Mantan presiden Megawati Soekarnoputri membuat pernyataan mengejutkan. Ia
kembali menegaskan posisi kader partainya dalam pemerintahan saat ini.
Megawati menuturkan, UU Nomor 42 tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden mengamanatkan, bahwa
presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik. Dengan kondisi seperti itu, maka Megawati berpendapat, presiden dan
wakil presiden sudah sewajarnya menjalankan garis kebijakan politik partai.
Pernyataan Megawati disampaikan dalam
pidato di hadapan peserta kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
di Bali sepekan lalu. Presiden Jokowi pun hadir dan sudah pasti ikut
mendengarkan dengan takzim apa yang dikatakan ‘sang ibu’.
Penegasan Megawati itu seolah
menggarisbawahi pernyataannya sebelum ini. Megawati pernah menyebutkan, bahwa
Joko Widodo adalah petugas partai yang kebetulan mendapat amanah untuk menjadi
presiden.
Saat itu banyak kalangan yang kaget.
Mereka menilai, itu sekadar ungkapan dari Megawati yang keceplosan dan tak ada
niat untuk merendahkan martabat presiden yang kebetulan merupakan kader PDIP.
Rupanya pendapat Megawati soal
kedudukan presiden saat ini, yang tak lebih dari sekadar petugas partai, bukan
basa-basi belaka. Pernyataan itu ia ulangi saat penutupan kongres PDIP dan
bahkan nadanya lebih tegas lagi dengan disertai ancaman pula.
Ketua umum PDIP keempat kalinya itu
menuturkan, seluruh kader PDIP --baik di legislatif atau eksekutif-- adalah
petugas partai yang harus ikut instruksi partai. Sebagai petugas partai, mereka
wajib menjalankan keputusan partai.
“Ingatlah bahwa kalian adalah petugas
partai dan merupakan perpanjangan tangan partai. Jika tak mau disebut petugas
partai, keluar,” ucap Megawati dengan tegas.
Hampir tak ada pendapat dari pihak di
luar PDIP yang sepakat dengan pernyataan Megawati. Pada umumnya mereka menilai,
logika pemikiran Megawati justru terbalik. Semestinya, saat seorang kader
menduduki posisi di pemerintahan, maka kepentingan partai haruslah
ditanggalkan. Justru saat itulah sang kader partai harus mengutamakan
kepentingan rakyat/bangsa dan negara.
Bukankah berkhidmat di partai sejatinya
hanyalah sasaran antara bagi seorang kader dalam mendarmabaktikan dirinya? Kesibukan
di partai adalah jalan untuk menuju upaya mewujudkan cita-cita besar bangsa,
yakni menciptakan masyarakat yang cerdas, aman, adil, dan sejahtera. Itu hanya
bisa dilakukan bila kita telah meninggalkan kepentingan partai yang lebih
terbatas atau sempit dibandingkan kepentingan negara dan pemerintah.
Aktivitas di partai haruslah dipandang
sebagai upaya untuk mematangkan diri bagi seorang kader politik. Partai
mestinya menjadi semacam kawah candradimuka, dalam istilah pewayangan, yang
membuat sang kader menjadi mumpuni dalam berkiprah.
Di partailah seseorang bisa belajar
mengelola segala seluk-beluk pemerintahan. Mulai dari menampung aspirasi warga,
mengelompokkan (agregasi) kepentingan atau tuntutan, menyalurkan kepentingan,
terlibat dalam proses politik (pembuatan dan pelaksanaan keputusan), dan
nilai-nilai adiluhung (utama) lainnya. Dari para tokoh yang lebih senior
pulalah sang kader diharapkan bisa belajar kematangan manajemen pemerintahan
sebelum akhirnya mengabdikan dirinya di jajaran eksekutif atau legislatif.
Semua pemerhati dan pegiat politik
tentu mengetahui untaian kalimat indah yang pernah disampaikan oleh mendiang
Presiden Amerika Serikat ke-35, John F Kennedy, untuk memperlihatkan betapa
jauh lebih pentingnya pengabdian untuk negara. “Kesetiaanku pada partai
berakhir, ketika kesetiaanku pada negara dimulai,” ucap Kennedy pada 1961 yang
ketika itu baru berusia menjelang 44 tahun.
Kematangan berpikir dan pilihan sikap
Kennedy memang luar biasa mashyur. Partai Demokrat yang mengusungnya pun tak merasa
ditinggalkan. Malahan kalimat Kennedy itu lalu menjadi pegangan bagi seorang
politikus tatkala ia mulai menjejakkan kakinya di pemerintahan. Siapa pun
seantero jagat sependapat dengan pemikiran Kennedy.
Anehnya, Megawati yang dari sisi
pengalaman dan usia jauh lebih matang dari Kennedy justru menghidupkan makna
yang lebih sempit dalam hal darma bakti kader partai pada negara. Pemikiran
megawati itu berarti setiap kader PDIP yang ada di pemerintahan harus tetap
tunduk pada kebijakan partai.
Sikap dan pendapat Megawati ini justru
akan mengurangi simpati masyarakat kepadanya. Sosok setingkat Megawati
seharusnya sudah tak lagi memikirkan diri dan kelompoknya secara terbatas.
Kepentingan negara dan warga secara luaslah yang semestinya senantiasa melintas
di benaknya. Itu kalau Megawati ingin ditempatkan pada posisi terhormat sebagai
negarawan.
Kepentingan dan tujuan pendirian negara
akan jauh lebih luas dan kompleks dibanding partai. Oleh sebab itu, sasaran
puncak berkarier dalam politik adalah mengabdi pada kepentingan
negara/masyarakat dan menanggalkan kepentingan atau warna coreng-moreng di
partai.
Selain membalik arah logika berpikir
tentang pengabdian atau darma bakti, sikap Megawati itu juga secara otomatis
merendahkan martabat presiden. Seorang presiden tak bisa lagi dianggap hanya
milik partai. Apa pun, presiden Indonesia adalah milik seluruh rakyat
Indonesia.
Siapa pun orangnya dan apa pun
asal-usulnya, begitu seseorang menjadi presiden, maka dia telah menjadi simbol
negara. Tak menghormati atau merendahkan simbol negara, berarti juga melecehkan
keberadaan warganya.
Karena itu, tak pada tempatnya presiden
patuh pada kehendak partai. Justru partailah yang harus mengikhlaskan atau
mewakafkan sosok penting kadernya untuk memimpin Indonesia menuju cita-cita
bersama.
Siapa pun tahu Jokowi adalah salah satu
kader PDIP. Namun, tatkala menghadiri kongres PDIP 2015 lalu, dia adalah
presiden kita.
Tak semestinya kita memperlakukan sang
presiden seolah tak ada bedanya dengan pengurus partai. Kalau boleh
menyarankan, saya ingin Jokowi selaku presiden tak menggunakan atribut parpol
(meski hanya jaket sekalipun) --seperti waktu kongres PDIP tersebut-- tatkala
dia hadir di acara partai apa pun.
Tak memberi kesempatan presiden untuk
melakukan sambutan saja sudah merupakan bentuk atau wujud tak menghargai
keberadaan dia. Ini pun merupakan kejadian pertama dalam sejarah politik di
Indonesia, presiden hadir di sebuah kongres atau munas partai akan tetapi tak
mendapat kesempatan untuk memberikan sambutan.
Apalagi kemudian
malah menurunkan martabat dengan posisi sebagai petugas partai yang sekadar
mendengarkan pidato sang ketua umum dan menuangkan minuman untuk pimpinan
partai itu. Sebaiknya, jangan ada lagi presiden yang ‘dihinakan’ dan dianggap
hanya sebagai petugas partai.
Oleh: Arif Supriyono
Wartawan Republika
Wartawan Republika
http://www.republika.co.id/berita/kolom/fokus/15/04/19/nn1fr8-hinanya-sang-petugas-partai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar