Sejujurnya sangat menjenuhkan—bahkan
menggelikan—untuk berpikir atau menulis mengenai hal yang hari-hari ini menjadi
tren atau semacam trending topic dalam media sosial.
Sebuah kecenderungan yang menyuburkan tumbuhnya fashioned atau fad intellectual. Semacam pemikir atau pengamat yang menggunakan kelincahan literer dan pelisanan, bukan pikirannya, sekadar sebagai gincu untuk mengikuti isu publik seperti kita tergiur oleh busana dan gadget terbaru hanya karena renda-renda atau fitur tambahan yang lucu.
Namun, itulah yang harus saya lakukan, sekali lagi, membahas sebuah frasa pendek "revolusi mental", produk politik yang bagi saya lebih menghebohkan, lebih besar, bahkan berpeluang lebih mampu menciptakan perubahan fundamental, ketimbang kursi kekuasaan (kepresidenan) yang akhirnya dimenangi seseorang lewat proses yang melodramatik dan sarat preseden. Kedua hal itu berhulu kepada seorang pengusaha mebel yang tidak punya latar elitis atau kelas penguasa dalam dimensi apa pun, seorang dengan kesederhanaan begawan: Joko Widodo (Jokowi).
Peluang menciptakan perubahan fundamental, satu bentuk perubahan yang secara instingtif diharapkan masyarakat banyak, itulah yang menurut saya perlu dikawal, jika dapat dibantu secara maksimal, sekurangnya menghindarinya dari pendangkalan makna, reduksi dari tujuan-tujuan idealnya, bahkan penyelewengan dari intensi dasarnya. Hal ini menjadi urgen ketika ternyata banyak salah tafsir terjadi pada ide itu, berangkat dari salah tafsir tentang empunya ide itu sendiri, Jokowi. Impresi, harapan palsu, hingga ilusi terhadap sosok Jokowilah harus dicegah karena tidak saja merugikan Jokowi sendiri, pada gilirannya ia akan merugikan signifikansi hingga implementasi dari "revolusi mental" yang menjadi tag line kekuasaan yang kini digenggamnya.
Kecerdasan tradisional
Hal pertama dan utama adalah pencitraan
stigmatik yang menganggap Jokowi memiliki kecerdasan—katakanlah—sebagaimana
yang kita bayangkan ada pada Obama atau tokoh dunia lain. Bahkan juga apabila
dibandingkan dengan seorang direktur atau eksekutif sebuah
organisasi/perusahaan pun, performa Jokowi sesungguhnya di bawah standar atau
kategori-kategori canggih manajemen-performatif modern. Karena itu, Anda akan
merugi jika mengharapkan, misalnya, Jokowi dapat mempresentasi konsep atau
ide-ide (kenegaraan atau pemerintahannya) laiknya seorang eksekutif andal.
Pelisanan atau retorikanya sungguh tak cakap,
diksinya miskin, bahasa tubuh kaku, paralingual tak mampu dimainkan untuk
memperkuat pernyataannya sendiri, bahasa Inggris tak fasih, bicara simbol atau
visual display tidak mahir, dan seterusnya. Kualitas mediokratik presentasinya
mungkin ada pada tingkatan middle-manager. Jokowi tentu saja tidak sama sekali
tak cerdas. Dalam standar atau paham kecerdasan yang, misalnya, kita dapatkan
dari seorang Habibie, Gus Dur, apalagi Soekarno, bahkan ahli-ahli retorika yang
silih ganti tampil di layar datar televisi. Namun, mengapa ia begitu hebat?
Mengapa ia bisa menaklukkan lebih dari separuh rakyat negeri ini, dan menjadi
seorang pemimpin tertinggi, menumbangkan begitu banyak tokoh cerdas,
berpengalaman, bermodal besar, berjaringan luas, dan sebagainya?
Jawabannya cuma satu: Jokowi
"cerdas". Bukan cerdas dalam pengertian modern yang akademik,
saintifikal, atau berbasis pada rasionalisme-materialistik atau logosentrisme
oksidental, sebagaimana tokoh-tokoh kita sejak masa pergerakan awal dulu.
Jokowi "hanyalah" sarjana strata satu kehutanan, tidak lebih. Apa
yang dimiliki Jokowi adalah semacam ”kecerdasan” tradisional, bisa juga
primordial, yang dia dapatkan semata dari penghayatannya yang tulen pada sumber
pengetahuan yang ada di dalam nature atau alam bawah sadarnya sebagai
bagian organik dari suku Jawa. Inilah satu bentuk kecerdasan yang tak pernah
dan mungkin tak bisa dipetakan, disistematisasi, difalsifikasi atau
diteorisasikan oleh pelbagai bentuk epistemologi yang ada saat ini.
Kecerdasan ini memang tidak
"disadari" ("sadar" dalam pengertian akal yang sistematikanya
dikelola oleh rasionalisme positif), tetapi ia eksis atau mengendap begitu saja
dalam diri kita. Kita umumnya, tidak hanya tidak "menyadari", tetapi
juga tidak "mengetahui" karena kecerdasan itu sejak kanak kita tutupi
(cover) dengan satu bentuk kultur/adab dengan kecerdasan yang sangat
lain/berbeda. Kultur/adab kontinental yang kita internalisasi sejak PAUD hingga
posdoktoral.
Kapasitas dan kapabilitas dari kecerdasan
tradisional ini, jika tidak seimbang, saya kira, lebih ampuh ketimbang
kecerdasan rasional modern. Kapabilitasnya dalam mengidentifikasi masalah,
menemukan substansi, mengkreasi solusinya yang inovatif, dan
mengimplementasikannya dalam praksis (kebijakan) hidup sehari-hari. Kecerdasan
ini tidak bermain di atas meja, dalam angka-angka, eksposisi ilmiah atau
simpulan-simpulan spekulatif yang reduksionistik, sebagaimana hasil riset-riset
sejumlah laboratorium sosial.
Kapasitas mental
Kecerdasan tradisional Jokowi membutuhkan telinga, mata, hidung, peraba, hingga bulu tengkuk yang meremang, darah yang menggejolak, atau jiwa yang empatik untuk melahirkan gereget bagi sebuah finding tentang—katakanlah—substansi dari sebuah masalah. Karena itu, menurut saya, tanpa blusukan, Jokowi tak bisa berbuat banyak, bahkan akan menjadi "bukan apa-apa", selain seorang penguasa dan takhta belaka.
Kecerdasan tradisional Jokowi membutuhkan telinga, mata, hidung, peraba, hingga bulu tengkuk yang meremang, darah yang menggejolak, atau jiwa yang empatik untuk melahirkan gereget bagi sebuah finding tentang—katakanlah—substansi dari sebuah masalah. Karena itu, menurut saya, tanpa blusukan, Jokowi tak bisa berbuat banyak, bahkan akan menjadi "bukan apa-apa", selain seorang penguasa dan takhta belaka.
Kecerdasan semacam ini mengintegrasikan beberapa bagian fundamen manusia yang
selama ini dilupakan bahkan dinafikan oleh adagium klasik cogito ergo sum,
yakni badan dan perasaan (jiwa, nurani, dan lain-lain). Kecerdasan ini
membuktikan bahwa bukan hanya "aku berpikir", tetapi juga "aku
merasa" dan "aku bermetabolisme" adalah penanda dasar atau
argumen fundamental dari esksitensi, dari adanya: "aku".
Kecerdasan holistik atau komprehensif, yang
didaur dari kultur/adab tradisional/primordial inilah yang saya kira dimaksud
oleh Jokowi dalam term kontroversial itu: mental. Pandirnya, dalam seruan ini,
bukan kapasitas akali yang perlu diubah dan dikembangbiakkan, tetapi justru
kapasitas itu harus dikendalikan, dan sebaliknya kapasitas "mental"
(dalam signifikansi valuatif seperti terjelas di atas) yang dibutuhkan, tidak
hanya sebagai penyeimbang dari kemajuan rasionalisme positif, tetapi juga untuk
mengoreksi kekeliruan-kekeliruan (fallacies) dari produk budaya oksidental itu.
Dengan cara berpikir ini, cara berpikir yang
tidak dikerangkeng atau dikurung dalam boks logosentrisme european—yang
celakanya sudah dianggap given oleh umumnya kaum terpelajar Indonesia—inilah
kita akan dapat memafhumi bahwa "revolusi mental" yang dimaksud tak
lain adalah sebuah abstraksi atau—boleh jadi—transendensi dari figur Jokowi
sendiri. Dari abstraksi ini, sebaiknya kita tidak berharap berlebihan kepada
Jokowi untuk mengkreasi istilah atau term-term ilmiah-populer yang bisa
mengangkut semua pemahamannya tentang dunia kawruh, tentang ngelmu dadi kalaku,
tentang hakikat dan eksistensi dari bagian fundamental–bahkan ilahiah—manusia
yang selama ini ditelantarkan pemikiran modern: rasa (batin/spirit) dan tubuh.
Karena itu, saya menulis ini untuk mendahului
perkiraan saya akan munculnya serangan cukup mematikan (yang syukurnya belum
dilakukan) dari lawan atau pesaing Jokowi terkait dengan "revolusi
mental" ini. Serangan yang hanya berisi dua pertanyaan: "Apa dan
siapa yang dimaksud, atau contoh dari revolusi mental itu?" dan
"Apa Anda sendiri (Jokowi) sudah melakukan revolusi itu sehingga Anda
punya posisi untuk mengimbau atau memerintah orang lain melakukan hal yang
sama?" Saya perhitungkan, penyerang dengan dua pertanyaan di atas akan mendapatkan
kemenangan, setidaknya secara retorik.
Namun, kemenangan retorika bukankah
hasil tertinggi dari kerja/upaya politik? Karena di situlah sesungguhnya suara
juga kekuasaan diperoleh. Karena itu, sangat tak fair jika kita menuntut Jokowi
menjelaskan satu hal yang memang dalam bahasa ilmiah tak pernah dan tidak bisa
dijelaskan, bahkan bagi kecerdasan tradisional itu sendiri mungkin tidak perlu
dijelaskan, tetapi dibuktikan.
Lahir Jokowi lain
Di titik inilah, urgensi dari pemikiran trendi ini memiliki posisi argumen fundamentalnya. Revolusi mental, sekali lagi, tidak akan dapat diselenggarakan hingga ke tingkat praktis atau kebijakan politis jika hanya mengacu pada perhitungan-perhitungan akali yang diproduksi sekumpulan ahli ilmu sosial (sosiologi, psikologi, statistik, manajemen, politik, dan sebagainya). Ia juga harus menyertakan yang kita sebut—dan salah tafsirkan—dengan kearifan lokal, bukan sekadar "kearifan" melainkan juga gugusan pengetahuan yang luas, kaya, dan dalam dari tradisi/adab lokal yang dibangun dan dikembangkan oleh etnik dan ratusan subetnik di seluruh persada negeri, bukan hanya ratusan, melainkan ribuan tahun selama ini.
Di titik inilah, urgensi dari pemikiran trendi ini memiliki posisi argumen fundamentalnya. Revolusi mental, sekali lagi, tidak akan dapat diselenggarakan hingga ke tingkat praktis atau kebijakan politis jika hanya mengacu pada perhitungan-perhitungan akali yang diproduksi sekumpulan ahli ilmu sosial (sosiologi, psikologi, statistik, manajemen, politik, dan sebagainya). Ia juga harus menyertakan yang kita sebut—dan salah tafsirkan—dengan kearifan lokal, bukan sekadar "kearifan" melainkan juga gugusan pengetahuan yang luas, kaya, dan dalam dari tradisi/adab lokal yang dibangun dan dikembangkan oleh etnik dan ratusan subetnik di seluruh persada negeri, bukan hanya ratusan, melainkan ribuan tahun selama ini.
Kita harus melahirkan Jokowi-Jokowi lain
sebanyaknya. Karena Jokowi yang bukan mantan pengusaha mebel itu banyak sekali,
mungkin 230 juta lebih jumlahnya. Jokowi yang presiden terpilih sebenarnya
tidaklah terlalu istimewa karena banyak potensi "Jokowi" sejenis yang
bisa jadi lebih genial dari presiden terpilih. Keutamaan dari presiden baru ini
cuma satu: ia mengetahui kecerdasan itu dan mampu mengaktualisasikannya. Inilah
kemampuan "mental" yang sangat langka.
Bayangkan jika, tak usah 230 juta, tetapi
230.000 saja, satu per mil saja, yang mampu berevolusi mental menjadi
"Jokowi"? Saya tak bermimpi, tetapi saya "yakin" (ini bukan
term ilmiah) tak ada bangsa mana pun mampu menaklukkan, bahkan menyaingi bangsa
ini. Bagaimana menyaingi apalagi menaklukkan sebuah bangsa yang dalam
sejarahnya mampu melahirkan lebih dari 350 etnik/sukubangsa, lebih dari 400
bahasa—setengahnya diakui PBB/UNESCO—yang hingga kini tak satu pun orientalis
atau indonesianis mampu memahami secara penuh dan komprehensif?
Bagaimana semua itu bisa dilaksanakan,
direncanakan? Tentu saja itu rahasia kecil karena itu porsi tim Jokowi dan
pokja-pokjanya untuk merumuskan. Dan satu imperasi dalam perumusan ini:
semestinya ia dilakukan oleh mereka yang sudah lebih dulu (mampu dan mau)
melakukan revolusi mental itu pada dirinya sendiri, menjadi manusia yang hidup
tidak hanya mengandalkan rasionalisme-positif-materialistiknya. Yang selalu
terjerat dalam perhitungan-perhitungan praktis, pragmatis, dan cenderung
oportunistis, sebagaimana para teknokrat pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Bagaimana mungkin sebuah revolusi dalam jenis
ini, dirancang, diatur, dan dioperasikan oleh mereka yang justru belum
terevolusi mentalnya? Apakah kita hendak memainkan dusta atau dunia yang
virtual-artifisial? Jokowi, tuan dan puan, saya kita tidak berdusta, dan bukan
makhluk artifisial.
(Radhar Panca Dahana, Budayawan)
Artikel ini sudah tayang di Harian Kompas edisi 17 Oktober 2014.
Artikel ini sudah tayang di Harian Kompas edisi 17 Oktober 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar