Betapa sering kita mengucapkan, mendengar, mendambakan dan berdoa untuk mendapatkan keberkahan, baik dalam umur, keluarga, usaha, maupun dalam harta benda dan lain-lain. Akan tetapi, pernahkah kita bertanya, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan keberkahan itu? Dan bagaimana untuk memperolehnya?
Apakah keberkahan itu hanya terwujud jamuan makanan yang kita bawa pulang saat kenduri? Atau apakah keberkahan itu hanya milik para kyai, tukang ramal, atau para juru kunci kuburan, sehingga bila salah seorang memiliki suatu hajatan, ia datang pada mereka untuk ”ngalap berkah”, agar cita-citanya tercapai?
Makna keberkahan
Bila kita pelajari dengan sebenarnya, baik melalui ilmu bahasa Arab maupun dalil-dalil Al-Qur’an, dan As-Sunnah, kita akan mendapatkan bahwa kata ”al-barakah” memiliki kandungan dan pemahaman yang sangat luas dan agung. Secara ilmu bahasa, ”al-barakah”, berarti berkembang, bertambah, dan kebahagiaan[1]. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, ”Asal makna keberkahan, ialah kebaikan yang banyak dan abadi”[2].
Dahulu, Saba Merupakan Negeri penuh Berkah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
” (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Rabbmu) adalah Rabb Yang Maha Pengampun”.” (QS. Saba’ [34]: 15)
Ayat di atas berbicara tentang negeri Saba’ sebelum mengalami kehancuran lantaran kekufuran mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dalam Al-Qur’an Allah telah menjelaskan kisah bangsa Saba’, suatu negeri yang tatkala penduduknya beriman dan beramal shalih, maka mereka dilingkupi dengan keberkahan. Sampai-sampai ulama ahli tafsir mengisahkan, kaum wanita Saba’ tidak perlu bersusah payah memanen buah-buahan di kebun-kebun mereka. Untuk memanen hasil kebunnya, cukup menaruh keranjang di atas kepala, lalu melintas di kebun, maka buah-buahan yang telah masak akan berjatuhan memnuhi keranjangnya, tanpa harus memetik atau mendatangkan pekerja untuk memanennya.
Sebagian ulama lain juga menyebutkan, dahulu di negeri Saba’ tidak ada lalat, nyamuk, kutu, atau serangga lainnya. Kondisi demikian itu lantaran udaranya yang bagus, cuacanya bersih, dan berkat rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang senantiasa meliputi mereka[3].
Kisah keberkahan yang menakjubkan pada zaman keemasan umat Islam juga pernah diungkapkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah: ‘Sungguh, biji-bijian dahulu, baik gandum maupun lainnya lebih besar dibanding yang sekarang, sebagaimana keberkahan yang ada padanya (biji-bijian kala itu-pen) lebih banyak. Imam Ahmad rahimahullah telah meriwayatkan melalui jalur sanadnya, bahwa talah ditemukan di gudang sebagian kekhilafahan Bani Umawi sekantung gandum yang biji-bijinya sebesar biji kurma, dan bertuliskan pada kantung luarnya: “Ini adalah gandum hasil panen pada masa keadilan ditegakkan”.[4]
Bila demikian, tentu masing-masing kita mendambakan untuk mendapatkan keberkahan dalam pekerjaan, penghasilan dan harta. Sehingga kita bertanya-tanya, bagaimanakah cara agar usaha, penghasilan dan harta saya diberkahi Allah?
Dua Syarat Meraih Keberkahan
Untuk memperoleh keberkahan dalam hidup secara umum dan dalam usaha penghasilan secara khusus, terdapat dua syarat yang mesti dipenuhi.
Pertama, Iman Kepada Allah.
Inilah syarat pertama dan terpenting agar rizki kita diberkahi Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu dengan merealisasikan keimanan kepada Allah ’Azza wa Jalla.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
”Andaikata penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (QS. al-A’raaf [7] : 96)
Demikian balasan Allah ’Azza wa Jalla kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, dan sekaligus menjadi penjelas bahwa orang yang kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya tidak akan pernah merasakan keberkahan dalam hidup.
Diantara perwujudan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berkaitan dengan penghasilan adalah senantiasa yakin dan menyadari bahwa rizki apapun yang kita peroleh merupakan karunia dan kemurahan Allah ’Azza wa Jalla, bukan semata-mata jerih payah atau kepandaian kita. Yang demikian itu, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan kadar rizki setiap manusia semenjak ia masih berada dalam kandungan ibunya.
Bila kita pikirkan diri dan bangsa kita, niscaya kita bisa membukukan buktinya. Setiap kali kita mendapatkan suatu keberhasilan, maka kita lupa daratan, dan merasa keberhasilan itu karena kehebatan kita. Dan sebaliknya, setiap terjadi kegagalan atau bencana, maka kita menuduh alam sebagai penyebabnya, dan melupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bila demikian, maka mana mungkin Allah ’Azza wa Jalla akan memberkahi kehidupan kita? Bukankah pola pikir semacam ini telah menyebabkan Qarun mendapatkan adzab dengan ditelan bumi? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. dan Apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? (QS. al-Qashash [28] : 78)
Perwujudan bentuk yang lain dalam hal keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala berkaitan dengan rizki, yaitu kita senantiasa menyebut nama Allah ’Azza wa Jalla ketika hendak menggunakan salah satu kenikmatan-Nya, misalnya ketika makan:
Dari sahabat Aisyah radhiyallahu ’anha, bahwasanya Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam pada suatu saat sedang makan bersama enam orang sahabatnya, tiba-tiba datang seorang Arab Badui, lalu menyantap makanan beliau dalam dua kali suapan (saja). Maka Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: ”Ketahuilah seandainya ia menyebut nama Allah (membca basmalah-pen), niscaya makanan itu akan mencukupi kalian. (HR. Ahmad, an-Nasa’i dan Ibnu Hibban).
Pada hadits lain Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: ”Ketahuilah, bahwasanya salah seorang dari kamu bila hendak menggauli istrinya ia berkata: ”Dengan menyebut nama Allah, ya Allah Jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang Engkau karuniakan kepada kami”, kemudian mereka berdua dikaruniai anak (hasil dari hubungan tersebut-pen), niscaya anak itu tidak akan diganggu setan.” (HR. al-Bukhari).
Demikian, sekilas penjelasan peranan iman kepada Allah ’Azza wa Jalla, yang terwujud pada menyebut nama-Nya ketika hendak menggunakan suatu kenikmatan, sehingga dapat mendatangkan keberkahan pada harta dan anak keturunan.
Kedua, amal shalih
Yang dimaksud amal shalih, ialah menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya sesuai degan syariat yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam. Inilah hakikat ketakwaan yang menjadi syarat datangnya keberkahan, sebagaimana ditegaskan pada surat al-A’raaf [7] ayat 96 di atas. Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang Ahlul Kitab yang hidup pada zaman Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
”Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka, niscaya mereka akan mendapatkan makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka”.
(QS. al-Ma’idah [5] : 66).
Para ulama tafsir menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan ”mendapatkan makanan dari atas dan dari bawah kaki”, ialah Allah ’Azza wa Jalla akan melimpahkan kepada mereka rizki yang sangat banyak dari langit dan dari bumi, sehingga mereka akanmendapatkan kecukupan dan berbagai kebaikan, tanpa susah payah, letih, lesu, dan tanpa adanya tantangan atau berbagai hal yang mengganggu ketentraman hidup mereka.[5]
Diantara contoh nyata keberkahan harta orang yang beramal shalih, ialah kisah Khidir dan Nabi Musa bersama dua orang anak kecil. Pada kisah tersebut, Khidir menegakkan tembok pagar yang hendak roboh guna menjaga agrar harta warisan yang dimiliki dua orang anak kecil dan terpendam di bawah pagar tersebut, sehingga tidak tampak dan tidak bisa diambil oleh orang lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Rabbmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu”. (QS. al-Kahfi : [18] : 82).
Menurut penjelasan para ulama tafsir, ayah yang dinyatakan dalam ayat ini sebagai ayah yang shalih itu bukan ayah kandung kedua anak tersebut. Akan tatapi, orang tua itu adalah kakeknya yang ketujuh, yang semasa hidupnya berprofesi sebagai tukang tenun.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: ”Pada kisah ini terdapat dalil, bahwa anak keturunan orang shalih akan dijaga, dan keberkahan amal shalihnya akan meliputi mereka di dunia dan di akhirat. Ia akan memberi syafaat kepada mereka, dan derajatnya akan diangkat ke tingkatan tertinggi, agar orangtua mereka menjadi senang, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qr’an dan As-Sunnah”.[6]
Sebaliknya, bila seseorang enggan beramal shalih, atau bahkan malah berbuat kemaksiatan, maka yang ia petik juga kebalikan dari apa yang telah disebutkan di atas. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
”Sesungguhnya seseorang dapat saja tercegah dari rizkinya akibat dari dosa yang ia kerjakan”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, al-Hakim, dll).
Membusuknya daging dan membasinya makanan, sebenarnya menjadi dampak buruk yang harus ditanggung manusia. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam menyebutkan bahwa itu semua terjadi akibat perbuatan dosa manusia. Beliau Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
”Seandainya kalau bukan ulah Bani Israil, niscaya makanan tidak akan pernah basi dan daging tidak pernah akan membusuk”.
(HR. al-Bukhari dan Muslim)
Para ulama menjelaskan, tatkala Bani Israil diberi rizki oleh Allah ’Azza wa Jalla berupa burung-burung Salwa (semacam burung puyuh) yang datang dan dapat mereka tangkap dengan mudah setiap pagi hari, mereka dilarang untuk menyimpan daging-daging burung tersebut. Setiap pagi hari, mereka hanya dibenarkan untuk mengambil daging yang akan mereka makan pada hari tersebut. Akan tetapi mereka melanggar perintah ini, dan mengambil daging dalam jumlah yang melebihi kebutuhan mereka pada hari tersebut untuk disimpan. Akibat perbuatan mereka ini, Allah ’Azza wa Jalla menghukum mereka, sehingga daging-daging yang mereka simpan tersebut menjadi busuk.[7]
Demikian penjelasan dua syarat penting guna meraih keberkahan.
Amal Shalih Membantu Mendatangkan Keberkahan
Setelah terpenuhi dua syarat di atas, keberkahan juga bisa diraih berkat beberapa amal shalih yang nyata telah kita lakukan. Misalnya sebagai berikut:
Pertama. Mensyukuri Segala Nikmat
Tiada kenikmatan, apapun wujudnya yang dirasakan manusia, melainkan datang dari Allah ’Azza wa Jalla. Atas dasar itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan manusia untuk senantiasa bersyukur kepada-Nya. Dengan cara senantiasa mengingat bahwasanya kenikmatan tersebut datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, diteruskan mengucakan Hamdalah, dan selanjutnya menafkahkan sebagian kekayaannya di jalan-jalan yang diridhai Allah ’Azza wa Jalla. Seseorang yang telah mendapatkan taufik untuk bersyukur, ia akan mendapatkan keberkahan dalam hidupnya, sehingga Allah akan senantiasa melipatgandakan kenikmatan baginya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.
(QS. Ibrahim [14] : 7).
Pada ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
”Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya Dia bersyukur demi (kebaikan) dirinya sendiri”.
(QS. an-Naml [27] : 40).
Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata: ”Manfaat bersyukur tidak akan dirasakan, kecuali oleh pelakunya sendiri. Dengan itu, ia akan mendapatkan kesempurnaan dari nikmat yang telah ia dapatkan, dan nikmat tersebut akan kekal dan bertambah. Sebagaimana syukur, juga berfungsi untuk mengikat kenikmatan yang telah didapat serta menggapai kenikmatan yang belum dicapai.”[8]
Sebagai contoh nyata, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
”Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Rabb) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rizki yang (dianugerahkan) Rabbmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Rabbmu) adalah Rabb yang Maha Pengampun”. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon atsel (cemara) dan sedikit dari pohon bidara.” (QS. Saba’ [34] : 15-16).
Tatkala bangsa Saba’ masih dalam keadaan makmur dan tenteram, Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya memerintahkan kepada mereka agar bersyukur. Ini menunjukkan dengan bersyukur, mereka dapat menjaga kenikmatan dari bencana, dan mendatangkan kenikmatan lain yang belum pernah mereka dapatkan
Kedua. Membayar Zakat (Sedekah)
Zakat, baik zakat wajib maupun sunnah (sedekah) merupakan salah satu amalan yang menjadi faktor yang dapat menyebabkan turunnya keberkahan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
”Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.”
(QS. al-Baqarah [2] : 276).
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: ”Tiada pagi hari melainkan ada dua malaikat yang turun, kemudian salah satunya berkata (berdoa): ”Ya Allah, berilah pengganti bagi orang yang berinfak”, sedangkan yang lain berdoa: ”Ya Allah, limpahkanlah kepada orang-orang yang kikir (tidak berinfak) kehancuran. (Muttafaqun ’alaih).
Ketiga. Bekerja Mencari Rizki dengan Hati yang Qona’ah, Tidak Dipenuhi Ambisi dan Serakah
Sifat qona’ah dan lapang dada dengan pembagian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, merupakan kekayaan yang tidak ada bandingannya. Dengan jiwa yang dipenuhi dengan qana’ah, dan keridhaan dengan segala rizki yang Allah ’Azza wa Jalla turunkan untuknya, maka keberkahan akan datang kepadanya. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
”Sesungguhnya Allah Yang Maha Luas Karunia-Nya Lagi Maha Tinggi, akan menguji setiap hamba-Nya dengan rizki yang telah Ia berikan kepadanya. Barangsiapa yang ridha dengan pembagian Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah akan memberkahi dan melapangkan rizki tersebut untuknya. Dan barangsiapa yang tidak ridha (tidak puas), niscaya rizkinya tidak akan diberkahi. (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh al-Albani).
Al-Munawi rahimahullah menyebutkan: ”Penyakit ini (yaitu tidak puas dengan apa-apa yang telah Allah Subhanhu wa Ta’ala karuniakan kepadnya, pen) banyak dijumpai pemuja dunia. Hingga enkau temui salah seorang dari mereka meremehkan rizki yang telah dikaruniakan untuknya, merasa hartanya sedikit, buruk, serta terpana dengan rizki orang lain dan menganggapnya lebih bagus dan banyak. Oleh karena itu, ia akan senantiasa membanting-tulang untuk menambah hartanya, sampai umurnya habis, kekuatannya sirna, dan ia pun menjadi tua-renta (pikun) akibat dari ambisi yang digapainya dan merasa letih. Dengan itu, ia telah menyiksa tubuhnya,, menghitamkan lembaran amalannya dengan berbagai dosa yang ia lakukan demi mendapatkan harta kekayaan. Padahal, ia tidak memperoleh selain apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tentukan untuknya. Pada akhir hayatnya, ia meninggal dunia dalam keadaan pailit. Dia tidak mensyukuri apa yang ia telah peroleh, dan juga tidak berhasil menggapai apa yang ia inginkan”.[9]
Oleh karena itu, Islam mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa menjaga kehormatan agama dan diri, dalam setiap usaha yang ditempuhnya guna mencari rizki. Sehingga, seorang muslim tidak akan menempuh, melainkan jalan-jalan yang telah dihalalkan dan dengan tetap menjaga kehormatan dirinya.
Keempat. Bertaubat dari Segala Perbuatan Dosa
Sebagaimana perbuatan dosa menjadi salah satu penyebab terhalangnya rizki dari pelakunya, maka sebaliknya, taubat dan istighfar merupakan salah satu faktor yang dapat mendatangkan rizki dan keberkahannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang nabi Hud ’alaihis salam bersama kaumnya:
”Dan (Hud berkata): “Hai kaumku, beristighfarlah kepada Rabbmu lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan atasmu hujan yang sangat deras, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.”
(QS.Hud [11] : 52)
Akibat kekufuran dan perbuatan dosa kaum ’Ad –berdasarkan keterangan para ulama tafsir- mereka ditimpa kekeringan dan kemandulan, sehingga tidak seorang pun bisa melahirkan anak. Keadaan ini berlangsung selama beberapa tahun lamanya. Oleh karena itu, nabi Hud ’alaihis salam memerintahkan mereka untuk bertaubat dan beristighfar. Sebab, dengan taubat dan istighfar itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menurunkan hujan dan mengaruniai mereka anak keturunan.[10]
Kelima. Menyambung Tali Silaturahmi
Diantara amal shalih yang akan mendatangkan keberkahan dalam hidup, yaitu menyambung tali silaturahmi. Ini merupakan upaya menjalin hubungan baik dengan setiap orang yang terkait hubungan nasab dengan kita. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
”Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan (atau diberkahi) rizkinya, atau ditunda (dipanjangkan) umurnya, maka hendaknya ia bersilaturahmi”. (Muttafaqun ’alaih)
Yang dimaksud dengan ditunda ajalnya ialah umurnya diberkahi, diberi taufik untuk beramal shalih, mengisi waktunya dengan berbagai amalan yang berguna bagi kehidupannya di akhirat, dan ia terjaga dari menyia-nyiakan waktunya dalam hal yang tidak berguna. Atau menjadikan nama harumnya senantiasa dikenang orang. Atau benar-benar umurnya ditambah oleh Allah ’Azza wa Jalla.[11]
Keenam, Mencari Rizki dari Jalan yang Halal
Merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya keberkahan harta, ialah memperolehnya dengan jalan yang halal. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda;
”Janganlah kamu merasa bahwa rizkimu datang terlambat. Karena sesungguhnya, tidaklah seorang hamba akan meninggal, hingga telah datang kepadanya rizki terakhir (yang telah ditentukan) untuknya. Maka, tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rizki, yaitu dengan mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram.” (HR. Abdur-Razaq, Ibnu Hibban, dan al-Hakim).
Salah satu yang mempengaruhi keberkahan ini ialah praktek riba. Perbuatan riba termasuk faktor yang dapat menghapus keberkahan.
”Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah”
(QS. al-Baqarah [2] : 276)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: ”Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa Dia akan memusnahkan riba. Maksudnya, bisa saja memusnahkannya secara keseluruhan dari tangan pemiliknya, atau menghalangi pemiliknya dari keberkahan hartanya tersebut. Dengan demikian, pemilik riba tidak mendapatkan manfaat dari harta ribanya. Bahkan dengan harta tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membinasakannya dalam kehidupan dunia, dan kelak di hari akhirat, Allah ’Azza wa Jalla akan menyiksanya akibat harta tersebut”.[12]
Bila mengamati kehidupan orang-orang yang menjalankan praktek riba, niscaya kita dapatkan banyak bukti bagi kebenaran ayat dan hadits di atas. Betapa banyak pemakan riba yang hartanya berlimpah, hingga tak terhitung jumlahnya, akan tetapi tidak satupun dari mereka yang merasakan keberkahan, ketentraman, dan kebahagiaan dari harta haram tersebut.
Begitu pula dengan meminta-minta (mengemis) dalam mencari rizki, termasuk perbuatan yang diharamkan dan tidak mengandung keberkahan. Dalam salah satu hadits, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam menjelaskan sebagian dampak hilangnya keberkahan dari orang yang meminta-minta;
”Tidaklah seseorang terus-menerus meminta-minta kepada orang lain, hingga kelak akan datang pada hari Kiamat, dalam keadaan tidak ada secuil daging pun melekat di wajahnya.” (Muttafaqun ’alaih)
Ketujuh, Bekerja Saat Waktu Pagi
Diantara jalan untuk meraih keberkahan dari Allah, ialah menanmkan semangat untuk hidup sehat dan produktif, serta menyingkirkan sifat malas sajauh-jauhnya. Caranya, senantiasa memanfaatkan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hal-hal yang berguna dan mendatangkan kemaslahatan bagi hidup kita.
Termasuk waktu yang paling baik untuk memulai bekerja dan mencari rizki, ialah waktu pagi. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam pernah memanjatkan doa keberkahan;
”Ya Allah, berkahilah untuk ummatku waktu pagi mereka.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani).
Hikmah dikhususkannya waktu pagi dengan doa keberkahan, lantaran waktu pagi merupakan waktu dimulainya berbagai aktivitas manusia. Saat itu pula, seseorang merasakan semangat usai beristirahat di malam hari. Oleh karenanya, beliau Shallallahu ’alaihi wa sallam mendoakan keberkahan pada waktu pagi ini agar seluruh umatnya memperoleh bagian dari doa tersebut.
Sebagai penerapan langsung dari doa ini, bila mengutus pasukan perang, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam melakukannya di pagi hari, sehingga pasukan diberkahi dan mendapatkan pertolongan serta kemenangan.
Contoh lain dari keberkahan waktu pagi ialah sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Shakhr al-Ghamidi radhiyallahu ’anhu yaitu perawi hadits ini dari Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam. Shakhr bekerja sebagai pedagang. Usai mendengarkan hadits ini, ia pun menerapkannya. Tidaklah ia mengirimkan barang dagangannya melainkan di pagi hari. Dan benarlah, keberkahan Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat ia peroleh. Diriwayatkan, perniagaannya berhasil dan hartanya melimpah-ruah. Dan berdasarkan hadits ini pula, sebagian ulama menyatakan, tidur pada pagi hari makruh hukumnya.
Masih banyak lagi amalan-amalan yang akan mendatangkan keberkahan dalam kehidupan seorang muslim. Apa yang saya paparkan di atas hanyalah sebagai contoh.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa melimpahkan taufik dan keberkahan-Nya kepada kita semua. Dan semoga pemaparan singkat ini dapat berguna bagi saya pribadi dan setiap orang yang mendengar atau membacanya. Tak lupa, bila pemaparan di atas ada kesalahan, maka hal itu datang dari saya dan dari setan, sehingga saya beristighfar kepada Allah. Dan apabila ada kebenaran, maka itu semua adalah atas taufik dan ’inayah-Nya. Wallahu a’lam bish-shawab.
[1] Al-Mishbahul Munir (1/45). Al-Qamus Al-Muhith (2/236), Lisanul Arab (10/395)
[2] Syarah Shahih Muslim (1/225)
[3] Tafsir Ibnu Katsir (3/531)
[4] Lihat Zadul Ma’ad (4/363) dan Musnad Ahmad (2/2969)
[5] Tafsir Ibnu Katsir (2/76)
[6] Tafsir Ibnu Katsir (3/99)
[7] Ma’alimt Tanzil (1/97), Syarah Shahih Muslim (10/59), Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari (6/411)
[8] Tafsir al-Qurthubi (13/206)
[9] Fathul Qadir (2/236)
[10] Lihat Tafsir ath-Thabari (15/359) dan Tafsir al-Qurthubi (9/51)
[11] Lihat Syarah Shahih Muslim (8/350) dan ‘Aunul Ma’bud (4/102)
[12] Tafsir Ibnu Katsir (1/328)
Artikel ini ditulis oleh Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A. yang dimuat di Majalah As Sunnah edisi 01/tahun XII/1429 H/2008 M.
Dipublish ulang @ 2010. Artikel http://ummushofiyya.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar