Selasa, 04 Januari 2011
Jamrud - Surti Dan Tejo
All kisah di sebuah pedusunan nun jauh disana, hidup seorang gadis cantik nan elok, Surti (bukan nama sebenarnya). Surti, sebuah nama yang nggak asing di telinga para jejaka desa, mulai dari lelaki hidung belang sampe yang punya belang di tangan (itu sih gelang..mas!!), pada nggak tahan kalo ngeliat wajah si Surti. Konon senyum si Surti bisa ngruntuhin gunung-gunung jiwa yang keras oleh hasrat, dan mampu membasahi sawah-sawah hati yang galau oleh panasnya kehampaan (ji'ileeee, puitis banget). Diantara deretan cowok yang terkena 'sihir' Surti, adalah si Tedjo (bukan nama sebenarnya). Jejaka yang baru aja nyelesein kuliah di fakultas hukum di sebuah PTN di Surabaya. Entah, atao karena Tedjo punya ilmu pelet warisan dari Nyi Pelet, lha koq si Surti yang kembang desa itu, jatuh dari tangga ehhhhh… maksudnya jatuh di pelukan Tedjo.
Ceritanya, desa sedang panen raya, sawah-sawah menguning (kuningisasi, nih yeee) siap untuk dipanen. Saat itulah Surti ketemu Tedjo yang udah nggondol (kayak kucing aja nggondol) gelar Sarjana Hukum, mereka bertemu di pematang sawah, lalu saling lempar sandal ( pok…ehh) maksudnya lempar senyum, di tengah hiruk pikuknya warga, mereka berdua terlena oleh indahnya cinta (katanya, sih), berduaan bersepi-sepian alias khalwat, menikmati masa mudanya, katanya dunia hanya milik mereka berdua yang lainnya ngontrak dan nge-kost (kasihan ibu kost dong..,ngurusin orang sejagat). Seharusnya mereka ingat kalo mereka itu seorang muslim dan muslimah, ingat akan sabda Rasulullah tentang larangan berduan atau khalwat (HR. Abu Daud, HR. Muslim).
Apalagi si Surti nggak pake Jilbab, padahal jilbab itu khan wajib bagi perempuan yang sudah baligh (lihat QS. al-Ahzab 59, an-Nur 31), bagi wanita yang nggak make, maka diharamkan oleh Allah untuk mencium baunya surga, yang baunya surga itu bisa tercium lebih jauh dari jarak matahari ke bumi (sorry, itung sendiri aja yaaa), jadi menciumnya aja kagak boleh apalagi masuk ke surga. Bayangkan aja kalau seumpama kamu dilarang masuk rumah orang, trus kamu nyelonong masuk aja, apa yang terjadi, tentu ente akan diusir, masih untung diusir ama manusia, tapi bagaimana kalau Allah yang mengusir ente dari surga, trus ente mau masuk kemenong, kalau nggak ke neraka…gocong atuh (hiihhh takuttt!!!).
Warga berpesta pora dengan hasil panennya, bahkan untuk merayakan panennya, warga menggeber layar tancap semalam seuntuh, tapi seharusnya warga juga ingat bahwa berapa zakat yang seharusnya mereka keluarkan dari hasil panennya. Bukankah ada zakat 5 sampai 10 %? Dan bukankah hukum zakat itu wajib ain? Sementara dua sejoli yang sedang menikmati sepiring cinta, sambil menyaksikan layar tancep yang memutar film kuch kuch hota hai. Di tempat sepi diatas rerumputan hijau, terjadilah adegan dewasa (17 tahun keatas, trus ke atas lagi, genting rumah dong??), hanya dengan satu jurus dan 'tendangan tanpa bayangan' (soalnya gelap nggak ada lampu) Tedjo, terjadilah kecelakaan itu, kecelakaan apa? Ya kecelakaan, masak nggak tahu, itu tuh, yang kata orang bijak "bukan salah bunda mengandung tapi salah empunya burung" (ya, sama-sama salah, neng) alias ngemil ehhh maksudnya hamil.
Meski disembunyikan di bawah kolong tempat tidur, kalo namanya barang busuk toh, akan terbau juga. Setelah diketahui banyak asap mengepul, banyak orang bertanya dimana apinya. Satu bulan, dua bulan, orang mengira si Surti terkena tumor ganas, tapi lama kelamaan kok keinginan Surti mulai aneh-aneh, mulai dari yang ngidam lontong balap (makan lontong tapi sambil balapan formula-1, heeeeeee) sampai ngidam pengin pergi ke Jakarta, katanya mau liat Monas dan sekalian ketemu sama Mandra (awas mbak Surti, ati-ati jangan-jangan….ah nggak jadi ah)
So, diketahuilah aib itu oleh orang sekampung, Tedjo meski sarjana hukum bisa saja melanggar hukum dan tentu nggak kebal hukum, sebagai seorang yang sadar hukum dia tidak akan lari marathon alias minggat ke luar negeri kayak Edy Tansil yang menggelapkan uang tritililunan,…sory lidahnya orang nggak punya duit!!
Tapi bagaimana dengan Surti? Derita yang menimpa Surti bagi keluarganya bukan lagi mendengar petir di siang bolong, tapi udah bener-bener disamber petir, lho gosong lagi khan. Diskusi punya diskusi akhirnya ketemulah solusi, dibawa Surti oleh emak dan babenya ke "orang tua" namanya mbah Yai.
"Tolong anak kami, mbah, dia terkena musibah" (kena banjir kali, ngomong hamil aja, sungkan huu!!), setelah mengutarakan maksudnya, mbah Yai jadi ngerti apa maksud kedatangan mereka, tidaklah beda seperti pasien-pasien sebelumnya minta legalitas atas kehamilan putrinya. Akhirnya keluarlah kata-kata dari mulut seorang tua yang dagunya banyak ditumbuhi jenggot itu, dan sudah kadung di juluki warga, perkatannya adalah fatwa. "Sabar, anakku, itu semua cobaan dari yang diatas sana" sambil mengelus jenggot putihnya, ujian adalah hampa, hampa adalah lapar, lapar butuh makan…bla-bla-bla (kagak nyambung Jeng!!), akhirnya "Sudah kawinkan saja anakmu dengan Tedjo, nanti saya akan bantu melalui doa". PLONG, lega sudah, dapat juga akhirnya legitimasi itu.
Fenomena penelantaran hukum syara', seperti kisah diatas berserakan terjadi di masyarakat, sepertinya kita udah biasa dengan kemaksiatan, hal-hal yang menurut hukum Islam dipandang maksiat karena sering dan biasa akhirnya dianggap wajar bahkan perlu ditoleransi. Coba aja, kamu yang laki, masuklah ke masjid, tanpa baju alias telanjang dada, apa yang terjadi? Orang akan menganggap kamu sinting dan melakukan dosa, padahal kamu waras khan? Hal itu sebenarnya tidak dosa, hanya saja kurang sopan dipandang orang, tapi tidak sopan belum tentu dosa.
Tapi gimana dengan anak-anak perawan yang sering keluar masuk masjid tanpa kerudung, padahal rambut itu khan aurat (HR. Abu Bakar & Ibnu Jarir) yang harus dilindungi baik di masjid pada saat sholat ataupun diluar masjid ketika selesai sholat, jadi make mukena bagi perempuan tidak di masjid aja neng, kalau diluar masjid kamu musti pakai jilbab, ngerti kagak?.
Ya, udah itu salah satu contoh, masih banyak contoh kemaksiyatan yang sering kita jumpai kita membiarkan itu terjadi. Kita sudah terlanjur membiasakan agama hanya dijadikan pemuas batin, ketika suntuk aja kita lari ke agama, kebetulan pas seneng dan banyak duit kita lupa pada agama.
Mau nggak mau, hidup di negerinya penggemar Grandong ini, kita diajari munafik lho, lihat aja, kita hampir tiap hari dianjurkan untuk takwa, tapi keseharian pula kita diajari pula untuk meninggalkan takwa. Kita disuruh meninggalkan miras, tapi pabrik miras dibiarkan mentereng tumbuh dengan subur. Di satu sisi kita disuruh berhati-hati dengan virus HVS (emangnya kertas) maksudnya HIV, tapi tempat pelacuran di Doly jadi peringkat dua se-Asia setelah Kanton (RRC). Seminar anti narkoba digalakkan tapi para Bede dibiarkan berkeliaran bahkan di backingi oleh aparat hukum, bagaimana tidak munafik? Itulah diantara bukti negeri ini memang negeri sekuler, jadi agama hanya boleh ngatur masalah haji, sholat, puasa, sedang untuk mengatur kehidupan sehari-hari pakai kesepakatan, kerelaan masyarakat. Allah hanya sebagai si pembuat jam, ketika jam diciptakan maka jam itu berjalan dengan sendirinya.
Fenomena Surti-Tejo, seperti diatas akan terus banyak menyusul.
Ketika kisah Surti-Tedjo berlaku bagi yang lain, maka jawabannya adalah satu, nikahkan. Padahal nikahnya orang yang sudah hamil tidak syah menurut agama Islam. Mustinya seperti mbah Yai tadi bilang "Anakmu, Surti melakukan zina, kalau menurut hukum Islam dia harus dirajam". Beranikah atau adakah seorang kyai atau ustad mengatakan demikian yang sebenarnya cerminan dari keimanan terhadap Islam? Perkataan demikian sebenarnya sangat tidak diinginkan oleh orang tua, siapa sich yang mau anaknya nggak perawan sebelum nikah beneran? Tentu aja tidak ada, kalo ada orang tua yang kayak gitu, mendingan di masukkan ke museum MURI, karena tergolong aneh bin langka. Tapi ngapain hal seperti itu sering terjadi yaitu MBA alias maried by accident, nah itu Pe eR buat orang tua kamu, karena kamu yang sekolah udah banyak Pe eR.
Kultus atau mengagungkan seseorang seperti mbah Yai itu bisa membuat orang menafikkan kebenaran yang lain, nah yang ini namanya love is blind alias cinta buta (duk!!..aduh kejedot pintu nih..au ah gelap), bagaimana tidak buta? Lha wong karena saking cintanya, rela mati demi pujaanya (ingat kasus konser A1), apa mereka lupa bahwa mati mereka sebenarnya hanya untuk Allah, trus Allah ditaruh pada nomor berapa, yaa?
Kita sering dibuat pusing dan apakah akan terus di pusingkan, meskipun bukan pusing karena sakit kepala, pusing yang satu nih, lantaran sebenarnya kita nggak pengen kemaksiatan makin merajalela, tapi sarananya selalu ditambah, dimodifikasi terus di tune-up (sepeda motor kali!!!). Kita sudah kehilangan parameter untuk mengukur aktivitas kita, gedung-gedung bioskop yang memasang poster seronok hanya menutupnya ketika pas bulan Ramadhan, selesai Ramadhan gambar serupa bahkan yang lebih greng pun tetap dipasang. Masih banyak lagi bukti penelantaran hukum syara', mungkin kalau harus disebutkan satu per satu, media ini nggak cukup. Yang terpenting bagi kita sekarang adalah, kita adalah muslim dan muslimah, apa yang membedakan kita dengan non muslim. Apa hanya dengan sekedar ditempelkannya stiker "saya muslim dan saya bangga" atau "be a good muslim" atau kalau di mobil kita gantung tasbih, sudah menunjukkan identitas muslim. Tidak cukup hanya itu friend, keislaman kita tidak terbukti hanya dengan stiker atau tasbih, tapi ketika tiap hari kita selalu menggunakan standar atau ukuran untuk membenarkan atau menyalahkan perbuatan dan pemikiran kita dengan standar Islam, itu saja kagak kurang dan kagak lebih.
So, once again, kita muslim kita harus mengikatkan perbuatan kita kepada hukum Islam, perbuatan kita tidak terikat dengan rasa senang dan tidak senang masyarakat. Serta hukum Islam juga tidak terkait dengan rasa senang dan tidak senang masyarakat, yang ada bahwa masyarakat harus terikat dengan hukum Islam yang sudah pasti mengandung kemaslahatan.(lbr)
Tulisan ini pernah dimuat di buletin ISLAMUDA Edisi 21/Th 1/Jun I/02
http://id-id.facebook.com/note.php?note_id=140639795958847
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar