Seorang penyanyi seronok tiba-tiba menangis. Matanya sembab. Air matanya menggurat garis kecil di atas riasan wajahnya yang tebal. Ia sangat bersyukur, sebab dirinya terpilih menjadi pemenang dalam sebuah kontes menyanyi itu. Beberapa kali ia mengucap syukur dan puji kepada Allah SWT. Ada aroma ketulusan yang luar biasa dari ekspresi lahiriyah yang kuat.
Pada kali yang lain, seseorang yang biasa berselingkuh diwawancarai sebuah stasiun televisi. Ditanya bagaimana ia bisa membayar biaya selingkuh yang mahal itu. Dengan serta merta ia menjawab, "Alhamdulillah, selama ini rezeki saya cukup lah."
Alangkah rumitnya hidup di zaman yang penuh dengan manipulasi. Bahkan rasa syukur dan ketulusan pun telah termanipulasi, oleh kultur, budaya, cara pandang, industri hiburan, serta oligarki hawa nafsu dan bias-bias kecerdasan. Dan bahkan nama Tuhan pun diseret ke pusaran manipulasi yang telah berdenyut bersama jalan pikiran masyarakat banyak itu.
Ada yang salah dari ketulusan-ketulusan seperti itu. Yang kini telah begitu banyak menjadi pilihan hidup orang. Ketulusan dalam arti kepasrahan mungkin ia lakukan. Artinya ia memang benar-benar menangis haru, bahwa dirinya menang, lalu seketika teringat Tuhan. Bisa jadi itu semua terjadi di dalam batinya. Tetapi persepsi-persepsi yang ia pakai untuk memaknai jenis pekerjaan itu lah yang mencederai ketulusan itu. Sebab persepsi itulah yang melatarinya untuk melakukan jenis pekerjaan itu sendiri. Tangis dan kepasrahannya tidak bisa mengangkat ketulusan itu menjadi sebuah kebenaran. Dialog panjang lebarnya akan seperti perdebatan orang-orang yang selalu menolak pornografi dengan alasan seni dan kreatifitas.
Dahulu ketulusan tidak punya penafsiran lain. Di zaman ketika orang tak mengenal konspirasi, atau manipulasi dan banjir kampanye. "Kebohongan, bila terus menerus didengungkan sebagai kebenaran, akan diterima sebagai kebenaran," begitu filosofinya. Dan, memang begitulah adanya. Kebohongannya tidak berubah. Tapi cara pikir orangnya yang berubah. Penerimaan manusianya yang berubah.
Ketulusan memang sebentuk kerja-kerja batin. Tentang bagaimana kita bersikap dan memberi arti atas banyak hal. Arti hidup, arti sebuah tindakan, pilihan, dan bahkan arti dari sebuah pengorbanan. Dalam apa saja. Sebagaimana kita bisa juga menjadi tidak tulus, takabbur, berkeluh kesah. Semuanya bisa ada di dalam batin kita.
Tetapi seni yang paling rumit dari menata ketulusan, justru terletak pada lingkaran-lingkaran luar yang mengitarinya. Sebab di situlah godaan besarnya. Sisi luar itu ialah bagaimana kita sendiri memandang ketulusan itu. Sejauh mana kuat atau lemah argumen pikiran kita melandasi ketulusan itu. Bagaimana persepsi-persepsi kita. Cara pandang kita. Bahkan juga, bagaimana kita meletakkan ketulusan itu, dalam konteks kehidupan sehari-hari yang kita jalani. Untuk dan dengan tujuan apa.
Maka menjadi tulus saja tidak cukup. Masih ada soal lain, apakah ketulusan itu menghinakan atau tidak. Apakah ketulusan itu menjadi titik awal dari dedikasi dan etos amal kita. Atau sebaliknya, ia menjadi awal untuk mengelabui banyak hal dalam hidup ini.
Ilustrasi sederhanya seperti cermin.
Tak ada yang lebih tulus dari cermin.
Tempat kita mengaca setiap pagi.
Menatap wajah diri dengan sejuta rasa.
Rasa kita sendiri, tentu. Cermin berbicara dalam puncak kejujurannya; diam dan memberi tahu apa adanya. Bila kita rapi, ia akan menampakkan gambar yang rapi pula. Bila tampilan kita berantakan, ia juga akan menampakkan wajah diri kita yang berantakan. Bila wajah kita layu dan sembab, ia pun memberi tahu bahwa seperti itulah potret kita.
Cermin juga tidak pernah menyimpan dendam.
Ketulusannya memang paripurna.
Apa yang dilihat dari diri kita, tidak pernah ia simpan. Jelek atau buruk tampilan kita. Bila kita telah pergi, ia tidak menyimpan bayangan wajah kita itu di dalam dirinya.
Ketulusan cermin itu adalah kerja hati nurani kita.
Itulah yang disebut fitrah, kata hati atau suara hati.
Selamanya ia tidak akan bisa berdusta.
Ia akan selalu jujur, tulus, dan berbicara dengan benar, seperti ketulusan cermin itu. Tetapi akal, pikiran, hawa nafsu, juga godaan-godaan syetan lah yang membuat kita menolak kejujuran dan ketulusan hati nurani itu.
Persis seperti persepsi kita tentang wajah kita di depan cermin. Kita bisa merasa apa saja. Merasa hebat, cakep, ganteng, cantik. Tetapi soal perasaan kita itu, cermin tidak mau mengintervensi. Terserah pada diri kita. Kita bisa saja merasa seperti itu, tapi apa yang dikatakan cermin, adalah apa yang memang benar-benar seperti adanya. Bisa jadi kita memanipulasi jiwa kita, hati kita, dengan ketulusan, untuk pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya dilarang dan tidak dibenarkan. Mungkin kita merasa rapi padahal semrawut. Atau sebaliknya, kita merasa masih kurang cakep, padahal sudah menghabiskan bertumpuk make-up.
Jadi, ketulusan seperti cermin itulah yang tak menghinakan. Ketulusan yang tidak terkontaminasi oleh faktor lain, termasuk cara kita memaknai ketulusan itu, atau bahkan kepentingan lain yang mencari manfaat dari ketulusan itu. Bahkan oleh perasaan kita, tentang diri kita sendiri. Asal kita benar-benar menjadikannya potret diri. Bila terlihat buruk, kita segera memperbaiki diri. Dan yang pasti, kita menyadari kekurangan-kekurangan yang dengan jujur disampaikan cermin. Jangan sampai, buruk muka cermin dibelah.
Semua ini sama persis untuk konteks perilaku. Bila nurani kita secara tulus mengatakan jenis pekerjaan, atau tindakan kita memang salah, segera tinggalkan. Jangan justru memanipulasi ketulusan itu sendiri.
Sama halnya dengan ketulusan yang dimanipulasi oleh orang-orang malas. Ini tidak lebih baik dengan mereka yang memanipulasi ketulusan untuk stempel kebaikan atas jenis pekerjaan-pekerjaan yang buruk. Kemalasan, minimnya dedikasi, keengganan untuk berusaha, rendahnya etos dalam bekerja, dengan alasan ketulusan dan kepasrahan, adalah jenis kebohongan lain yang membahayakan.
Seperti kisah Qabil dan Habil, selalu ada makna yang berbeda untuk dua bentuk pekerjaan yang sama. Dua-duanya sama-sama mempersembahkan kurban, tetapi Qabil ditolak, sedang Habil diterima. Ketulusan dan keikhlasanlah yang membedakannya. Atau seperti juga hewan-hewan kurban yang disembelih. Allah tidak menerima dagingnya, tapi menerima taqwanya. Jadi sembelihannya mungkin sama, jenis hewannya mungkin sama, beratnya mungkin sama, tapi ketaqwaannya yang membedakan. Atau juga puasa, mungkin dua orang sama-sama laparnya, tapi mungkin Allah menerima dengan cara berbeda, karena ketulusan mereka juga berbeda.
Tapi pada semua contoh itu, ada kalkulasi-kalkulasi performa yang sangat diperhitungkan. Qabil memilih persembahan yang buruk. Demikian juga soal hewan kurban, harus memenuhi syarat. Begitu pula puasa, harus dijalankan dengan syarat tata caranya.
Jadi, menjadi tulus saja tidak cukup. Tetapi memanipulasi ketulusan untuk segala bentuk kehinaan adalah tindakan kerdil dan tak akan mendatangkan kemuliaan. Wallahu’alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar