Sabar
Sabar juga termasuk ibadah batin
yang tinggi nilainya dalam pandangan Allah. Banyak firman Allah tentang sabar
di dalam al-Qur’an, antara lain:
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابرُوْنَ أَجْرَهُمْ بغَيْرِحِسَابٍ [1]
Artinya:
Sesungguhnya hanya orang-orang yang sabarlah yang dicukupkan
pahala mereka tanpa batas.
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اسْتَعِيْنُوْا بالصَّبْرِِوَالصَّلاَةِ
إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابرِيْنَ [2]
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan (kepada
Allah) dengan sabar dan (menjalankan) shalat, Sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang sabar.
Sebaliknya, orang yang tidak
sabar, yaitu putus asa, menggerutu, gegabah, terburu-buru, dan sebagainya,
berat sekali akibat yang dideritanya; bahkan diperingatkan oleh Allah SWT,
seperti disebutkan di dalam hadis qudsi:
أنَا اللهُ لآ إِلهَ إِلاَّ أَنَا مَنْ لَمْ يَشْكُرْ عَلَى
نَعْمَآئِي وَلَمْ يَصْبِرْ عَلَى بَلآئِي وَلَمْ يَرْضَ بِقَضَآئِي فَلْيَتَّحِذْ
رَبًّا سِوَآئِي
Artinya:
Aku Allah, tiada Tuhan melainkan Aku; siapa tidak
bersyukur atas nikmat-nikmat pemberian-Ku, tidak bersabar atas ujian-Ku dan
ridla terhadap kepastian qadla-Ku, maka carilah Tuhan selain Aku.
Pengertian dan praktek sabar luas
sekali, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW:
الصَّبْرُ ثَلاَثَةٌ فَصَبْرٌ عَلَى الْمُصِيْبَةِ وَصَبْرٌ عَلَى
الطَّاعَةِ وَصَبْرٌ عَنِ المَعْصِيةِ... (رواه
ابن أبي الدنيا عن علي)
Maksudnya demikian; sabar ada
tiga macam, yakni:
a.
|
صَبْرٌ عَلَى الْمُصِيْبَةِ
|
(Shabrun ’ala al-Mushibah)
|
b.
|
صَبْرٌ فِي الطَّاعَةِ
|
(Shabrun fi al-Tha’ah )
|
c.
|
صَبْرٌ عَنِ الْمَعْصِيَةِ
|
(Shabrun ’an al-Ma’shiyah)
|
a. Shabrun ’ala al-Mushibah
Shabrun ’ala al-mushibah adalah
sabar, tabah, tahan uji menghadapi berbagai ujian dan cobaan hidup. Diuji soal
ekonomi, soal kesehatan, soal keluarga, soal pekerjaan dan sebagainya.
Bersabdalah Rasulullah SAW:
صَبْرُ سَاعَةٍ عَلَى الْمُصِيْبَةِ خَيْرٌ مِنْ عِبَادَةِ سَنَةٍ [3]
Artinya:
Sabar satu saat atas mushibah itu lebih baik daripada ibadah
setahun.
b. Shabrun fi al-Tha’ah
Shabrun fi al-tha’ah adalah
kuat, tabah, tekun, rajin, dan bersunguh-sungguh dalam menjalankan ketaatan;
tidak menoleh ke kanan dan ke kiri; tidak terpengaruh sekalipun bagaimana
rintangan dan gangguannya.
c. Shabrun ’an al-Ma’shiyah
Shabrun ’an al-ma’shiyah adalah
kuat menahan diri dari maksiat. Betapapun pengaruh dan rayuan maksiat, orang
yang sabar tidak terpengaruh sedikitpun olehnya, tetapi menjauhkan dan menahan
atau menghindarkan diri dari maksiat. Sekalipun ada tekanan-tekanan dan
ancaman-ancaman yang ditujukan kepadanya, dia tidak gentar, tidak takut, dan
tetap menahan diri dari perbuatan maksiat.
Di dalam prakteknya, sabar harus
bersamaan dengan tawakkal. Di samping sabar harus tawakkal,
pasrah, sumeleh, menyerah bongkokan kepada Allah SWT. Sabar tanpa tawakkal
adalah sabar imitasi, sabar palsu, dan dengan sendirinya, salah guna dan ada
pamrih di balik sabarnya itu. Misalnya ada orang mengatakan: ”Sudah tidak
kurang-kurang saya menyabarkan diri, akan tetapi, yah, keadaan masih tetap
begini saja”. Ini bukan sabar, tetapi malah menggerutu, tidak sabar atas apa
yang dialaminya.
Definisi tawakkal antara
lain disebutkan dalam kitab Ihya’:
اَلتَّوََكُّلُ عِبارَةٌ عَنِِ اعْتِمَادِ القلْبِ عَلَى الْوَ
كِيْلِِ وَحْدَهُ [4]
Artinya:
Tawakkal adalah ibarat dari bersandarnya
hati kepada Wakil satu-satunya.
Dengan demikian, tawakkal
adalah perbuatan atau sikap batin dan termasuk ibadah batin yang diperintahkan
Allah. Banyak sekali ayat-ayat di dalam al-Qur’an tentang tawakkal antara
lain:
وَمَنْ يتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ [5]
Artinya:
Dan siapa yang bertawakkal
kepada Allah, maka Allah-lah yang mencukupkan (keperluan)-nya.
Orang yang tidak tawakkal
pasti mengandalkan selain Allah; dia mengandalkan kepandaian, semangat, usaha, perjuangan,
jasa-jasa, taat dan ibadah, kekuatan, dan sabarnya, dan sebagainya, yang semua
itu merupakan tandingan terhadap kekuasaan Allah. Orang seperti itu terjebak ke
dalam syirik khafi (samar), tetapi dia tidak merasa (tidak menyadari).
Di samping sabar dan tawakkal,
ada lagi kewajiban yang harus diisi, yaitu ikhtiar (usaha) mencari keadaan yang
lebih baik. Misalnya orang sakit, di samping harus sabar dan tawakkal
atas derita sakit yang dialaminya, berkewajiban usaha mencari kesembuhan;
mencari jamu atau obat ke dokter dan lain-lain. Akan tetapi harus dijaga, di
dalam ikhtiar itu jangan sampai mengandalkan ikhtiarnya; sekalipun sudah
ikhtiar, harus tetap sabar dan tawakkal. Sebab jika orang mengandalkan
usahanya, mengandalkan jamu atau obat, maka tawakkalnya menjadi hilang,
sabarnya pun hilang pula. Orang yang mengandalkan usahanya, jika usahanya tidak
berhasil, maka ia ngresulo, menggerutu, atau bisa putus asa; jika
usahanya berhasil, maka ia merasa bangga, sombong dan semakin berlarut-larut,
semakin jauh dari Allah.
Dengan demikian, sabar, tawakkal,
dan ikhtiar harus gandeng menjadi satu. Jika hanya sabar dan tawakkal saja,
tidak ikhtiar, padahal ada kemampuan dan kondisi yang memungkinkan, maka akan
terjadi salah guna, salah penerapan.
Akibatnya, ia menjadi orang lumpuh usaha alias pemalas, padahal sifat malas
menjadi makanan nafsu. Kemudian dia mengandalkan tawakkal karena sifat malas
itu, dan hal ini jelas tertipu oleh bujukan nafsunya. Begitu juga, jika hanya
ikhtiar tanpa ada kesabaran dan tawakkal, maka hal itu akan menyeret kepada
kesesatan.
Sabar itu menjadi kunci keselamatan dan alat peraih
bermacam-macam pertolongan, tawfiq, hidayah, dan perlindungan Allah SWT.
Dalam kaitan ini, bersabda Rasullullah SAW:
مَنْ أُعْطِيَ فَشَكَرَ وَابْتُلِىَ فَصَبَرَ وَظُلِمَ فَغَفَرَ
وَظَلَمَ فَاسْتَغفَرَ, سَكَتَ رَسُوْلُ الله r قالَ: لهُمُ اْلأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ
(رواه الطبراني والبيهقي عن سخبرة)
Artinya:
“Siapa yang diberi kemudian bersyukur, diuji bersabar, dizalimi
memaafkan, berbuat zalim lalu minta maaf," Rasulullah SAW berdiam sejenak,
kemudian bersabda lagi, “mereka itulah orang-orang yang aman (selamat) dan
mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (H.R. Thabrani dan Bayhaqi
dari Sakhbarah).
Sabda Rasulullah SAW lagi:
إِنَّ أَعْظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ أَعْظَمِ الْبَلآءِ وَإِنَّ اللهَ
تَعَالى إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا ابْتَلاَهُ وَإِذَا صَبَرَ اِجْتَبَاهُ وَإِذَا
رَضِيَ اصْطَفَاهُ [6]
Artinya:
Sesungguhnya paling besarnya balasan Allah itu disertai dengan
besarnya balak (ujian). Dan sesungguhnya apabila Allah SAW mencintai
seorang hamba, Allah menguji nya lebih dahulu, jika sabar maka Allah memilihnya
dan jika ridla, disayanginya.
Kata-kata orang kuno yang cocok
dengan hadis tersebut adalah ”wong sabar kasihane Allah” (orang yang
sabar itu kekasih Allah). Oleh karenanya, siapa yang ingin dikasihi,
dicintai oleh Allah, maka dia harus sabar dan rida. Dikatakan bahwa “shabir”
(orang yang bersabar) itu lebih utama daripada “syakir” (orang yang
bersyukur). Sebab, terhadap “syakir” Allah menjanjikan “la-azidannakum”
(kelipatan tambahan nikmat), sedangkan terhadap ”shabir” Allah
menjanjikan “Innalla>ha ma’a al-shabirin” (Allah menyertai
orang-orang yang bersabar).
Rida
Dalam ajaran Wahidiyah dikatakan,
bahwa rida ialah merasa puas terhadap qad}a’-qadar Allah,
meski bagaimanapun keadaannya. Rida termasuk adab dan ibadah
batin yang paling tinggi nilainya. Dalam kaitan ini, ada firman Allah dalam
al-Qur’an:
وَرِضْوَانٌ مِنَ اللهِ أَكْبَرُ [7]
Artinya:
Dan keridlaan dari Allah itu paling agung.
Dalam tradisi kaum sunni, mereka
biasa memberikan kata penghormatan kepada para sahabat Nabi SAW, kepada Awliya’,
‘Arifin, dan Shalihin, dalam bentuk doa: “Radliyalla>hu
Ta’a>la> ’Anhum”. (semoga Allah SWT meridai mereka).
Menurut ajaran Wahidiyah, dalam
hal rida ada dua kemungkinan; kalau tidak diridai, berarti dikecam atau
dimurkai (Jawa: dibendu) oleh Allah; tidak ada yang setengah-setengah
(setengah dikecam dan setengah diridai). Kita diberi kebebasan untuk memilih
yang mana, itu terserah pribadi kita masing-masing. Jika kita ingin diridai
oleh Allah, maka kita harus rida kepada Allah. Misalnya, kita ditakdir menderita
sakit, ditakdir mengalami ekonomi seret, sulit mencari pekerjaan,
menghadapi problem-problem rumah tangga dan keluarga, menghadapi masalah
pendidikan, masalah perjuangan, dan lain-lain, kita harus rida kepada Allah;
kita harus selalu merasa puas di dalam hati menghadapi keadaan seperti itu.
Kita tidak boleh menyesal, menggerutu (Jawa: ngresulo), dan sebagainya,
sekalipun arah ngresulo atau rasa tidak puas itu kepada makhluk. Sebab,
segala-galanya itu tidak lepas dari Allah SWT yang menciptakan. Kita harus
selalu puas dan sadar kepada Allah yang memberi segala-galanya itu.
Sesungguhnya
segala keadaan yang dialami oleh manusia, baik keadaan yang menyenangkan maupun
yang tidak menyenangkan, itu semua harus disadari, sesungguhnya adalah rahmat
kasih Allah SWT kepada hamba-Nya,
misalnya, untuk melindungi hamba-Nya agar tidak jauh-jauh dari-Nya, agar
hamba-Nya selalu dekat kepada-Nya, supaya senantiasa kembali kepada-Nya. Sebab,
kalau hamba selalu jauh dari Allah Tuhannya, dikuatirkan ditelan atau pasti
bahkan pasti ditelan oleh imprialis nafsu yang sangat ganas dan jahat, sehingga
si hamba tersesat, menderita kehancuran dan kesengsaraan. Tentunya itu tidak
dikehendaki oleh Allah yang Rahman-Rahim (Maha Pengasih-Maha Penyayang)
terhadap hamba-Nya.
Selanjutnya Wahidiyah
mengajarkan, di samping rida, hendaklah kita tidak meninggalkan ikhtiar
atau berusaha mencari jalan keluar dari kesulitan dan kesusahan yang kita
hadapi, atau berusaha untuk mencapai keadaan yang lebih baik, tetapi kita harus
selalu tetap bertawakkal kepada Allah, agar kita tidak mengandalkan atau
membanggakan usaha kita. Di samping itu, hendaklah ikhtiar itu selalu dijiwai
oleh perilaku Lillah-Billah. Jika hanya rida saja, tanpa ikhtiar mencari
jalan keluar, padahal ada kesempatan dan kemampuan, maka itu berarti melanggar
perintah, berarti tidak melakukan ibadah lewat bidang ikhtiar yang disertai niat
Lillah. Ikhtiar itu pun harus dilakukan secara lahir dan batin. Kedua
cara harus dijalankan sebesar kemampuan. Jika hanya ikhtiar lahir saja, maka
besar kemungkinan dapat tersesat ke jalan yang keliru jika tidak mendapat
hidayah dari Allah SWT, dan jika hanya ikhtiar batin (semisal berdoa) saja,
maka kurang lengkap dalam mengisi bidang-bidang yang harus diisi.
Dengan demikian, dalam ajaran Wahidiyah, sabar, rida, ikhtiar,
dan tawakkal harus selalu bergandengan di dalam penerapan dalam hati. Seperti
halnya di dalam ikhlas dan sabar.
Dalam ajaran Wahidiyah, ikhtiar batin adalah berdoa memohon
kepada Allah SWT; bukan pergi ke dukun-dukun atau menggunakan mantera-mantera
dan sejenisnya. Dalam kaitan ini, Romo K.H. Abdoel Ma’roef (Muallif Shalawat
Wahidiyah) pernah mengajarkan “Do’a Faraj” (memohon diberi jalan keluar
dari kesulitan dan sebagainya) karya:
بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ اَللَّهُمَّ بِحَقِّ اسْمِكَ اْلأَعْظَمْ, وَبجَاهِ
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ r وَبِبَرَكَةِ غَوْثِ هَذَا الزَّمَانِ وَأَعْوَانِهِ
وَسَآئِرِ أَوْلِيآءِ اللهِ رَضِيَ اللهُ تَعَالَي اجْعَلْ لَنَا
وَلِذُرِّيَّاتِِنَا وَلِمَنْ لهُ حُقُوْقٌ عَليْنَا وَلِجَمِيْعِ مَنْ عَمِلَ
بِهَذِهِ الصَّلَوَاتِ الوَاحِدِيَّةِ وَمَنْ أَعَانَا عَلَيْهَا إِلَى يَوْمِ
الْقيَامَةِ وَ ِلأُمَّةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ r (فَرَجًا وَمَخْرَجًا
وَاهْدِنَا وَإِيَّاهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقيْم) × 3
Artinya:
Ya,
Allah, dengan hak keagungan Asma-Mu dan dengan Kebesaran Baginda Nabi Muhammad
SAW, dan sebab berkah Ghautsu Hadzaz-Zaman dan para pendukungnya serta
para kekasih Allah Radiyallahu Ta’ala ‘anhum (semoga Allah meridai
mereka), jadikanlah bagi kami dan keluarga serta keturunan kami dan bagi
orang-orang yang ada hubungan hak dengan kami dan bagi mereka para Pengamal
Wahidiyah sampai hari Kiamat, dan bagi seluruh umat Baginda Nabi Muhammad SAW
(jalan keluar dari segala kesulitan dan kesusahan, dan tunjukilah kami dan
mereka jalan-Mu yang lurus) (dalam kurung dibaca 3 kali).
Secara psikologis, orang yang selalu rida, niscaya hidupnya
senang dan tenteram; tidak gampang menyesal atau menggerutu. Dia selalu merasa puas dan gembira menghadapi segala
situasi dan kondisi hidupnya. Ibaratnya, seperti falsafah itik yang
berenang di atas air yang dangkal maupun air yang dalam, tetap setinggi
dadanya. Hidupnya tenteram, tidak bingung, tidak kuatir, tidak takut
melainkan hanya kepada Allah. Hatinya senantiasa menghadap kepada Allah.
Sebaliknya, orang yang tidak rida atas qada’-qadar Allah, pasti mudah
menggerutu, menyesal, dan emosi. Padahal qad}a’-qadar Allah tidak
dapat berubah karena tidak ridanya si hamba. Bahkan selain itu, orang yang
tidak rida atas qada’-qadar Allah, tidak diakui sebagai hamba-Nya
seperti disebutkan di dalam Hadis Qudsi di muka, pada pembahasan tentang sabar.
Mahabbah
(Cinta)
Mahabbah atau cinta, menurut ajaran
Wahidiyah, adalah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya; cinta kepada para
Nabi, para Rasul, dan para Malaikat; cinta kepada para keluarga dan para
Sahabat Beliau SAW; cinta kepada para Wali Allah; cinta kepada
para Ulama, kepada pemimpin, kepada orang tua, dan keluarga; dan umumnya kepada
segenap umat Islam dan kepada segala makhluk ciptaan Allah pada umumnya.
Cinta kepada Allah, al-Khaliq (Sang Maha Pencipta),
harus cinta juga kepada makhluk ciptaan-Nya. Akan tetapi cintanya kepada Khaliq
sudah tentu harus tidak sama dengan cintanya kepada makhluk-Nya. Pada
prinsipnya, kepada segala makhluk, berupa dan berbentuk apa saja dan
bagaimanapun juga wujudnya, kita harus mencintainya. Kita mencintainya, karena
ia adalah ciptaan Allah SWT, sekalipun makhluk itu berupa sesuatu yang
menjijikkan atau menakutkan; sekalipun berupa maksiat atau munkarat.
Atas dasar pengertian bahwa itu semua ciptaan Allah, kita harus mencintainya.
Akan tetapi, di samping cinta, kita diperintah supaya menjauhkan diri dan tidak
menyukai maksiat dan munkarat. Dengan demikian, pandangan kita harus
dobel; di samping cinta atau senang, harus pula tidak senang dalam arti ingkar,
dalam arti harus menjauhkan diri darinya. Kita senang terhadap dzatiyah ma’shiyat
dan munkarat, karena kita mengingat bahwa itu adalah ciptaan Allah
yang kita cintai. Akan tetapi kita harus tidak senang dan harus menghindarkan
diri dari perbuatan maksiat dan munkarat karena memang diperintah begitu
oleh Allah.
Dengan demikian, kita senang atau cinta kepada dzatiyah
ma’shiyat dan munkarat karena itu semua sama-sama ciptaan Allah,
dan kita harus tidak senang (menjauhi) perbuatan maksiat dan munkarat
karena dilarang melakukannya. Jika kita hanya senang dan cinta saja kepada
maksiat dan munkarat, tetapi tidak ingkar dan tidak menjauhinya, maka
berarti kita melanggar perintah Allah. Jika kita hanya membencinya saja, tanpa
ada rasa senang bahwa itu adalah makhluk, maka berarti kita melukai kepada
makhluk atau lebih-lebih, menghina makhluk, yang berarti juga melukai kepada Khaliq
(Pencipta)-nya.
Dalam ajaran Wahidiyah, cinta atau senang maupun
benci atau tidak senang itu harus didasari oleh Lillah-Billah. Jika hal
itu tidak dijiwai oleh Lillah-Billah, niscaya dasarnya adalah nafsu (linnafsi-binnafsi),
dan jika demikian, maka pasti ada pamrih untuk kesenangan nafsu. Ini
berarti, bahwa cintanya adalah cinta gadungan, cinta palsu, tidak tulus, tidak
murni; bukan cinta sejati; cinta karena “ada udang di balik batu” (pepatah; ada
pamrih atau kepentingan). Ini dapat membahayakan. Sebab, jika sesuatu yang
menjadi daya tarik cinta itu hilang atau tidak kelihatan, maka secara
logis, yang terjadi adalah tidak cinta lagi. Begitu juga benci atau tidak
senang harus dijiwai oleh Lilla>h-Billa>h. Jika
tidak, maka hal itu hanya menuruti kemauan nafsu, tidak atas dasar menjalankan
perintah.
Seperti keterangan di atas, cintanya kepada makhluk harus
tidak sama dengan cintanya kepada al-Khaliq. Cinta kepada makhluk
haruslah hanya sebagai realisasi atau pelaksanaan cinta kepada al-Khaliq,
atau sebagai manifestasi (cetusan) rasa cinta kepada al-Khaliq; tidak
boleh memadukan antara cinta kepada al-Khaliq dan cinta kepada makhluk,
karena hal seperti ini berbahaya. Lebih-lebih, cinta kepada makhluk tidak boleh
mengalahkan cinta kepada Sang Khaliq. Dalam kaitan ini Allah SWT telah
berfirman:
قُلْ
إِنْ كَانَ آبآؤُكُمْ وَأ َبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ
وَعَشِيْرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ
كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِليْكُمْ مِّنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ
وَجِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بأَمْرِهِ
وَاللهُ لاَ يهْدِي الْقوْمَ الْفَاسِقِيْنَ [8]
Artinya:
Katakanlah
(wahai Muhammad), jika bapak-bapak kamu sekalian, anak-anak kamu sekalian,
saudara-saudara kamu sekalian, suami/isteri kamu sekalian, keluarga kamu
sekalian, harta benda yang kamu sekalian kumpulkan, perniagaan yang kamu
sekalian takut menderita rugi dan rumah tempat tinggal yang kamu sekalian
senangi, jika semua itu lebih kamu cintai daripada Allah wa Rasulihi dan
daripada berjuang di jalan-Nya, maka bersiap-siaplah sampai Allah menurunkan
perintah penyiksaan-Nya dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada
orang-orang fasik.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda:
لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِليْهِ مِنْ نَفْسِهِ وَمَالِهِ
وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ (رواه البخاري ومسلم وأحمد والتر مذي وابن ماجه عن انس y)
Artinya:
Tidaklah sempurna iman salah satu dari kamu sekalian sehingga
Aku lebih dicintai daripada dirinya sendiri, hartanya dan manusia semuanya
(H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Anas).
Dengan demikian, cinta kita kepada diri kita sendiri, kepada
orang tua, kepada suami atau isteri, kepada keluarga, dan lain-lain, itu semua
seharusnya hanya sebagai cetusan rasa cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ini, menurut ajaran Wahidiyah, dapat timbul dari hati yang senantiasa
menerapkan Lillah-Billah, Lirrasul-Birrasul, dan Lilghauts-Bilghauts,
dan rajin melakukan Mujahadah Wahidiyah, serta memperbanyak tafakkur. Tafakkur
tentang keagungan Allah, tafakkur tentang kebesaran, kemuliaan atau
keluhuran budi Rasulullah, dan tafakkur tentang keindahan-keindahan yang
terdapat pada segenap makhluk Allah.
Mahabbatullah dapat
bertambah mendalam dan bertambah murni dengan mahabbatur-Rasul,
dan mahabbatur-Rasul dapat menjadi subur antar lain dengan
memperbanyak mengingat Rasulullah di mana saja kita berada dan memperbanyak
bacaan shalawat, khususnya Shalawat Wahidiyah, serta memperbaiki dan
meningkatkan hubungan batin dengan Ghauts hadzaz-Zama>n.
Caranya, antara lain, mempraktekkan “Haqiqah al-Mutaba’ah Ru’yah al-Matbu’
‘inda Kulli Syay’in” sebagaimana telah bahas pada bagian tentang “Al-Ta’alluq
Bijanabihi di muka.
Bersabda Rasulullah SAW:
مَنْ
أَحَبَّ شَيْئاً أَ كْثَرَ مِنْ ذِكْرهِ (رواه الد يلمي عن عا ئشة)
Artinya:
Siapa mencintai sesuatu, dia banyak menyebut
(mengingat) sesuatu itu (H.R. Daylami dari Aisyah RA).
أَلاَ
لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ مَحَبَّةَ لهُ, لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ مَحَبَّةَ لهُ [9]
Artinya:
Perhatikanlah, tidak disebut beriman orang yang tidak
mempunyai rasa cinta.
Dengan demikian, mahabbatullah dan mahabbatur-Rasul
itu merupakan pakunya iman. Iman tanpa mahabbah adalah iman yang
goyah, tidak mantap. Hanya bagaikan plakat tempelan yang mudah luntur, mudah
lapuk dan mudah mretheli. (lepas).
Pengakuan iman dan mahabbah tidak cukup hanya dengan
pernyataan lisan saja. Harus menjadi kenyataan yang meresap ke dalam, tembus di
dalam hati dan buahnya dapat dilihat pada ahwal lahir. Ahwal atau
tindakan lahir baik yang hubungan di dalam masyarakat maupun yang hubungan
kepada Allah dan kepada Rasulullah. Mengaku cinta Allah dan Rasul-Nya,
tetapi tidak ada kenyataan yang dapat dilihat pada haliyah lahir, jelas
suatu pengakuan palsu dan pura-pura. Berat sekali akibatnya di akhirat
kelak.
Dalam kitab Siraj al-Thalibin
dijelaskan:
لَيْسَ
فِي الجَنَّةِ نَعِيْمٌ أَعْلَى مِنْ نَعِيْمِ أَهْلِ الْمَحَبَّةِ
وَالْمَعْرِفَةِ وَلاَ فِي جَهَنَّمَ عَذَابٌ أَشَدُّ مِنْ عَذَابِ مَنِ ادَّعَى
الْمَحَبَّةَ وَالْمَعْرِفَةَ وَلمْ يَتَحَقَّقْ بشَيْئ مِنْ ذَلكَ
Artinya:
Di surga tidak ada kenikmatan yang lebih tinggi daripada
kenikmatan orang-orang ahli mah}abbah dan ma’rifat, dan di
neraka tidak ada siksa yang lebih dahsyat lebih mengerikan daripada siksanya
orang yang mengaku mah}abbah dan ma’rifat tetapi tidak ada kenyataannya.
Seseorang jika
sungguh-sungguh mahabbatullah dan mahabbatur-Rasul mestinya lebih
senang menjalankan apa saja yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta
menjauhi apa saja yang dilarangnya. Amal ibadahnya sungguh-sungguh ikhlas tanpa
pamrih, demi untuk mahbub (yang dicintai). Senantiasa Lillah dan Lirrasul!
Ia selalu ingat kepada mahbub (yang dicintai) dalam keadaan bagaimana
pun juga. Ketika mengalami musibah hidup yang bagaimana saja, ia tetap sabar,
ridla dan gembira oleh karena yang menguji adalah Mahbub (Allah yang
dicintainya).
Adapun
yang hubungan di dalam masyarakat, dengan sesama makhluk pada umumnya dia
senantiasa takhalluq biahklaqi mahbubihi (berbudi pekerti meniru budi
pekerti Allah wa Rasulihi.. Seperti kasih sayang dan senang terhadap apa
saja yang dikasihi oleh mahbub (kekasih)-nya. Bersikap rauf-rahim,
senang memberi pertolongan kepada siapa saja. Tindak lakunya selalu
menyenangkan dan membuahkan manfaat bagi masyarakat. Tidak menonjolkan diri,
selalu tawadhu’ dan ramah tamah. Akan tetapi dimana perlu bertindak
tegas patriotik dan heroik bersikap pahlawan di dalam membela kebenaran dan
keadilan yang dikehendaki oleh mahbub-nya, yakni Allah wa Rosulihi..
” Yajtahidu fil Sabiilillah” bersungguh-sungguh di jalan Allah. Tidak
sayang mencurahkan tenaga, harta dan apa saja yang dimilikinya demi buat yang
dicintai.
Di antara tanda-tanda cinta
secara umum adalah sifat “cemburu”. Cemburu terhadap orang lain yang ikut
mencintai mahbubnya. Ini tanda-tanda cinta antar sesama manusia. Akan tetapi
cinta kepada Allah dan Rasul-Nya justru sebaliknya dari itu. Ya cemburu,
kuatir dan resah hatinya melihat orang lain yang tidak cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya. Maka ia berusaha agar orang lain ikut mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Kalau perlu dengan segala pengorbanan. Apa yang ada pada dirinya dicurahkan
demi agar orang lain ikut mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Dalam mahabbah ada tingkat-tingkat ukuran dan
kualitasnya, yakni:
a.
Pertama : Mah}abbah Shifatiyah,
b.
Kedua : Mah}abbah Fi’liyah,
c.
Ketiga : Mah}abbah Dzatiyah.
a. Mahabbah Shifatiyah
Mahabbah Shifatiyah adalah
cinta karena tertarik kepada sifat-sifat dari yang dicintainya. Gagah, cantik, simpatik,
lincah, pandai dan sebagainya. Cinta semacam ini mudah berubah dan mudah kena
pengaruh. Jika sifat-sifat yang menjadi daya tarik itu hilang atau berubah atau
tidak kelihatan, maka cintanyapun berubah bahkan bisa hilang sama sekali.
Bahkan mungkin bisa menjadi kebencian.
b.
Mahabbah Fi’liyah
Mahabbah Fi’liyah adalah
cinta karena tertarik pekerjaan, jabatan atau kekayaan orang yang dicintai.
Cinta semacam ini juga tidak wantek, mudah berubah seperti halnya mah}abbah
sifatiyah. Yang wantek adalah:
c. Mah}abbah Dzatiyah
Mahabbah Dzatiyah adalah
cinta terhadap zat atau wujudnya yang dicintai, bagaimana pun keadaan dan rupa
serta bentuknya. Inilah cinta sejati.
Dalam Mahabbatulloh wa mahabbatur-Rasul seharusnya
terkumpul ketiga macam cinta tersebut, yakni mahabbah sifatiyah, mahabbah
fi’liyah, dan mahabbah dzatiyah, dan ini dapat ditumbuhkan di dalam
hati dengan melatih hati, memperbanyak tafakkur, dan melaksanakan
Mujahadah Wahidiyah dengan sungguh-sungguh dan sesuai dengan bimbingan
Muallifnya. Tafakkur (berfikir) dalam hal ini meliputi tafakkur
terhadap sifat Jamal, sifat Jalal, dan sifat Kamal Allah,
dan berfikir tentang keluhuran budi dan kemuliaan Rasulullah dan terhadap
jasa-jasa Beliau yang sangat besar dan agung.
Di antara cara melatih mahabbah adalah seperti kata
orang Jawa mengatakan “witing trisno jalaran soko kulino” (asal mula
datangnya cinta itu dari kebiasaan). Ini diterapkan sebagai latihan hati;
misalnya: melihat bekasnya (Jawa labet) mahbub (kekasih),
kelihatan orangnya; melihat pakaiannya, kelihatan orangnya; mendengar suaranya,
kelihatan orangnya, dan seterusnya.
Demikian itu dapat diterapkan untuk melatih hati agar cinta
kepada Allah dan Rasul-Nya. Segala makhluk ini adalah milik Allah dan dari Jiwa
Rasulullah SAW. Oleh karena itu, ketika melihat, mendengar, atau merasa
sesuatu, seharusnya langsung ingat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan melatih
hati seperti itu dalam menghadapi segala sesuatu, Insya Allah,
lama-kelamaan akan tumbuh dalam hati tunas-tunas mahabbatullah wa mahabbatur-Rasul,
sehingga betul-betul lebur (tenggelam) di dalam mahbub (yang dicintai,
kekasih). Dalam kaitan ini, Muallif Shalawat Wahidiyah pernah mengatakan:
اَلْمَحَبَّةُ
أَنْ تَهَبَ كُلُّكَ فِي الْمَحْبُوْبِ
Artinya:
Cinta yang sejati yaitu apabila engkau menjadi lebur ke dalam
yang engkau cintai.
Dalam kitab Syarah al-Hakim dikatakan:
حَقِيْقَةُ
الْمَحَبَّةِ أَنْ تَهَبَ كُلَّكَ لِمَنْ أَحْبَبْتَهُ حَتَّى لاَ يَبْقَى
لَكَ مِنْكَ شَيْئٌ [10]
Artinya:
Hakikat
cinta adalah sekiranya engkau meleburkan seluruh dirimu demi untuk orang yang
engkau cintai sehingga tidak ada sesuatu pun dari engkau yang tertinggal untuk
dirimu sendiri.
[1]
Q.S. 39/al-Zumar: 10.
[2]
Q.S. 2/al-Baqarah: 153.
[3]
Utsman bin Hasan bin Ahmad al-Syakir al-Khuwaywi, Durrah al-Nasihin
(Indonesia: Dar Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah)., h. 187.
[4]
Al-Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Juz 4, h. 323.
[5]
Q.S. 65/al-Thalaq: 3.
[6]
Utsman bin Hasan, Durrah al-Nasihin.
[7]
Q.S. 9/al Tawbah: 72.
[8]
Q.S. 9/al-Tawbah: 24.
[9]
Syaykh Ahmad Shawi, Hasyiyah al-Shawi …, Juz III, h. 41.
[10] Ibn 'Ibad, Syarh al-Hikam, Juz II, h.
63.
http://quantummanajemenkalbu.blogspot.com/2012/04/sabar-rida.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar