Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam adalah seorang yang sangat
elok akhlaknya dan sangat agung wibawanya. Akhlak beliau adalah Al-Qur’an
sebagaimana yang dituturkan ‘Aisyah Radhiallahu’anha, ia berkata, yang artinya:
“Akhlak Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam adalah Al-Qur’an.” (HR: Muslim).
Beliau juga pernah bersabda, yang artinya:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
(HR. Ahmad).
Adapun sifat sifat terpuji itu diantaranya adalah
• Tawadhu
• Taat
• Qana'an
• Sabar dll.
1. Prilaku Terpuji Tawadhu
Sikap merendah tanpa menghinakan diri- merupakan sifat yang sangat
terpuji di hadapan Allah dan seluruh makhluk-Nya. Sudahkah kita memilikinya?
Merendahkan diri (tawadhu’) adalah sifat yang sangat terpuji di
hadapan Allah dan juga di hadapan seluruh makhluk-Nya. Setiap orang mencintai
sifat ini sebagaimana Allah dan Rasul-Nya mencintainya. Sifat terpuji ini
mencakup dan mengandung banyak sifat terpuji lainnya.
Tawadhu’''adalah ketundukan kepada kebenaran dan menerimanya dari
siapapun datangnya baik ketika suka atau dalam keadaan marah. Artinya,
janganlah kamu memandang dirimu berada di atas semua orang. Atau engkau
menganggap semua orang membutuhkan dirimu.
Lawan dari sifat tawadhu’ adalah takabbur (sombong), sifat yang
sangat dibenci Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah mendefinisikan sombong dengan
sabdanya:
“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang
lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud z)
Jika anda mengangkat kepala di hadapan kebenaran baik dalam rangka
menolaknya, atau mengingkarinya berarti anda belum tawadhu’ dan anda memiliki
benih sifat sombong.
Tahukah anda apa yang diperbuat Allah subhanahu wa ta’ala terhadap
Iblis yang terkutuk? Dan apa yang diperbuat Allah kepada Fir’aun dan
tentara-tentaranya? Kepada Qarun dengan semua anak buah dan hartanya? Dan
kepada seluruh penentang para Rasul Allah? Mereka semua dibinasakan Allah
subhanahu wa ta’ala karena tidak memiliki sikap tawadhu’ dan sebaliknya justru
menyombongkan dirinya.
Tawadhu’ di Hadapan Kebenaran
Menerima dan tunduk di hadapan kebenaran sebagai perwujudan
tawadhu’ adalah sifat terpuji yang akan mengangkat derajat seseorang bahkan mengangkat
derajat suatu kaum dan akan menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat.
Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak
menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi dan kesudahan yang baik
bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Qashash: 83)
Fudhail bin Iyadht (seorang ulama generasi tabiin) ditanya tentang
tawadhu’, beliau menjawab: “Ketundukan kepada kebenaran dan memasrahkan diri
kepadanya serta menerima dari siapapun yang mengucapkannya.” (Madarijus
Salikin, 2/329).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak akan berkurang harta yang dishadaqahkan dan Allah tidak
akan menambah bagi seorang hamba yang pemaaf melainkan kemuliaan dan tidaklah
seseorang merendahkan diri karena Allah melainkan akan Allah angkat
derajatnya.” (Shahih, HR. Muslim no. 556 dari shahabat Abu Hurairah z)
Ibnul Qayyim t dalam kitab Madarijus Salikin (2/333) berkata:
“Barangsiapa yang angkuh untuk tunduk kepada kebenaran walaupun
datang dari anak kecil atau orang yang dimarahinya atau yang dimusuhinya maka
kesombongan orang tersebut hanyalah kesombongan kepada Allah karena Allah
adalah Al-Haq, ucapannya haq, agamanya haq. Al-Haq datangnya dari Allah dan
kepada-Nya akan kembali. Barangsiapa menyombongkan diri untuk menerima
kebenaran berarti dia menolak segala yang datang dari Allah dan menyombongkan
diri di hadapan-Nya.”
Perintah untuk Tawadhu’
Dalam pembahasan masalah akhlak, kita selalu terkait dan bersandar
kepada firman Allah subhanahuwata’ala:
“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasul teladan yang baik.”
(Al-Ahzab: 21)
Dalam hal ini banyak ayat yang memerintahkan kepada beliau untuk
tawadhu’, tentu juga perintah tersebut untuk umatnya dalam rangka meneladani
beliau. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu
yaitu orang-orang yang beriman.”(Asy-Syu’ara:215).
Rasulullahshallallahu‘alaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian
merendahkan diri sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan
tidak berbuat zhalim atas yang lain.” (Shahih, HR Muslim no. 2588).
Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan
kepada kita bahwa tawadhu’ itu sebagai sebab tersebarnya persatuan dan
persamaan derajat, keadilan dan kebaikan di tengah-tengah manusia sebagaimana
sifat sombong akan melahirkan keangkuhan yang mengakibatkan memperlakukan orang
lain dengan kesombongan.
Macam-macam Tawadhu’
Telah dibahas oleh para ulama sifat tawadhu’ ini dalam karya-karya
mereka, baik dalam bentuk penggabungan dengan pembahasan yang lain atau
menyendirikan pembahasannya.
Di antara mereka ada yang membagi tawadhu’ menjadi
dua:
1. Tawadhu’ yang terpuji yaitu ke-tawadhu’-an seseorang kepada
Allah dan tidak mengangkat diri di hadapan hamba-hamba Allah.
2. Tawadhu’ yang dibenci yaitu tawadhu’-nya seseorang kepada
pemilik dunia karena menginginkan dunia yang ada di sisinya. (Bahjatun
Nazhirin, 1/657).
2. Sifat Terpuji Taat
Beribadah secara Lillahitaalla (ikhlas) selalu taat, merupakan
salah satu cara untuk mendekatkan diri dan sangat disukai oleh Allah dan
Rasul-Nya. Taat secara bahasa adalah senantiasa tunduk dan patuh, baik terhadap
Allah, Rasul maupun ulil amri. Hal ini sudah tertuang didalam Qs An Nisa ayat
59
“ Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (
Sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya “.
Berpedoman pada sepotong firman Allah diatas yang memerintahkan
orang-orang yang beriman supaya selalu memurnikan ketaatan hanya kepada Allah,
Rasul maupun ulil amri.
Soal pemimpin yang bagaimana yang harus ditaati tsb ?
tentu pemimpin yang juga taat kepada Allah dan Rasulnya, lalu masih adakah
pemimpin yang memiliki sifat seperti yang di uraikan diatas ?
yang lebih
mengutamakan kepentingan umum&rakyat badarai diatas kepentingan pribadi
dan keluarganya ?.
Taat pada Allah tidak hanya asal taat, didalam pelaksanaan
teknisnya harus benar dan sungguh-sungguh sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki, dan dengan tampa alasan apapun menghentikan segala larangan-Nya.
Sebenarnya apa-apa yang menjadi perintah Allah Taalla sudah tidak diragukan
lagi pasti tersimpan segala kemaslahatan (kebaikan), sedangkan apa-apa yang
menjadi larangan-Nya sudah tertulis akan segala kemudharatanya (keburukan).
Kemudharatan (bencana alam dimana-mana) yang sering terjadi akhir-akhir ini
merupakan imbas dari tidak menghiraukan segala larangan Allah dan Rasul-Nya.
Qs
Ali Imran ayat 32 memperjelasnya :
“ Katakanla, taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling,
maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir “.
Begitu juga ketaatan kepada Rasul, yaitu Rasulullah Saw dengan selalu
meimplementasikan yang terdapat dalam hadis beliau. Sebagai utusan Allah Nabi
Muhammad Saw mempunyai tugas menyampaikan amanah kepada umat manusia tampa
memandang status, jabatan, suku dsb. Oleh karena itu bagi setiap muslim yang
taat kepada Allah Swt harus melengkapinya dengan mentaati segala perintah
Rasulullah Saw sebagai utusan-Nya. Sebagai mana yang difirmankan Allah didalam
Qs At Taqabun ayat 12
“ Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya kewajiban rasul kami hanyalah menyampaikan (amanah
Allah) dengan terang “.
Allah Swt adalah adalah khalik, pencipta alam semesta beserta
isinya ini. Rasulullah Saw adalah utusan-Nya untuk seluruh umat manusia bahkan
kelahiran dari beliau Saw alam semesta ini mendapat rahmat yang tidak ternilai
harganya. Oleh karena itu siapapun yang telah berikrar (bersyahadad) maka
dengan sendirinya lahirlah suatu kewajiban dalam bentuk ketaatan kepada
keduanya dalam situasi dan kondisi apapun. Namun jenis ketaatan seperti yang disebutkan
diatas akan lebih sempurna kalau diiringi dengan ketaatan dan kepatuhan kepada
ulil amri atau pemimpin. Ketaatan tersebut dalam artian harus selalu taat dan
mematuhi peraturan-peraturan yang telah ditelurkan secara bersama, tentu selam
peraturan itu masih diatas nilai-nilai kemanusiaan dan tidak menyimpang dari
aturan agama Islam.
Ketaatan itu bukan hanya harus diimplementasikan pada pemimpin
dalam artian luas saja dalam artian sempitpun harus menjadi keseharian kita,
seperti kepada orang-orang yang memiliki kuasa dan kedudukan yang lebih tinggi.
Seorang anak harus taat dan patuh pada kedua orang tuanya, murid kepada
gurunya, istri kepada suaminya agar kasus-kasus perceraian yang marak terjadi
belakangan ini dan dengan berbagai macam penyebabnya dapat diminimalisir dsb.
Dari Ibnu Umar Ra. Nabi Muhammad Saw bersabda :
“ Wajib bagi seorang muslim mendengarkan dan taat sesuai dengan
yang disukai dan apabila diperintah untuk menjalankan maksiat jangan dengarkan
dan jangan taati “. ( Hr. Muslim ).
Ketatatan yang kita lakukan kepada Allah, Rasul dan ulil amri
merupakan ketaatan yang akan berakibat baik terhadap amal ibadah kita selama
ketatan tersebut tidak diselimuti oleh berbagai bentuk kebohongan, penyakit
hati, kemunafikan dsb. Malah Islam sangat memuliakan umatnya yang memiliki
sifat tawaduk dengan selalu merendahkan hati baik terhadap Allah maupun
terhadap sesama manusia. Kita sebagai muslim harus menyadari bertawaduk
merupakan bagian dari akhlakul karimah yang melahirkan manusia-manusia yang
berprilaku baik, dengan memunculkan suatu kesadaran akan hakikat kejadian
dirinya dan tidak pernah mempunyai alasan untuk merasa lebih baik, lebih
pintar, lebih kaya, lebih ganteng, lebih cantik maupun lebih-lebih lainya
antara dirinya dengan orang lain.
“ Dan hamba-hamba tuhan yang maha penyayang itu adalah orang-orang
yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil
menyapa mereka.mereka mengucapkan kata-kata yang baik ‘. ( Qs Al Furqan-63 ).
3. Sifat Terpuji Qana'ah ( Berfikir Positif )
A. Pengertian Qana’ah
Qana’ah artinya rela menerima dan merasa cukup dengan apa yang
dimiliki, serta menjauhkan diri dari sifat tidak puas dan merasa kurang yang
berlebihan. Qana’ah bukan berarti hidup bermalas-malasan, tidak mau berusaha
sebaik-baiknya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Justru orang yang
Qana’ah itu selalu giat bekerja dan berusaha, namun apabila hasilnya tidak
sesuai dengan yang diharapkan, ia akan tetap rela hati menerima hasil tersebut
dengan rasa syukur kepada Allah SWT. Sikap yang demikian itu akan mendatangkan
rasa tentram dalam hidup dan menjauhkan diri dari sifat serakah dan tamak. Nabi
Muhammad SAW Bersabda :
" Abdullah bin Amru r.a. berkata : Bersabda Rasulullah SAW,
sesungguhnya beruntung orang yang masuk Islam dan rizqinya cukup dan merasa
cukup dengan apa-apa yang telah Allah berikan kepadanya. (H.R.Muslim)
orang yang memiliki sifat Qana’ah, memiliki pendirian bahwa apa
yang diperoleh atau yang ada pada dirinya adalah ketentuan Allah.
Firman Allah SWT :
" Tiada sesuatu yang melata di bumi melainkan ditangan Allah
rezekinya". (Hud : 6)
B. Qana’ah dalam kehidupan
Qana’ah seharusnya merupakan sifat dasar setiap muslim, karena
sifat tersebut dapat menjadi pengendali agar tidak surut dalam keputusasaan dan
tidak terlalu maju dalam keserakahan. Qana’ah berfungsi sebagai stabilisator
dan dinamisator hidup seorang muslim. Dikatakan stabilisator, karena seorang
muslim yang mempunyai sifat Qana’ah akan selalu berlapang dada, berhati
tentram, merasa kaya dan berkecukupan, bebas dari keserakahan, karena pada
hakekatnya kekayaan dan kemiskinan terletak pada hati bukan pada harta yang
dimilikinya. Bila kita perhatikan banyak orang yang lahirnya nampak
berkecukupan bahkan mewah, namun hatinya penuh diliputi keserakahan dan
kesengsaraan, sebaliknya banyak orang yang sepintas lalu seperti kekurangan
namun hidupnya tenang, penuh kegembiraan, bahkan masih sanggup mengeluarkan
sebagian hartanya untuk kepentingan sosial. Nabi SAW bersabda dalam salah satu
hadisnya :
„ Dari Abu Hurairah r.a. bersabda Nabi SAW : „ Bukanlah kekayaan
itu banyak harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan
hati". ( H.R.Bukhari dan Muslim)
karena hatinya senantiasa merasa berkecukupan, maka orang yang
mempunyai sifat Qana’ah, terhindar dari sifat loba dan tamak, yang cirinya
antara lain suka meminta-minta kepada sesama manusia karena merasa masih kurang
pusa dengan apa yang diberikan Allah kepadanya.
Disamping itu Qana’ah juga berfungsi sebagai dinamisator, yaitu
kekuatan batin yang selalu mendorong seseorang untuk meraih kemajuan hidup
berdasarkan kemandirian dengan tetap bergantung kepada karunia Allah.
Berkenaan dengan Qana’ah ini, Nabi Muhammad SAW telah memberikan
nasehat kepada Hakim bin Hizam sebagaimana terungkap dalam riwayat berikut ini
:
„ Dari Hakim bin Hizam r.a. Ia berkata : saya pernah meminta
kepada Rasulullah SAW dan beliaupunmemberi kepadaku. Lalu saya meminta lagi
kepadanya, dan beliaupun tetap memberi. Kemudian beliau bersabda : „ Hai Hakim
! harta ini memang indah dan manis, maka siap yang mengambilnya dengan hati
yang lapang, pasti dieri berkat baginya, sebaliknmya siapa yang mengambilnya
dengan hati yang rakus pasti tidak berkat baginya. Bagaikan orang makan yang tak
kunjung kenyang. Dan tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah. Berkata
Hakim ; Ya Rosulullah ! Demi Allah yang mengutus engkau dengan kebenaran, saya
tidak akan menerima apapun sepeningal engkau sampai saya meninggal dunia.
Kemudian Abu Bakar RA. (sebagai Khalifah) memanggil Hakim untuk memberinya
belanja ( dari Baitul Mal) tetapi ia menolaknya dan tidak mau menerima
sedikitpun pemberian itu. Kemudian Abu Bakar berkata : Whai kaum muslimin !
saya persaksikan kepada kalian tentang Hakim bahwa saya telah memberikan haknya
yang diberikan Alah padanya". (H.R.Bukhari dan Muslim )
Qana’ah itu bersangkut paut dengan sikap hati atau sikap mental.
Oleh karena itu untuk menumbuhkan sifat Qana’ah diperlukan latihan dan
kesabaran. Pada tingkat pemulaan mungkin merupakan sesuatu yang memberatkan
hati, namun jika sifat Qana’ah sudah membudaya dalam diri dan telah menjadi
bagian dalam hidupnya maka kebahagiaan didunia akan dapat dinikmatinya, dan
kebahagiaan di akhirat kelak akan dicapainya.
Nabi Muhammad SAW bersabda dalam
salah satu hadisnya :
„ Qana’ah itu adalah simpanan yang tak akan pernah lenyap".
(H.R.Thabrani)
demikianlah betapa pentingnya sifat Qana’ah dalam hidup, yang
apabila dimiliki oleh setiap orang dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
akan mendorong terwujudnya masyarakat yang penuh dengan ketentraman, tidak
cepat putus asa, dan bebas dari keserakahan,seta selal berfikir positif dan
maju.
Betapa tidak, karena sebenarnya dalam Qana’ah terkandung unsur
pokok yang dapat membangun pribadi muslim yang menerima dengan rela apa adanya,
memohon tambahan yang pantas kepada Allah serta usahadan ikhtiar, menerima
ketentuan Allah dengan sabar, bertawakkal kepada Allah, dan tidak tertarik oleh
tipu daya dunia.
4. Sifat Terpuji Sabar
Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran
itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan
ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim
rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi
seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di
dalam tubuh.” (Al Fawa’id, hal. 95)
Pengertian Sabar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah,
menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan
dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal.
24)
Macam-Macam Sabar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:
1. Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
2. Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
3. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya,
berupa berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan
manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sebab Meraih Kemuliaan
Di dalam Taisir Lathifil Mannaan Syaikh As Sa’di rahimahullah
menyebutkan sebab-sebab untuk menggapai berbagai cita-cita yang tinggi. Beliau
menyebutkan bahwa sebab terbesar untuk bisa meraih itu semua adalah iman dan
amal shalih.
Di samping itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari
kedua perkara ini. Di antaranya adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk bisa
mendapatkan berbagai kebaikan dan menolak berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana
diisyaratkan oleh firman Allah ta’ala, “Dan mintalah pertolongan dengan sabar
dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45).
Yaitu mintalah pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan
shalat dalam menangani semua urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi sebab
hamba bisa meraih kenikmatan abadi yaitu surga. Allah ta’ala berfirman kepada
penduduk surga, “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” (QS. Ar Ra’d
[13] : 24).
Allah juga berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas
dengan kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan sebab kesabaran mereka.”
(QS. Al Furqaan [25] : 75).
Selain itu Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab
untuk mencapai kedudukan tertinggi yaitu kepemimpinan dalam hal agama. Dalilnya
adalah firman Allah ta’ala, “Dan Kami menjadikan di antara mereka (Bani
Isra’il) para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan titah Kami, karena
mereka mau bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24)
(Lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 375)
Sabar Dalam Ketaatan
Sabar Dalam Menuntut Ilmu
Syaikh Nu’man mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang harus
dihadapi oleh seseorang yang berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus bersabar
untuk menahan rasa lapar, kekurangan harta, jauh dari keluarga dan tanah
airnya. Sehingga dia harus bersabar dalam upaya menimba ilmu dengan cara
menghadiri pengajian-pengajian, mencatat dan memperhatikan penjelasan serta
mengulang-ulang pelajaran dan lain sebagainya.
Semoga Allah merahmati Yahya bin Abi Katsir yang pernah
mengatakan, “Ilmu itu tidak akan didapatkan dengan banyak mengistirahatkan
badan”, sebagaimana tercantum dalam shahih Imam Muslim. Terkadang seseorang
harus menerima gangguan dari orang-orang yang terdekat darinya, apalagi orang
lain yang hubungannya jauh darinya, hanya karena kegiatannya menuntut ilmu.
Tidak ada yang bisa bertahan kecuali orang-orang yang mendapatkan anugerah
ketegaran dari Allah.” (Taisirul wushul, hal. 12-13)
Sabar Dalam Mengamalkan Ilmu
Syaikh Nu’man mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal dengan ilmunya
juga harus bersabar dalam menghadapi gangguan yang ada di hadapannya. Apabila
dia melaksanakan ibadah kepada Allah menuruti syari’at yang diajarkan
Rasulullah niscaya akan ada ahlul bida’ wal ahwaa’ yang menghalangi di
hadapannya, demikian pula orang-orang bodoh yang tidak kenal agama kecuali
ajaran warisan nenek moyang mereka.
Sehingga gangguan berupa ucapan harus diterimanya, dan terkadang
berbentuk gangguan fisik, bahkan terkadang dengan kedua-keduanya. Dan kita
sekarang ini berada di zaman di mana orang yang berpegang teguh dengan agamanya
seperti orang yang sedang menggenggam bara api, maka cukuplah Allah sebagai
penolong bagi kita, Dialah sebaik-baik penolong” (Taisirul wushul, hal. 13)
Sabar Dalam Berdakwah
Syaikh Nu’man mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah
mengajak kepada agama Allah harus bersabar menghadapi gangguan yang timbul
karena sebab dakwahnya, karena di saat itu dia tengah menempati posisi
sebagaimana para Rasul. Waraqah bin Naufal mengatakan kepada Nabi kita
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah ada seorang pun yang datang dengan
membawa ajaran sebagaimana yang kamu bawa melainkan pasti akan disakiti orang.”
Sehingga jika dia mengajak kepada tauhid didapatinya para da’i
pengajak kesyirikan tegak di hadapannya, begitu pula para pengikut dan
orang-orang yang mengenyangkan perut mereka dengan cara itu. Sedangkan apabila
dia mengajak kepada ajaran As Sunnah maka akan ditemuinya para pembela bid’ah
dan hawa nafsu. Begitu pula jika dia memerangi kemaksiatan dan berbagai kemungkaran
niscaya akan ditemuinya para pemuja syahwat, kefasikan dan dosa besar serta
orang-orang yang turut bergabung dengan kelompok mereka.
Mereka semua akan berusaha menghalang-halangi dakwahnya karena dia
telah menghalangi mereka dari kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan yang selama
ini mereka tekuni.” (Taisirul wushul, hal. 13-14)
Sabar dan Kemenangan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Allah ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sungguh telah didustakan para
Rasul sebelummu, maka mereka pun bersabar menghadapi pendustaan terhadap mereka
dan mereka juga disakiti sampai tibalah pertolongan Kami.” (QS. Al An’aam [6]:
34).
Semakin besar gangguan yang diterima niscaya semakin dekat pula
datangnya kemenangan. Dan bukanlah pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya
pada saat seseorang (da’i) masih hidup saja sehingga dia bisa menyaksikan buah
dakwahnya terwujud. Akan tetapi yang dimaksud pertolongan itu terkadang muncul
di saat sesudah kematiannya. Yaitu ketika Allah menundukkan hati-hati umat
manusia sehingga menerima dakwahnya serta berpegang teguh dengannya.
Sesungguhnya hal itu termasuk pertolongan yang didapatkan oleh da’i ini
meskipun dia sudah mati.
Maka wajib bagi para da’i untuk bersabar dalam melancarkan
dakwahnya dan tetap konsisten dalam menjalankannya. Hendaknya dia bersabar
dalam menjalani agama Allah yang sedang didakwahkannya dan juga hendaknya dia
bersabar dalam menghadapi rintangan dan gangguan yang menghalangi dakwahnya.
Lihatlah para Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ‘alaihim. Mereka juga disakiti
dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Demikianlah, tidaklah ada
seorang Rasul pun yang datang sebelum mereka melainkan mereka (kaumnya)
mengatakan, ‘Dia adalah tukang sihir atau orang gila’.” (QS. Adz Dzariyaat
[51]: 52). Begitu juga Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan demikianlah Kami
menjadikan bagi setiap Nabi ada musuh yang berasal dari kalangan orang-orang
pendosa.” (QS. Al Furqaan [25]: 31). Namun, hendaknya para da’i tabah dan
bersabar dalam menghadapi itu semua…” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sabar di atas Islam
Ingatlah bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu yang
tetap berpegang teguh dengan Islam meskipun harus merasakan siksaan ditindih
batu besar oleh majikannya di atas padang pasir yang panas (Lihat Tegar di
Jalan Kebenaran, hal. 122). Ingatlah bagaimana siksaan tidak berperikemanusiaan
yang dialami oleh Ammar bin Yasir dan keluarganya. Ibunya Sumayyah disiksa
dengan cara yang sangat keji sehingga mati sebagai muslimah pertama yang syahid
di jalan Allah. (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122-123)
Lihatlah keteguhan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang
dipaksa oleh ibunya untuk meninggalkan Islam sampai-sampai ibunya bersumpah
mogok makan dan minum bahkan tidak mau mengajaknya bicara sampai mati. Namun
dengan tegas Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan, “Wahai Ibu, demi Allah,
andaikata ibu memiliki seratus nyawa kemudian satu persatu keluar, sedetikpun
ananda tidak akan meninggalkan agama ini…” (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran,
hal. 133) Inilah akidah, inilah kekuatan iman, yang sanggup bertahan dan kokoh
menjulang walaupun diterpa oleh berbagai badai dan topan kehidupan.
Sesungguhnya cobaan yang menimpa kita pada hari ini, baik yang
berupa kehilangan harta, kehilangan jiwa dari saudara yang tercinta, kehilangan
tempat tinggal atau kekurangan bahan makanan, itu semua jauh lebih ringan
daripada cobaan yang dialami oleh salafush shalih dan para ulama pembela dakwah
tauhid di masa silam.
Mereka disakiti, diperangi, didustakan, dituduh yang bukan-bukan,
bahkan ada juga yang dikucilkan. Ada yang tertimpa kemiskinan harta, bahkan ada
juga yang sampai meninggal di dalam penjara, namun sama sekali itu semua
tidaklah menggoyahkan pilar keimanan mereka.
Ingatlah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan janganlah
sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali
‘Imran [3] : 102).
Ingatlah juga janji Allah yang artinya, “Barang siapa yang
bertakwa kepada Allah niscaya akan Allah berikan jalan keluar dan Allah akan
berikan rezeki kepadanya dari jalan yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath
Thalaq [65] : 2-3).
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama
dengan kesabaran. Bersama kesempitan pasti akan ada jalan keluar. Bersama
kesusahan pasti akan ada kemudahan.” (HR. Abdu bin Humaid di dalam Musnadnya
[636] (Lihat Durrah Salafiyah, hal. 148) dan Al Haakim dalam Mustadrak ‘ala
Shahihain, III/624). (Syarh Arba’in Ibnu ‘Utsaimin, hal. 200)
Sabar Menjauhi Maksiat
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan,
“Bersabar menahan diri dari kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia berusaha
menjauhi kemaksiatan, karena bahaya dunia, alam kubur dan akhirat siap
menimpanya apabila dia melakukannya. Dan tidaklah umat-umat terdahulu binasa kecuali
karena disebabkan kemaksiatan mereka, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Allah
‘azza wa jalla di dalam muhkam al-Qur’an.
Di antara mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam
lautan, ada pula yang binasa karena disambar petir, ada pula yang dimusnahkan
dengan suara yang mengguntur, dan ada juga di antara mereka yang dibenamkan
oleh Allah ke dalam perut bumi, dan ada juga di antara mereka yang di rubah
bentuk fisiknya (dikutuk).”
Pentahqiq kitab tersebut memberikan catatan, “Syaikh memberikan
isyarat terhadap sebuah ayat, “Maka masing-masing (mereka itu) kami siksa
disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang kami timpakan kepadanya
hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang
mengguntur, dan di antara mereka ada yang kami benamkan ke dalam bumi, dan di
antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak
menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”
(QS. Al ‘Ankabuut [29] : 40).
“Bukankah itu semua terjadi hanya karena satu sebab saja yaitu
maksiat kepada Allah tabaaraka wa ta’ala. Karena hak Allah adalah untuk ditaati
tidak boleh didurhakai, maka kemaksiatan kepada Allah merupakan kejahatan yang
sangat mungkar yang akan menimbulkan kemurkaan, kemarahan serta mengakibatkan
turunnya siksa-Nya yang sangat pedih. Jadi, salah satu macam kesabaran adalah
bersabar untuk menahan diri dari perbuatan maksiat kepada Allah. Janganlah
mendekatinya.
Dan apabila seseorang sudah terlanjur terjatuh di dalamnya
hendaklah dia segera bertaubat kepada Allah dengan taubat yang
sebenar-benarnya, meminta ampunan dan menyesalinya di hadapan Allah. Dan
hendaknya dia mengikuti kejelekan-kejelekannya dengan berbuat
kebaikan-kebaikan. Sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya
kebaikan-kebaikan akan menghapuskan kejelekan-kejelekan.” (QS. Huud [11] :
114). Dan juga sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan
menghapuskannya.” (HR. Ahmad, dll, dihasankan Al Albani dalam Misykatul
Mashaabih 5043)…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)
Sabar Menerima Takdir
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam
ketiga dari macam-macam kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi takdir dan
keputusan Allah serta hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak
ada satu gerakan pun di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian
atau urusan melainkan Allah lah yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus.
Bersabar menghadapi berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang terkait
dengan nyawa, anak, harta dan lain sebagainya yang merupakan takdir yang
berjalan menurut ketentuan Allah di alam semesta…” (Thariqul wushul, hal.
15-17)
Sabar dan Tauhid
Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullahu ta’ala membuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul,
“Bab Minal iman billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab Bersabar dalam
menghadapi takdir Allah termasuk cabang keimanan kepada Allah)
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala
mengatakan dalam penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini, “Sabar
tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk
salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati,
gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan
yang sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran.
Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syari’at (untuk
mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan syari’at (untuk tidak mengerjakan
sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk musibah yang ditimpakan
Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar ketika menghadapinya.
Hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syari’at
serta menjauhi larangan syari’at dan bersabar menghadapi musibah-musibah.
Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk
menempa hamba-hamba-Nya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui sarana ajaran
agama dan melalui sarana keputusan takdir.
Adapun ujian dengan dibebani ajaran-ajaran agama adalah
sebagaimana tercermin dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari
‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda “Allah ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam
rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dirimu’.”
Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah
menjadi ujian. Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam
menghadapinya. Ujian yang ada dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah
dengan bentuk perintah dan larangan.
Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal
kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal kesabaran.
Begitu pula saat menghadapi keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu
juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh sebab itulah sebagian ulama mengatakan,
“Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat taat, sabar dalam menahan
diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah yang terasa
menyakitkan.”
Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar
tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga
Allah merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan dalam rangka menjelaskan
bahwasanya sabar termasuk bagian dari kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk
kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung
ketentuan takdir Allah.
Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul
dalam diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya
musibah. Dengan alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa
sabar adalah hal yang wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa
menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga ingin memberikan penegasan bahwa
bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan
hukumnya juga wajib.
Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan,
“Qutila fulan shabran” (artinya si polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu
tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada
perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai
dalam pengertian syar’i.
Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan
lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan
menahan anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk
menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah
syari’at sabar artinya: Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah
dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek
sesuatu dan tindakan lain semacamnya.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam al-Qur’an kata sabar
disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana
kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak punya kesabaran dalam
menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk menjauhi maksiat serta tidak
sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak
sekali bagian keimanan”
Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah”
artinya: salah satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar
tatkala menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai cabang-cabang.
Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang.
Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin
memberikan penegasan bahwa sabar termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau
juga memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
yang menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayit) itu juga termasuk salah satu
cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran itu harus dihadapi dengan
cabang keimanan. Meratapi mayit adalah sebuah cabang kekafiran maka dia harus
dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah
yang terasa menyakitkan” (At Tamhiid, hal.389-391)
http://www.crayonpedia.org/mw/Perilaku_terpuji_(tawadlu,_taat,_qana%E2%80%99ah,_dan_sabar)_7.1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar