Suatu malam Imam Ibrahim bin Adham berada di luar rumah, tiba-tiba Salah seorang dari
sepasukan tentara berkuda yang lagi berkemah di sekitar daerah tersebut menemui Ibrahim bin Adham lalu bertanya:
"Hai orang tua, di daerah ini, di manakah tempat bersenang-senang, tempat yang paling indah?"
"Adakah tuan bertanya kepada saya?" Tanya Ibrahim bin Adham pula.
"Ya."
"Tempat yang paling indah itu terletak di sana, di seberang rumah saya," kata Ibrahim bin Adham sambil menunjukkan ke arah tanah pekuburan.
"Yang mana?" Tanya Tentara itu kebingungan.
"Itu, di seberang sana."
"Tanah pekuburan itu?"
"Ya betul. Menurut pendapat saya, tempat yang paling indah untuk bersenang-senang adalah di tanah pekuburan."
"Kurang ajar," sahut Tentara itu dengan marah.
Tapi dia tidak berani berbuat apa-apa karena takut jangan-jangan orang tua itu orang yang berpangkat/ berpengaruh. Jadi dia pun bertanya:
"Siapakah kamu hai orang tua?"
"Saya hanyalah seorang hamba."
"Keparat."
Kemudian Ibrahim bin Adham diseret ke perkemahan tempat Tentara tersebut berada dan dibawa menghadap atasan tentara tersebut karena kesalahannya mempermainkan seorang tentara.
Namun alangkah herannya tentara tersebut ketika
melihat Komandannya sangat menghormati orang tua itu. Sebenarnya Komandan tentara itu telah lama mengenal Ibrahim bin Adham sebagai seorang alim ulama yang amat berpengaruh.
Kemudian komandan tentara itu berkata kepada Ibrahim bin Adham:
"Saya menghormati tuan sabagai seorang alim. Tetapi mengapa tuan mempermainkan anak buah saya?"
"Mempermainkan anak buahmu? Dalam hal apa?" sahut Ibrahim bin Adham heran.
"Dia bertanya tentang tempat yang paling indah. Tetapi mengapa tuan tunjukkan ke tanah pekuburan."
"Anak buahmu menanyakan pendapat saya. Tentu saja tempat yang paling indah bagi orang setua saya ialah di tanah pekuburan. Apakah dengan umur saya setua ini dapat mencari ketenangan di tempat-tempat hiburan."
Komandan tentara itu terdiam. Namun dia bertanya lagi:
"Jika tuan memberitahu siapa diri tuan sebenarnya, sudah tentu tentara saya tidak akan menendang serta menyeret tuan ke sini."
"Maksudmu?"
"Mengapa tuan katakan kalau tuan hanya seorang hamba?"
"Apakah saya salah? Dia bertanya siapa saya. Jadi
siapakah saya ini kecuali seorang hamba Allah. Kau, aku, dia
dan semua orang adalah hamba Allah. Nama, pangkat dan
kedudukan hanyalah sementara. Yang sebenarnya kita semua adalah hamba Allah."
Komandan tersebut tidak mampu berkata-kata lagi sambil mengakui kebenaran kata-kata Ibrahim bin Adham. Akhirnya dengan sedih dia berkata:
"Kalau begitu maafkanlah sikap anak buah saya yang kurang ajar ini."
"Tidak perlu meminta maaf dan tidak perlu memaafkan. Bahkan sayalah yang patut berterima kasih kepada anak buah tuan."
"Ah, sekeras itu hati tuan sehingga tidak mau memaafkan dia."
"Bagaimana saya harus memaafkan jika dia tidak perlu
meminta maaf? Mengapa dia perlu meminta maaf sedangkan dia
telah membantu saya mengurangi dosa-dosa saya,
melipatgandakan pahala saya dan menyebabkan doa saya akan dimakbulkan oleh Allah."
"Maksud tuan?" Tanya komandan tersebut.
"Saya tidak bersalah tetapi dia telah menganiaya saya.
Berarti saya termasuk orang yang dianiaya. Tidakkah tuan
pernah mendengar bahawa dosa orang teraniaya akan diampun dan doanya pasti dikabulkan."
Komandan tersebut terdiam dan kemudian
memarahi anak buahnya supaya bersikap lebih hormat kepada rakyat jelata.
Wallahua'lam...
http://www.orgsites.com/dc/harahap/index.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar