Alkisah, ada saudagar kaya raya membeli seorang budak. Sejak mula dibeli, budak itu dirawatnya bagai seorang tuan.
Diberikannya uang yang banyak, makanan paling lezat, pakaian paling bagus, perhiasan paling mewah, melebihi yang majikan itu berikan kepada istri dan anak-anaknya.
Tentu si budak merasa senang bercampur heran. Apalagi dia lihat majikannya selalu murung. Ada rona gelisah di wajahnya. Hingga suatu sore, saat duduk santai berdua di halaman teras rumah, si budak memberanikan diri untuk bertanya kepada majikan itu perihal sikapnya itu.
“Kenapa Tuan begitu baik kepadaku?”
“Sebenarnya aku punya satu permintaan. Jika kamu penuhi, berarti kamu layak menerima segala yang sudah dan akan aku berikan kepadamu. Tetapi jika kamu menolak, sungguh aku akan sangat kecewa,” jawab majikan.
Merasa berhutang budi, si budak berkata, “Baiklah, Tuan. Anda sudah banyak berjasa atas hidupku. Aku tidak akan mengecewakan Tuan.”
“Kamu harus berjanji dulu padaku. Aku khawatir kamu akan menolak,” pinta majikan.
“Aku berjanji, Tuan. Sekarang apa yang harus aku lakukan?” jawab si budak polos.
“Permintaanku,” lanjut majikan itu, “kamu harus memenggal leherku ini di suatu tempat dan waktu yang akan aku tentukan.”
“Haah..!” si budak kaget bukan kepalang, “mana mungkin aku melakukan itu, Tuan?” lanjutnya.
“Tapi itulah permintaanku,” tegas majikannya. Dalam hati, si budak menolak. Tetapi majikannya tetap bersikeras, “Kamu harus melakukannya. Kamu telah berjanji kepadaku.”
Hari-hari berlalu. Suatu malam, majikan itu masuk ke kamar si budak. Di tangannya sudah ada sebilah pisau tajam dan segebok uang. Diperintahkannya si budak untuk keluar rumah, mengikuti langkahnya. Si budak berjalan pasrah di belakang tuannya.
Alangkah heran si budak ketika melihat majikannya itu memanjat rumah tetangga sebelah rumah. Keheranan mencapai puncak saat keduanya tiba di atas atap rumah tetangga itu. Dengan suara lirih, majikan berbisik, “Potonglah leherku di sini. Setelah itu kamu boleh pergi kemana saja.”
Terperangah dengan apa yang baru didengar, si budak bertanya alasannya. Majikan menjawab, “Sudah lama aku benci orang ini. Dia selalu melebihiku dalam segala hal. Dendamku sudah puncak. Lebih baik aku mati daripada melihat mukanya. Karena itu, penggallah leherku di sini. Semua orang tahu dia sainganku. Kalau aku mati, orang akan menuduh dialah pelakunya. Dengan begitu, dia akan dipenjara.”
Mendengar itu, si budak berujar dengan geram, “Tuan memang tampak bodoh, pantas menerima kematian ini.” Dengan cepat, digoroknya leher majikan itu, lalu melarikan diri.
Rencana berhasil. Esoknya, kampung geger oleh kematian majikan kaya raya itu. Pemilik rumah, yang merupakan saingan majikan, ditangkap atas tuduhan pembunuhan. Tetapi semua orang tidak percaya dialah pelakunya.
Kematian menjadi misteri hingga si budak luluh hatinya. Dia datangi penguasa untuk menjelaskan peristiwa sebenarnya. Begitu penguasa paham persoalannya, si budak dan tersangka dilepaskan dari hukuman.
Kisah berikut dituturkan Murtadha Muthahhari dalam buku ‘Manusia Sempurna’ terkait bahaya dengki. Dengki memang penyakit batin yang sangat berbahaya. Banyak ayat Alquran dan hadis yang mengingatkan kita agar menjauhi dengki.
Jika sudah kronis, dengki tidak hanya berbahaya bagi pemiliknya, tetapi juga orang lain dan lingkungan. Pendengki tidak segan-segan melakukan apa saja, termasuk mencelakakan dirinya, demi memuaskan amarahnya.
Karena dengki, orang lupa sanak saudara. Itulah kasus yang menimpa dua putra Adam. Dengki telah membuat Qabil tega membunuh adiknya sendiri, Habil (Qs Al-Maidah: 27-30). Nabi Yusuf dilempar ke dalam sumur juga karena menjadi sasaran dengki saudara-saudaranya (Qs Yusuf: 8-9).
Kasus lain adalah kaum Nuh yang menolak beriman kepada Nabi Nuh dengan alasan naif yang bermotif dengki. Lantang mereka berkata, “Apakah kami akan beriman kepadamu. Padahal yang mengikutimu adalah orang-orang rendahan” (Qs As-Syu’ara: 111).
Perhatikan juga ucapan kedengkian anak buah Fir’aun yang menentang dakwah Nabi Musa. “Apakah kita percaya kepada dua orang manusia (Musa dan Harun) seperti kita ini. Padahal kaum mereka adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada kita?” (Qs Al-Mukminun: 47).
Kasus dengki juga muncul di masa Rasulullah Muhammad. Kaum kafir Makkah dan ahli kitab enggan mengimani dakwah Rasulullah adalah karena dengki. Kata mereka, “Mengapa Al-Quran tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri ini?” (Qs Az-Zukhruf: 31).
Mereka juga bilang, “Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberikan anugerah oleh Allah?” (Qs Al-An’am: 53).
Masih banyak ayat-ayat Alquran dan hadis shahih yang berbicara tentang bahaya dengki. Poin utamanya, pendengki selalu gundah gulana atas kenikmatan yang dimiliki orang lain. Sebaliknya, mereka bersuka cita jika orang lain mendapat celaka dan bencana (Qs Ali Imran: 120).
Itulah bahaya dengki. Pantas jika ganjaran yang cocok untuk pendengki adalah tercabik-cabiknya hati oleh duka lara di dunia dan musnahnya saldo pahala yang kemudian diganti siksa dahsyat di akhirat.
Namun, ada dengki terpuji. Sabda Rasulullah, “Tidak dibenarkan dengki kecuali terhadap dua hal: laki-laki yang dikaruniai Allah Alquran lalu diamalkan siang-malam dan laki-laki yang dikaruniai Allah kekayaan lalu diinfakkan siang-malam” (HR Muslim dan Ibnu Majah).
Pada dua model dengki inilah “hendaknya orang-orang berlomba” (Qs Al-Muthaffifin: 26).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar