Kontekstualisasi Zakat
Sebetulnya, secara nominal, ketetapan zakat yang hanya 2,5 persen, pada zaman sekarang agak tidak masuk akal—jumlah itu sangat sedikit jika melihat kebutuhan distribusi silang-harta kaya kepada miskin. Betapa jumlah orang miskin di Nusantara ini sangat banyak. Mereka butuh kedermawanan.
Agaknya perlu dihitung kembali berapa persen tarif zakat itu dibayarkan. Objek pajak pada zaman Rasulullah yang disebutkan, misalnya adalah onta. Sekarang, tentu merek mobil seperti Lexus, Aston, Mercedes, harus mendapat tarif zakat-pajak lebih tinggi. Negara harus memulai hal ini, parlemen seharusnya menjadi lembaga ijtihad dan ijma’. Pemerintah hanya sebagai pemungut. Satu yang tidak boleh berubah, yaitu spirit keadilan. Oleh karena itu saya menawarkan rumus kompromi, misalnya besar pajak 20 persen, yang 2,5 persen biarlah dikelola oleh ormas Islam, selebihnya oleh negara. Namun, yang 2,5 persen itu tetap bertanggungjawab terhadap negara agar kekuatan civil society tumbuh.
Berikutnya, perlu kontekstualisasi terhadap konsep delapan asnaf yang berhak mendapat zakat. Tawarannya, dalam konteks tasaruf (distribusi) pajak-zakat ini, bisa dikelompokkan menjadi tiga, yaitu [1] pemberdayaan rakyat lemah (kaum fakir miskin, budak, orang-orang bangkrut, rehabilitasi sosial, pengungsi) sebagai prioritas utama; [2] biaya rutin pemerintahan sebagai Aparat Pelayan Publik (’amilin); [3] public good (sabilillah), baik infrastruktur fisik seperti jalan, jembatan dan bangunan sekolah atau rumah sakit, maupun non-fisik seperti penegakan hukum, pengembangan ilmu pengetahuan, dan seni budaya.
Kedudukan Zakat dalam Ekonomi islam
Zakat adalah inti dari ekonomi Islam. Melalui syariat ini, mekanisme distribusi kesejahteraan dalam konsep Islam, diejawantahkan. Perpindahan kekayaan dari yang mampu ke yang tidak mampu. Karena itu, membahas zakat secara paradigmatis dan kontekstual sangat penting. Paradigmatis berarti mengenai pola pikir dan pemaknaan zakat sesuai tujuan utamanya, yaitu kesejahteraan rakyat. Serta kontekstual, artinya ada pertimbangan nilai kekinian dalam syariat itu.
Dalam kutipan al-Quran Surah al-Ma’un. Jelas di situ diterakan, “Tahukah engkau (orang atau kumpulan orang atau negara) yang mendustakan agama…”. Jadi negara yang mendustakan agama adalah negara yang tidak sungguh-sungguh mengurusi kaum miskin. Ayat itu menyebutkan, ciri kesalehan suatu pribadi, institusi dan negara adalah pemihakan kepada yang terpinggirkan. Benar agaknya, faktor kesalehan akan terganggu jika masalah ekonomi terganggu. Ajaran Islam tidak hanya masalah spiritual tapi juga material.
Oleh karena itu, ketika berbicara masalah keadilan, harus kita mulai dengan keadilan material (ekonomi). Dalam konteks, ini kita bisa melihat negara sebagai instrumen yang powerfull, hal itu disikapi dan diintervensi oleh Islam dengan menggunakan komponen material, yaitu berupa pajak.
Pajak adalah “darah-kehidupan (life-blood)” tubuh kekuasaan bernama negara. Pajak dibayar negara tegak, pajak diboikot negara ambruk. Juga ibarat makanan bagi tubuh manusia; jika makanannya halal dan baik, tubuh menjadi sehat dan kehidupan pun penuh berkah. Sebaliknya jika makanannya buruk lagi haram, maka tubuh akan penyakitan dan kehidupan jauh dari keberkahan.
Lima Rahasia di Balik Zakat
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyu cikan mereka dan mendoalah untuk mereka.” (At-Taubah [9]: 103). Zakat merupakan rukun Islam yang bercorak sosial-ekonomi. Selain itu, zakat merupakan pokok ajaran Islam sebagaimana syahadat, shalat, puasa, dan haji. Zakat juga merupakan ibadah berdimensi vertikal (hablum minallah) dan sekaligus horizontal (hablum minnas).
Zakat adalah kewajiban bagi setiap Muslim dalam bentuk mengeluarkan harta bagi orang orang yang telah memenuhi batas minimal harta (nishab) dan telah sampai pada batas kepemilikannya (haul) untuk diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya (mustahik). Untuk mendorong kesadaran zakat, seseorang harus mengetahui rahasia di balik kewajiban zakat tersebut.
Pertama, zakat membersihkan jiwa dari sifat kikir.
Kikir adalah tabiat manusia (Al-Ma’arij [70]: 19), yang harus diuji. Kikir merupakan salah satu sifat yang dapat merusak kehidupan manusia. “Tiga hal yang akan merusak manusia: kikir yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti, dan manusia memandang hebat akan dirinya.” (HR Thabrani).
Kedua, mengobati hati dari cinta dunia.
Terlalu larut dalam kecintaan dunia, dapat memalingkan jiwa dari kecintaan kepada Allah SWT dan takut akan akhirat. Zakat akan melatih seseorang mau untuk menandingi fitnah harta dan berinfak dengannya semata karena Allah SWT.
Ketiga, mengembangkan kekayaan batin.
Seseorang yang mengeluarkan zakat akan menumbuhkan semangat optimistis dan menambah kekayaan jiwa. Dengan zakat berarti seseorang telah mampu mene kan sifat egoismenya.
Keempat, mengembangkan harta. Secara lahiriah, zakat mengurangi harta dengan mengeluarkan sebagiannya. Tetapi, orang yang mengerti tentang zakat akan memahami bahwa di balik pengurangan bersifat zahir, hakikatnya akan bertambah dan berkembang.
Sesungguhnya harta yang diberikan itu akan kembali berlipat ganda. (QS Arrum [30]: 39).
Kelima, menarik simpati masyarakat.
Zakat dapat mengikat antara orang kaya dan masyarakatnya, dengan ikatan yang kuat, penuh kecintaan, persaudaraan, dan tolong-meno long. Apabila manusia mengetahui ada orang yang memberikan kebaikan, maka secara naluriah mereka akan senang, dan jiwa mereka pasti akan tertarik kepadanya.
“Secara otomatis hati akan tertarik untuk mencintai orang yang berbuat baik kepadanya dan membenci orang yang berbuat jahat kepadanya.” (HR Ibnu Adi). Untuk itu, kini saatnya umat Islam memberdayakan potensi zakat, terutama zakat mal, agar kehidupan bermasyarakat semakin baik guna mengurangi kesenjangan hidup antara si kaya dan si miskin. Wallahu a’lam.
Pajak dalam Perspektif Islam
Pajak telah menjadi isu politik yang sangat sensitif. Karena kekecewaan yang menumpuk pada manajemen (koleksi / pemanfaatan) pajak, muncullah dampak yang sangat serius gerakan moral, boikot pajak. Jika tidak ditangani dengan cepat, gerakan itu bisa menjadi bola liar yang mengancam legitimasi pemerintah, bahkan keberadaan negara itu sendiri. Pajak adalah darah kehidupan (darah kehidupan) negara. Pajak terbayar maka negara tegak; boikot pajak sama saja meruntuh negara. Naudzubillah.
Menurut hukum Islam, definisi pajak sedekah wajib dikenakan oleh pemerintah atas warga. Disebut sedekah karena tidak ada manfaat langsung (iwadl mubasyir) yang diterima oleh pembayar tersebut. Wajib dalam arti kepentingan umum berlaku (mashalih ammah).
Mengingat peran bagaimana mutlak bagi keberadaan pajak negara dan kesejahteraan rakyat (jika dikelola dengan benar), super perhatian serius Islam melalui ajaran-ajaran utama (rukun Islam), yaitu zakat. Sepanjang sejarah negara, pajak telah dikembangkan (berkembang) melalui tiga konsep makna.
Pertama, pajak sebagai penghargaan (dharibah) yang harus dibayar oleh rakyat semata-mata karena mereka adalah hamba yang seharusnya melayani kepentingan penguasa sebagai tuannya, penguasa. Pajak sebagai upeti berjalan selama berabad-abad pada tahap awal sejarah kekuasaan raja-raja feodal di seluruh permukaan bumi. Raja mengaku sebagai inkarnasi dari dewa penguasa alam semesta. Pada tahap ini, pajak didefinisikan sebagai bukti loyalitas kepada orang-orang sebagai pelayan di istana ke istana raja sebagai-Dengar begitu, meminjam istilah Jawa.
Tidak ada aturan moral atau hukum yang mengatur bagaimana dan kepada siapa uang pajak harus dikelola. Juga, belum diketahui konsep korupsi sebagai penguasa kejahatan, atau pejabat keuangan negara. Upeti era ini adalah era feodalisme raja-raja absolut.
Kedua, dipahami sebagai kompensasi, pajak (jizyah) kepada penguasa rakyat. Konsep ini datang setelah orang pembayar pajak (pembayar pajak) mulai menyadari bahwa raja / penguasa bukan dewa yang mungkin memperlakukan orang secara sewenang-wenang. Pihak berwenang juga manusia yang memegang kekuasaan karena mandat rakyat. Baik pembayar pajak maupun penguasa dari orang-orang pemungut pajak adalah manusia yang kurang lebih setara. Jadi, jika pungutan pajak pemerintah, seharusnya tidak lagi bebas. Pajak harus diimbangi dengan pelayanan kepada orang-orang yang membayar untuk itu.
Konsep kedua jelas lebih maju dan merasa lebih beradab dari draft pertama. Namun, ada cacat struktural yang dapat memperlebar kesenjangan antara orang-orang kuat di satu sisi dan orang-orang yang lemah-miskin di lain pihak. Karena konsep biaya (jizyah), wajib pajak besar merasa berhak untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari negara, sementara pembayar pajak kecil hanya berhak untuk layanan kecil, dan miskin yang tidak mampu membayar pajak harus nerimo dengan layanan sisa (tricle bawah efek), jika ada.
Era ini adalah era zaman modern kita sekarang kapitalistik, era demokrasi artifisial dan elitis, demokrasi pasar bebas tanpa hati nurani, seperti kemakmuran berlimpah hanya untuk sebagian kecil orang, kebanyakan manusia bahkan lebih tenggelam dalam kemiskinan dan keterhinaan pleno . Negara untuk melayani yang kuat dan kaya.
Jika Anda ingin menegakkan keadilan, seperti dalam Pancasila, tidak ada pilihan lain bagi kita selain ketiga, pajak sebagai handout untuk Tuhan Allah Maha Kuasa, Pencipta langit dan bumi, untuk keadilan dan kesejahteraan untuk semua. Pajak dengan makna zakat Islam disebut, yang secara harfiah berarti kesucian dan pertumbuhan. Yaitu, dengan pajak sebagai amal, kita memurnikan hati kita dari iri hati orang lain, serta mengembangkan kemakmuran dan keadilan bagi semua.
Artinya, pajak tidak lagi sebagai hadiah (suap) atau biaya (jizyah) kepada penguasa, tetapi sebagai pengecualian amal untuk keadilan dan kesejahteraan untuk semua, terutama mereka yang lemah, miskin dan miskin (Attaubat 60). Dalam konsep ini, setiap dolar dari uang pajak adalah uang Allah ini memiliki mandat untuk pejabat negara sebagai hamba Allah dan orang-orang (Amil) dengan penuh rasa tanggung jawab. Mereka penyalahgunaan uang pajak yang, bertanggung jawab kepada orang-orang di dunia dan Allah di akhirat.
Bisakah Pajak Diniatkan untuk Zakat?
Pajak dan zakat adalah dua entitas yang masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan tersebut antara lain ditinjau dari sisi kewajiban. Dalam konteks Indonesia, pajak adalah perintah negara dan zakat adalah perintah agama, yang keduanya harus ditunaikan.
Yang kedua, sama-sama memberikan sanksi bagi yang tidak melaksanakannya. Ada sanksi hukum positif bila tidak membayar pajak, sementara bila tidak membayar zakat, padahal mampu, maka Allah SWT akan menimpakan siksa dan azab-Nya, baik di dunia maupun di akherat. Dalam konteks Indonesia hingga saat ini, zakat dalam perspektif negara masih dianggap sebagai sesuatu yang bersifat sukarela, sehingga tidak diberikan sanksi hukum positif.
Sementara itu, perbedaan keduanya antara lain terletak pada sumber harta yang terkena kewajiban zakat dan pajak, besaran kadarnya, dan aturan peruntukannya. Harta obyek pajak adalah segala jenis harta yang memberikan tambahan nilai ekonomis, bisa halal, bisa haram. Sementara zakat hanya diambilkan dari harta yang halal, baik dari sisi bendanya, maupun dari cara memperolehnya. Sehingga, harta obyek zakat dapat menjadi harta obyek pajak, namun tidak semua harta obyek pajak dapat menjadi harta obyek zakat.
Dari sisi kadarnya, kadar pajak bisa berubah-ubah persentasenya, bergantung pada kebijakan negara. Sedangkan kadar zakat bersifat tetap, yaitu 2,5 persen, 5 persen, 10 persen, atau 20 persen, bergantung pada jenis hartanya. Dari sisi peruntukan, pajak sangat fleksibel, bisa digunakan untuk apa saja sesuai kebijakan negara, sementara zakat harus disalurkan untuk kepentingan 8 ashnaf penerima zakat sebagaimana dinyatakan dalam QS 9 : 60.
Antara zakat dan pajak, sesungguhnya bukan dua hal yang perlu dipertentangkan, melainkan diintegrasikan. Keduanya bisa saling memperkuat perekonomian nasional atas dasar prinsip keadilan dan kemaslahatan.
Sumber :
http://zonaekis.com/kontekstualisasi-zakat
http://zonaekis.com/kedudukan-zakat-dalam-ekonomi-islam
http://zonaekis.com/lima-rahasia-di-balik-zakat
http://zonaekis.com/pajak-dalam-perspektif-islam
http://zonaekis.com/bisakah-pajak-diniatkan-untuk-zakat
Kalau nanya ini Boleh ga??
BalasHapusmenurut endapat anda bagaimana..
jazakallah
1. Instrumen pajak dan zakat merupakan salah satu instrument fiskal yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai salah satu sumber pemasukan negara, meskipun ada beberapa pendapat yang mendasari perbedaan pandangan terkait pajak dan zakat.menurut antum sumber2 penerimaan dalam pemerintah islam klasik yang mana ni yang masih bisa dgunain atau di aplikasiin pada zaman sekarang
2. Banyak pendapat yang menjelaskan positionaing antara zakat dan pajak dalam suatu pemerintahan islam. Kira2 pandangan terkait positioning zakat dan pajak seta bagamanakah pendapat ntum tentang pandanga2 tadi untuk diaplikasikan dlm perekonomian saat ini
eh dia nanya...aku juga dong..
BalasHapusKan sampe saat ini di indonesia dikenal dengan sistem dual banking system..dimana diperbolehkannya bank konvensional mendirikan bank syari’ah..nah dari situ si BI ngeluarin tu yang namanya instrument2 moneter islam tuk dukung itu...klu menurut ntum instrumen2 moneter yang digunain di indonesia apaan ja? N kira2 udah tepat belum,,instrumen yg digunakan...
Trus ni Dicontohkan,,,kondisi suatu negara mengalami beberapa masalah dalam perekonomiannya, yaitu kondisi hyper inflasi, tingkat pengangguran yang tinggi, tingkat pertumbuhan perekonomian negatif serta tingkat ketimpangan yang cukup lebar. Kebijakan apa ni yang harus di ambil oleh pemerintah dalam mengatasi permasalahan tersebut..
mohon jawabannya ya ka??