Suatu siang di bulan Desember, sebuah mobil diberhentikan oleh seorang Polantas. Lantas terjadilah dialog berikut ni.
“Selamat Siang, Pak. Bisa diperlihatkan SIM dan STNKnya?" ujar seorang Polantas.
Dengan perasaan bingung, kesal bercampur takut, pengendara mobil tersebut bertanya, "Ini, Pak. Salah saya, apa, ya?"
"Bapak telah melanggar marka solid di sana. Tolong SIM dan STNKnya, Pak."
"Marka solid?? Yang mana, Pak? Yang itu?" Tanya pengendara sambil menunjuk "bekas" marka solid yang sekarang sudah tampak samar-samar, bahkan sebagian sudah tidak dapat lagi dibedakan warnanya dengan warna aspal jalan.
Dialog di atas hanya dialog fiktif belaka yang mengilustrasikan interaksi ekstrim antara peraturan atau hukum, penegak hukum dan individu wajib hukum. Karena penegak hukum juga wajib hukum, dialog tersebut bisa dibilang menggambarkan pula antara (pihak yang memprakarsai) peraturan dan pihak yang wajib tunduk pada peraturan.
Sebuah peraturan akan tegak berdiri apabila "bunyi" peraturan beserta infrastrukturnya jelas dan, tidak terkecuali, pemrakarsa hukumnya pun turut tunduk patuh terhadap peraturan tersebut. Namun, pemikiran yang lain mengatakan bahwa peraturan dan pemrakarsanya bukan yang harus lahir lebih awal. Kesadaran setiap individu masyarakat atas tindakannyalah yang seharusnya terlahir lebih dahulu.
Sungguh, dua hal ini seperti persoalan “apakah ayam atau telur yang lahir lebih dahulu?'. Namun penulis berpendapat bahwa lingkaran tak berujung antara (pemrakarsa) hukum dan kesadaran individu bisa dipotong, kemudian ditetapkan bahwa kesadaran setiap individu masyarakat atas tindakannya adalah yang harus pertama kali terlahir.
Bahkan, uraian tafsir atas Qur’an surat Al Anfal: 53 di dalam Tafsir Al Azhar, Buya HAMKA menyatakan pentingnya kesadaran setiap individu tersebut dengan mengatakan bahwa setiap pribadi diberi akal dan pikiran untuk memilih jalan yang baik atau jalan yang buruk, yang bermanfaat atau yang mudarat.
Perkara kesadaran individu atas tindakannya merupakan perkara yang tidak terlepas dari perkara moral. Di dalam karyanya yang terkenal, The Republic, Plato mempertanyakan alasan mengapa setiap individu harus bermoral yang diilustrasikan melalui cerita tentang cincin Gyges.
Singkat cerita, Gyges menemukan cincin yang dapat membuatnya tidak terlihat oleh seorang pun. Gyges yang awalnya seorang penggembala domba, dengan bantuan cincin tersebut, kemudian bermain cinta dengan ratu, membunuh sang raja dan merebut kekuasaan negara serta menjadi perintis generasi penguasa Lydia.
Nah, seandainya cincin itu kemudian kita miliki sehingga tidak ada seorang pun yang tahu dan dapat menghukum kita seandainya kita, misalnya, mencuri, apakah kita tetap harus bermoral? Apa alasan kita tetap harus bermoral? Itulah persoalan tentang moral yang diajukan oleh Plato. Sebagai individu yang percaya bahwa Tuhan itu ada, kita beruntung karena selalu ada alasan untuk bermoral.
Moral merupakan prinsip-prinsip yang lahir di dalam diri (dorongan batin). Menurut Emanuel Kant, suatu tindakan bernilai moral apabila adanya kesesuaian antara tindakan dengan peraturan batin (dorongan batin) dari dalam diri. Di dalam artikel ini, penulis secara khusus menyamakan makna moralitas ini dengan istilah "satu dalam kata dan perbuatan".
Tentu saja, makna “kata” pada istilah tersebut tidak sekedar berarti kata lahir namun juga kata batin (hati). Di dalam Islam, makna dari negasi sifat moral ini sejalan dengan makna sifat munafik. “Seorang munafik mempunyai tiga tanda: lidahnya bertentangan dengan hatinya; hatinya bertentangan dengan perilakunya; penampilannya bertentangan dengan batinnya,” kata Imam Ja’far Ash Shadiq r.a. Wallahu a'lam.
Oleh: Harry Septanto
Penulis adalah staf Pusat Teknologi Elektronik Luar Angkasa dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/11/01/02/155918-hikmah-pagi-moralitas-tunggal-dalam-kata-dan-perbuatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar