Allah
ta’ala dekat di hati, jauh di mata
Firman
Allah ta’ala yang artinya
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat“.(
Al Baqarah [2]:186 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada
urat lehernya.” (QS. Qaaf [50]:16 )
“Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada
Tuhan)“. (QS Al-’Alaq [96]:19 )
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada
kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah [56]: 85 )
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan
mata” (QS Al An’am [6]:103)
Dalam
hadis qudsi-Nya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu ’Umar r.a. Alah
ta’ala berfirman: “Sesungguhnya
langit dan bumi tidak akan mampu menampung Aku. Hanya hati orang beriman yang
sanggup menerimanya.”
Dalam
sebuah hadit Qudsi Allah Azza wa Jalla berfirman: ’Telah Kucipta seorang malaikat di dalam tubuh setiap anak
keturunan Adam. Di dalam malaikat itu ada shadr. Di dalam shadr itu ada qalb.
Di dalam qalb itu ada fu`aad. Di dalam fu`aad itu ada syagf. Di dalam syagf itu
ada lubb. Di dalam lubb itu ada sirr. Dan di dalam sirr itu ada Aku.”
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda, ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat
Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah”
Hati orang
beriman yang menjadi wadah dari nikmat-nikmat Allah yakni nikmat cahayaNya atau
nikmat ilmuNya
Jasad
adalah wadah bagi bathin, bathin adalah jasad bagi ruhani, ruhani adalah wadah
bagi hati, hati adalah wadah bagi akal qalbu, akal qalbu adalah wadah bagi sirr
al ghaib atau wadah dari nikmat-nikmat Allah, nikmat cahayaNya, nikmat ilmuNya
tanpa batas.
Muslim
yang dikaruniakan nikmat Allah adalah muslim yang dekat dengan Allah yakni
minimal muslim yang sholeh
Firman
Allah ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya
kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun
dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi
Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya
Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang
tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan
sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan
yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47)
“Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah
kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat
kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan
barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama
dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para
shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka
itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)
Muslim
yang terbaik bukan nabi yang mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah sehingga
meraih maqom (derajat) disisiNya dan menjadi kekasih Allah (wali Allah) adalah
shiddiqin, muslim yang membenarkan dan menyaksikan Allah dengan hatinya (ain
bashiroh) atau muslim yang bermakrifat. Bermacam-macam tingkatan shiddiqin
sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan
Muslim
yang dekat dengan Allah sehingga menjadi kekasih Allah (Wali Allah) dirindukan
oleh para Nabi dan Syuhada
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya ada di antara hamba Allah
(manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’.
Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan
(pangkat) mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala“ Seorang dari sahabatnya
berkata, “siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah? Semoga kita dapat
mencintai mereka“. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan sabdanya:
“Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah
bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda,
wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar
dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada
mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita”. (HR. an Nasai dan Ibnu
Hibban dalam kitab shahihnya
Hadits
senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda, “Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada manusia manusia yang
bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada hari kiamat
Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan
syuhada.” Seorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan
mereka?”mudah-mudahan kami menyukainya“. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling
menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah,
dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh
wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya, dan
mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti
yang disusahkan manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ” Ingatlah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS Yunus [10]:62)
Kesholehan
timbul bagi mereka yang selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau
mereka yang selalu memandang Allah dengan hatinya (ain bashiroh), sehingga
setiap mereka akan bersikap atau berbuat maka mereka mencegah dirinya dari
melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari
perbuatan keji dan mungkar.
Jika belum
dapat melihat Allah dengan hati (ain bashiroh) atau bermakrifat maka yakinlah
bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.
Lalu dia
bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu
takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka
jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR
Muslim 11)
Firman
Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Jadi jika
seorang muslim mengamalkan ihsan (tasawuf) atau meng-ihsan-kan dirinya maka dia
tidak akan membiarkan sampah bukan pada tempatnya karena muslim tersebut
memandang Allah dengan hatinya atau karena muslim tersebut selalu yakin diawasi
oleh Allah Azza wa Jalla
Jika
seorang muslim mengamalkan ihsan (tasawuf) atau meng-ihsan-kan dirinya maka dia
bekerja dengan tekun, profesional, menghargai waktu dalam menepati janji, tidak
bermalas-malasan, tidak bermewah-mewahan atau tidak boros dan tidak melakukan
hal buruk lainnya karena muslim tersebut memandang Allah dengan hatinya atau
karena muslim tersebut selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla
Jika
seorang muslim mengamalkan ihsan (tasawuf) atau meng-ihsan-kan dirinya maka
jika dia seorang pelajar atau mahasiswa maka dia tidak akan melakukan
perkelahian atau tawuran antar siswa atau antar mahasiswa karena mereka
memandang Allah dengan hatinya atau karena mereka selalu yakin diawasi oleh
Allah Azza wa Jalla.
Jika
seorang muslim mengamalkan ihsan (tasawuf) atau meng-ihsan-kan dirinya maka
jika dia seorang pejabat maka dia akan melaksanakan jabatannya dengan amanah,
jujur, adil, profesional dan tidak akan melakukan korupsi karena muslim
tersebut memandang Allah dengan hatinya atau karena muslim tersebut selalu
yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla.
Kehidupan
Islami terbentuk karena kaum muslim mengamalkan ihsan (tasawuf) atau
meng-ihsan-kan dirinya sehingga jika bersikap dan melakukan perbuatan maka akan
bersikap dan melakukan perbuatan yang dicintaiNya karena kaum muslim memandang
Allah dengan hatinya atau karena kaum muslim selalu yakin diawasi oleh Allah
Azza wa Jalla.
Muslim
yang bermakrifat atau muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh)
adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat
kepadaNya.
Imam
Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam
hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga
seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya,
sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati
seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)“
Imam
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib
Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah
riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu
ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru
saya sembah”. “Bagaimana anda melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan
mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Munajat
Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanNya,
sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma
dalam kesempurnaan, keindahan dan keagunganNya, sehingga nyatalah bukti
kebesaranNya dalam hati dan perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembunyi
padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib, padahal
Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang memberikan petunjuk dan
kepadaNya kami mohon pertolongan"
Syaikh
Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, “mereka yang sadar diri senantiasa
memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan
yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri mereka dengan DiriNya. Semua
bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-sendi putus dan segala milik
menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan
dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi
benar. Jika sudah benar sempurnalah semua perkara baginya. Pertama yang mereka
keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal
selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam
menjalani ujian di RumahNya”.
Tidak
semua manusia dapat melihat Allah dengan hatinya ketika di dunia
Orang
kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Siapa yang
memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah ta’ala, pada
saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan
Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.
Siapa yang
memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang (terhijab) dari
memandang gerak dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya
dalam mewujudkan tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam
anugerahNya.
Setiap
dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik
cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang
(terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Allah
ta’ala berfirman yang artinya,
“Dan
barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia
akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra
17 : 72)
“maka
apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan
itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat
mendengar. Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta,
ialah hati yang di dalam dada” (QS Al Hajj [22]:46 )
“Pada hari
itu tidak berguna lagi harta dan anak-anak, kecuali yang kembali kepada Allah
dengan hati yang lurus.” (QS. Asy-Syu’araa: 88)
Untuk
dapat melihat Allah dengan hati adalah memulainya dengan taubat, memperbaiki
akhlak, membersihkan hati (tazkiyatun nafs) yang berarti mengosongkan dari
sifat sifat yang tercela (TAKHALLI) kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang
terpuji (TAHALLI) yang selanjutnya beroleh kenyataan Tuhan (TAJALLI) atau
melihat Rabb dengan hati (bermakrifat).
Ketika
seorang muslim telah melihat Allah dengan hatinya maka dia akan bergembira
menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Mereka dapat melihat Ar Rahmaan
Ar Rahiim dibalk laranganNya. Mereka menjalankan perintahNya atau perkara
syariat sebagai makanan atau kebutuhan ruhNya dalam rangka wujud syukur kepada
Allah ta’ala.
Dari Anas
Ra, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata “….kesenanganku dijadikan dalam shalat”
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam sangat menikmati ibadah, bahkan beliau pernah
berdiri dalam sholat malam sampai kedua kakinya bengkak. ‘Aisyah pernah
bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau lakukan hal ini,
bukankah Allah telah memberikan ampunan kepadamu atas dosa-dosa yang telah
berlalu dan yang akan datang?” Beliau menjawab: “afala akuuna ‘abadan
syakuuraa” , “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?”
Oleh
karenanya ulama tasawuf mengungkapkan bahwa “perkara syariat bukanlah beban” .
Namun sebagian orang memahaminya bahwa jika telah menjalankan tasawuf maka
tidak perlu lagi menjalankan perkara syariat.
Berkata
Imam Abu Yazid al Busthami yang artinya, “Kalau
kamu melihat seseorang yang diberi keramat sampai ia terbang di udara, jangan
kamu tertarik kepadanya, kecuali kalau ia melaksanakan suruhan agama dan
menghentikan larangan agama dan membayarkan sekalian kewajiban syari’at”
Sebelum
belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada putranya, Abdullah ra.
“Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada hadits. Anda harus hati-hati
bersama orang-orang yang menamakan dirinya kaum Sufi. Karena kadang diantara
mereka sangat bodoh dengan agama.” Namun ketika beliau berguru kepada Abu
Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia
berkata pada putranya “Hai anakku hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi,
karena mereka bisa memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang
banyak, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur
(Allah)” Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih
utama ketimbang kaum Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka sering
menikmati sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah mereka adalah
bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”
Imam
Nawawi ~rahimahullah berkata : “Pokok-pokok metode ajaran tasawuf ada lima :
Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan
dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur,
ridha kepada Allah dari pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu
kembali pada Allah saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal
Ibadah wa Ushulut Tasawuf halaman : 20, Imam Nawawi)
Imam Syafi’i
rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau menjadi
seorang yang mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) dan juga menjalani
tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi
Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya
mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) tapi tidak mau menjalani tasawuf,
maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya
menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat),
maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal.
47]
Mereka
yang menjalankan tasawuf atau mereka yang memperjalankan diri kepada Allah
diistilahkan oleh Imam Syafi’i ra dalam nasehat beliau di atas adalah mereka
yang merasakan “kelezatan takwa”. Mereka yang mendapatkan kenikmatan bertemu
dengan Tuhan
Mereka
yang dikatakan oleh Rasulullah sebagai “Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin“,
“sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“. yaitu naiknya jiwa
meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat
Allah
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya kalian apabila sholat maka
sesungguhnya ia sedang bermunajat (bertemu) dengan Tuhannya, maka hendaknya ia
mengerti bagaimana bermunajat dengan Tuhan”
Allah
berfirman yang artinya, “Sesungguhnya sholat itu memang berat kecuali bagi
mereka yang khusyu’ yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan Tuhan mereka,
dan sesungguhnya mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah 2 : 45).
Syaikh
Abdul Qadir Jailani mengatakan bahwa para Wali Allah ketika mereka berdzikir
dan yang utama adalah ketika mereka sholat maka mereka melintasi alam secara
cepat dari alam nasut (alam mulk), alam malakut, alam jabarut, alam lasut
sehingga mereka mengetahui apa yang dimakasud ‘Arsy , Kursi, Sidratul Muntaha.
Di dalam
shalat bertemu Allah. Di dalam dzikir bertemu Allah. Saat puasa bertemu Allah.
Saat haji pun bertemu Allah. Bahkan dalam seluruh aktifitas kita sehari-hari kita
bertemu Allah. Asalkan kita tahu caranya, seperti yang diajarkan oleh Al
Qur’an, dan disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Rasulullah
bersabda “Bagi orang yang
berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan
ketika bertemu dengan Tuhannya” (HR Bukhari).
Rasulullah
bersabda “Buatlah perut-perutmu
lapar dan qalbu-qalbumu haus dan badan-badanmu telanjang, mudah-mudah an qalbu
kalian bisa melihat Allah di dunia ini“
Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam, ”Pakailah
pakaian yang baru, hiduplah dengan terpuji (mulia), dan matilah dalam keadaan
mati syahid” (HR.Ibnu Majah)
Pahamlah
kita kenapa kaum muslim ketika selesai menjalankan ibadah puasa Ramadhan
kembali dalam keadaan suci bersih, kembali fitri dengan kiasan “berbaju baru”
yakni kemenangan menjaga hawa nafsu, mensucikan jiwa, berakhlak baik dan
beradab mulia.
Rasulullah
bersabda: “Kalian tidak akan
pernah melihat Rabb kalian hingga kalian mati.” [Abu Dawud no.
4320, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (Dhilaalul-Jannah) no. 428, dan
Al-Laalika’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 848.]
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam menasehatkani “Muutu qabla an tamuutu” yang artinya
“matilah sebelum mati”
Nasehat
Rasulullah tersebut sarat dengan makna. Mati pada hakikatnya adalah terbebasnya
ruh (ruhani) dari jasad (jasmani). Jadi upayakanlah dalam kehidupan ini ruh
(ruhani) kita tidak terkukung oleh jasmani atau tidak terkukung oleh hawa
nafsu. Upayakanlah ruh (ruhani) kita mengendalikan hawa nafsu bukan hawa nafsu
yang mengendalikan ruh (ruhani) kita.
Dua
dimensi jiwa manusia senantiasa saling menyaingi, mempengaruhi dan berperang.
Kemungkinan
jiwa positif manusia menguasai dirinya selalu terbuka, seperti yang dialami
Habil. Dan jiwa negatifpun tak tertutup kemungkinan untuk mengontrol diri
manusia, seperti yang terjadi pada Qobil.
Tataplah
sosok seorang Mush’ab bin Umair ra yang hidup di masa Rasulullah Shallallahu
alaihi wasalam. Ia putera seorang konglomerat Makkah. Namanya menjadi buah
bibir masyarakat, terutama kaum mudanya. Sebelum masuk Islam ia dikenal dalam
lingkaran pergaulan jet set. Namun, suatu hari mereka tak lagi melihat
sosoknya. Mereka kaget ketika mendengarnya sudah menjadi pribadi lain.
Benar, ia
sudah bersentuhan dengan dakwah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan
hidup dalam kemanisan iman dan kedamaian risalahnya. Sehingga cobaan beratpun
ia terima dengan senyuman dan kesabaran. Kehidupan glamour ia lepaskan. Bahkan
dialah yang terpilih sebagai juru dakwah kepada penduduk Madinah.
Disisi
lain , tengoklah pribadi Musailamah Al-Khadzdzab. Setelah mengikuti kafilah
dakwah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, jiwa negatifnya masih menonjol,
ketamakan akan kedudukan dan kehormatan membawanya pada pengakuan diri sebagai
nabi palsu. Akhirnya ia mati terbunuh dalam kondisi tak beriman di tangan
Wahsyi dalam suatu peperangan.
Manusia
tentu saja memiliki harapan agar jiwa positifnya bisa menguasai dan membimbing
dirinya. Sehingga ia bisa berjalan pada garis-garis yang benar dan haq. Akan
tetapi seringkali harapan ini tak kunjung tercapai, bahkan bisa jadi justru
kondisi sebaliknya yang muncul. Ia terperosok ke dalam kubangan kebatilan.
Disinilah
betapa besar peranan lingkungan yang mengelilingi diri manusia baik keluarga
kawan, tetangga, guru kerabat kerja, bacaan, penglihatan, pendengaran, makanan,
minuman, ataupun lainnya. Semua itu memberikan andil dan pengaruh dalam
mewarnai jiwa manusia.
Islam ,
sebagai Din yang haq, memberikan tuntunan ke pada manusia agar ia menggunakan
potensi ikhtiarnya untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang positif
sebagai salah satu upaya pengarahan, pemeliharaan , tazkiyah atau pembersihan
jiwa dan sebagai tindakan preventif dari hal-hal yang bisa mengotori jiwanya.
Disamping
itu, diperlukan pendalaman terhadap tuntunan dan ajaran Islam serta peningkatan
pengalamnnya. Evaluasi diri dan introspeksi harian terhadap perjalanan
hidupnya, tak kalah pentingnya dalam tazkiyah jiwa. Manakala jalan ini ditempuh
dan jiwanya menjadi bersih dan suci, maka ia termasuk orang yang beruntung
dalam pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebaliknya
, apabila jiwanya terkotori oeh berbagai polusi haram dan kebatilan, maka ia
termasuk orang yang merugi menurut kriteria Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Dan demi
jiwa dan penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan
kefasikan dan ketakqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mesucikan
jiwa itu. Dan merugilah orang yang mengotorinya”(QS. Asy Syams [91] : 7-10).
Dua
suasana jiwa yang berbeda itu akan tampak refleksinya masing-masing perilaku
keseharian manusia, baik dalam hibungannya dengan Allah, lingkungan maupun
dirinya.
Jiwa yang
suci akan memancarkan perilaku yang suci pula, mencintai Alah dan Rasul-Nya dan
bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Sedangkan jiwa yang kotor akan
melahirkan kemungkaran dan kerusakan, adalah benar bahwa Allah tidak melihat
penampilan lahir seseorang, tetapi yang dilihat adalah hatinya, sebagaimana
disebutkan dalam satu hadits. Tetapi ini dimaksudkan sebagai penekanan akan
pentingnya peranan niat bagi sebuah amal, bukan untuk menafikan amal lahiriah.
Sebuah
amal ibadah akan diterima Allah manakala ada kesejajaran antara perilau
lahiriah dan batiniah, disamping sesuai dengan tuntunan Din. Lebih dari itu,
secara lahiriah, manusia bisa saja tampak beribadah kepada Allah. Dengan
khusyu’ ia melakukan ruku’ dan sujud kepada-Nya. Namun jiwanya belum tunduk
ruku dan sujud kepada Allah Yang Maha Besar dan Perkasa , kepada tuntunan dan
ajaran-Nya.
Tazkiyah
jiwa merupakan suatu pekerjaan yang sungguh berat dan tidak gampang. Ia
memerlukan kesungguhan, ketabahan dan kontinuitas. Sebagaimana amal baik
lainnya, tazkiyah adalah bagai membangun sebuah gedung, disana banyak hal yang
harus dikerahkan dan dikorbakan. Sedangkan pengotoran jiwa, seperti amal buruk
lainnya, adalah semisal merobohkan bangunan, ia lebih mudah dan gampang serta
tak banyak menguras tenaga.
“Jalan
menuju surga di rintangi dengan berbagai kesulitan. Sedangkan jalan menuju neraka
ditaburi dengan rangsangan hawa nafsu”, demikian sabda Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam
Tazkiyah
jiwa ini menjadi lebih berat lagi ketika manusia hidup dalam era informatika
dan globalisasi dalam kemaksiatan dan dosa. Dimana kreasi manusia begitu
canggih dan signifikan. Mansusia seakan tak berdaya mengikuti irama dan
gelombangnya.
Sebenarnya
Islam memiliki sikap yang akrab dan tidak menolak sains dan tekhnologi,
sementara sains dan tekhnologi tersebut tidak bertentangan dan merusak lima hal
prinsip (ad – dkaruriyat al khams); Din , jiwa manusia, harta, generasi dan
kehormatan. Sehingga tidak ada paradoksal antara jiwa positif dan bersih serta
nilai-nilai kebaikan dengan perkembangan dan kemajuan zaman.
Pengalaman
tuntunan dan akhlak Islami, meski tanpa pemerkosaan dalam penafsirannya, tidak
pernah bertentangan dengan alam sekitar. Lantaran keduanya lahir dari satu
sumber, Allah Subhanahu wa Ta’ala, Pencipta alam semesta dan segala isinya.
Salah
faham terhadap konsep ini akan mengakibatkan kerancuan pada langgam kehidupan
manusia.maka yang tampak adalah bukit hingar bingar dan menonjolnya sarana
pengotoran jiwa manusia. Akhirnya, nilai nilai positif dan kebenaran seringkali
tampak transparan dan terdengar sayup-sayup. Benarlah apa yang menjadi prediksi
junjungan kita, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
“Orang
yang sabar dalam berpegang dengan Din-nya semisal orang yang memegang bara api”.
Mereka
acapkali mengalami banyak kesulitan dalam mengamalkan Din-nya. Sehingga mereka
merasa asing dalam keramaian. Namun demikian, tidaklah berarti mereka boleh
bersikap pesimis dalam hidup. Bahkan sebaliknya, mereka harus merasa optimis.
Sebab dalam situasi seperti ini, merekalah sebenarnya orang yang meraih kemenangan
dalam pandangan Islam.
“Islam
mulai datang dalam keterasingan dan akan kembali dalam keterasingan pula
sebagaimana mulanya. Maka berbahagialah orang – orang yang terasing”. (Al
Hadist).
Dalam
fenomena seperti ini, tak tahu entah dimana posisi kita. Yang jelas, manusia
senantiasa dianjurkan oleh Allah agar meningkatkan kualitas dan posisi dirinya
di hadapan Nya. Dan Allah tak pernah menolak setiap hamba yang benar-benar
ingin kembali kepada jalan-Nya.
Bahkan
lebih dari itu, manakala hamba Nya datang dengan berjalan, maka Ia akan
menjemputnya dengan berlari. Sungguh Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha
Pengampun. Kita berharap, semoga kita termasuk orang-orang yang mau mendengar
panggilan-Nya yang memiliki jiwa muthmainnah, jiwa yang tenang. Sehingga kita
akhirnya berhak meraih panggilan kasih sayang –Nya.
“Hai jiwa
yang tenang . Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas dan diridhoi-Nya.
Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam
surga-Ku”.(QS.Al Fajr [89] : 27-30)
Wassalam
Zon di
Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tidak ada komentar:
Posting Komentar