Kebaikan manusia di suatu negeri bergantung pada kesalehan para ulama dan keadilan umara (penguasa). Kerusakan mereka juga bergantung pada kerusakan para ulama dan keculasan umaranya. Pernyataan ini didasari oleh sabda Rasulullah.
“Dua golongan manusia, jika mereka baik, akan baik seluruh manusia, dan jika ia rusak, akan rusak seluruh manusia. Mereka adalah para ulama dan umara.” (HR Ibnu Nu'aim dalam Hilyatul Auliya).
Golongan pertama, yakni para ulama. Ulama adalah pewaris para nabi dan penyambung lidah mereka. Seperti dimaklumi, para nabi tidak mewariskan harta benda berupa emas, perak, perniagaan, dan sawah ladang.
Mereka semua mewariskan ilmu. Ilmu itulah yang ditransmisikan dari masa ke masa kepada ahli ilmu, yaitu ulama. Ulama yang saleh, yaitu yang ucapannya sesuai dengan perilakunya. Akhlaknya pun mulia. Ia senantiasa berkata benar meskipun kepada dirinya sendiri.
Dakwahnya mengajak kepada amar makruf dan nahi mungkar. Ia tidak canggung memberi nasihat dan peringatan, termasuk kepada penguasa sekalipun. Ia sambangi mereka dengan membawa oleh-oleh nasihat.
Ia selamatkan para umara dari bahaya kefasikan dan mengarahkannya pada kebaikan. Inilah potret ulama yang berpengaruh pada standardisasi kebaikan manusia.
Ulama yang rusak adalah ulama yang ilmunya digunakan untuk membeli dunia. Ucapannya sangat kontras dengan perilakunya. Ia pandai menilai orang, tetapi tidak jujur terhadap diri sendiri.
Ia dekati penguasa demi harta dan penghargaan. Ia biarkan penguasa itu tetap dalam kezalimannya. Ia akan berfatwa ke mana angin bertiup.
Dalam istilah Imam Al-Ghazali, dialah ulama su' (ulama buruk) yang menjual akhiratnya untuk dunianya. Ulama semacam ini merupakan malapetaka bagi bangsa dan agama.
Golongan kedua, yakni umara atau penguasa. Umara adalah pemegang amanah Tuhan untuk mengurus kehidupan rakyatnya.
Hidup matinya rakyat tergantung pada kebijakan dan keputusannya. Di tangannya pula ditegakkan hukum dan peraturan demi ketenteraman umum.
Umara yang saleh, yaitu umara yang adil, amanah, dan bertakwa kepada Tuhannya. Ia bekerja di siang hari untuk kepentingan rakyatnya.
Pada malam hari ia bermunajat kepada Tuhannya dan menyerahkan beban kekuasaan itu kepada-Nya untuk dimudahkan.
Umara yang saleh menganggap rakyatnya merupakan keluarga besarnya. Yang lebih tua bagaikan orang tuanya dan lebih muda adalah anaknya. Yang sebaya dianggap saudaranya. Umara semacam ini jaminan kesejahteraan bagi rakyatnya, lahir dan batin.
Umara perusak adalah umara bermental penguasa. Segala hal seolah berada dalam kontrol dan kekuasaannya. Tidak ada beban dalam dirinya menyejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, rakyat dibebani untuk menyejahterakan dirinya.
Penguasa model demikian akan membungkam setiap mulut, membelenggu pena-pena, dan menghukum berdasarkan dugaan. Penjara akan dibuka lebar-lebar untuk menakuti rakyatnya.
Oleh: Muhammad
Shobri Azhari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar