتم فيه.
“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu”.
Dengan demikian bila al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka sunnah disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut:
1. Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Sunnah hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam al-Qur’an. Umpamanya firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 110:
وأقيموا الصلاة واتوا الزكاة…..(البقرة: 110)
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat….”.
Ayat itu dikuatkan oleh sabda Nabi:
بني الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله وأنّ محمّدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة…
“Islam itu didirikan dengan lima pondasi; kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat…”.
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksudkan dalam al-Qur’an dalam hal:
a. menjelaskan arti yang masih samar dalam al-Qur’an,
b. merinci apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara garis besar,
c. membatasi apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara umum,
d. memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam al-Qur’an.
Contoh menjelaskan arti kata dalam al-Qur’an umpamanya kata “shalat” yang masih samar atau ijmal artinya, karena dapat saja shalat itu berarti do’a sebagaimana yang biasa dipahami secara umum waktu itu. Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan, yang terdiri dari ucapan dan perbuatan secara jelas yang dimulai dari takbiratul ihram dan berakhir dengan salam. Sesudah itu Nabi bersabda: “Inilah shalat itu, kerjakanlah shalat sebagaimana kamu melihat saya mengerjakan shalat”.
Contoh Sunnah merinci ayat al-Qur’an yang masih garis besar, umpamanya tentang waktu-waktu shalat yang masih secara garis besar disebutkan dalam surat an-Nisa (4): 103:
إنّ الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا (النّساء :103)
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”.
Ayat itu dirinci oleh hadits Nabi dari Abdullah ibn “Amru menurut riwayat Muslim:
وقت الظهر إذا زالت الشمس وكان ظلّ الرجل كطوله ولم يحضر العصر ووقت العصر ما لم تصفرّ الشمس ووقت صلاة المغرب مالم يغب الشفق ووقت صلاة العشاءإلى نصف الليل الاوسط ووقت صلاة الصبح من طلوع الفجر مالم تطلع الشمس.
“Waktu zhuhur adalah apabila matahari telah condong dan bayang-bayang orang sama dengan panjangnya, sementara waktu ashar belum tiba, waktu ashar adalah selama matahari belum menguning, waktu maghrib adalah selama mega belum hilang, waktu shalat isya’ adalah sampai pertengahan malam, dan waktu shalat subuh adalah sejak terbitnya fajar selama matahari belum terbit”.
Contoh Sunnah membatasi maksud ayat al-Qur’an yang datang dalam bentuk umum, umpamanya hak kewarisan anak laki-laki dan anak perempuan dalam surat an-Nisa (4) :11:
يوصيكم الله في اولادكم للذكر مثل حظّ الأنثيين (النساء:11)
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu : bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan”.
Ayat itu dibatasi atau dikhususkan kepada anak-anak yang ia bukan penyebab kematian ayahnya, sebagaimana tersebut dalam hadits dari Amru Ibn Syu’eb menurut riwayat an-Nasa’I dan al-Daruquthni :
ليس للقاتل من الميراث شيء.
“Tiada harta warisan untuk si pembunuh”.
Contoh sunnah memperluas apa yang di maksud oleh al-Qur’an, umpamanya firman Allah yang melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanita yang bersaudara dalam surat an-Nisa (4) :23:
… وان تجمعوا بين الاختين…( النساء :23).
“…dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau…”.
Ayat itu diperluas oleh Nabi maksudnya, dengan Hadits Abu Hurairah dengan riwayat muttafaq ‘alaih, yang bunyinya:
لا يجمع بين المرأة وعمّتها ولا بين المرأة وخالتها.
“Tidak boleh memadu perempuan dengan saudara ayahnya dan tidak boleh pula antara perempuan dengan saudara ibunya”.
3. Menetapkan sesuatu hukum dalam Sunnah yang secara jelas tidak terdapat dalam al-Qur’an. Dengan demikian kelihatan bahwa Sunnah menetapkan sendiri hukum yang tidak ditetapkan dalam al-Qur’an. Fungsi Sunnah dalam bentuk ini disebut “itsbat” (إثبات ) atau “insya” (إنشاء ).
Sebenarnya bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan Sunnah itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan al-Qur’an secara terbatas. Umpamanya Allah SWT mengharamkan memakan bangkai, darah dan daging babi dalam surat al-Maidah (5): 3:
حرّمت عليكم الميتة والدّم ولحم الخنزير (المائدة: 3).
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi”.
Kemudian Nabi menyebutkan haramnya binatang buas dan burung buas dalam hadits dari Abu Hurairah menurut riwayat Muslim:
كلّ ذي ناب من السباع فأكله حرام.
“Setiap binatang buas yang bertaring, haram dimakan”.
Larangan Nabi ini menurut lahirnya dapat dikatakan sebagai hukum baru yang ditetapkan oleh Nabi, karena memang apa yang diharamkan Nabi ini secara jelas tidak terdapat dalam al-Qur’an. Tetapi kalau dipahami lebih lanjut larangan Nabi itu hanyalah sebagai penjelasan terhadap larangan Allah memakan sesuatu yang kotor sebagaimana tersebut dalam surat al-A’raf (7) : 33:
قل إنّما حرّم ربّي الفواحش ما ظهر منها وما بطن….(الاعراف:33).
“Katakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi”.
C. Penjelasan Sunnah terhadap Hukum dalam Al-Qur’an
Pada dasarnya Sunnah Nabi berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam al-Qur’an dalam segala bentuknya sebagimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum dalam al-Qur’an adalah untuk diamalkan, karena dalam pengamalan itulah terletak tujuan yang digariskan. Tetapi pengamalan hukum Allah itu dalam bentuk tertentu tidak akan terlaksana menurut apa adanya sebelum diberi penjelasan oleh Nabi. Dengan demikian penjelasan Nabi itu bertujuan supaya hukum-hukum yang ditetapkan Allah dalam al-Qur’an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh umat. Penjelasan Nabi terhadap hukum dalam al-Qur’an seperti; Nabi memberikan penjelasan dengan cara dan bahasa yang mudah ditangkap oleh umat sesuai dengan kemampuan akal mereka pada waktu itu. Cara seperti ini sesuai dengan pesan Allah yang menyuruh Nabi berbicara dengan bahasa umatnya sebagaimana tersebut dalam surat Ibrahim (14) : 4 :
وما أرسلنا من رسول إلا بلسان قومه ليبيّن لهم….(ابراهيم:4)
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada kaumnya”.
BAB III
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Telah dipaparkan dalam pembahasan terdahulu bahwa “Sunnah” berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdahulu dalam al-Qur’an. Kedudukan Sunnah adalah sebagai sumber dan dalil hukum kedua setelah al-Qur’an.
Kata “Sunnah” dalam periode awal Islam dikenal dalam artian seperti:
1. Kata “Sunnah” disebutkan seiring dengan kata Kitab yang artinya cara-cara.
2. Sunnah dalam ulama ushul: apa-apa yang diriwayatkan oleh Nabi SAW baik dalam ucapan, perbuatan, dan ketetapan.
3. Sunnah sebagai salah satu sumber hukum atau dalil.
4. Kata sunnah sering diidentikkan dengan kata hadits yaitu ucapan-ucapan Nabi.
Kata “Sunnah” yang telah diartikan seperti ini tidak jauh berbeda dengan fungsi sunnah yaitu:
* Sebagai penguat hukum dari hukum al-Qur’an.
* Sebagai penjelas.
* Sebagai ketetapan dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. DR. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997).
Prof. DR. Abdul Wahhab Kallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998).
https://pasulukan.wordpress.com/2010/06/30/sumber-hukum-islam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar