يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ, وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada
Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka
itulah orang-orang yang fasik.” (Qs. al-Hasyr: 18-19 )
Muhasabah Diri Adalah
Salah Satu Bentuk Ketaqwaan
Ayat di atas menjadi rujukan utama dalam pembahasan
muhasabah (intropeksi). Yang menarik dari ayat tersebut bahwa Allah
memerintahkan orang-orang beriman untuk bertaqwa sebanyak dua kali, hal ini
menunjukkan betapa pentingnya kandungan ayat di atas.
Berkata Imam al-Qurthubi di dalam al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an (17/29): “Dikatakan bahwa Taqwa yang pertama,
maksudnya adalah taubat dari dosa-dosa yang telah lalu. Adapun Taqwa yang kedua
adalah menghindari dari maksiat di masa mendatang.“
Setelah Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk bertaqwa,
kemudian Allah memerintahkan setiap jiwa dari mereka untuk melihat apa saja
bekal yang yang sudah disiapkan untuk menyambut hari esok, inilah makna
muhasabah dan intropeksi. Artinya bahwa salah satu bentuk ketaqwaan kepada Allah adalah
selalu bermuhasabah diri terhadap apa yang sudah dikerjakan selama ini.
Persiapan Untuk Hari Esok
Mempersiapkan diri untuk menghadapi hari esok adalah sesuatu
yang diperintahkan oleh Allahsubhanahu
wa ta’ala. Hari esok ada dua; hari esok yang dekat, dan hari esok yang
jauh.
Adapun hari esok yang
dekat adalah hari-hari mendatang di dalam kehidupan dunia ini bisa
satu hari lagi, satu minggu lagi, satu bulan lagi, satu tahun lagi, sepuluh
tahun lagi dan seterusnya. Yang jelas, setiap diri kita harus mempersiapkan
diri untuk masa depan.
Ayat ini memerintahkan kita umat Islam untuk selalu mempunyai
rencana dan rancangan yang matang dalam setiap aktivitas, tidak asal kerja,
tidak asal beramal. Sehingga hasil kegiatan yang terencana dan terprogram
dengan rapi akan menghasilkan sesuatu yang baik dan bermanfaat, baik di dunia
ini maupun di akherat.
Adapun hari esok yang
jauh maksudnya adalah hari akherat, maka setiap diri kita hendaknya
mempersiapkan bekal amal untuk dibawa ke akherat.
Berkata Imam al-Qurtubi : “Hari esok adalah hari kiamat. Orang
Arab menyebut sesuatu yang akan datang dengan esok hari.“
Ayat di atas sesuai dengan hadist Abu Ya’la Syadad bin Aus radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
الكَيْسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنِ اتَّبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا، وَتَمَنَّي عَلَي الله
“Orang yang cerdik adalah
oraang yang selalu menahan hawa nafsunya dan beramal untuk sesudah mati,
sedangkan orang yang lemah adalah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan
berangan-angan kepada Allah“ (HR Tirmidzi, dan beliau
berkata: hadist ini Hasan Shahih)
Macam-Macam Muhasabah
Diri
Muhasabah diri bisa dibagi menjadi beberapa macam:
Pertama: Muhasabah Sebelum Beramal.
Sebelum beramal hendaknya kita bermuhasabah, apakah amal yang akan kita
kerjakan sudah benar-benar diniatkan karena Allah semata, atau ada niat
lain? seandainya sudah ikhlas, maka apakah sudah sesuai dengan tuntunan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam?
Berkata Imam Hasan al-Bashri :
رَحِمَ الله عَبْداً وَقَفَ عِنْدَ هَمِّهِ، فّإِنْ كَانَ لِلهِ مَضَى، وَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهِ تَأَخَّرَ.
“Mudah-mudahan Allah selalu memberikan rahmat kepada seorang hamba yang selalu
merenungi sebelum melakukan aktifitas, jika diniatkan karena Allah, maka ia
lakukan aktivitas tersebut, tetapi jika bukan karena Allah, dia urungkan
aktivitas tersebut. “
Kedua: Muhasabah Pada Saat Beramal.
Ketika
sedang beramal, hendaknya kita terus berusaha agar amal kita tetap berada
pada jalur yang telah digariskan Allah, jangan sampai lengah dan keluar dari
jalur, maka kita akan celaka.
Jika kita
sedang sholat umpamanya, hendaknya tetap berusaha agar sholat kita tetap khusu’
dan diniatkan hanya karena Allah hingga akhir sholat. Jangan sampai di
tengah-tengah sholat muncul hal-hal yang mengganggu kekhusu’an dan keikhlasan
kita.
Ketiga:
Muhasabah Setelah Beramal
Setelah
melakukan suatu amal, hendaknya seseorang melakukan muhasabah kembali, apakah
amalnya sudah bermanfaat bagi orang lain atau belum, jika sudah bermanfaat,
sejauh mana manfaat tersebut, sedikit atau banyak, jika masih sedikit hendaknya
ditingkatkan kembali.
Melihat
amal perbuatan yang dikerjakannya belum sempurna, maka hendaknya disempurnakan
kembali di masa mendatang. Amal perbuatannya yang belum ikhlas, hendaknya
diusahakan untuk benar-benar ikhlas karena Allah di masa-masa mendatang, dan
seterusnya.
Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu berkata:
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِنُوْهَا قَبْلَ أَنْ تُوَزِّنُوا، فَإِنّ أَهْوَنَ عَلَيْكُمْ فِي الحِسَابِ غَداً أَنْ تُحَاسَبُوا أَنْفُسَكُمُ الْيَوْم، وتُزَيِّنُوا للْعَرْضِ الأكْبِر، يَوْمَئِذ تُعْرَضُوْنَ لَا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَة
“ Bermuhasabalah atas diri kalian sendiri sebelum kalian dihisab pada hari
kiamat, dan timbanglah amal kalian di dunia ini sebelum nanti ditimbang pada
hari kiamat. Sesungguhnya kalian akan merasa ringan dengan bermuhasabah pada
hari ini untuk menghadapi hisab kelak. Dan berhiaslah kalian (dengan amal
sholeh) untuk menghadapi hari pameran agung. Pada hari itu perbuatan kalian
akan ditampilkan tidak ada yang tersembunyi sedikitpun. “
Berkata Imam Hasan al-Bashri :
إنّ العَبْدَ لَا يَزَالُ بِخَيْرٍ مَا كَانَ لَهَ وَاعِظُ مِنْ نَفْسِهِ، وِكِانَتْ المُحَاسِبِةُ هِمَّتَهُ.
“Sesungguhnya seorang hamba akan selalu dalam keadaan baik selama dia mempunyai
penasehat dari dirinya sendiri, dan selalu bermuhasabah diri.“
Berkata Maimun Mahran:
لَا يَكُوْنُ العَبْدُ تَقِياً حَتَّى يَكُوْنَ لِنَفْسِهِ أَشَدّ مُحاسَبة مِنَ الشَّرِيْكِ لشريكه
“ Seseorang tidak akan mendapatkan predikat ketaqwaan sampai dia melakukan
muhasabah kepada dirinya lebih ketat dibanding seorang teman yang bermuhasabh
terhadap temannya . “
Diriwayatkan
dari Imam Ahmad dari Wahab, telah tertulis di dalam Hikmah Keluarga Nabi
Daud ‘alaihi as-salam bahwa :
” Orang yang berakal hendaknya membagi waktunya menjadi 4 bagian
; waktu untuk bermunajat kepada Allah subhanahu
wata’ala, waktu untuk intropeksi terhadap diri sendiri, waktu untuk
bergaul dengan teman-temannya yang bisa memberitahu kekurangannya, dan waktu
untuk bertafakkur tentang
dirinya dan kenikmatan yang didapatkan. Sesungguhnya waktu-waktu tersebut bisa
membantu untuk memperbaiki hati. “
Orang Fasik Adalah Orang
Yang Lupa Kepada Allah.
Allah berfirman :
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“ Dan janganlah kamu
seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa
kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Qs.
al-Hasyr : 18-19 )
Salah
satu bentuk muhasabah dan intropeksi diri adalah tidak lupa kepada Allah,
sebaliknya dia selalu berdizikir dan mengingat Allah, serta mempersiapkan diri
dan mencari bekal untuk hari dimana dia akan bertemu dengan Allah.
Maka Allah melarang kita untuk menyerupai orang –orang yang
melupakan Allah, karena lupa kepada Allah akan menyebabkan seseorang melupakan
dirinya sendiri. Bagaimana hal itu terjadi ?
Kalau seseorang lupa bahwa Allah adalah Rabb dan Penciptanya,
maka dia akan lupa terhadap dirinya, lupa terhadap asal-usulnya yang dulu tidak
ada, kemudian menjadi ada. Dulu, dia hanya berupa air mani yang hina, kemudian
Allah menjadikannya menjadi orang yang dewasa dan kuat, yang kemudian akan
kembali lemah dan akhirnya akan mati dan kembali lagi kepada Allah.
Maka kalau seseorang lupa kepada Allah, dia akan lupa kepada
hal-hal tersebut, selanjutnya dia akan berbuat semena-mena dan semau-maunya di
muka bumi ini, tanpa ada aturan yang mengikatnya, orang-orang seperti ini akan
menjadi orang yang merugi di dunia, karena akan dijauhi masyarakat, akan
dikucilkan bahkan akan ditahan karena daya rusaknya yang begitu hebat di
masyarakat.
Maka Allah selalu mengingatkan manusia akan asal usulnya dan
mengingat juga bahwa dia akan kembali kepada asalnya dan pemiliknya yaitu
Allah. Lihat umpamanya di dalam Qs al-Mukminun, Qs. al-Haj, Qs. ar-Rum, Qs. al
Insan, Qs. as-Sajdah dan banyak lagi ayat-ayat yang serupa.
Ibnu Katsir di dalam “ Tafsir al-Qur’an al-Adhim ‘ ( 4/432
) berkata :
“ Maksudnya janganlah kalian melupakan untuk mengingat Allah,
maka Allah akan membuat kalian lupa beramal sholeh yang akan membawa manfaat
bagi kalian di akherat. Sesungguhnya ganjaran itu sesuai dengan amal perbuatan.
“
Berkata Syekh Abdurrahman as-Sa’di di dalam :
بل أنساهم الله مصالح أنفسهم، وأغفلهم عن منافعها وفوائدها، فصار أمرهم فرطا، فرجعوا بخسارة الدارين، وغبنوا غبنا، لا يمكنهم تداركه،
“ Bahkan Allah menjadikan mereka lupa terhadap maslahat mereka
sendiri, Allah memalingkan mereka sehingga lupa terhadap hal-hal yang
bermanfaat untuk diri mereka sendiri, sehingga urusan mereka menjadi kacau, dan
akhirnya mereka rugi dunia dan akherat, kerugian yang tidak mungkin bisa
diganti lagi. “
Kesibukan mengumpulkan harta dan memikirkan masa depan anak-anak
mereka membuat mereka lupa kepada Allah sehingga mereka menjadi orang yang
merugi. Ini sesuai dengan firman Allah subhanahu
wa ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ .
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat
Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang
rugi.” (Qs. al-Munafiqun : 9). Wallahu A’lam
Dr. Ahmad Zain An-Najah,
MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar