Lupa merupakan kondisi tidak ingat keadaan diri atau sekelilingnya. Ada tiga jenis lupa yang dialami manusia. Pertama, lupa hal-hal sepele, seperti lupa makan atau lupa di mana menaruh barang. Lupa jenis ini manusiawi belaka. Tetapi, ada jenis lupa yang berbahaya. Misalnya, lupa tugas atau tanggung jawab. Dampaknya tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga orang lain.
Tentu yang paling berbahaya dan bahkan mengundang azab Allah ialah lupa jenis ketiga. Itulah lupa diri dan agama, yang menyebabkan manusia turun derajat dari makhluk mulia ke level paling hina. “Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)”. [QS At-Tin/95: 4-5].
Sungguh ngeri kita membaca ayat itu. Betapa semakin hari, kita tidak semakin muda. Pertambahan angka umur kita jelas menunjukkan berkurangnya jatah hidup di dunia. Sebab itu, yang wajib kita renungkan, adakah nikmat berupa umur ini lebih banyak bermuatan kebaikan atau justru keburukan. Bercermin diri seraya memperbanyak tobat, itulah ajaran yang harus dipraktikkan orang beriman.
Introspeksi menjadi sarana mujarab untuk melawan lupa. Sementara, tobat jelas alat pembersih dosa dan kesalahan. Tobat, menurut ulama, adalah menyadari, menyesali, dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi dosa dan kesalahan serupa. Bukanlah tobat jika satu dari ketiga syarat itu hilang. Tobat pincang itu disebut sebagai Tobat Sambal alias Kapok Lombok. Tobat yang diterima Allah, itulah taubah nasuhah, yang berdampak positif dahsyat pada pelakunya.
Menjalani hidup di era serba digital sungguh tidak mudah. Keluarlah rumah, bacalah koran, lihatlah internet. Betapa jebakan kemaksiatan tersebar di segala penjuru arah. Jika kita tidak ekstrawaspada, bukan mustahil akan terseret ke lumpur dosa. Karena itu, kita harus mampu memelihara kepekaan dan sensitivitas nurani. Tidak kalah penting pula terus berusaha memahami dan mengamalkan doa yang setiap salat kita baca: Ya Allah, tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus.
Lupa muncul karena manusia sembrono dalam mengeja kehidupan. Hatinya tidak terjaga, sehingga menjadi gelap. Hati yang gelap disebut zulmun (kezaliman), dan pelakunya bernama zalim. Idenya ialah setiap kebusukan dapat membuat hati manusia menjadi gelap dan mudah lupa. Indikasinya, tidak pernah merasa risih ketika berbuat dosa dan kesalahan. Kejahatan dianggap sebagai kebajikan, perusakan diakui sebagai perbaikan, karena selalu dihisasi setan.
Dalam kondisi demikian, hatinya tidak lagi nurani tetapi sudah zulmani. “Maka apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu setan)? Maka sungguh Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki siapa yang Dia kehendaki, Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sungguh Allah Maha Mengetahui segala yang mereka perbuat.” [QS Fathir/35: 8].
Tidak susah mendapati sosok-sosok manusia berhati zulmani. Tengoklah para bramacorah negeri ini: pemimpin korup, hakim khianat, politisi busuk, pengusaha licik. Mereka potret terang penjahat-penjahat kemanusiaan sejati. Dunia ini terbukti babak belur di tangan sekumpulan manusia berhati zulmani itu.
Pantaslah jika Allah memerintahkan Rasulullah untuk menyampaikan peringatan keras kepada mereka. “Katakanlah, ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” [QS Al-Kahfi/18: 103-104].
Ada empat langkah praktis yang berguna untuk mengikis lupa. Empat langkah ini sesuai dengan dimensi kemanusiaan manusia.
Pertama, gairahkan fisik dengan
ibadah. Bagi orang beriman, tidak ada yang paling berharga selain memfokuskan
setiap gerak dalam tarikan napas ibadah. Ibadah, selain akan mendekatkan diri
kepada Allah, juga dapat mencegah diri dari dosa, mengikis virus hati, mengusir
penat, menolak bencana, mengundang rezeki, dan membuat hidup ceria. Karena
itulah, doa sangat indah yang diajarkan Rasulullah kepada Muadz bin Jabal
berbunyi,“Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan
memperbaiki kualitas ibadah kepada-Mu.”
Kedua, hidupkan akal dengan ilmu. Dr Aidh Al-Qarni mengatakan, kebodohan merupakan tanda kematian jiwa, terbunuhnya kehidupan, membusuknya umur. Sebaliknya, ilmu adalah cahaya bagi hati nurani, kehidupan bagi ruh, dan bahan bakar bagi tabiat. Dengan begitu, apa yang masuk via indra orang beriman harus menjadi ilmu. Sebab, kedamaian dan ketenteraman hati senantiasa muncul dari ilmu. Ilmu mampu menembus yang samar, menemukan yang hilang, menyingkap yang tersembunyi.
Ketiga, hidupkan hati dengan zikir. Di antara ciri ulul albab adalah selalu zikir (ingat) kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring. Sepintas, tampaknya itu mudah, karena hanya zikir dalam tiga keadaan. Tetapi coba renungkan, adakah keadaan bagi manusia selain berdiri, duduk, dan berbaring?
Dengan kata lain, hati orang beriman dituntut terus online kepada Allah di segala keadaan. Itulah zikir yang menenteramkan dan menjadikan hati nurani ini waskita. “Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwa Alquran itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sungguh Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang beriman kepada jalan yang lurus.” [QS Al-Haj/22: 54].
Keempat, sucikan jiwa dengan baik sangka. Banyak orang merana karena berselimut buruk sangka. Hidup dirundung susah padahal bergelimang harta. Wajah berkalang duka padahal menggenggam segalanya. Ingatlah nasihat Ibnu Qayim Al-Jauziyah bahwa nilai manusia itu dapat diukur dari semangat dan apa yang dia inginkan.
Orang beriman selalu bergemuruh kasih sayang dalam hatinya. “Sungguh orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” [QS Maryam/19: 96].
Alarm kehidupan berupa krisis pemimpin, budaya korupsi, pembusukan parpol, kekerasan massa, kelumpuhan hukum, kemiskinan ekonomi, peredaran narkoba, kengawuran media, dan beragam kemunduran moral lain sudah demikian nyaring. Masa depan bangsa ini di tahun-tahun mendatang sangat tergantung pada sejauh mana kita mampu segera siuman dan bangkit dari lupa.
Kedua, hidupkan akal dengan ilmu. Dr Aidh Al-Qarni mengatakan, kebodohan merupakan tanda kematian jiwa, terbunuhnya kehidupan, membusuknya umur. Sebaliknya, ilmu adalah cahaya bagi hati nurani, kehidupan bagi ruh, dan bahan bakar bagi tabiat. Dengan begitu, apa yang masuk via indra orang beriman harus menjadi ilmu. Sebab, kedamaian dan ketenteraman hati senantiasa muncul dari ilmu. Ilmu mampu menembus yang samar, menemukan yang hilang, menyingkap yang tersembunyi.
Ketiga, hidupkan hati dengan zikir. Di antara ciri ulul albab adalah selalu zikir (ingat) kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring. Sepintas, tampaknya itu mudah, karena hanya zikir dalam tiga keadaan. Tetapi coba renungkan, adakah keadaan bagi manusia selain berdiri, duduk, dan berbaring?
Dengan kata lain, hati orang beriman dituntut terus online kepada Allah di segala keadaan. Itulah zikir yang menenteramkan dan menjadikan hati nurani ini waskita. “Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwa Alquran itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sungguh Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang beriman kepada jalan yang lurus.” [QS Al-Haj/22: 54].
Keempat, sucikan jiwa dengan baik sangka. Banyak orang merana karena berselimut buruk sangka. Hidup dirundung susah padahal bergelimang harta. Wajah berkalang duka padahal menggenggam segalanya. Ingatlah nasihat Ibnu Qayim Al-Jauziyah bahwa nilai manusia itu dapat diukur dari semangat dan apa yang dia inginkan.
Orang beriman selalu bergemuruh kasih sayang dalam hatinya. “Sungguh orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” [QS Maryam/19: 96].
Alarm kehidupan berupa krisis pemimpin, budaya korupsi, pembusukan parpol, kekerasan massa, kelumpuhan hukum, kemiskinan ekonomi, peredaran narkoba, kengawuran media, dan beragam kemunduran moral lain sudah demikian nyaring. Masa depan bangsa ini di tahun-tahun mendatang sangat tergantung pada sejauh mana kita mampu segera siuman dan bangkit dari lupa.
Oleh M
Husnaini, Penulis Buku “Menemukan Bahagia”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar