Selasa, 04 Januari 2011
KESEJAHTERAAN DALAM PANDANGAN ISLAM
Terdapat sejumlah argumentasi baik yang bersifat teologis-normatif maupun rasional-filosofis yang menegaskan tentang betapa ajaran Islam amat peduli untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.
Pertama, dilihat dari pengertiannya, sejahtera sebagaimana dikemukakan dalam Kamus Besar Indonesia adalah aman, sentosa, damai, makmur, dan selamat (terlepas) dari segala macam gangguan, kesukaran, dan sebagainya. Pengertian ini sejalan dengan pengertian “Islam” yang berarti selamat, sentosa, aman, dan damai. Dari pengertiannya ini dapat dipahami bahwa masalah kesejahteraan sosial sejalan dengan misi Islam itu sendiri. Misi inilah yang sekaligus menjadi misi kerasulan Nabi Muhammad Saw, sebagaimana dinyatakan dalam ayat yang berbunyi :
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (Q.S. al-anbiyâ’ [21]: 107).
Kedua, dilihat dari segi kandungannya, terlihat bahwa seluruh aspek ajaran Islam ternyata selalu terkait dengan masalah kesejahteraan sosial. Hubungan dengan Allah misalnya, harus dibarengi dengan hubungan dengan sesama manusia (habl min Allâh wa habl min an-nâs). Demikian pula anjuran beriman selalu diiringi dengan anjuran melakukan amal saleh, yang di dalamnya termasuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Selanjutnya, ajaran Islam yang pokok (Rukun Islam), seperti mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji, sangat berkaitan dengan kesejahteraan sosial. Orang yang mengucapkan dua kalimah syahadat adalah orang yang menegaskan komitmen bahwa hidupnya hanya akan berpegang pada pentunjuk Allah dan Rasul-Nya. Karena, tidak mungkin orang mau menciptakan ketenangan jika tidak ada komitmen iman dalam hatinya. Demikian pula ibadah shalat (khususnya yang dilakukan secara berjama’ah), juga mengandung maksud agar mau memperhatikan nasib orang lain. Ucapan salam pada urutan terakhir rangkain shalat berupaya mewujudkan kedamaian. Selanjutnya, dalam ibadah puasa seseorang diharapkan dapat merasakan lapar sebagaimana yang biasa dirasakan oleh orang lain yang berada dalam kekurangan. Kemudian, dalam zakat juga tampak jelas unsur kesejahteraan sosialnya lebih kuat lagi. Demikian pula dengan ibadah haji, yang mengajarkan seseorang agar memiliki sikap merasa sederajat dengan manusia lainnya.
Ketiga, upaya mewujudkan kesejahteraan sosial merupakan misi kekhalifahan yang dilakukan sejak Nabi Adam As. Sebagian pakar, sebegaimana dikemukakan H.M. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Quran (hal. 127), menyatakan bahwa kesejahteraan sosial yang didambakan al-Quran tercermin di Surga yang dihuni oleh Adam dan isterinya sesaat sebelum mereka turun melaksanakan tugas kekhalifahan di bumi. Seperti diketahui, sebelum Adam dan isterinya diperintahkan turun ke bumi, mereka terlebih dahulu ditempatkan di Surga. Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan Hawa, sehingga bayang-bayang surga itu bisa diwujudkan di bumi dan kelak dihuni secara hakiki di akhirat. Masyarakat yang mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang berkesejahteraan. Kesjaterjaan surgawi ini dilukiskan antara lain dalam firman-Nya yang berbunyi :
“Hai adam, sesungguhnya ini (Iblis ) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali jangan sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari Surga, yang akibatnya engkau akan bersusah payah. Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan di sini (surga), tidak pula akan telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan merasakan dahaga maupun kepanasan. (Q.S. Thâhâ, 20: 117-119).
Dari ayat ini jelas bahwa pangan, sandang, dan papan yang diistilahkan dengan tidak lapar dan dahaga, tidak telanjang, dan tidak kepanasan semuanya telah terpenuhi di sana. Terpenuhinya kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan utama kesejahteraan sosial.
Keempat, di dalam ajaran Islam terdapat pranata dan lembaga yang secara langsung berhubungan dengan upaya penciptaan kesejahteraan sosial, seperti wakaf dan sebagainya. Semua bentuk pranata dan lembaga sosial berupaya mencari berbagai alternatif untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Namun, suatu hal yang perlu dicatat, berbagai bentuk pranat ini belum merata dilakukan oleh umat Islam dan belum pula efektif dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Hal ini mungkin disebabkan belum munculnya kesadaran yang merata serta pengelolaannya yang baik. Untuk itulah, saat ini pemerintah melalui Departemen Agama membentuk semacam Lembaga Amil Zakat (LAZ) tingkat nasional. Berhasilkah konsep ini dalam mewujudkan kesejahteraan sosial, amat bergantung pada partisipasi kita.
Kelima, ajaran Islam mengenai perlunya mewujudkan kesejahteraan sosial ini selain dengan cara memberikan motivasi sebagaimana tersebut di atas, juga disertai dengan petunjuk bagaimana mewujudkannya. Ajaran Islam menyatakan bahwa kesejahteraan sosial dimulai dari perjuangan untuk mewujudkan dan menumbuhsuburkan aspek-aspek akidah dan etika pada diri pribadi, karena dari diri pribadi yang seimbang akan lahir masyarakat yang seimbang. Masyarakat Islam pertama lahir dari Nabi Muhammad Saw. melalui kepribadian beliau yang sangat mengagumkan. Pribadi ini melahirkan keluarga yang seimbang seperti Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Fatimah Az-Zahra, dan lain-lain.
Selain itu, ajaran Islam menganjurkan agar tidak memanjakan orang lain atau membatasi kreativitas orang lain, sehingga orang tersebut tidak dapat menolong dirinya sendiri. Bantuan keuangan baru boleh diberikan apabila seseorang ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Ketika seseorang datang kepada Nabi Saw. mengadukan kemiskinannya, Nabi Saw. tidak memberinya uang, tetapi kapak agar digunakan untuk mengambil dan mengumpulkan kayu. Dengan demikian, ajaran Islam tentang kesejahteraan sosial ini termasuk di dalamnya ajaran yang mendorong orang untuk kreatif dan bersikap mandiri, tidak banyak bergantung pada orang lain.
Sumber :
Disunting dari Buletin Jumat Masjid Agung Attin, Vol. 108, 21 Desember 2001, yang ditulis oleh Ustadz Abuddin Nata.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar