Rabu, 22 Desember 2010
Hidup Tak Mulia, Mati Tak Syahid
DALAM suatu hadis Kudsi dikatakan, “barang siapa tak mampu mencukupi dirinya di dunia, tak ada tempat baginya di surga.” Kecukupan yang dimaksud bukan hanya kecukupan material, tetapi juga kecukupan mental. Pada kenyataannya, persepsi tentang kecukupan bersifat subjektif, karena itu sangat ditentukan oleh kondisi mental-kejiwaan seseorang.
Kemiskinan material memang bisa mendekatkan seseorang pada kekufuran, tetapi kemiskinan mental lebih gawat dari itu: kehinaan di dunia dan akhirat. Dalam kemiskinan mental, orang tak bisa melihat sisi positif pengalaman hidupnya. Siapa yang tak bisa berdamai dengan masa lalunya tak bisa melihat kebaikan hari ini. Siapa yang tidak bisa melihat kebaikan hari ini, tak bisa melihat harapan kebahagiaan pada kehidupan mendatang di dunia. Siapa yang tak bisa melihat kebahagiaan hidup di dunia, berharap segera memperoleh kebahagiaan di akhirat dengan cepat-cepat mengakhiri hidupnya.
Orang-orang miskin mental memang berani mati, tetapi tak berani hidup. Padahal, tidak ada jalan pintas menuju surga. Janji-janji surgawi hanya bisa diraih lewat keberanian hidup, kesabaran berjuang mengatasi tantangan dan masalah zaman, dalam rangka memberikan kebahagiaan hidup warga bumi.
Dalam kemiskinan mental, orang juga tak bisa hidup dalam perbedaan. Perbedaan selalu dipandang dengan kecurigaan dan permusuhan. Dalam kesempitan mental, tak bisa muncul kebesaran jiwa.
Berbeda dengan langit, yang dalam keluasannya mampu memberikan ruang bagi matahari, bulan, bintang, dan semua yang terkait dengannya, Orang yang sempit jiwanya, tak bisa menerima kehadiran yang lain. Perbedaan harus dihabisi dengan pengucilan dan penyerangan.
Dalam aksi-aksi terorisme, kebencian pada perbedaan dan jalan pintas menuju surga menyatu dalam aksi bom bunuh diri. Pekik yang dikumandangkan, “Hidup mulia atau mati syahid”. Namun kenyataannya, “Hidup tak mulia, mati pun tak syahid”. Kebencian pada hidup membuat hidupnya di dunia tak bisa mulia. Siapa yang tak bisa hidup mulia di dunia tidak mengembangkan kesyahidan (kesungguhan) menjelang kematian -dengan keberanian mengolah kehidupan- melainkan mengembangkan kepengecutan dengan bunuh diri dan membunuh orang. Orang yang mati syahid mewariskan kebahagiaan dan kebaikan pada kehidupan. Orang yang mati pengecut mewariskan kesengsaraan dan keburukan pada kehidupan.
Dengan demikian, terorisme bukanlah sebab, melainkan korban dari kemiskinan (material dan mental). Seperti diutarakan dalam ‘Pesan Ramadan Vatikan, “Kemiskinan telah menodai dan merendahkan martabat manusia/kemanusiaan dan tidak jarang menjadi penyebab keterasingan, kemarahan, bahkan kebencian dan hasrat untuk membalas dendam.” Usaha pemberantasannya tidak cukup dengan mengembangkan kekerasan dan pembunuhan serupa, melainkan perlu mengatasi akar permasalahannya.
Terorisme muncul akibat terganggunya basis-basis keadilan dan dunia kehidupan. Keadilan hukum terganggu ketika rule of law tidak berjalan. Jika warga negara gagal memperoleh perlindungan dari negara, secara alamiah mereka akan mencari perlindungan dari sumber-sumber yang lain; bisa dalam bentuk premanisme, koncoisme, etnosentrisme, dan fundamentalisme.
Ketidakadilan ekonomi menyulut kesempitan jiwa (fanatisisme). Fanatisisme berkembang subur saat berhadapan dengan ketimpangan ekonomi-politik. Ketimpangan ini sebagian merupakan warisan aneka diskriminasi kolonial maupun rezim-rezim otoriter pascakolonial. Tetapi, sumber ketimpangan sosial-ekonomi baru yang tidak kalah penting adalah konsekuensi globalisasi dan neoliberalisme.
Globalisasi dan perluasan ekonomi pasar tidak selalu memberikan kabar gembira. Bagi kebanyakan masyarakat terbelakang, keduanya lebih sering membawa bencana. Globalisasi adalah anak kandung modernitas, sedangkan modernitas adalah kelanjutan proyek pencerahan yang belum selesai. Proyek pencerahan ini mengandaikan kepercayaan kepada prinsip-prinsip universal, karena prinsip-prinsip tersebut dapat berlaku dalam situasi lintas sejarah dan budaya dengan segala keunikannya. Prinsip yang bertumpu atas dasar universalitas ini sering tidak mewadahi semua keinginan dan harapan warga dunia sehingga acapkali melahirkan kekerasan.
Kekerasan merupakan respons balik sebagian kalangan terhadap upaya globalisasi seluruh tatanan; politik, sosial, ekonomi, budaya, bahkan agama. Di satu sisi, globalisasi memberikan kemudahan terpenuhinya segala kebutuhan manusia serta membuka peluang bagi kompetisi global. Di sisi lain, globalisasi menciptakan ketidakadilan distributif dan tercerabutnya manusia dari akar eksistensinya.
Globalisasi, menurut Habermas, merupakan keniscayaan sejarah, tetapi juga telah menginjeksikan kepalsuan dalam spiral komunikasi sehingga dalam praktiknya sering melahirkan distorsi komunikatif. Resistensi dari sebagian kelompok tertentu bahkan memanifestasi dalam tindakan teror yang ditimbulkan oleh distorsi komunikasi. Globalisasi secara kejam telah membagi dunia ke dalam kelompok pemenang dan pecundang.
Terorisme berjalin-berkelindan dengan pemahaman fanatis-dogmatis dalam menafsirkan doktrin-doktrin agama ketika merespons modernitas. Fundamentalisme adalah reaksi terhadap kegagalan sekularisasi dan ekstensifikasi rasionalitas instrumental atas dunia kehidupan (Lebenswelt), yang telah mencerabut bentuk-bentuk kehidupan tradisional mereka. Ketercerabutan yang diikuti oleh homogenisasi budaya dan identitas membuat warga masyarakat mengalami keterasingan dari komunitasnya. Dengan demikian, fundamentalisme bukanlah sesederhana gerak kembali kepada cara pra-modern dalam memahami agama, tetapi lebih sebagai respons panik dalam menghadapi modernitas dan globalisasi.
Berbeda dengan Huntington yang melihat akar tunjang terorisme pada bentrok antar peradaban (baca: agama), Habermas menjangkarkannya pada ketimpangan ekonomi-pasar, meskipun punya implikasi keagamaan. Menurutnya, ekonomi pasar menyuburkan konsumerisme, yang melahirkan ledakan di tengah lapisan penduduk dunia yang merasa paling dirugikan berupa reaksi spiritual sebagai alternatif mengatasi masalah global. Reaksi ini termanifestasi dalam sikap religius yang berlebihan dan menutup kemungkinan komunikasi dengan dunia luar.
Singkat kata, betapapun kita membenci terorisme, kemunculannya harus menjadi bahan kritik bagi seluruh warga bumi untuk mengembangkan kehidupan global yang lebih adil dan beradab.
Oleh Dr Yudi Latif, kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSIK-Indonesia)
Sumber: Jawapos, 30 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar