Bismillahirrahmaanirrahiim,
Apa yang dapat meracuni otak secara instan dan lebih menghancurkan dari seribu pedang, namun dia berwajah ramah dan disenangi banyak orang?
Media informasi, na’am lebih tepatnya adalah internet, film, program televisi, jejaring sosial media dan sebangsanya.
Saat ini, dunia tengah mengalami ancaman krisis moral secara global. Bukan terjadi di kalangan kaum muda, tapi juga kaum dewasa bahkan merangsek kepada anak-anak. Dan ini seakan-akan tidak disadari, semakin banyak informasi-informasi dan tayangan-tanyangan yang bukan hanya tidak mendidik tetapi sudah melanggar batas-batas syar’i.
Melanggar batas-batas etika dan norma-norma yang ada. Mulai dari narkoba, tawuran, minuman keras, arisan seks remaja, korupsi, pemerkosaan, penculikan anak, genk motor yang menjelma sebagai “pembunuh-pembunuh muda”, lalu aliran-aliran sesat yang mengatasnamakan bukan hanya liberal kebebasan namun juga kebablasan berpikir dan banyak lagi kehancuran yang bias kita lihat.
Hal ini dipicu dengan bantuan “si Musuh Berwajah Ramah” tersebut. Tak heran jika banyak orang saat ini tergiur dengan dunia fatamorgana yang disajikan oleh salah satunya televisi . Antrian panjangpun tak terelakkan ketika kontes artis dibuka. Mereka rela berdesak-desakkan sampai mengorbankan banyak hal asalkan ia menjadi selebritis. Bahkan banyak juga yang menempuh jalan pintas dengan mengorbankan harga diri.
Gosip, ghibah dan gunjing menjadi program wajib di televisi. Layar kaca itu telah mengubah akal sehat penontonnya. Lihatlah hari ini, industri aurat menjadi kebanggaan. Mereka telah berani menentang perintah Allah untuk menutup aurat dalam firman-Nya; “Hai anak Adam, sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan.” (QS. Al A’raf, 7 : 25).
Dalam ayat yang lain; "Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya." (QS. Al A’raf, 7 : 27)
Kaum muslimin pada hari ini bagaikan buih yang berada di tengah lautan. Mereka terombang-ambing oleh derasnya gelombang syahwat dan syubhat. Mereka musuh-musuh Allah menyatakan, “Gelas (khamr) dan wanita cantik lebih banyak menghancurkan umat Muhammad dari pada seribu senjata. Maka tenggelamkanlah mereka kedalam gelora syahwat”.
Lalu kemanakah badan sensor yang bertugas menjaga informasi yang masuk? Sensor film, sensor tayangan-tayangan televisi, sensor internet, sensor hosting seks, games dan sebagainya? Sulit memang. Apalagi di negara kita yang kita cintai ini. Bisa babak belur, patah berulang, borok bertambah jika kita berharap mereka-meraka mengatasi ini semua.
Dahulu kita berharap pada satu kumpulan ulama yang kompeten, yang duduk di badan-badan sensor yang komprehensif. Mulai dari film, televisi dan sebagainya. Tetapi sejak merebaknya internet dan media informasi lainnya dengan tools-tools yang semakin canggih. Badan sensor pun menjadi basi.
Departemen kominfo dan badan-badan sensor mestilah sudah berupaya keras, namun semuanya akan basi. Berapa banyak yang disensor dan berapa banyak yang baru lahir. Mati satu tumbuh seribu. Dunia pun sudah tidak lagi mempunyai batas-batas.
Informasi melayang di hadapan mata kita, berbisik di sisi telinga kita. Di antara mainan anak-anak kita, di antara PR-PR anak sekolah, di sisi tugas akhir mahasiswa, di antara spatula ibu rumah tangga, di antara agenda meeting para direktur, di antara “ehem” rapat wakil rakyat.
Di mana-mana tersebar, kita tinggal menangkapnya, melihatnya dan menikmati informas itersebut tanpa harus ada orang tua yang galak, ustadz yang cerewet apalagi badan sensor yang melotot. Karenanya benar dalam sebuah hadis dinyatakan; “Sesungguhnya kalian wahai manusia, melakukan amalan-amalan yang di mata kalian, kalian anggap lebih halus dari pada rambut (sangat remeh dan ringan). Namun kami di masa Nabi SAW, menganggap amalan tersebut sebagaihal yang membinasakan.” (HR. Bukhari)
Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyyah -rahimahullah- berkata, "Di antara dampak buruk maksiat, seorang hamba senantiasa melakukandosa sampai dosa itu akan remeh menurutnya, dan terasa kecil dalam hatinya. Itulah tanda kebinasaan, karena dosa jika semakin kecil dalam pandangan seorang hamba, maka akan semakin besar urusannya di sisi Allah."
Oleh karena itu, inilah zaman ketika Allah membuka ladang amal untuk kita semua. Untuk saling mengingatkan, saling menasehati. Sebagaimana makna yang tercantum dalam surah Al Ashr. Mungkin sudah seharusnya paraulama “turun gunung”, ustadz-ustadz keluar pesantren, da’i-da’i terjun berdakwah dalam bahasa yang sama, bahasa kreatif, bahasa informasi.
Bahasa yang ada di televisi, yang ada di internet, jejaring sosial dan sebagainya. Di zaman musuh-musuh yang “berwajah ramah”, tetapi meracun otak dan lebih dahsyat menghancurkannya lebih dari seribu pedang. Jika perlu buatlah“Hollywood islami”, agar masyarakat tidak dicekoki tapi dapat memilih tayangannya sendiri. Sudah saatnya para suami mengingatkan istrinya untuk kembali pada Alquran dan As Sunnah, sudah saatnya ibu-ibu tidak hanya menitipkan anak kepada sekolahnya, sudah saatnya kita semua memperbaiki diri, kembali kepada apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
Mulai dari kita sendiri, keluarga kita, lingkungan terdekat, dan masyarakat sekitar. Yang pada akhirnya sensor-sensor itu muncul dari dalam diri kita sendiri. Yak jadikan hati, pikiran, lisan, tubuh, perilaku ini sebagai sensor dari gencarnya kemaksiatan yang tersebar. “wasta’iinuu bi shobri wash sholah”, mohonkanlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan sholat (berdoa). Insya Allah. Mari!
Tidaklah lebih baik dari yang menulis ataupun yang membaca, karena yang lebih baik di sisi Allah adalah yang mengamalkannya.
Ustaz Erick Yusuf: penggagas iHAQi
@erickyusuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar