(Kultum oleh Prof. Dr. Quraisy Shihab, 2009)*
Ada istilah yang
sering kita dengar yaitu toleransi, “tasamuh” dalam istilah agama.
Toleransi adalah batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih dapat
diterima. Toleransi adalah penyimpangan dari yang tadinya harus dilakukan,
penyimpangan yang dapat dibenarkan.
Mengapa manusia harus bertoleransi? Agama menyatakan
bahwa manusia adalah makhluk sosial, pasti berbeda-beda, itu bukan saja
keniscayaan tetapi itu adalah kebutuhan. Namun dalam saat yang sama, Tuhan
menghendaki juga agar kita bersama. Bersama dengan Tuhan, bersama dengan
seluruh manusia. Karena kita semua berasal dari ayah dan ibu yang sama.
Keniscayaan perbedaan dan keharusan persatuan itulah yang mengantar manusia
harus bertoleransi.
Sekali lagi kita bertanya, mengapa kita
bertoleransi? Karena semua manusia mendambakan kedamaian, tanpa toleransi
tidak mungkin ada kedamaian. Semua kita mendambakan kemaslahatan, tanpa
toleransi tidak akan ada kemaslahatan. Semua kita menginginkan kemajuan, tanpa
toleransi kemajuan tidak akan tercapai.
Dari sini, agamapun memberikan toleransi, bukan saja dalam
kehidupan kemasyarakatan tetapi juga dalam kehidupan beragama. Saya akan
memberikan beberapa contoh dari ayat-ayat al-Quran, bahkan dari sejarah Nabi
S.A.W. Bagaimana kita bisa melihat tingginya toleransi beliau, bagaimana
tingginya toleransi yang diajarkan oleh al-Quran, guna menghadirkan kedamaian
dan kesejahteraan. Bukan saja bagi umat Islam, tetapi bagi seluruh rakyat,
seluruh masyarakat, bahkan seluruh manusia.
Kita sama-sama
tahu, Nabi menyatakan bahwa “aku diutus untuk membawa agama yang penuh dengan
toleransi.” Ketika terjadi Perjanjian Hudaibiyah, saat itu, dalam konsepnya
Nabi menuliskan kalimat Bismillahi ar-Rahmani ar-Rahim. Namun
oleh kaum Musyrik tidak disetujui. Mereka meminta agar ditulis menjadi Bismikallahumma.
Nabi berkata kepada Ali bin Abi Thalib “hapus basmalah dan tulisbismikallahumma
sesuai usul mereka!” Nabi menyusun dan menyatakan: “inilah perjanjian
antara Muhammad Rasulullah dan wakil dari kaum musyrik Mekkah.” Pemimpin
delegasi kaum musyrik berkata “seandainya kami mengakui engkau sebagai rasul
Allah, maka kami tidak akan memerangimu. Tulis “perjanjian ini antara Muhammmad
putra Abdullah!” Rasul pun berkata “hapus kata Rasulullah dan ganti dengan
Muhammad putra Abdillah!” Sayidina Ali dan sahabat-sahabatnya tidak ingin
bertoleransi dalam hal ini, mereka enggan menghapusnya. Tetapi Nabi yang penuh
dengan toleransi itu menghapus 7 kata demi kemaslahatan, demi perdamaian.
Kita memang tidak boleh mengorbankan aqidah demi toleransi,
tetapi dalam saat yang sama kita tidak boleh mengorbankan toleransi atas nama
aqidah.
Karena itu terdapat sekian banyak ayat al-Quran yang
berbicara atau menganjurkan kita bertoleransi. Bacalah surat Saba’ (34) ayat 25
dan 26. Anda akan menemukan di situ Nabi diajarkan untuk menyampaikan kepada
kaum musyrik, kepada non muslim, bahwa kami atau anda yang berada dalam
kebenaran atau kesesatan yang nyata. Yakni, mungkin kami yang benar, mungkin
juga kami yang salah. Tetapi nanti Allah akan menghimpun kita, dan Dia-lah yang
akan memberi putusan siapa yang benar, siapa yang salah. Ini bukan berarti
mengorbankan aqidah dengan dengan berkata bahwa kita salah. Tetapi demi
kehidupan bermasyarakat yang penuh kedamaian, jangan mempersalahkan siapapun.
Katakanlah boleh jadi anda benar, boleh jadi anda salah.
(Dan kuliah singkat ini ditutup oleh Prof. Dr. Muhammad
Quraish Shihab dengan sebuah doa):
Bismillahi ar-rahmani ar-rahim…
“Ya Allah…
Kami bermohon kepadaMu. Dengan “La ilaha illallah” tidak ada
Tuhan selain Engkau, yang Maha Pengampun dan Maha Mulia. Lapangkanlah
dada kami, bukalah pintu-pintu hati kami, singkirkanlah kemarahan dan fanatisme
yang ada di dalam hati kami. Anugerahilah kami kemampuan untuk menerapkan
agamamu yang penuh dengan toleransi ini.”
Aamiin…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar