Terminologi tasyri' berasal dari syarra'a-yusyarriu-tasyri'an yang berarti memberlakukan sebuah metode ataupun jalan.
Penggunaan kata ini dalam istilah berarti penetapan atau pemberlakuan syariat yang berlangsung sejak diutusnya Rasulullah SAW dan berakhir hingga Rasul wafat. Dalam perkembangannya, para ulama kemudian memperluas pembahasan tasyri'.
Bahasan tasyri' mencakup pula dinamika perkembangan fikih Islami dan proses kodifikasinya serta ijtihad-ijtihad para ulama sepanjang sejarah umat Islam.
Oleh karena itu, studi dan kajian terkait sejarah perkembangan tasyri', mengutip kitab Tarikh Tasyri' al-Islami karya Syekh Manna' al-Qatthan, dimulai sejak pertama kali wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW hingga periode para ulama-ulama fikih pada era klasik. Sebagian peneliti, bahkan mencantumkan dinamika masa kini tasyri'.
Secara umum, ada beberapa periode tasyri', pertama, masa Rasulullah. Pada periode ini, kekuasaan pembentukan hukum berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum Islam ketika itu adalah Alquran dan sunah.
Kedua, masa keempat Khalifah hingga pertengahan abad pertama Hijriah. Sepeninggal Rasul, para sahabat menghadapi banyak permasalahan akibat beragam faktor, antara lain, perluasan wilayah Islam dan persinggungan dengan budaya atau tradisi lain.
Persoalan ini dikembalikan kepada Alquran dan sunah. Piranti ijtihad juga menjadi rujukan untuk menjawab realita di lapangan yang belum tersentuh oleh kedua sumber utama itu.
Di periode ketiga, tepatnya pada pertengahan abad pertama Hijriah sampai awal abad kedua Hijriah, disebut sebagai masa pertama pembentukan fikih Islam. Generasi sahabat yang berpencar di berbagai daerah memunculkan sejumlah tokoh dan pakar di bidang fikih.
Sa’id bin Musayyib (15 H - 94 H) di Madinah, Atha' bin Abi Rabah (27 H – 114 H) di Makkah, Ibrahim an-Nakha’i (wafat pada 76 H) di Kufah, dan Hasan al-Bashri (21 H/642 M – 110 H/728M) di Basra.
Periode keempat merupakan masa kegemilangan fikih. Pada masa ini, geliat studi dan ijtihad fikih berjalan dinamis. Muncul beragam mazhab fikih, seperti keempat mazhab terkemuka yang masih bertahaan hingga sekarang, yaitu mazhab Maliki, Hanafi, Hanbali, dan Syafii.
Tasyri' merupakan hak absolut yang dimiliki oleh Allah SWT.
Segala yang diturunkan Allah untuk hamba-Nya berupa jalan (manhaj) yang harus
mereka lalui dalam bidang akidah, muamalat, dan sebagainya.
Termasuk, masalah penghalalan dan pengharaman. Tidak seorang pun berwenang menghalalkan kecuali apa yang sudah dihalalkan Allah, juga tidak boleh mengharamkan kecuali apa yang sudah diharamkan Allah.
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘Ini halal dan ini haram’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.”(QS an-Nahl [16] : 11).
Allah telah melarang penghalalan dan pengharaman tanpa dalil yang kuat dari Alquran dan sunah. Tanpa keduanya, yang terjadi adalah dusta atas nama Allah.
Dia telah memberitahukan bahwa siapa yang mewajibkan atau mengharamkan sesuatu tanpa dalil, telah menjadikan dirinya sebagai sekutu Allah dalam hal tasyri'. “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” ( QS asy-Syura [42]: 21).
Siapa yang menaati pembuat metode musyarri'selain Allah maka ia telah menyekutukan Allah. “Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (al-An'am [6]: 121). Maksudnya adalah orang-orang yang menghalalkan bangkai-bangkai yang sudah diharamkan Allah maka siapa yang menaati mereka adalah musyrik.
Ketika Adiy bin Hatim mendengar ayat ini, ia bertutur, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami tidak menyembah mereka.”
Maka, Rasulullah berkata kepadanya: “Bukankah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan, kemudian kalian menghalalkannya. Dan mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan, kemudian kalian mengharamkannya?”
Dia menjawab, “Ya. Benar.” Maka Nabi bersabda, “Itulah bentuk ibadah kepada mereka.” (HR at-Tirmidzi).
Syekh Abdurrahman bin Hasan mengomentari hadis tersebut. Di dalamnya, terdapat dalil bahwa menaati ulama dan pendeta dalam hal maksiat kepada Allah berarti beribadah kepada mereka dari selain Allah dan termasuk syirik yang tidak diampuni oleh Allah.
Karena, akhir ayat tersebut berbunyi: “Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
Termasuk, masalah penghalalan dan pengharaman. Tidak seorang pun berwenang menghalalkan kecuali apa yang sudah dihalalkan Allah, juga tidak boleh mengharamkan kecuali apa yang sudah diharamkan Allah.
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘Ini halal dan ini haram’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.”(QS an-Nahl [16] : 11).
Allah telah melarang penghalalan dan pengharaman tanpa dalil yang kuat dari Alquran dan sunah. Tanpa keduanya, yang terjadi adalah dusta atas nama Allah.
Dia telah memberitahukan bahwa siapa yang mewajibkan atau mengharamkan sesuatu tanpa dalil, telah menjadikan dirinya sebagai sekutu Allah dalam hal tasyri'. “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” ( QS asy-Syura [42]: 21).
Siapa yang menaati pembuat metode musyarri'selain Allah maka ia telah menyekutukan Allah. “Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (al-An'am [6]: 121). Maksudnya adalah orang-orang yang menghalalkan bangkai-bangkai yang sudah diharamkan Allah maka siapa yang menaati mereka adalah musyrik.
Ketika Adiy bin Hatim mendengar ayat ini, ia bertutur, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami tidak menyembah mereka.”
Maka, Rasulullah berkata kepadanya: “Bukankah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan, kemudian kalian menghalalkannya. Dan mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan, kemudian kalian mengharamkannya?”
Dia menjawab, “Ya. Benar.” Maka Nabi bersabda, “Itulah bentuk ibadah kepada mereka.” (HR at-Tirmidzi).
Syekh Abdurrahman bin Hasan mengomentari hadis tersebut. Di dalamnya, terdapat dalil bahwa menaati ulama dan pendeta dalam hal maksiat kepada Allah berarti beribadah kepada mereka dari selain Allah dan termasuk syirik yang tidak diampuni oleh Allah.
Karena, akhir ayat tersebut berbunyi: “Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
Oleh: Erdy Nasrul
Tidak ada komentar:
Posting Komentar