Kisah Nabi Musa AS – Yakub atau Israil tinggal di Mesir sejak ia datang
untuk bertemu dengan anaknya, Yusuf. Ketika beliau wafat mereka menguburnya di
tempat di mana ia dilahirkan di Palestina. Anak-anak Israil lebih memilih untuk
hidup di Mesir di sisi Yusuf. Keadaan Mesir, kebaikannya yang banyak, kelayakan
tanahnya, dan keharmonisan iklimnya merupakan daya tarik tersendiri bagi mereka
untuk tinggal di dalamnya. Anak-anak Israil tinggal di Mesir dalam tempo yang
lumayan. Mereka menikah sehingga jumlah mereka bertambah banyak. Berlalulah
tahun demi tahun dan kemudian Nabi Yusuf meninggal.
Nabi Yusuf telah mengubah Islam saat beliau memegang tampuk kekuasaan. Nabi Yusuf memperjuangkan Islam dan setiap nabi yang diutus oleh Allah SWT pasti memperjuangkan agama Islam sejak Nabi Adam as sampai Nabi Muhammad saw. Pengertian Islam di sini ialah, mengesakan Allah SWT dan hanya semata-mata menyembah-Nya, meminta pertolongan kepada-Nya, dan berdoa kepada-Nya. Islam juga berarti menyerahkan niat dan amal hanya semata-mata kepada Allah SWT. Demikianlah yang kita pahami atau yang kita maksud dari kata al-Islam, bukan sistem sosial yang dibawa oleh Nabi yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw. Sistem ini merupakan kepanjangan dari sistem-sistem sosial yang dibawa para nabi. Jadi, esensi akidah satu dan tidak berbeda dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad saw.
Ketika Nabi Yusuf menjadi penguasa di Mesir dan ketua para menteri agama di Mesir berubah menjadi agama tauhid atau Islam. Nabi Yusuf as menyeru manusia untuk memeluk Islam saat beliau ada di dalam penjara ketika beliau mengatakan:
Nabi Yusuf telah mengubah Islam saat beliau memegang tampuk kekuasaan. Nabi Yusuf memperjuangkan Islam dan setiap nabi yang diutus oleh Allah SWT pasti memperjuangkan agama Islam sejak Nabi Adam as sampai Nabi Muhammad saw. Pengertian Islam di sini ialah, mengesakan Allah SWT dan hanya semata-mata menyembah-Nya, meminta pertolongan kepada-Nya, dan berdoa kepada-Nya. Islam juga berarti menyerahkan niat dan amal hanya semata-mata kepada Allah SWT. Demikianlah yang kita pahami atau yang kita maksud dari kata al-Islam, bukan sistem sosial yang dibawa oleh Nabi yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw. Sistem ini merupakan kepanjangan dari sistem-sistem sosial yang dibawa para nabi. Jadi, esensi akidah satu dan tidak berbeda dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad saw.
Ketika Nabi Yusuf menjadi penguasa di Mesir dan ketua para menteri agama di Mesir berubah menjadi agama tauhid atau Islam. Nabi Yusuf as menyeru manusia untuk memeluk Islam saat beliau ada di dalam penjara ketika beliau mengatakan:
“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu
ataukah Allah YangMaha Esa lagi Maha PerkasaV (QS.Yusuf: 39)
Dan beliau berdoa pada suatu hari ketika mimpinya
terwujud:
“Wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku
dengan orang-orang yang saleh. ” (QS. Yusuf: 101)
Dan ketika Nabi Yusuf meninggal, Mesir mengubah sistem
tauhid ke sistem multi tuhan untuk kedua kalinya. Menurut dugaan kuat bahwa hal
ini terwujud dengan adanya campur tangan kelompok-kelompok elit yang berkuasa.
Kelompok-kelompok elit ini— ketika di bawah agama tauhid—mereka tidak
mendapatkan suatu perlakukan istimewa atau dibedakan dengan masyarakat umum,
sehingga karenanya mereka mempunyai kepentingan untuk mengembalikan sistem
penyembahan multi tuhan. Kemudian masyarakat mengikuti sistem penyembahan
Fir’aun. Dan akhirnya, Mesir dipimpin keluarga-keluarga Fir’aun dan mereka
mengklaim bahwa mereka adalah tuhan atau wakil-wakil tuhan atau orang-orang
yang berbicara atas nama tuhan.
Pada dasarnya, masyarakat Mesir adalah masyarakat yang
beradab. Mereka disibukkan dengan pembangunan peradaban. Mereka memiliki
kecenderungan keagamaan yang kuat. Dan barangkali kelompok-kelompok dari
masyarakat Mesir meyakini bahwa Fir’aun bukan tuhan namun karena mereka
mendapat tantangan keras dari Fir’aun dan Fir’aun tidak ingin dari kaurnnya
kecuali agar mereka menaatinya sehingga mereka pun terpaksa menyembunyikan
keimanan dalam diri mereka. Jadi, tuhan-tuhan berhala banyak sekali di Mesir.
Hal yang bisa dipahami adalah, bahwa Fir’aun menguasai semua macam tuhan dan ia
mengisyaratkan dengannya dan berbicara atas namanya. Yang demikian ini adalah
sangat jelas di Mesir. Ketika terdapat sistem multi tuhan di Mesir—meskipun
masyarakatnya meyakini tuhan utama, yaitu Fir’aun—kelompok elit yang berkuasa
membatasi untuk hanya menyembah Fir’aun dan melaksanakan perintah-perintahnya serta
membenarkan tindakan semena-menanya. Kita akan mengetahui dan kita akan membuka
lembaran-lembaran Nabi Musa as bagaimana masyarakat Mesir hidup di zamannya.
Mayoritas masyarakat saat itu mendapatkan kehinaan yang luar biasa dan
diperlakukan secara lalim. Mereka harus taat sepenuhnya kepada Fir’aun. Mereka
selalu diancam oleh algojo-algojo Fir’aun dan para tentaranya.
Allah SWT menceritakan Fir’aun yang hidup di zaman Nabi
Musa dalam firman-Nya:
“Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya (seraya berkata): ‘Akulah Tuhanmu yang paling tinggi.’” (QS. an-Nazi’at: 23-24)
“Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya (seraya berkata): ‘Akulah Tuhanmu yang paling tinggi.’” (QS. an-Nazi’at: 23-24)
Manusia saat itu benar-benar tunduk terhadap pernyataan
orang-orang kafir. Mereka menaati—barangkali itu karena terpak-sa—perkataan
Fir’aun. Mesir kembali menggunakan sistem multi tuhan setelah sebelumnya
disinari oleh tauhid yang disuarakan oleh Nabi Yusuf. Sementara itu, anak-anak
Yakub atau anak-anak Israil mereka telah menyimpang dari tauhid. Mereka
mengikuti orang-orang Mesir. Sedikit sekali dari keluarga mereka yang masih
mempertahankan agama tauhid secara tersembunyi.
Datanglah suatu masa atas Bani Israil di mana mereka
semakin banyak dan semakin menyebar. Mereka mengerjakan berbagai macam
pekerjaan, dan mereka memenuhi pasar-pasar Mesir. Berlalulah hari demi hari.
Mesir diperintah oleh seorang raja yang bengis di mana orang-orang Mesir
menyembahnya. Raja yang jahat ini melihat Bani Israil semakin banyak dan
semakin berkembang serta mengambil posisi-posisi penting. Raja mendengar
pembicaraan Bani Israil tentang berita yang samar di mana dalam berita itu
dikatakan bahwa salah seorang anak Bani Israil akan menjatuhkan Fir’aun Mesir
dari singgasananya. Barangkali berita itu berasal dari suatu mimpi dari
mimipi-mimpi hidup atau mimpi nyata yang mengelilingi hati kelompok minoritas
yang tertindas, dan mungkin itu merupakan berita gembira yang tersebut dalam
kitab-kitab mereka. Apa pun halnya, berita ini telah sampai di telinga Fir’aun.
Kemudian Fir’aun mengeluarkan perintah yang aneh, yaitu
jangan sampai seorang pun dari Bani Israil yang melahirkan anak. Maksud dari
perintah ini adalah, hendaklah setiap anak yang lahir dari jenis laki-laki
dibunuh. Aturan ini mulai diterapkan. Tapi para pakar ekonomi berkata kepada
Fir’aun: Orang-orang tua dari Bani Israil akan mati sesuai dengan ajal mereka,
sedangkan anak-anak kecilnya disembelih maka ini akan berakhir pada hancurnya
dan binasanya Bani Israil namun Fir’aun akan kehilangan kekayaan dan aset
manusia yang dapat bekerja untuknya atau menjadi budak-budaknya dan wanita-wanita
tidak dapat lagi dimilikinya. Maka yang terbaik adalah, hendaklah dilakukan
suatu proses sebagai berikut: Anak laki-laki disembelih pada tahun yang pertama
dan hendaklah mereka dibiarkan pada tahun berikutnya. Fir’aun sependapat dengan
pikiran ini karena itu dianggap lebih menguntungkan dari sisi ekonomi.
Ibu Musa mengandung Harun pada tahun di mana anak-anak
kecil tidak dibunuh maka ia melahirkannya secara terang-terangan. Ketika datang
tahun yang ditetapkan di dalamnya bahwa anak-anak kecil harus dibunuh, ia
melahirkan Musa. Saat melahirkan Musa, sang ibu merasakan ketakutan yang luar
biasa. la mencemaskan bahwa jangan-jangan anaknya akan dibunuh. Maka si ibu
menyusuinya secara sembunyi-sembunyi. Kemudian datanglah suatu malam yang penuh
berkah di mana Allah SWT mewahyukan kepadanya:
“Dam Kami ilhamkan kepada ibu Musa: ‘Susuilah dia dan
apabila khawatir terhadapnya maka jatuhkalah ia ke dalam sungai (Nil). Dan
janganlah kamu khawatir danjanganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya
Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari
para rasul.’” (QS. al-Qashash: 7)
Mendengar wahyu Allah SWT itu dan mendengar panggilan
yang penuh kasih sayang dan suci ini, ibu Musa langsung menaatinya. Ia
diperintahkan untuk membuat peti kecil bagi Musa. Setelah menyusuinya, ia
meletakkannya di peti itu. Kemudian ia pergi ke tepi sungai Nil dan membuangnya
di atas air. Hati sang ibu adalah hati yang paling pengasih di dunia. Hatinya
dipenuhi penderitaan saat ia melemparkan anaknya di sungai Nil, tetapi ia
menyadari bahwa Allah SWT lebih Pengasih terhadap Musa dibandingkan dengan
dirinya. Allah SWT lebih mencintainya dibandingkan dengan dirinya. Allah SWT
adalah Tuhannya dan Tuhan sungai Nil.
Belum lama peti itu menyentuh sungai Nil sehingga sang
Pencipta mengeluarkan perintah kepada arus sungai agar menjadi tenang dan
bersikap lembut terhadap bayi yang dibawanya yang pada suatu hari akan menjadi
Nabi. Sebagaimana Allah SWT memerintahkan kepada api agar menjadi dingin dan
membawa keselamatan bagi Nabi Ibrahim, begitu juga Allah SWT memerintahkan
kepada sungai Nil agar membawa Musa dengan tenang dan penuh kelembutan sehingga
menyerahkannya ke istana Fir’aun. Air sungai nil membawa peti yang mulia ini ke
istana Fir’aun. Di sana ombak menyerahkannya kepada tepi pantai kemudian ia
mewasiatkan kepada tepi pantai itu. Dan angin berkata kepada rumput yang tidur
di sisi peti: Jangan engkau banyak bergerak karena Musa sedang tidur. Rumput
itu pun menaati perintah angin dan Musa tetap tidur.
Pada hari itu, matahari menyinari istana Fir’aun. Istri
Fir’aun keluar berjalanjalan di kebun istana sebagaimana biasanya. Kita tidak
mengetahui apa gerangan yang menjadikannya berjalan-jalan dan menempuh jarak
yang lebih jauh dari yang biasa di tempuhnya.
Istri Fir’aun berbeda sekali dengan Fir’aun. Fir’aun
adalah seorang kafir sementara istrinya adalah seorang yang beriman. Fir’aun
adalah seorang yang keras kepala sementara istrinya adalah seorang yang
penyayang. Fir’aun adalah seorang penjahat sementara istrinya adalah seorang
yang lembut dan penuh cinta. Di samping itu, istrinya merasakan kesedihan yang
dalam karena ia belum mampu melahirkan anak. Ia merindukan untuk mendapatkan
anak. Istri Fir’aun berhenti di sisi kebun kemudian bau harum yang datang dari
pohon itu menyebarkan perasaan sedih akan rasa kesendirian. Pada saat yang
sama, wanita-wanita yang membantunya sudah memenuhi tempat-tempat air yang
diambil dari sungai. Tiba-tiba mereka mendapati peti di sisi kaki mereka.
Mereka membawa peti itu seperti semula ke istri Fir’aun. Ia memerintahkan untuk
membukanya lalu mereka pun membukanya. Betapa terkejutnya istri Fir’aun ketika
melihat Musa di dalamnya. Maka ia pun merasakan bahwa ia mencintainya seperti
anaknya sendiri. Allah SWT menaruh dalam hatinya rasa cinta kepada Musa
sehingga air matanya berlinang.
Kemudian ia membawa peti mati itu. Istri Fir’aun
membolak-balikkan Musa sambil menangis. Musa terbangun dan ia pun menangis.
Musa tampak lapar ia membutuhkan air susu pagi dan tetap menangis. Fir’aun
duduk di atas meja makan. Ia menantikan istrinya namun yang ditunggu belum
hadir. Fir’aun mulai marah dan mencarinya. Tiba-tiba ia dikagetkan dengan
kedatangan istrinya dengan membawa Musa. Istri Fir’aun tampak sangat
menyayanginya. Ia terus menciuminya dan air matanya berlinangan. Fir’aun
bertanya, “dari mana datangnya anak kecil ini?” Kemudian mereka menceritakan
kepadanya bahwa mereka menemukannya di sebuah peti di tepi sungai. Fir’aun
berkata: “Ini adalah salah satu anak Bani Israil.
Sesuai dengan peraturan, anak-anak yang lahir tahun ini harus dibunuh.” Mendengar keputusan Fir’aun itu, istri Fir’aun berteriak dan ia mendekap Musa lebih keras:
Sesuai dengan peraturan, anak-anak yang lahir tahun ini harus dibunuh.” Mendengar keputusan Fir’aun itu, istri Fir’aun berteriak dan ia mendekap Musa lebih keras:
“Dan berkatalah istri Fir’aun: ‘(Ia) adalah penyejuk mata
hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat
hepada kita atau kita ambil iajadi anak.’” (QS. al-Qashash: 9)
Fir’aun tampak keheranan sekali melihat aksi istrinya
yang mendekap anak kecil yang mereka temukan di tepi sungai. Fir’aun tampak
tercengang karena istrinya menangis dengan gembira di mana Fir’aun tidak pernah
mendapati istrinya menangis karena gembira seperti ini. Fir’aun mulai
mengetahui bahwa istrinya menyayangi anak ini seperti anaknya sendiri. Fir’aun
berkata dalam dirinya: Barangkali ia ingat bahwa ia tidak mampu melahirkan anak
dan menginginkan anak ini. Akhirnya, Fir’aun sepakat atas apa yang dikatakan
oleh istrinya. Fir’aun memenuhi keinginannya dan menyetujuinya untuk mendidik
anak ini di istananya.
Ketika mendengar persetujuan Fir’aun, tampaklah keceriaan
yang luar biasa pada wajah istrinya. Fir’aun belum pernah menyaksikan keceriaan
seperti ini. Fir’aun telah menghadirkan berbagai macam hadiah kepadanya, juga
perhiasan dan budak tetapi ia belum pernah tersenyum meskipun sekali. Fir’aun
menyangka bahwa istrinya tidak mengerti arti sebuah senyuman. Dan sekarang,
Fir’aun melihat sendiri wajahnya dipenuhi dengan senyum keceriaan. Sementara
itu, Musa mulai menangis karena lapar. Istri Fir’aun mengetahui bahwa Musa
sedang lapar. Ia berkata kepada Fir’aun: “Anakku yang kecil sedang lapar.”
Fir’aun berkata: “Datangkanlah kepadanya para wanita yang menyusui.” Kemudian
didatangkanlah kepadanya seorang wanita yang menyusui dari istana. Wanita itu
mencoba untuk menyusui Musa tetapi apa yang terjadi? Musa menolaknya. Lalu
didatangkan wanita yang kedua sampai ketiga dan sampai kesepuluh tetapi Musa
tetap menangis dan tidak ingin menyusu kepada seorang pun di antara mereka.
Melihat kenyataan itu, istri Fir’aun menangis karena tidak tahan melihat
penderitaan anak kecil itu. Ia tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya.
Bukan hanya istri Fir’aun satu-satunya yang merasa sedih
dan menangis, ibu Musa adalah wanita lain yang merasa sedih dan menangis.
Ketika ia melemparkan Musa ke sungai Nil, ia merasa bahwa ia sedang melemparkan
buah hatinya di sungai. Lalu peti yang dilemparkan itu hilang dibawa oleh air
sungai dan beritanya pun tersembunyi. Dan ketika datang waktu pagi, ibu Musa
merasakan kesedihan yang selalu menghantuinya. Hampir saja ia pergi ke istana
Fir’aun untuk mendapatkan berita tentang anaknya kalau bukan karena Allah SWT
menarah kedamaian dalam hatinya sehingga ia menyerahkan urusan anaknya kepada
Allah SWT. Alhasil, ia berkata kepada saudara perempuan Musa: “Pergilah dengan
tenang ke istana Fir’aun dan berusahalah untuk mendapatkan berita tentang Musa
dan hendaklah engkau hati-hati agar jangan sampai mereka mengetahuimu.”
Kemudian saudara perempuan Musa pergi dengan tenang.
Akhirnya, ia mendengarkan kisah tentang Musa secara sempurna. Ia melihat Musa dari kejauhan dan mendengarkan suara tangisannya. Ia melihat mereka dalam keadaan kebingungan di mana mereka tidak mengetahui bagaimana menyusuinya. Ia mendengar bahwa Musa menolak setiap wanita yang mencoba menyusuinya.
Akhirnya, ia mendengarkan kisah tentang Musa secara sempurna. Ia melihat Musa dari kejauhan dan mendengarkan suara tangisannya. Ia melihat mereka dalam keadaan kebingungan di mana mereka tidak mengetahui bagaimana menyusuinya. Ia mendengar bahwa Musa menolak setiap wanita yang mencoba menyusuinya.
Saudara perempuan Musa berkata kepada para pengawal
Fir’aun: “Apakah kalian mau aku tunjukkan suatu keluarga yang dapat menyusuinya
dan dapat mengasuhnya.” Istri Fir’aun menjawab: “Seandainya engkau dapat
membawa kepada kami wanita yang dapat menyusuinya dan dapat mengasuhnya niscaya
kami akan memberimu hadiah yang besar. Yakni sesuatu yang engkau inginkan akan
kami penuhi.” Lalu saudara perempuan Musa itu kembali dan menghadirkan ibunya.
Si ibu menyusuinya dan Musa pun menyusu dengan tenang. Melihat hal itu, istri
Fir’aun sangat gembira dan berkata: “Bawalah dia sehingga masa penyusuannya
selesai, lalu kembalikanlah dia kepada kami dan kami akan memberimu suatu
balasan yang besar atas penyusuan dan pendidikan yang engkau berikan.”
Demikianlah Allah SWT mengembalikan Musa kepada ibunya
agar ia merasa gembira dan hatinya menjadi tenang dan tidak bersedih serta agar
ia mengetahui bahwa janji Allah SWT benar dan bahwa perintah-Nya dan
ketentuan-Nya pasti terlaksana meskipun banyak rintangan dan tantangan.
Allah SWT berfirman:
Allah SWT berfirman:
“Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir
saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan
hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah). Dan
berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: ‘Ikutilah dia.’ Maka
helihatanlah olehnya Musa dari jauh, sedang mereka tidak mengetahuinya, dam
Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui(nya)
sebelum itu; maka berkatalah saudara Musa: ‘Maukah kamu ahu tunjukkan kepadamu
ahlubait yang akan memeliharanya untukmu dan mereha dapat berlaku baik
kepadanya?’. Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan
tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS. al-Qashash: 10-13)
Ibu Musa menyempurnakan penyusuan lalu menyerahkannya ke
rumah Fir’aun. Saat itu Musa disenangi dan disukai semua orang. Allah SWT
berfirman:
Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang
datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku.” (QS.Thaha: 39)
Tiada seorang pun yang melihat Musa kecuali ia akan
mencintainya. Musa dididik di istana terbesar di bawah bimbingan dan penjagaan
Allah SWT. Pendidikan Musa dimulai di rumah Fir’aun di mana di dalamnya
terdapat ahli pendidikan dan para pengajar. Mesir saat itu merupakan negara
yang besar di dunia dan Fir’aun sebagai raja yang paling kuat. Karena itu,
secara sederhana Fir’aun rnampu mengumpulkan para pakar pendidikan dan para
cendekiawan. Demikianlah hikmah Allah SWT berkehendak agar Musa terdidik di
bawah pendidikan yang besar dan ditangani pakar-pakar pendidikan yang terlatih.
Ironisnya, hal ini terjadi di rumah musuhnya yang pada suatu hari nanti akan
hancur di tangannya, sebagai bentuk pelaksanaan dari perintah Allah SWT.
Musa tumbuh di rumah Fir’aun. Beliau mempelajari ilmu
hisab, ilmu bangunan, ilmu kimia, dan bahasa. Beliau tidur di bawah bimbingan
agama. Oleh karena itu, Musa tidak mendengar omongan kosong yang dikatakan oleh
pendidik tentang ketuhanan Fir’aun. Jarang sekali ia mendengar bahwa Fir’aun
adalah tuhan. Beliau pun menepis pernyataan dan anggapan ini. Beliau tinggal
bersama Fir’aun di satu rumah. Beliau mengetahui lebih daripada orang lain
bahwa Fir’aun hanya sekadar manusia biasa tetapi ia orang yang lalim. Musa
mengetahui bahwa ia bukanlah anak dari Fir’aun. Beliau adalah salah seorang
dari Bani Israil. Beliau menyaksikan bagaimana pengawal-pengawal Fir’aun dan
para pengikutnya menindas Bani Israil. Akhirnya, Musa tumbuh besar dan mencapai
kekuatannya.
Ketika para pengawal lalai darinya, Musa memasuki kota.
Musa berjalan-jalan di sekitar kota. Kemudian Musa mendapati seorang lelaki
dari pengikut Fir’aun yang sedang berkelahi dengan seseorang dari Bani Israil.
Lalu seseorang yang lemah dari kedua orang itu meminta tolong kepadanya. Musa
pun turut campur dalam urusan itu. Musa mendorong dengan tangannya seorang
lelaki yang berbuat aniaya itu. Ternyata Musa membunuhnya. Saat itu Musa memang
terkenal sebagai orang yang kuat sampai pada batas di mana dengan sekali pukul
saja untuk melerai musuhnya, ia justru membunuhnya. Tentu Musa tidak sengaja
untuk membunuh orang laki-laki itu. Tetapi apa yang terjadi? Lelaki itu
tersungkur dan kemudian mati. Musa berkata kepada dirinya: Ini adalah perbuatan
setan. Sesungguhnya ia adalah musuh yang menyesatkan dan nyata.
Kemudian Musa berdoa kepada Tuhannya dan berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku maka ampunilah aku.” Allah SWT pun mengampuninya. Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Allah SWT berfirman:
Kemudian Musa berdoa kepada Tuhannya dan berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku maka ampunilah aku.” Allah SWT pun mengampuninya. Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Allah SWT berfirman:
“Dan setelah Musa sudah cukup umur dan sempurna akalnya,
Kami berikan kepadanya hikmah kenabian dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami
memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan Musa masuk ke kota
(Memphis) ketika penduduknya sedang lemah, maka didapatinya di dalam kota itu
dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil)
dan seorang lagi dari musuhnya (kaum Fir’aun). Maka orang yang dari golongannya
meminta pertolongan darinya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu
Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: ‘Ini adalah perbuatan
setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata
(permusuhannya). Musa berdoa: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya
diriku sendiri karena itu ampunilah aku.’ Maka Allah mengampuninya,
sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Musa berkata: ‘Ya
Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali
tiada akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa.’” (QS. al-Qashash:
14-17)
Kemudian Nabi Musa menjadi takut di tengah-tengah kota
dan merasa terancam. Dalam ayat itu digambarkan bagaimana Nabi Musa merasakan
ketakutan di mana ia mengkhawatirkan kejahatan akan datang padanya pada setiap
langkahnya, dan ia begitu sensitif melihat gerak-gerik di sekitarnya. Nabi Musa
saat itu menampakkan kegoncangan jiwa yang dahsyat. Sebenarnya Nabi Musa hanya
ingin mempertahankan dirinya saat menolong seseorang dari Bani Israil. Ketika
itu Nabi Musa mendorong dengan tangannya dan bertujuan memisahkan orang Mesir
dari orang Israil tetapi ia justru membunuhnya.
Dalam undang-undang positif dinyatakan bahwa pembunuhan
semacam ini dianggap sebagai pembunuhan karena keteledoran atau karena
kesalahan bukan karena faktor kesengajaan sehingga karenannya yang bersangkutan
tidak akan mendapatkan suatu hukuman yang berat. Biasanya orang yang melakukan
pembunuhan tanpa sengaja akan mendapatkan keputusan yang meringankannya karena
ia membunuh tanpa kesengajaan. Tentu kejadian semacam ini tidak dapat dianggap
sebagai pembunuhan dengan sengaja karena yang bersangkutan tidak ingin
mencelakakan orang lain. Nabi Musa tidak memukul orang itu. Yang ia lakukan
hanya mendorongnya. Atau dengan kata lain, Nabi Musa hanya sekadar
menyingkirkan orang tersebut. Kita akan mengetahui bahwa Nabi Musa adalah
cermin lain dari Nabi Ibrahim. Kedua-duanya dari kalangan ulul azmi, tetapi
Nabi Ibrahim adalah cermin kesabaran dan kelembutan sementara Nabi Musa adalah
cermin dari kekuatan dan keperkasaan.
Musa menjadi takut dan terancam di tengah-tengah kota.
Beliau berjanji di kemudian hari bahwa beliau tidak akan lagi menjadi sahabat
orang-orang yang berbuat jahat. Beliau tidak akan lagi terlibat dalam
pertengkaran dan permusuhan antara sesama penjahat. Di tengah-tengah
perjalanannya, Musa dikagetkan ketika melihat orang yang ditolongnya kemarin
saat ini lagi-lagi memanggilnya dan minta tolong padanya. Lagi-lagi orang itu
terlibat permusuhan dan pertengkaran dengan seorang Mesir. Musa mengetahui
bahwa orang Israil ini berbuat aniaya. Musa mengetahui bahwa ia termasuk salah
seorang preman di situ. Akhirnya, Musa berteriak di depan wajah orang Israil
itu sambil berkata: “Sungguh ternyata engkau adalah orang yang jahat.”
Musa mengatakan demikian sambil mendorong keduanya dan ia
melerai pertengkaran itu. Orang Israil itu mengira bahwa Musa akan
mencelakakannya maka ia diliputi rasa takut. Sambil meminta kasih sayang kepada
Musa, ia berkata: “Wahai Musa apakah engkau akan membunuhku sebagaimana engkau
membunuh orang yang kemarin. Apakah engkau ingin menjadi seorang penguasa di
muka bumi dan tidak ingin menjadi orang yang memperbaiki bumi.” Ketika
mendengar orang Israil yang mengatakan demikian, Musa berhenti dan amarahnya
mereda. Musa mengingat apa yang dilakukannya kemarin dan bagaimana ia meminta
ampun dan bertaubat serta berjanji untuk tidak menjadi pembantu orang-orang
yang berbuat jahat. Musa kemudian kembali dan meminta ampun kepada Tuhannya.
Orang Mesir yang berkelahi dengan orang Israil itu
mengetahui bahwa Musa adalah pembunuh orang Mesir yang mayatnya mereka temukan
kemarin. Petugas keamanan Mesir tidak berhasil menyingkap kasus pembunuhan itu.
Akhirnya, rahasia Musa tersingkap lalu seorang lelaki Mesir yang beriman datang
dari penjuru kota. Ia membisikkan kepada Musa bahwa ada suatu rencana untuk
membunuhnya. Ia menasehati Musa agar meninggalkan Mesir secepatnya.
Allah SWT berfirman:
“Karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya), maka tiba-tiba orang yang meminta pertolongan kemarin berteriak meminta pertolongan kepadanya. Musa berkata kepadanya: ‘Sesungguhnya kamu benar-benar orang yang sesat yang nyata (kesesatannya). Maka tat-kala Musa memegang dengan keras orang yang menjadi musuh keduanya, musuhnya berkata: ‘Hai Musa apakah kamu bermaksud untuk membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang manusia? Kamu tida bermaksud melainkan hendak menjadi orang yang berbuat sewenang-wenang di negeri (ini), dan tiadalah kamu hendak menjadi salah seorang dari orang-orang yang mengadakan perdamaian.’ Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota tergesa-gesa seraya berkata: ‘Hai Musa, sesungguhnya pembesar sedang berunding tentang kamu. Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasihat kepadamu.’” (QS. al-Qashash: 18-20)
“Karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya), maka tiba-tiba orang yang meminta pertolongan kemarin berteriak meminta pertolongan kepadanya. Musa berkata kepadanya: ‘Sesungguhnya kamu benar-benar orang yang sesat yang nyata (kesesatannya). Maka tat-kala Musa memegang dengan keras orang yang menjadi musuh keduanya, musuhnya berkata: ‘Hai Musa apakah kamu bermaksud untuk membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang manusia? Kamu tida bermaksud melainkan hendak menjadi orang yang berbuat sewenang-wenang di negeri (ini), dan tiadalah kamu hendak menjadi salah seorang dari orang-orang yang mengadakan perdamaian.’ Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota tergesa-gesa seraya berkata: ‘Hai Musa, sesungguhnya pembesar sedang berunding tentang kamu. Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasihat kepadamu.’” (QS. al-Qashash: 18-20)
Allah menyembunyikan kepada kita nama laki-laki yang
datang mengingatkan Musa itu. Tetapi menurut hemat kami, ia adalah seorang
lelaki Mesir yang tentu meiliki jabatan penting. Sesuai dengan ayat tersebut,
ia mengetahui adanya persengkongkolan untuk menyingkirkan Musa dari kedudukan
yang tinggi. Seandainya ia orang yang biasa-biasa saja maka orang itu tidak
mengenalnya. Orang itu mengetahui bahwa Musa tidak berhak untuk mendapatkan
hukum bunuh atas dosanya. Musa membunuh karena faktor kesalahan, bukan karena
faktor kesengajaan. Kesalahan semacam itu menurut undang-undang Mesir yang
dahulu dihukum dengan penjara. Lalu, mengapa timbul keinginan untuk membunuh
Musa? Kalau kita memperhatikan nasihat orang Mesir itu ter-hadap Musa maka kita
akan menemukan jawabannya. Yaitu perkataannya: “Para pembesar merencanakan
persekongkolan untuk menyingkirkanmu.”
Al-Mala’ adalah para penguasa atau para pembesar yang
bertanggung jawab pada keamanan. Mereka menyiapkan persekongkolan untuk
menyingkirkan Musa. Apa yang dilakukan oleh Musa— kalau memang dianggap sebagai
suatu kesalahan—adalah kejahatan biasa yang hanya dituntut dengan hukuman
penjara.
Lalu siapakah yang membuat rencana yang demikian, dan siapakah yang mendorong untuk melakukan persekongkolan untuk membunuhnya? Kami kira bahwa kepala keamanan Mesir tidak menyukai Musa. Ia mengetahui bahwa Musa adalah anggota Bani Israil. Ia mengetahui bahwa sampainya peti di istana Fir’aun merupakan suatu rekayasa yang dirancang oleh musuh-musuhnya yang menginginkan kedudukannya. Ini berarti karena keteledorannya dan ketelodaran anak-anak buahnya. Berapa kali orang itu menasihati dan menganjurkan agar Musa dibunuh tetapi Fir’aun justru menampik pikiran itu. Dan ketika datang saat yang ditentukan untuk membunuh Musa, Fir’aun justru tunduk terhadap istrinya yang sangat mencintai Musa.
Lalu siapakah yang membuat rencana yang demikian, dan siapakah yang mendorong untuk melakukan persekongkolan untuk membunuhnya? Kami kira bahwa kepala keamanan Mesir tidak menyukai Musa. Ia mengetahui bahwa Musa adalah anggota Bani Israil. Ia mengetahui bahwa sampainya peti di istana Fir’aun merupakan suatu rekayasa yang dirancang oleh musuh-musuhnya yang menginginkan kedudukannya. Ini berarti karena keteledorannya dan ketelodaran anak-anak buahnya. Berapa kali orang itu menasihati dan menganjurkan agar Musa dibunuh tetapi Fir’aun justru menampik pikiran itu. Dan ketika datang saat yang ditentukan untuk membunuh Musa, Fir’aun justru tunduk terhadap istrinya yang sangat mencintai Musa.
Akhirnya, kesempatan emas ada di depannya. Para pembantunya mengatakan kepadanya bahwa Musalah yang membunuh orang Mesir yang mereka temukan jasadnya kemarin. Selesailah urusan ini. Kemudian datanglah perintah dan kesempatan untuk membunuh Musa. Orang-orang yang membenci Musa mulai mendapatkan angin kegembiraan di mana mereka akan melihat Musa terbunuh, tetapi Allah SWT mengirim seorang Mesir yang baik untuk mengingatkan Musa agar berlari dari kejaran orang-orang yang lalim.
Allah SWT berfirman:
“Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdoa: ‘Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang lalim itu.’” (QS. al-Qashash: 21)
“Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdoa: ‘Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang lalim itu.’” (QS. al-Qashash: 21)
Musa meninggalkan kota dan menjadi orang yang terusir.
Musa segera keluar dalam keadaan takut dan sambil waspada Musa selalu berdoa
dalam hatinya: “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang lalim.”
Kaum itu memang benar-benar orang-orang yang lalim. Mereka ingin menerapkan
hukuman bagi pembunuh dengan sengaja atas Musa, padahal Musa tidak melakukan
selain berusaha memisahkan orang yang berkelahi tetapi dengan tidak sengaja ia
membunuhnya. Musa segera keluar dari Mesir. Beliau tidak lagi pergi ke istana
Fir’aun dan tidak mengganti pakaiannya, dan beliau tidak membawa makanan untuk
perjalanan. Beliau tidak membawa binatang tunggangan yang dapat
mengantarkannya. Beliau tidak pergi bersama suatu kafilah. Beliau langsung
pergi ketika mendapatkan kabar dari seorang mukmin yang mengingatkannya dari
ancaman Fir’aun.
Musa melalui jalan yang tidak lazim dilalui orang biasa.
Musa memasuki gurun dan ia menuju ke suatu tempat yang di situ Allah SWT membimbingnya.
Ini adalah pertama kalinya beliau keluar dan mengarungi gurun pasir sendirian.
Kemudian sampailah Musa di suatu tempat yang bernama Madyan. Musa istirahat dan
duduk-duduk di dekat sumur yang besar di mana di situ orang-orang mengambil air
untuk memberi minum kepada binatang-binatang tunggangan mereka dan
binatang-binatang gembalaan mereka. Musa tidak membawa makanan selain daun-daun
pohon. Musa minum dari sumur-sumur yang ditemukannya di tengah jalan. Sepanjang
peijalanan Musa merasakan ketakutan; jangan-jangan Fir’aun mengirim orang untuk
menangkapnya. Ketika Musa sampai di kota Madyan Musa berbaring di sisi pohon
dan istirahat. Musa merasa lapar dan keletihan. Sandal yang dipakainya tampak
mulai rusak. Beliau tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli sandal baru,
dan beliau juga tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli makanan dan
minuman.
Nabi Musa memperhatikan kumpulan pengembala yang sedang
mengambil air untuk kambing-kambing mereka. Musa ingat bahwa ia sedang lapar
dan haus. Ia berkata dalam dirinya: Aku tidak dapat memenuhi perutku dengan air
selama aku tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli makanan. Musa berjalan
menuju tempat air. Sebelum sampai, ia mendapati dua orang perempuan yang sedang
menyendirikan kambing-kambingnya agar jangan sampai tercampur dengan kambing
orang lain. Melalui ilham, Musa merasa bahwa kedua wanita itu membutuhkan
pertolongan. Musa lupa terhadap rasa hausnya, lalu beliau menuju ke arah mereka
dan bertanya, apakah ia dapat membantu mereka? Lalu seorang gadis yang paling
tua berkata: “Kami menunggu sampai selesainya para gembala itu mengambil air
untuk binatang gembalaan mereka.” Musa bertanya: “Mengapa kalian tidak
mengambil air sekarang?”
Gadis yang paling kecil berkata: “Kami tidak mampu untuk berdesak-desakan dengan kaum pria.” Nabi Musa keheranan karena mengetahui kedua gadis itu menggembala kambing. Seharusnya yang mengembala kambing adalah kaum pria. Ini adalah tugas yang berat dan sangat melelahkan. Musa bertanya: “Mengapa kalian mengembala kambing?” Masih kata gadis yang paling kecil: “Orang tua kami sudah tua di mana kesehatannya tidak dapat membantunya untuk keluar dari rumah dan mengembala kambing setiap hari.” Musa berkata: “Kalau begitu, aku akan membantu kalian untuk mengambil air tersebut.”
Gadis yang paling kecil berkata: “Kami tidak mampu untuk berdesak-desakan dengan kaum pria.” Nabi Musa keheranan karena mengetahui kedua gadis itu menggembala kambing. Seharusnya yang mengembala kambing adalah kaum pria. Ini adalah tugas yang berat dan sangat melelahkan. Musa bertanya: “Mengapa kalian mengembala kambing?” Masih kata gadis yang paling kecil: “Orang tua kami sudah tua di mana kesehatannya tidak dapat membantunya untuk keluar dari rumah dan mengembala kambing setiap hari.” Musa berkata: “Kalau begitu, aku akan membantu kalian untuk mengambil air tersebut.”
Musa berjalan menuju tempat air. Musa mengetahui bahwa
para pengembala meletakkan di atas bibir air suatu batu besar yang tidak bisa
digerakkan kecuali oleh sepuluh orang. Musa merangkul dan mengangkatnya dari
bibir sumur. Otot-otot Musa tampak menonjol saat memindahkan batu itu. Musa
adalah seorang lelaki yang kuat. Akhirnya, Musa berhasil mengambilkan air bagi
remaja putri itu, dan kemudian ia mengembalikan batu itu ke tempatnya. Musa
kembali duduk di bawah naungan pohon. Saat itu Musa lupa untuk minum. Perut
Musa menempel ke punggungnnya karena saking laparnya. Musa mengingat Allah SWT
dan memanggil-Nya dalam hatinya:
“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu
kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (QS. al-Qashash: 24)
“Dan tatkala ia menghadap ke jurusan negeri Madyan ia
berdoa (lagi): ‘Mudah-mudahan Tuhanku memimpinku ke jalan yang benar.’ Dan
tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan
orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang
banyak itu, dua orang wanita yang sedang menambat (ternaknya) Musa berkata:
‘Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?’ Kedua wanita itu menjawab: ‘Kami
tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu
memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut
umurnya.’ Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya,
kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: ‘Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan
kepadaku.’” (QS. al-Qashash: 22-24)
Marilah kita tinggakan sejenak Nabi Musa yang sedang
duduk di bawah naungan pohon untuk kemudian kita melihat apa yang terjadi pada
kedua gadis itu. Kedua gadis itu kembali ke rumah ayahnya. Si ayah bertanya: “Hari
ini kalian kembali lebih cepat dari biasanya?” Gadis yang paling tua berkata:
“Sungguh hari ini kami sangat beruntung. Wahai ayah, kami bertemu dengan
seorang lelaki yang mulia yang mengambilkan air bagi hewan kami sebelum
orang-orang lain mengambilnya.” Si ayah berkata: “Alhamdulilah.” Gadis yang
paling kecil berkata: “Saya kira wahai ayahku dia datang dari tempat yang jauh
dan tampak ia sedang lapar. Saya melihat dia dalam keadaan kecapaian meskipun
ia seorang lelaki yang kuat.”
Si ayah berkata kepada anak perempuannya: Pergilah engkau
padanya dan katakan, sesungguhnya ayahku memanggilmu untuk memberimu upah atas
jasamu mengambilkan air untukku. Kemudian anak perempuan itu pergi menemui Musa
dalam keadaan hatinya berdebar-debar. Perempuan itu berdiri di depan Musa dan
menyampaikan surat dari ayahnya. Musa bangkit dari tempat duduknya dan
pandangannya tertuju ke bawah. Musa tidak bermaksud mengambilkan air untuk
mereka dengan tujuan mengharapkan upah dari mereka. Beliau membantu mereka
hanya semata-mata karena Allah SWT. Beliau merasakan dalam dirinya bahwa Allah
SWT-lah yang mengarahkan beliau untuk membantu mereka.
Gadis itu berjalan di depan Musa kemudian bertiuplah
angin dan menyentuh pakaiannya sehingga Musa menundukkan pandangan matanya
karena merasa malu. Musa berkata kepadanya: “Saya akan berjalan di depanmu dan
tunjukkanlah jalan kepadaku.” Mereka pun sampai di kediaman si ayah. Sebagian
ahli tafsir mengatakan bahwa si ayah ini adalah Nabi Syu’aib. Beliau memperoleh
usia yang panjang setelah kematian kaumnya. Ada juga yang mengatakan bahwa si
ayah adalah putra dari saudara Syu’aib. Ada yang mengatakan bahwa ia adalah
anak dari pamannya, dan ada juga yang mengatakan bahwa ia adalah seorang lelaki
mukmin dari kaumnya. Yang jelas, ia adalah seorang tua yang saleh. Orang tua
itu menghidangkan kepada Nabi Musa makanan siang dan bertanya kepadanya dari
mana ia datang dan kemudian ke mana ia akan pergi.
Musa mengungkapkan ceritanya. Orang tua itu berkata
kepadanya, jangan khawatir dan jangan takut. Engkau akan selamat dari
orang-orang yang lalim. Negeri ini tidak tunduk pada Mesir dan mereka tidak
akan sampai di sini. Mendengar ucapan itu, Musa menjadi tenang dan bangkit
untuk pergi. Salah seorang anak perempuan itu berkata kepada ayahnya dengan
berbisik: “Wahai ayahku, berilah dia upah.”
Sesungguhnya engkau akan memberikan upah kepada seorang yang kuat dan jujur. Si ayah bertanya kepadanya: “Bagaimana engkau mengetahui dia seorang lelaki yang kuat?” Anak perempuannya menjawab: “Saya lihat sendiri ia mengangkat batu yang tidak mampu diangkat oleh sepuluh orang lelaki.” Si ayah bertanya lagi: “Bagaimana engkau mengetahui bahwa dia seseorang yang jujur.” Perempuan itu menjawab: “Ia menolak untuk berjalan di belakangku dan ia berjalan di depanku sehingga ia tidak melihatku saat aku berjalan, dan selama perjalanan saat aku berbincang-bincang padanya, dia selalu menundukkan matanya ke tanah sebagai rasa malu dan adab yang baik darinya.”
Sesungguhnya engkau akan memberikan upah kepada seorang yang kuat dan jujur. Si ayah bertanya kepadanya: “Bagaimana engkau mengetahui dia seorang lelaki yang kuat?” Anak perempuannya menjawab: “Saya lihat sendiri ia mengangkat batu yang tidak mampu diangkat oleh sepuluh orang lelaki.” Si ayah bertanya lagi: “Bagaimana engkau mengetahui bahwa dia seseorang yang jujur.” Perempuan itu menjawab: “Ia menolak untuk berjalan di belakangku dan ia berjalan di depanku sehingga ia tidak melihatku saat aku berjalan, dan selama perjalanan saat aku berbincang-bincang padanya, dia selalu menundukkan matanya ke tanah sebagai rasa malu dan adab yang baik darinya.”
Kemudian orang tua itu memandangi Musa dan berkata
padanya: “Wahai Musa, aku ingin menikahkanmu dengan salah satu putriku. Dengan
syarat, hendaklah engkau bekerja mengembala kambing bersamaku selama delapan
tahun. Seandainya engkau menyempurnakan sepuluh tahun maka itu adalah kemurahan
darimu. Aku tidak ingin menyusahkannmu. Sungguh insya Allah engkau akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang saleh.” Musa berkata: “Ini adalah
kesepakatan antar aku dan engkau dan Allah SWT sebagai saksi atas kesepakatan
kita, baik aku melaksanakan pekerjaan selama delapan tahun maupun sepuluh
tahun. Setelah itu, aku bebas untuk pergi kemana saja.”
Allah SWT berfirman:
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: ‘Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan) mu memberi minum (ternak) kami.’ Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu’aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu’aib berkata: ‘Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang lalim itu.’ Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Wahai bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. Berkatalah dia (Syu’aib): ‘Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikkan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.’ Dia (Musa) berkata: ‘Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas apa yang aku ucapkan.’” (QS. al-Qashash: 25-28)
Ketika sampai pada kisah ini, banyak pena bertebaran
untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang mencoba menerobos
kesamaran. Mereka bertanya tentang anak perempuan yang menikahi Musa: apakah
anak perempuan yang paling besar ataukah anak perempuan yang paling kecil, dan
Musa memilih masa bekerja delapan tahun atau sepuluh tahun. Bahkan mereka
menyampaikan berbagai macam riwayat dan kisah yang mereka yakini kebenarannya.
Kami sendiri meyakini bahwa Musa menikah dengan salah satu anak perempuan dari
orang tua itu tetapi kita tidak mengetahui siapa dia dan siapa namanya. Kami
meyakini bahwa beliau menikah dengan gadis yang memanggilnya untuk menemui
ayahnya. Kemudian gadis itulah yang menganjurkan ayahnya agar memberikan upah
padanya.
Al-Qur’an al-Karim melalui konteks ayatnya menyingkap bentuk kekaguman yang tersembunyi di balik gadis itu terhadap Musa. Barangkali orang tuanya mengetahui bahwa anak perempuannya menaruh rasa cinta kepada Musa, dan boleh jadi ketika berbicara tentang pernikahan kepada Musa, ia menyerahkan sepenuhnya kebebasan Musa untuk memilih. Mungkin Musa memilih sendiri gadis mana yang diminatinya.
Tetapi, siapa gadis yang dipilih oleh Musa: apakah gadis yang paling tua atau gadis yang paling kecil? Yang jelas Al-Qur’an tidak menyebutkan hal tersebut, meskipun ia hanya memberikan isyarat kepadanya dalam firman-Nya:
Al-Qur’an al-Karim melalui konteks ayatnya menyingkap bentuk kekaguman yang tersembunyi di balik gadis itu terhadap Musa. Barangkali orang tuanya mengetahui bahwa anak perempuannya menaruh rasa cinta kepada Musa, dan boleh jadi ketika berbicara tentang pernikahan kepada Musa, ia menyerahkan sepenuhnya kebebasan Musa untuk memilih. Mungkin Musa memilih sendiri gadis mana yang diminatinya.
Tetapi, siapa gadis yang dipilih oleh Musa: apakah gadis yang paling tua atau gadis yang paling kecil? Yang jelas Al-Qur’an tidak menyebutkan hal tersebut, meskipun ia hanya memberikan isyarat kepadanya dalam firman-Nya:
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua
wanita itu berjalan kemalu-maluan. ” (QS. al-Qashash: 25)
Begitu juga Al-Qur’an al-Karim tidak menyebutkan waktu
yang dihabiskan oleh Musa saat ia bekerja: apakah sepuluh tahun atau beliau
merasa cukup dengan delapan tahun. Kami sendiri meyakini sesuai dengan
kebiasaan Musa dan kemurahannya serta kenabiannya serta kedudukannya sebagai
salah satu nabi ulul azmi bahwa beliau memilih masa yang paling lama, yaitu
sepuluh tahun. Pendapat itu juga didukung oleh hadis Ibnu Abas.
Demikianlah Nabi Musa mengabdi kepada orang tua itu
selama sepuluh tahun penuh. Pekerjaan Nabi Musa terbatas pada keluar dari rumah
di waktu pagi untuk mengembala kambing. Kami kira bahwa sepuluh tahun masa yang
dihabiskan oleh Nabi Musa di Madyan merupakan suatu ketentuan yang dirancang
oleh Allah SWT. Musa berdasarkan agama Yakub. Kakek beliau adalah Yakub dan
Yakub sendiri adalah cucu dari Ibrahim. Dengan demikian, Musa adalah cucu dari
Ibrahim dan setiap nabi yang datang setelah Ibrahim berasal dari sulbinya. Maka
dari sini kita memahami bahwa Musa berada di atas agama ayah-ayahnya dan
kakek-kakeknya.
Nabi Musa berdasarkan Islam dan agama tauhid. Nabi Musa
menghabiskan masa sepuluh tahun itu dalam keadaan jauh dari kaumnya dan
keluarganya. Masa sepuluh tahun ini adalah masa yang paling penting dalam
kehidupannya. Ia merupakan masa persiapan yang besar. Pada setiap malam Musa
merenungkan bintang-bintang. Musa mengikuti terbitnya matahari dan
tenggelamnya. Pada setiap siang Musa memikirkan tumbuh-tumbuhan: bagaimana ia
membelah tanah dan mekar. Musa memperhatikan air: bagaimana ia menghidupkan
bumi setelah bumi itu mati, lalu bumi itu menjadi tempat yang indah dan subur.
Musa memperhatikan alam vang luas dan ia tampak tercengang dan kagum dengan
ciptaan Allah SWT.
Sebenarnya pemikiran-pemikiran dan perenungan-perenungan
tersebut jauh-jauh hari sudah tersembunyi di dalam dirinya dan menetap di dalam
jiwanya. Bukankah Musa telah terdidik di istana Fir’aun. Ini berarti bahwa
beliau menjadi seorang Mesir yang mempunyai wawasan yang luas; orang Mesir yang
menunjukkan kekuatan fisiknya; orang Mesir dengan segala makanannya dan
minumannya. Jadi, segala hal yang ada pada Musa berbau Mesir. Musa siap-siap
untuk menerima wahyu Ilahi dari bentuk yang baru. Yaitu wahyu Ilahi yang
langsung datang tanpa perantara seorang malaikat di mana Allah SWT akan
berbicara dengannya tanpa perantara.
Oleh karena itu, sebelum datangnya wahyu itu perlu adanya
persiapan mental dan moral, sedangkan persiapan fisik telah selesai dilaluinya
di Mesir. Musa tumbuh di istana yang paling besar vang dimiliki penguasa di
bumi dan di suatu pemerintahan yang paling kaya di bumi. Musa menjadi seorang
pemuda yang kuat di mana hanya sekadar memisahkan seseorang yang berkelahi, ia
justru membunuhnya. Setelah persiapan fisik yang sangat kuat, kini Musa harus
melewati persiapan mental yang seimbang. Yaitu persiapan yang dilakukan melalui
pengasingan yang sempurna di mana beliau hidup di tengah-tengah gurun dan
tempat pengembalaan yang beliau belum pernah menginjakkan kakinya di sana.
Beliau hidup di tengah-tengah orang asing yang belum pernah beliau lihat
sebelumnya.
Sering kali Musa mendapatkan kesunyian dan keheningan di
balik pengasingan itu. Allah SWT mempersiapkan hal tersebut kepada nabi-Nya
agar setelah itu beliau mampu memegang amanat yang besar dari Allah SWT.
Datanglah suatu hari atas Musa. Selesailah masa yang ditentukan. Kemudian Musa
merasakan kerinduan untuk kembali ke Mesir. Dengan berlalunya waktu, hukuman
yang harus dijalaninya dengan sendirinya gugur. Musa mengetahui hal itu, tetapi
beliau juga mengetahui bahwa undang-undang di Mesir sebenarnya terletak pada
kekuatan penguasa; jika penguasa berkehendak maka Musa dapat menerima hukuman
dan jika tidak berkehendak maka dia akan memaafkannya, meskipun yang
bersangkutan berhak mendapatkan hukuman. Alhasil, Musa menyadari hal itu, Musa
tidak sepenuhnya yakin ia akan selamat ketika beliau menginjakkan kakinya di
Mesir seperti keyakinannya bahwa beliau selamat di tempatnya sekarang. Meskipun
demikian, rasa rindunya untuk melakukan perjalanan kembali ke tempatnya
mendorong Musa segera menuju ke Mesir. Musa tepat mengambil keputusan.
Musa berkata kepada istrinya: “Besok kita akan memulai
perjalanan ke Mesir.” Istrinya berkata dalam dirinya: “Di dalam perjalanan
terdapat seribu macam bahaya tetapi ketenangan tetap menghiasai wajah Musa.”
Istri Musa tetap taat kepada Musa. Nabi Musa sendiri tidak mengetahui rahasia
tentang keputusannya yang cepat untuk kembali ke Mesir setelah sepuluh tahun beliau
pergi melarikan diri, lalu mengapa sekarang ia kembali ke sana? Apakah beliau
rindu kepada ibunya dan saudaranya? Apakah beliau berpikir untuk mengunjungi
istri Fir’aun yang telah mendidiknya layaknya ibunya dan sangat mencintainya
layaknya ibunya sendiri? Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang
terlintas dalam diri Musa saat beliau berkeinginan untuk kembali ke Mesir.
Hanya saja, yang kita ketahui bahwa Nabi Musa terbimbing dengan
ketetapan-ketetapan Ilahi sehingga beliau tidak melangkahkan kakinya kecuali
berdasarkan ketetapan tersebut.
Musa keluar bersama keluarganya dan melakukan perjalanan.
Bulan bersembunyi di balik gumpalan awan yang tebal, dan kegelapan rnenyelimuti
sana-sini. Sementara itu, petir menyambar sangat keras dan langit menurunkan
hujan. Cuaca tampak tidak bersahabat. Di tengah-tengah perjalanannya, Musa
tersesat. Musa mendapatkan dua potongan batu kemudian beliau memukulkan
kedua-nya dan menggesek-gesekan keduanya agar mendapatkan api darinya sehingga
beliau dapat berjalan. Tetapi sayang, beliau tidak mampu melakukan hal itu.
Angin yang bertiup kencang memadamkan api kecil itu.
Nabi Musa berdiri dalam keadaaan bingung dan tubuhnya tampak menggigil di tengah-tengah keluarganya. Kemudian Nabi Musa mengangkat kepalanya dan menyaksikan sesuatu dari jauh. Sesuatu yang beliau saksikan adalah api yang sangat besar yang menyala-nyala dari kejauhan. Maka hati Musa dipenuhi dengan rasa gembira. Ia berkata kepada keluarganya: “Aku melihat api di sana.” Lalu beliau memerintahkan kepada mereka untuk tinggal di tempatnya sehingga beliau pergi ke api itu. Barangkali di sana beliau mendapatkan suatu berita atau akan menemukan seseorang yang dapat memberinya petunjuk sehingga beliau tidak tersesat, atau beliau dapat membawa sebagian api yang menyala sehingga tubuh mereka menjadi hangat.
Nabi Musa berdiri dalam keadaaan bingung dan tubuhnya tampak menggigil di tengah-tengah keluarganya. Kemudian Nabi Musa mengangkat kepalanya dan menyaksikan sesuatu dari jauh. Sesuatu yang beliau saksikan adalah api yang sangat besar yang menyala-nyala dari kejauhan. Maka hati Musa dipenuhi dengan rasa gembira. Ia berkata kepada keluarganya: “Aku melihat api di sana.” Lalu beliau memerintahkan kepada mereka untuk tinggal di tempatnya sehingga beliau pergi ke api itu. Barangkali di sana beliau mendapatkan suatu berita atau akan menemukan seseorang yang dapat memberinya petunjuk sehingga beliau tidak tersesat, atau beliau dapat membawa sebagian api yang menyala sehingga tubuh mereka menjadi hangat.
Keluarganya melihat api yang diisyaratkan oleh Musa
tetapi sebenarnya mereka tidak melihat sesuatu pun. Mereka tetap menaatinya dan
duduk sambil menunggu kedatangan Musa. Musa bergerak menuju ke tempat api. Musa
segera berjalan untuk menghangatkan tubuhnya, sementara tangan kanannya
memegang tongkatnya dan tubuhnya tampak basah kuyup karena hujan. Nabi Musa
tetap berjalan sampai ia mencapai suatu lembah yang bernama Thua’. Beliau
menyaksikan sesuatu yang unik di lembah ini. Di lembah itu tidak ada rasa
dingin dan tidak ada angin yang bertiup. Yang ada hanya keheningan. Nabi Musa
mendekati api. Belum lama beliau mendekatinya sehingga beliau mendengar suara
panggilan:
“Maka tatkala dia tiba di (tempat) api itu, diserulah
dia: ‘Bahwa telah diberkati orang-orang yang berada di dekat api itu, dan
orang-orang yang berada di sekitarnya. Dan Maha Suci Allah, Tuhan semesta
alam.” (QS. an-Naml: 8)
Tiba-tiba Nabi Musa berhenti dan badannya menggigil.
Suara itu tampak terdengar dan datang dari segala tempat dan ddak berasal dari
tempat tertentu. Musa melihat api dan beliau kembali merasa menggigil. Beliau
mendapati suatu pohon hijau dari duri dan setiap kali pohon itu terbakar dan
berkobar api darinya maka pohon itu justru semakin hijau. Seharusnya pohon itu
berubah warnanya menjadi hitam saat terbakar, tetapi anehnya api justru
meningkatkan warna hijaunya. Musa tetap menggigil meskipun beliau merasakan
kehangatan dan tampak mulai berkeringat.
Lembah yang di situ Musa berdiri adalah lembah Thua’.
Musa meletakkan kedua tangannya di atas kedua matanya karena saking dahsyatnya
cahaya. Beliau melakukan yang demikian itu sebagai usaha untuk melindungi kedua
matanya. Kemudian Musa bertanya dalam dirinya: Ini cahaya atau api? Tiba-tiba
beliau tersungkur ke tanah sebagai wujud rasa takut, lalu Allah SWT memanggil:
“Wahai Musa.” (QS. Thaha: 11)
Musa mengangkat kepalanya dan berkata: “Ya.” Allah
berkata:
“Sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu.” (QS. Thaha: 12)
Musa semakin menggigil dan berkata: “Benar wahai
Tuhanku.”
Allah SWT berkata: “Maka lepaskanlah kedua sandalmu sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci yang bernama Thua’.” Musa tertunduk dan rukuk sementara tubuhnya tampak gemetar dan beliau mulai melepas sandalnya Allah SWT berkata:
Allah SWT berkata: “Maka lepaskanlah kedua sandalmu sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci yang bernama Thua’.” Musa tertunduk dan rukuk sementara tubuhnya tampak gemetar dan beliau mulai melepas sandalnya Allah SWT berkata:
Maka tinggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu
berada di lembahyangsuci, Thuwa’. ” (QS. Thaha: 12)
Musa rukuk dan melepas kedua sandalnya. Kemudian Allah
SWT kembali berkata:
“Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku. Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang. Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang diusahahan. Maka sehali-kali janganlah kamu dipalingkan darinya oleh orangyang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu binasa.” (QS. Thaha: 13-16)
“Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku. Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang. Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang diusahahan. Maka sehali-kali janganlah kamu dipalingkan darinya oleh orangyang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu binasa.” (QS. Thaha: 13-16)
Musa semakin gemetar saat beliau menerima wahyu Ilahi dan
saat berdialog dengan Allah SWT. Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang berkata:
“Apakah itu yang ada di tangan kananmu, hai Musa?” (QS.
Thaha: 17)
Bertambahlah keheranan Nabi Musa. Allah SWT adalah Zat
yang mengajaknya berbicara dan tentu Dia lebih mengetahui daripada Musa tentang
apa yang dipegangnya, lalu mengapa Allah SWT bertanya kepadanya jika memang Dia
lebih mengetahui darinya. Tak ragu lagi bahwa di sana ada hikmah yang tinggi.
Musa menjawab pertanyaan itu dengan suaranya yang tampak mengigigil:
“Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku
pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain
padanya.” (QS. Thaha: 18)
Allah berfirman:
“Lemparkanlah ia, hai Musa!” (QS. Thaha: 19)
“Lemparkanlah ia, hai Musa!” (QS. Thaha: 19)
Musa melemparkan tongkatnya dari tangannya dan rasa
herannya semakin menjadijadi. Tiba-tiba Musa dikagetkan ketika melihat tongkat
itu menjadi ular yang besar. Ular itu bergerak dengan cepat. Musa tidak mampu
lagi menahan rasa takutnya. Musa merasa tubuhnya bergetar karena rasa takut.
Musa membalikkan tubuhnya karena takut dan ia mulai lari. Belum lama ia lari,
belum sampai dua langkah, Allah SWT memanggilnya:
“Hai Musa, janganlah kamu takut, sesungguhnya orang yang
menjadikan rasul, tidak takut di hadapanku. ” (QS. an-Naml: 10)
“Hai Musa datanglah kepada-Ku dan janganlah kamu takut.
Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang aman. ” (QS. al-Qashash: 31)
Musa kembali memutar badannya dan berdiri. Tongkat itu
tampak bergerak dan ular itu pun tetap bergerak. Allah SWT berkata kepada Musa:
“Peganglah ia dan janganlah takut, Kami akan
mengembalikannya kepada keadaannya semula. ” (QS. Thaha: 21)
Musa mengulurkan tangannya ke ular itu dalam keadaan
menggigil. Musa belum sempat menyentuhnya sehingga ular itu menjadi tongkat.
Demikianlah perintah Allah SWT terjadi dengan cepat. Kemudian Allah SWT
memerintahkan kepadanya:
“Masukanlah tanganmu ke leher bajumu, niscaya ia keluar
putih tidak bercacat bukan karena penyakit, dan dekapkanlah kedua tanganmu (ke
dada)mu bila ketakutan. ” (QS. al-Qashash: 32)
Musa meletakkan tangannya di kantongnya lalu ia
mengeluarkannya dan tiba-tiba tangan itu bersinar bagaikan bulan. Kembali rasa
kagum Musa bertambah. Lalu ia meletakkan tangannya di dadanya sebagaimana
diperintahkan Allah SWT padanya sehingga rasa takutnya benar-benar hilang.
Musa merasa tenang dan terdiam. Kemudian Allah SWT
memerintahkan kepadanya—setelah beliau melihat kedua mukjizat ini, yaitu
mukjizat tangan dan mukjizat tongkat—untuk pergi menemui Fir’aun dan berdakwah
kepadanya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang dan Allah SWT memerintahkan
kepadanya untuk mengeluarkan Bani Israil dari Mesir. Musa menampakkan rasa
takutnya kepada Fir’aun.
Musa berkata bahwa ia telah membunuh seseorang di antara mereka dan beliau khawatir mereka akan membunuhnya dan membalasnya. Musa meminta kepada Allah SWT dan memohon kepada-Nya agar mengirim saudaranya Harun bersamanya. Allah SWT menenangkan Musa dengan mengatakan bahwa Dia akan selalu bersama mereka berdua. Dia mendengar dan menyaksikan gerak-gerik dan perbuatan mereka. Meskipun Fir’aun terkenal dengan kejahatannya dan kekuatannya, namun kali ini Fir’aun tidak akan mampu mengganggu atau menyakiti mereka. Allah SWT memberitahu Musa bahwa Dia-lah yang akan menang. Musa berdoa dan memohon kepada Allah SWT agar melapangkan hatinya dan memudahkan urusannya serta memberinya kekuatan dalam berdakwah di jalan-Nya.
Musa berkata bahwa ia telah membunuh seseorang di antara mereka dan beliau khawatir mereka akan membunuhnya dan membalasnya. Musa meminta kepada Allah SWT dan memohon kepada-Nya agar mengirim saudaranya Harun bersamanya. Allah SWT menenangkan Musa dengan mengatakan bahwa Dia akan selalu bersama mereka berdua. Dia mendengar dan menyaksikan gerak-gerik dan perbuatan mereka. Meskipun Fir’aun terkenal dengan kejahatannya dan kekuatannya, namun kali ini Fir’aun tidak akan mampu mengganggu atau menyakiti mereka. Allah SWT memberitahu Musa bahwa Dia-lah yang akan menang. Musa berdoa dan memohon kepada Allah SWT agar melapangkan hatinya dan memudahkan urusannya serta memberinya kekuatan dalam berdakwah di jalan-Nya.
Allah SWT berfirman:
“Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa ? Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: ‘Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit darinya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu. Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil: Hai Musa, sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu. Maka tinggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa’. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku. Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang. Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang diusahakan. Maka sekali-kali janganlah kamu kamu dipalingkan darinya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu binasa. Apakah itu yang ada di tangan kananmu, hai Musaf’Ini adalah tongkatku, aku bertelehan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambinghu, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.’ Allah berfirman: Lemparkanlah ia, hai Musa!’ Lalu dilemparkanlah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Peganglah ia dan janganlah takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula, dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia ke luar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar. Pergilah kepada Fir’aun; sesungguhnya ia telah melam-paui batas. Berkata Musa: ‘Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahhu, supaya mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Melihat (keadaan) kami.’ Allah berfirman: ‘Sesungguhnya telah diperkenankan permintanmu, hai Musa.’ Dan sesungguhnya Kami telah memberi nikmat kepadamu pada kali yang lain, yaitu ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu suatu yang diilhamkan, yaitu: Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir’aun) musuh-Ku dan musuhnya.’ Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku. (Yaitu) ketika saudammu yang perempuan berjalan, lalu ia berkata kepada (keluarga Fir’aun): ‘Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?’ Maka Kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak berduka cita. Dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu Kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan; maka kamu tinggal beberapa tahun di antara penduduk Madyan, kemudian kamu datang menurut waktu yang ditetapkan hai Musa, dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku. ” (QS. Thaha: 9-41)
“Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa ? Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: ‘Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit darinya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu. Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil: Hai Musa, sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu. Maka tinggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa’. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku. Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang. Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang diusahakan. Maka sekali-kali janganlah kamu kamu dipalingkan darinya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu binasa. Apakah itu yang ada di tangan kananmu, hai Musaf’Ini adalah tongkatku, aku bertelehan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambinghu, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.’ Allah berfirman: Lemparkanlah ia, hai Musa!’ Lalu dilemparkanlah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Peganglah ia dan janganlah takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula, dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia ke luar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar. Pergilah kepada Fir’aun; sesungguhnya ia telah melam-paui batas. Berkata Musa: ‘Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahhu, supaya mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Melihat (keadaan) kami.’ Allah berfirman: ‘Sesungguhnya telah diperkenankan permintanmu, hai Musa.’ Dan sesungguhnya Kami telah memberi nikmat kepadamu pada kali yang lain, yaitu ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu suatu yang diilhamkan, yaitu: Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir’aun) musuh-Ku dan musuhnya.’ Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku. (Yaitu) ketika saudammu yang perempuan berjalan, lalu ia berkata kepada (keluarga Fir’aun): ‘Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?’ Maka Kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak berduka cita. Dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu Kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan; maka kamu tinggal beberapa tahun di antara penduduk Madyan, kemudian kamu datang menurut waktu yang ditetapkan hai Musa, dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku. ” (QS. Thaha: 9-41)
Kita tidak mengetahui apa yang kita akan katakan dan apa
yang kita komentari berkaitan dengan firman Allah SWT kepada salah seorang
hamba-Nya: “Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku.” Allah SWT telah memilih
Musa. Itu adalah salah satu puncak kemuliaaan di mana tidak ada seseorang pun
di zaman itu yang mampu mencapainya selain Musa. Nabi Musa kembali untuk
menemui keluarganya setelah Allah SWT memilihnya sebagai Rasul atau utusan
untuk berdakwah ke Fir’aun. Akhirnya, Nabi Musa beserta kaluarganya berjalan
menuju ke Mesir. Hanya Allah SWT yang mengetahui pikiran-pikiran apa yang
terlintas di dalam diri Musa saat beliau mengayunkan langkahnya menuju ke
Mesir.
Selesailah masa-masa perenungan dan dimulailah hari-hari
kedamaian dan kebahagiaan, dan akhirnya datanglah hari-hari yang sulit.
Demikianlah Nabi Musa memikul amanat kebenaran dan pergi untuk menyampaikannya
kepada salah satu penguasa yang paling bengis dan paling kejam dan paling jahat
di zamannya. Nabi Musa mengetahui bahwa Fir’aun adalah orang yang jahat.
Fir’aun akan berusaha memberhentikan langkah dakwahnya dan Fir’aun akan
menentangnya tetapi Allah SWT memerintahkannya untuk pergi ke Fir’aun dan
berdakwah kepadanya dengan kelembutan dan kasih sayang. Allah SWT mewahyukan
kepada Musa bahwa Fir’aun tidak akan beriman tetapi Nabi Musa tidak peduli
dengan hal itu. Beliau diperintahkan untuk melepaskan Bani Israil yang sedang
disiksa oleh Fir’aun.
Allah SWT berkata kepada Musa dan Harun:
“Maka datanglah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dan katakanlah: ‘Sesungguhnya kdmi berdua adalah utusan Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka.” (QS. Thaha: 47)
Inilah tugas yang ditentukan, yaitu tugas yang akan
berbenturan dengan ribuan tantangan. Fir’aun menyiksa Bani Israil dan
menjadikan mereka budak-budak dan memaksa mereka untuk bekerja di luar
kemampuan mereka. Fir’aun juga menodai kehormatan wanita-wanita mereka dan
menyembelih anak laki-laki mereka. Nabi Musa mengetahui bahwa rezim Mesir
berusaha untuk memperbudak Bani Israil dan mengeksploitasi mereka di luar
kemampuan mereka demi kepentingan penguasa. Tetapi Nabi Musa tetap
memperlakukan dan menghadapi Fir’aun dengan penuh kelembutan dan kasih sayang
sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT padanya:
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia
telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata
yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 43-44)
Musa bercerita kepada Fir’aun tentang siapa sebenarnya
Allah SWT, tentang rahmat-Nya, tentang surga-Nya, dan tentang kewajiban
mengesakan-Nya dan menyembah-Nya. Beliau berusaha mem-bangkitkan aspek-aspek
kemanusiaan Fir’aun melalui pembicaraan tersebut.
Fir’aun mendengarkan apa yang dikatakan oleh Musa dengan penuh kebosanan. Fir’aun membayangkan bahwa seseorang yang di hadapannya adalah orang gila yang nekad untuk menentang dan menggoyang kedudukannya. Kemudian Fir’aun mengangkat tangannya dan berbicara: “Apa yang engkau inginkan, hai Musa?”
Musa menjawab: “Aku ingin agar engkau membebaskan Bani Israil.”
Fir’aun bertanya: “Mengapa aku harus membebaskan mereka bersamamu sementara mereka adalah budak-budakku?”
Musa menjawab: “Mereka adalah hamba-hamba Allah SWT, Tuhan Pengatur alam semesta.”
Dengan nada mengejek Fir’aun bertanya: “Bukankkah engkau mengatakan bahwa namamu Musa?”
Musa menjawab: “Benar.”
Fir’aun berkata: “Bukankkah engkau yang kami temukan di sungai Nil saat engkau masih kecil yang tidak mempunyai daya dan kekuatan? Bukankkah engkau Musa yang aku didik di istana ini, lalu engkau memakan makanan kami dan meminum air kami, dan engkau menikmati kebaikan-kebaikan dari kami? Bukankah engkau yang membunuh seseorang lalu setelah itu engkau lari? Tidakkah engkau ingat semua itu? Bukankah mereka mengatakan bahwa pembunuhan merupakan suatu kekufuran? Kalau begitu, engkau seorang kafir dan engkau seorang pembunuh. Jadi engkau adalah Musa yang lari dari hukum Mesir. Engkau adalah seseorang yang lari dan menghindari keadilan. Lalu sekarang engkau datang kepadaku dan berusaha berbicara denganku. Engkau berbicara tentang apa hai Musa. Sungguh aku telah lupa.”
Fir’aun mendengarkan apa yang dikatakan oleh Musa dengan penuh kebosanan. Fir’aun membayangkan bahwa seseorang yang di hadapannya adalah orang gila yang nekad untuk menentang dan menggoyang kedudukannya. Kemudian Fir’aun mengangkat tangannya dan berbicara: “Apa yang engkau inginkan, hai Musa?”
Musa menjawab: “Aku ingin agar engkau membebaskan Bani Israil.”
Fir’aun bertanya: “Mengapa aku harus membebaskan mereka bersamamu sementara mereka adalah budak-budakku?”
Musa menjawab: “Mereka adalah hamba-hamba Allah SWT, Tuhan Pengatur alam semesta.”
Dengan nada mengejek Fir’aun bertanya: “Bukankkah engkau mengatakan bahwa namamu Musa?”
Musa menjawab: “Benar.”
Fir’aun berkata: “Bukankkah engkau yang kami temukan di sungai Nil saat engkau masih kecil yang tidak mempunyai daya dan kekuatan? Bukankkah engkau Musa yang aku didik di istana ini, lalu engkau memakan makanan kami dan meminum air kami, dan engkau menikmati kebaikan-kebaikan dari kami? Bukankah engkau yang membunuh seseorang lalu setelah itu engkau lari? Tidakkah engkau ingat semua itu? Bukankah mereka mengatakan bahwa pembunuhan merupakan suatu kekufuran? Kalau begitu, engkau seorang kafir dan engkau seorang pembunuh. Jadi engkau adalah Musa yang lari dari hukum Mesir. Engkau adalah seseorang yang lari dan menghindari keadilan. Lalu sekarang engkau datang kepadaku dan berusaha berbicara denganku. Engkau berbicara tentang apa hai Musa. Sungguh aku telah lupa.”
Musa mengerti bahwa Fir’aun mengingatkan padanya tentang masa lalunya dan Fir’aun berusaha menunjukkan kepadanya bahwa ia telah mendidiknya dan berlaku baik padanya. Musa juga memahami bahwa Fir’aun mengancamnya dengan pembunuhan. Musa memberitahu Fir’aun, bahwa ia bukan seorang kafir ketika membunuh seorang Mesir tetapi saat itu beliau melakukannya dengan tidak sengaja. Musa memberitahu Fir’aun bahwa ia lari dari Mesir karena khawatir akan pembalasan mereka. Pembunuhan yang dilakukan olehnya bersifat tidak sengaja. Musa tidak bermaksud untuk membunuh seseorang. Musa telah memberitahu Fir’aun bahwa Allah SWT telah memberinya hikmah dan menjadikannya salah seorang Rasul.
Allah SWT menceritakan sebagian dialog antara Musa dan Fir’aun dalam surah as-Syuara’ sebagaimana firman-Nya:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan
firman-Nya): ‘Datangilah kaum yang lalim itu, (yaitu) kaum Fir’aun. Mengapa
mereka tidak bertakwa? Berkata Musa: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku takut bahwa
mereka akan mendustakan aku. Dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak lancar
lidahku maka utuslah (Jibril) kepada Harun. Dan aku berdosa terhadap mereka,
maka aku takut mereka akan membunuhku.’ Allah berfirman: ‘Janganlah takut
(mereka tidak akan dapat membunuhmu), maka pergilah kamu berdua dengan membawa
ayat-ayat Kami (mukjizat-mukjizat); sesungguhnya Kami bersamamu mendengarkan
(apa-apa yang mereka katakan). Maka datanglah kamu berdua kepada Fir’aun dan
katakanlah: ‘Sesungguhnya kami adalah Rasul Tuhan semesta alam, lepaskanlah
Bani Israil (pergi) beserta kami.’ Fir’aun menjawab: ‘Bukankah kami telah
mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu
tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu, dan kamu telah berbuat suatu
perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang
yang tidak membalas guna.’ Berkata Musa: ‘Aku telah melakukannya, sedang aku di
waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf. Lalu aku lari meninggalkan kamu
ketika aku takut kepadamu, hemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia
menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul. ” (QS. as-Syu’ara: 10-21)
Kemudian bangkitlah emosi Nabi Musa ketika Fir’aun
mengingatkan bahwa ia telah berbuat baik kepada Musa. Musa bangkit dan
berbicara kepadanya:
“Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah
(disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Israil.” (QS. asy-Syu’ara: 22)
Musa ingin berkata kepadanya, apakah engkau mengira bahwa
nikmat yang engkau berikan kepadaku lalu engkau merasa telah berbuat baik
padaku, di mana aku adalah salah seorang lelaki dari kalangan Bani Israil?
Apakah nikmat ini sebanding dengan cara-caramu memperlakukan bangsa yang besar
ini di mana engkau memperbudak mereka; engkau memperkerjakan mereka dengan cara
yang semena-mena. Jika ini memang demikian maka logika mengatakan bahwa kita
seimbang: tiada yang berutang dan tiada yang meminjam. Jika tidak demikian maka
siapa yang memberikan bagian yang lebih besar?
Alhasil masalahnya adalah dakwah di jalan Allah SWT,
yaitu satu urusan yang aku tidak membawa kepadamu dari diriku sendiri. Aku
bukan utusan dari bangsa Bani Israil. Aku bukan juga utusan dari diriku sendiri
tetapi aku adalah seorang utusan dari Allah SWT. Aku adalah utusan Tuhan
Pengatur alam semesta.
Sampai pada tahap ini Fir’aun mulai memasuki pembicaraan lebih serius:
Fir’aun bertanya:
Sampai pada tahap ini Fir’aun mulai memasuki pembicaraan lebih serius:
Fir’aun bertanya:
“Siapakah Tuhan semesta alam itu?” (QS. asy-Syu’ara’: 23)
Musa Menjawab:
Musa Menjawab:
“Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di
antaranya keduanya (itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang)
mempercayai-Nya.” (QS. asy-Syu’ara’: 24)
Berkata Fir’aun kepada orang-orang sekelilingnya: “Apakah
kamu tidak mendengarkan?” (QS. asy-Syu’ara’: 25)
Musa berkata dan tidak mempedulikan ejekan Fir’aun itu:
“Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang dahulu. ” (QS. asy-Syu’ara’: 26)
“Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang dahulu. ” (QS. asy-Syu’ara’: 26)
Fir’aun berkata kepada mereka yang datang bersama Musa
dari Bani Israil: “Sesungguhnya Rasulmu yang diutus kepada kamu sekalian
benar-benar orang gila.”
Musa kembali berkata dan tidak memperhatikan tuduhan Fir’aun dan ejekannya:
Musa kembali berkata dan tidak memperhatikan tuduhan Fir’aun dan ejekannya:
“Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di
antara keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal. ” (QS.
asy-Syu’ara’: 28)
Allah SWT menceritakan sebagian dialog yang terjadi
antara Fir’aun dan Musa dalam surah as-Syu’ara’:
“Fir’aun bertanya: ‘Siapakah Tuhan semesta alam itu?’ Musa Menjawab: ‘Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya.’ Berkata Fir’aun kepada orang-orang sekelilingnya: ‘Apakah kamu tidak mendengarkan?’ Musa berkata: “Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang dahulu.’ Fir’aun berkata: ‘Sesungguhnya Rasulmu yang diutus kepada kamu sekalian benar-benar oranggila.’ Musa berkata: ‘Tukanyang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal.’” (QS. asy-Syu’ara’: 23-28)
“Fir’aun bertanya: ‘Siapakah Tuhan semesta alam itu?’ Musa Menjawab: ‘Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya.’ Berkata Fir’aun kepada orang-orang sekelilingnya: ‘Apakah kamu tidak mendengarkan?’ Musa berkata: “Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang dahulu.’ Fir’aun berkata: ‘Sesungguhnya Rasulmu yang diutus kepada kamu sekalian benar-benar oranggila.’ Musa berkata: ‘Tukanyang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal.’” (QS. asy-Syu’ara’: 23-28)
Allah SWT mengingatkan dalam surah Thaha sebagian dari
peristiwa pertemuan antara Fir’aun dan Nabi Musa. Allah SWT berfirman:
“Maka datanglah kamu kedua kepadanya (Fir’aun) dan
katakanlah: ‘Sesungguhnya kami berdua adalah utnsan Tuhanmu, maka lepaskanlah
Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka. Sesungguhnya kami
telah datang kepadamu dengan membawa bukti (atas kerasulan kami) dari Tuhanmu.
Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk.
Sesungguhnya telah diwahyukan kepada kami bahwa siksa itu (ditimpakan) atas
orang-orang yang mendustakan dan berpaling.’ Berkata Fir’aun: ‘Maka siapakah
Tuhanmu berdua, hai Musa.’ Musa berkata: ‘Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah
memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk hejadiannya, kemudian memberinya
petunjuk.’ Berkata Fir’aun: ‘Maka bagaimanakah headaan-keadaan umat-umat yang
dahulu? Musa menjawab: ‘Pengetahuan tentang itu ada di sisi Tuhanku, di dalam
sebuah kitab. Tuhan kami tidak akan salah dan tidak akan salah (pula) lupa.’”
(QS. Thaha: 47-52)
Kita perhatikan bahwa Fir’aun tidak bertanya kepada Nabi
Musa tentang Tuhan Pengatur alam atau Tuhan Musa dan Harun dengan maksud
bertanya sesungguhnya atau pertanyaan yang bermaksud untuk mengetahui kebenaran
tetapi perkataan yang dilontarkan Fir’aun semata-mata hanya untuk mengejek.
Nabi Musa as menjawabnya dengan jawaban yang sempurna dan mengena.
Nabi Musa berkata: “Sesungguhnya Tuhan kami adalah Dia yang memberi sesuatu ciptaannya kemudian Dia membimbing ciptaannya. Dialah sang Pencipta. Dia menciptakan berbagi macam makhluk dan Dia juga yang membimbingnya sesuai dengan kebutuhannya sehinga makhluk-makhluk tersebut dapat menjalani kehidupan dengan baik. Allah SWT-lah yang megerahkan segala sesuatu; Allah SWT-lah yang menguasai segala sesuatu; Allah SWT-lah yang mengetahui segala sesuatu; Allah SWT-lah yang menyaksikan segala sesuatu.” Al-Qur’an al-Karim mengungkapkan semua itu dalam ungkapan yang sederhana namun padat artinya, yaitu dalam firman-Nya:
Nabi Musa berkata: “Sesungguhnya Tuhan kami adalah Dia yang memberi sesuatu ciptaannya kemudian Dia membimbing ciptaannya. Dialah sang Pencipta. Dia menciptakan berbagi macam makhluk dan Dia juga yang membimbingnya sesuai dengan kebutuhannya sehinga makhluk-makhluk tersebut dapat menjalani kehidupan dengan baik. Allah SWT-lah yang megerahkan segala sesuatu; Allah SWT-lah yang menguasai segala sesuatu; Allah SWT-lah yang mengetahui segala sesuatu; Allah SWT-lah yang menyaksikan segala sesuatu.” Al-Qur’an al-Karim mengungkapkan semua itu dalam ungkapan yang sederhana namun padat artinya, yaitu dalam firman-Nya:
“Musa berkata: “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah
memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya
petunjuk.” (QS. Thaha: 50)
Kemudian Fir’aun bertanya, “lalu bagaimana keadaan
manusia-manusia yang hidup di abad-abad pertama di mana mereka tidak menyembah
Tuhanmu ini?” Fir’aun masih ingkar dan mengejek dakwah Nabi Musa. Nabi Musa
menjawab: “Bahwa masa-masa yang dahulu di mana mereka tidak menyembah Allah SWT
adalah masalah yang semua itu berada di sisi Allah SWT. Atau dalam kata lain,
semua itu diketahui oleh Allah SWT. Keadaan di masa-masa yang dahulu tercatat
dalam kitab Allah SWT. Allah SWT menghitung apa yang mereka keijakan di dalam
kitab. Allah SWT tidak pernah lupa.”
Jawaban Nabi Musa tersebut berusaha menenangkan Fir’aun tentang orang-orang yang hidup di masa-masa pertama. Jadi Allah SWT mengetahui segala sesuatu dan mencatat apa saja yang dilakukan manusia dan Allah SWT tidak menyia-nyiakan pahala mereka. Kemudian Nabi Musa kembali menyempurnakan dan menyelesaikan pembicaraannya tentang sifat Tuhannya:
Jawaban Nabi Musa tersebut berusaha menenangkan Fir’aun tentang orang-orang yang hidup di masa-masa pertama. Jadi Allah SWT mengetahui segala sesuatu dan mencatat apa saja yang dilakukan manusia dan Allah SWT tidak menyia-nyiakan pahala mereka. Kemudian Nabi Musa kembali menyempurnakan dan menyelesaikan pembicaraannya tentang sifat Tuhannya:
“Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan
yang telah menjadihan bagimu di bumi itu jalan-jalan, dan menurunkan dari
langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari
tumbuh-tumbuhan. Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu. Sesungguhnya
pada yang dernikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang
yang berakal. Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan darinya Kami
akan mengembalikan kamu dan darinya Kami akan mengeluarkan kamu pada kaliyang
lain. ” (QS. Thaha: 53-55)
by nesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar